"La, mas tidur di bawah aja kalau kamu merasa tak nyaman."
Kayla yang masih memakai setelan kebaya berwarna hijau itu, hanya menatap pria yang kini sudah menyandang status sebagai suaminya. Gadis yang kini duduk di bibir ranjang, menunduk pelan. Hatinya memang masih milik Raize. Pria yang terpaksa pergi karena terhalang oleh restu dan keyakinan.
Sebelum menikah, dan Avan melamarnya secara resmi bertemu dengan dua keluarga. Kayla pernah berkata, jika hatinya masih milik Raize. Dan Kayla akan mencoba untuk mencintai Avan, mencoba melupakan masa lalu, dan mencoba menjadi istri yang baik.
"Maaf mas," hanya kata itu yang sanggup Kayla ucapkan saat ini.
"Kenapa minta maaf?"
"Karena menerima mas, saat hati ini masih mencintai pria lain."
"Mas udah berjanji, La. Jika mas akan membantumu menyatukan kembali serpihan hatimu. Hingga hati itu utuh lagi dan siap untuk menerima penghuni baru." Tukas Avan, "Bersihkan dirimu, nanti jamaah isha bersama. Mas tunggu."
Malam pertama Kayla dan Avan mereka lalui di kamar yang sama. Tanpa melakukan hubungan suami istri, setelah sholat Isya, mereka kelelahan sehabis resepsi. Dan langsung tidur hingga kumandang subuh menggema.
"Bangun, La, sudah subuh."
Avan mengoncang pelan tubuh Kayla. Gadis itu mengerjab dan membuka matanya yang terasa berat. Kayla menatap wajah pria berambut gondrong yang basah oleh air wudhu. Avan sudah mengenakan setelah Koko dan sarung berwarna hijau. Avan tersenyum begitu melihat mata Kayla terbuka.
"Mas tunggu, ambil wudhu sana gih." Ucap Avan lembut.
"Iya, mas."
Kayla turun dari ranjang, berjalan keluar dari kamar. Avan menggelar sajadah untuk nya, dan satu shaf di belakangnya, untuk Kayla.
Kayla membuka pintu kamar, tertegun melihat tatanan yang Avan telah siapkan, termasuk mukena untuk dirinya sholat. Suami Kayla itu memang sudah menunggu. Setelah Kayla memakai mukena dengan baik, dan berdiri satu shaf di belakang imamnya. Avan mulai bertakbir. Subuh pertama untuk Kayla dan Avan, setelah akad mereka di hari sebelumnya.
"Gimana malam pertamanya, La?" Emak menggoda saat anak gadisnya ikut membantu memasak di dapur.
"Nggak gimana-gimana, Mak." Jawab Kayla jujur. Memang tidak ada yang terjadi antara Avan dan Kayla malam itu. Mereka bahkan tidur di tempat yang berbeda. Kayla di atas tempat tidur, dan Avan tidur di tikar atas lantai.
Tak mungkin Kayla mengatakan hal yang satu ini. Bisa ceramah emak sampai tujuh turunan nggak selesai-selesai.
"Rambut mu emang nggak basah, aahh ya sudah." Emak bergumam, namun tangannya tetap sibuk dengan petikan kangkung sebakul. Maklum mau masak untuk keluarga besar.
"Emak nggak habis pikir loh, La. Si Avan itu, dulu mau Mak jodohkan sama Ayla. Eeh, malah dapat kamu. Padahal dulu dia bilang udah ada calon. Enggak nyangka emak calonnya ternyata kamu." Emak terkekeh-kekeh sendiri mengenang.
"Tetep jadi mantu nya emak, kan?" Suara Ayla menimpali ocehan emaknya dari ambang pintu dapur. Emak sampai terlonjak kaget karena tiba-tiba Ayla muncul dan menimpali.
"Iihh, kamu itu, Ay. Kayak tuyul aja, tiba-tiba nonggol." Gerutu emak masih dengan sedikit kekehan.
Ayla mendekat, lalu duduk di sisi Kayla yang mengiris bawang.
"Udah dapat mantu idaman, ntar mantu yang lama Jangan di lupain ya, Mak."
"Mantu yang lama siapa? Alfa?"
"Iihh emak!" Ayla memonyongkan bibirnya, tangannya pun ikut maju mencubit lengan emaknya.
Emak sendiri terkekeh hingga tubuhnya berguncang-guncang. Mata emak menyipit dan memegangi perutnya. Kayla pun jadi ikut tertawa, bukan karena lucu, melainkan karena emak yang tertawa tak ada hentinya. Hingga menyalur ke Kayla dan Ayla.
Seusai sarapan, Avan masih menyempatkan diri membantu bapak di ladang. Sedangkan Rocky, harus kembali ke kota karena urusan pekerjaan. Kayla yang masih libur kerja pun hanya duduk-duduk di teras. Ia membuka akun media sosial nya. Jemarinya sangat gatal ingin menstalking akun milik Raize. Beberapa kali jempolnya hendak menekan, namun ragu dan urung. Begitu terus sampai Avan kembali. Pria berambut gondrong itu tersenyum pada Kayla yang dengan cepat menyimpan gawainya. Kayla berusaha sebisa mungkin terlihat baik-baik saja. Menjadi istri yang baik untuk Avan, di luar. Di dalam, ia masihlah Kayla yang sama. Yang masih mencintai Raize.
Kayla beranjak dari duduknya, menyalami dan mencium tangan Avan.
"Dari mana aja, mas?"
"Dari ladang bapak."
"Kok dari sana?" Kayla menunjuk arah yang berlawanan dengan ladang bapaknya, dimana tadi Avan muncul.
"Dari ladang bapak, skalian liat Sungai, buat pengairan sawah." Avan menjelaskan.
"Bapak mana?"
"Bapak masih ngobrol sama temannya, mas masih harus kontrol resto, Ila. Makanya mas balik duluan." Avan masuk ke dalam rumah, lalu muncul lagi setelah berganti baju dan menenteng tas yang melintang di dadanya.
"Kamu mau ikut?"
"Ke resto?"
Avan mengangguk, "skalian jalan-jalan."
"Iya deh, mas. Dari pada dirumah suntuk."
"Ya udah, sana ganti baju, mas tungguin." Cetus Avan sembari duduk di kursi teras.
____
Kayla duduk di salah satu meja pengunjung di dekat kitchen. Menyeruput jus Alpukat yang Avan buatkan untuknya. Sembari menunggu suaminya selesai dengan urusan di resto, Kayla mengedarkan pandangan kesetiap sudut resto. Walau masih terbilang pagi, resto itu sudah cukup ramai pengunjung. Apalagi jika sudah malam, akan semakin ramai lagi.
Kayla masih terus menikmati suasana resto, alunan musik yang di putar terdengar lembut dan merdu. Lagu yang mengingatkannya pada Raize. Entah kenapa, Kayla selalu mengingat pria itu. Kayla terus mencoba menepis, semua bayangan pria bule yang mengusik. Ia terus menekankan jika kini dirinya sudah menikah, sudah memiliki seorang suami bernama Avan. Akan sangat berdosa baginya jika masih ada pria lain di hati dan pikirannya. Meski, Avan mengatakan tak keberatan, karena memang dari awal, Avan sudah menegaskan untuk membantu Kayla melupakan cinta lamanya dengan menghadirkan cinta yang baru, tanpa paksaan.
"Aku tak boleh melamun. Kayla, sadarlah, kamu sudah menikah. Ingatlah, mas Avan pria yang baik. Ia tulus padamu, dia pria baik, dia pria baik. Hapus ingatanmu tentang Raize, La." Gumam Kayla pada dirinya sendiri.
Kayla menggenggam erat tangannya. Membulatkan tekad untuk mencoba mencintai Avan dan melupakan Raize. Ya, ia bertekad. Sekelebat sosok pria bule lewat di depannya. Jantung Kayla serasa berhenti berdetak, tubuhnya terasa dingin dan kaku. Seketika Kayla berdiri, lalu menoleh pada sosok bule yang baru saja melewatinya. Kaki Kayla berjalan dengan sendirinya mengikuti kemana pria bule itu melangkah. Pandangan mata Kayla kosong seperti terhipnotis. Melihat sosok bule itu semakin menjauh, Kayla mempercepat langkahnya dan menepuk punggung pria itu.
______
"Raize." Panggil Kayla menepuk punggung pria bule itu.
Yang di tepuk tentu saja menoleh, Kayla tertegun. Postur tubuhnya memang mirip dengan Raize, bahkan warna rambut dan cara mereka berjalan, saat mirip. Tentu saja dia hanyalah pria asing lainnya, dan bukanlah Raize. Kecewa? Tentu saja Kayla kecewa. Tubuhnya langsung lemas dan menunduk.
"Maaf, saya pikir kenalan saya." Ungkap Kayla lirih. Pria bule itu pergi.
Di kejauhan Avan tersenyum kecut. Awalnya, Avan bermaksud mengikuti Kayla karena khawatir. Gadis itu tiba-tiba berjalan keluar dengan tatapan kosong yang mencari sosok seseorang. Melihat sebagaimana Kayla merindukan Raize. Hingga salah mengenali seorang pria bule. Hati Avan tersayat-sayat bagai teriris sembilu. Hati pria mana yang tak sakit saat melihat istrinya mengejar lelaki lain. Namun, Avan sudah mempertimbangkannya, sengaja mengambil resiko terluka untuk mengobati wanita memang telah lama ia cintai. Ya, cinta yang membuat segumpal darahnya berkali-kali di hancurkan, namun tetap bersedia utuh lagi untuk menerima luka.
Pria berambut gondrong itu menarik nafas panjang, dan menggenggam dengan tekat menguatkan. Avan berjalan mendekat, meraih jemari Kayla dan menggenggam nya. Tak ada waktu untuk Avan sakit hati ataupun terluka. Saat ini ia harus mengobati Kayla terlebih dahulu. Ia tulus ingin mengumpulkan hati Kayla yang berserak dan menyatukannya. Meski hanya luka balasan yang akan Avan terima. Itu semua tak mengapa, jangan berkata bodoh, ia memang bodoh dalam hal ini.
Kayla menoleh, saat merasakan tangannya menghangat oleh genggaman Avan. Manik mata Kayla berair menatap mata teduh milik pria berambut gondrong itu. Kayla tak mampu mengendalikan diri. Merasa bersalah pada suaminya, juga merasa benci pada dirinya sendiri yang begitu mencintai Raize. Hingga terlupa milik siapa ia kini.
Avan meraih bahu Kayla, membawanya sedikit lebih dekat ke dada. "Tidak apa-apa, menangis lah di sini. Mas akan selalu ada untuk mu."
Air mata Kayla meluncur juga, bahu gadis itu berguncang pelan dalam dekapan sang suami.
"Maafin Kayla, mas."
"Ila nggak salah, Ila hanya mengikuti hati Ila yang masih rapuh. Jangan terlalu membebani diri. Pelan-pelan saja, jangan di paksa untuk lupa, La."
Kalimat yang Avan lontarkan justru menambah rasa bersalah di hati Kayla. Kenapa ia harus menikah dengan pria berhati lapang seperti Avan. Benar, Avan memang pria baik, tapi, ia terlalu baik. Kayla tak ingin menyakitinya, apalagi menjadikan Avan sebagai pelarian.
"Lupakan dia, La. Demi pria baik seperti suamimu." Batin Kayla pada dirinya sendiri.
****
"Udah tenang?" Tanya Avan mengulurkan sebotol mineral dingin pada sang istri yang duduk di anak tangga bangunan resto.
Gadis itu menatap halaman yang berisi beberapa motor pelanggan dan karyawan yang membentang di hadapannya. Di ujung sana, tampak jalan yang di lalui kendaraan bermotor yang lalu lalang tanpa memperdulikan hati Kayla yang kalut.
Kayla mengalihkan pandangannya pada pria berambut gondrong yang kini duduk mensejajari dirinya. Suaminya itu meneguk mineral dari mulut botol karena Kayla tak kunjung menerimanya.
"Mau minum, nggak?" Avan menawari, sadar Kayla tengah memperhatikannya.
Kayla menggeleng, "aku dah minum mas, dari tadi."
Sejenak dalam keheningan berdua, merasai tiupan lembut angin yang membawa udara panas. Menatap ke arah yang sama, pada jalan yang sibuk dengan kendaraan yang melintas.
"Jalan-jalan yuk, La."
Kayla berganti memandang pria yang tengah mengikat asal rambutnya. "Kemana, mas?"
"Jalan-jalan, cari angin."
"Kok cari angin?"
"Habis mau cari apa lagi? Bini udah dapat." Oceh Avan melirik Kayla dari ujung matanya. Gadis itu tersenyum kecil."Rejeki pasti mengikuti jika kita bersyukur dan..."
Avan memandang Kayla yang juga menatap dirinya. "Istri yang selalu mendoakan suaminya." Sambung Avan tersenyum pada Kayla hingga menciptakan cekungan di pipi.
Kayla terdiam, tanpa tau apa yang dia rasakan. Ucapan lembut Avan tak berhasil membuatnya terpikat. Kayla menarik nafas dalam dan mengatur hatinya yang terus goyah oleh bayangan Raize.
"Ayo, mas."
Kayla berdiri dan menepuk bokongnya. Menghilangkan debu yang mungkin menempel di sana. Ia sudah membuat keputusan, dan tak boleh goyah oleh apapun. Ia akan belajar mencintai Avan, dan mengubur dalam masa lalunya.
Kayla membonceng motor Avan. Mengelilingi taman kota dan rehat sejenak di pinggiran danau buatan. Banyak penjaja makanan yang menawarkan dagangannya pada setiap pengunjung yang duduk bersantai di pinggiran danau ataupun yang tengah menggelar tikar di bawah pohon Ketapang.
Avan dan kayla menikmati semilir angin di tepi danau, memandang riak-riak air yang tercipta oleh hembusan angin. Avan memanggil penjual cilok keliling. Memesan untuknya dan untuk Kayla.
"Pedas sedang tanpa saus." Ucap Avan mengulurkan sebungkus cilok pada Kayla. Gadis itu tertegun menerima cilok dengan bumbu kering, sesuai dengan kesukaan nya. Kayla menatap Avan, bagaimana Avan bisa tau apa yang menjadi favorit nya.
"Makan." Ucap Avan lagi duduk di sisi Kayla.
"Mas kok tau aku suka yang seperti ini?"
Avan mengulas senyum, "tentang mu, apa sih yang aku nggak tau, La."
Kayla bungkam, merasa belum cukup lama dekat dengan Avan. Meski mereka sudah mengenal, hanya saling mengenal karena Avan bos kakaknya dulu.
***
"La, Minggu depan mas balik ke Jakarta."
Kayla yang baru selesai mandi dan tengah menyisir rambutnya itu terhenti, raut wajahnya sedikit berubah. Gadis itu mencoba menetralkan kembali hatinya. Jakarta, menjadi tempat yang penuh dengan kenangan bersama Raize. Kembali kesana sama saja membangkitkan lagi kenangannya. Tapi, tak mungkin juga jika ia tetap di sini sementara sang suami di Jakarta.
"Kalau kamu belum siap, nggak ikut nggak papa, La."
"Aku ikut mas aja." Ucap Kayla lirih. Ia tau, kenangan haruslah ia hadapi agar bisa tetap menjadikan nya kenangan. Kayla harus menatap ke depan untuk masa depan.
________
Kayla memandang gedung-gedung pencakar langit. Menghirup lagi udara kota yang lebih banyak polusi daripada di desa yang asri. Hampir setiap sudut kota itu menyimpan kenangan tentang Raize. Kayla lebih menata hatinya, menyiapkan hati untuk melihat kembali hal-hal yang membuatnya terkenang pria bule bermata biru itu.
Mobil yang Kayla tumpangi memasuki sebuah halaman rumah sederhana berlantai satu. Rumah minimalis berpagar hitam yang akan menjadi tempat tinggalnya di masa depan. Rumah itu sedikit mengingatkannya pada rumah yang pernah dia sewa bersama Raize.
"Aahh, Raize, kenapa lagi-lagi aku terpikir olehnya." Gumam Kayla dalam hati. Kayla mengalihkan pandangannya matanya pada pria berambut gondrong yang di ikat asal, yang sedang memarkirkan mobilnya di garasi.
Avan tersenyum tipis pada istrinya.
"Ini rumah kita." Ujar Avan setelah mereka berada di teras berlantai keramik hitam itu. Avan meletakkan beberapa tas dan kardus bawaan dari kampung di samping Kayla berdiri."Ayo masuk."
Avan membuka pintu depan. Aroma pengap menuap karena sudah hampir satu tahun lamanya rumah itu di biarkan kosong. Hanya sebulan sekali rumah itu di bersihkan oleh tukang yang Avan sewa.
"Maaf ya La, mas belum sempat bersihin rumah, tukang yang kemarin meninggal dua bulan lalu."
"Nggak papa mas, bisa Kayla beresin ntar." Ucap Kayla memandang setiap sudut ruang tamu yang mulai di hiasi sarang laba-laba di beberapa sudut.
"Ayo, La. Mas ajak berkeliling rumah dulu, nggak gede kok, kamu nggak akan capek." Ucap Avan berjalan mendahului. Pria itu mulai menunjukan dapur, kamar mandi halaman belakang ruang khusus sholat dan juga kamar.
"Ini kamarmu, kamar ku ada di seberang." Terang Avan sembari meletakkan tas milik Kayla. "Aku tau kamu pasti belum merasa nyaman untuk tidur sekamar dengan ku. Tapi,, jika nanti kamu sudah siap, kamarku tidak pernah di kunci. Atau... Kamu bisa memintaku kemari."
"Terima kasih, mas."
"Aku hanya ingin membuatmu merasa nyaman." Ucap Avan tersenyum damai, "untuk kamar kita bersihkan sendiri-sendiri. Nanti kalau sudah selesai kita bisa selesaikan sisanya bersama. Ini rumah kita, jangan membebani dirimu." Sambung Avan sebelum dirinya keluar dari kamar Kayla.
Kayla menatap punggung milik pria berambut gondrong yang di kuncir sembarang itu. "Mas Avan baik, dia juga tampan. Aku pasti bisa mencintainya lambat laun..."
"Dan melupakan Raize..." Gumam Kayla lirih pada dirinya sendiri.
Setelah Kayla dan Avan membersihkan kamar masing-masing. Mereka lalu bekerja sama membersihkan seluruh rumah, membersihkan debu di bagian atas dan juga jendela. Lalu Kayla menyapu dan Avan mengepel lantai. Sampai siang menjelang, perut keduanya sampai berbunyi di waktu yang bersamaan. Kayla tersenyum dan Avan terkekeh, lalu keduanya larut dalam tawa yang sama.
Untuk mengganjal perut, Avan memesan jasa pesan online. Dan menyantapnya di atas lantai yang belum sempat mereka pel. Meski hanya makan nasi goreng, kedua bisa menikmati kebersamaan. Lalu melanjutkan pekerjaan yaang sempat tertunda hingga menjelang sore.
"Mas, kita nggak ada persediaan buat masak." Ucap Kayla seusai membersihkan isi kulkas.
"Masih kuat belanja nggak?" Tanya Avan dari depan membawa alat pel untuk di simpan lagi di belakang rumah.
"Masih sih, mas."
"Ya udah, ganti baju, terus kita belanja."
Avan membawa Kayla ke sebuah pusat perbelanjaan yang cukup terkemuka di kota. Dalam perjalanan ke swalayan, Kayla dan Avan menyempatkan diri mengunjungi toko baju.
"Itu bagus, La." Ucap Avan melihat gamis sambung berwarna toska."Bisa buat ikut kajian juga."
Avan mengedarkan pandangannya, melangkah ke sudut toko dan kembali lagi dengan membawa jilbab berwarna senada. "Nih, cocok banget kalau sama ini." Ucapnya menempelkan jilbab ke gamis.
"Mahal, mas." Kata Kayla melihat tag nya.
"Nggak sampai 800ribu kok."
"Nggak usah, sayang, mas." Ucap Kayla.
"Coba dulu deh."
"Nggak usah mas."
"Coba dulu." Avan memaksa. Akhirnya Kayla berjalan dengan membawa gamis ke ruang ganti. Setelah menggantinya, Kayla keluar berdiri di depan Avan yang menunggu.
Avan tersenyum, dan mendekat. Memasangkan jilbab di kepala Kayla. Lalu mengacungkan dua jempol nya.
"Mas mau Kayla pake jilbab?"
"Mas tau ila mungkin belum siap. Jadi, pakai aja kalau pas kita keluar rumah. Di mall misalnya, mas kek nggak rela rambut ila di lihat pria lain." Ucap Avan tersenyum menandang wajah Kayla.
Kayla ikut tersenyum, ia tak merasakan getaran apapun. Jika ia mencintai suaminya kini, pastilah wajahnya sudah bersemu merah mendengar ucapan Avan. Tapi, ia hanya merasa tak nyaman. Pikiran Kayla masih terpaut pada Raize.
Akhirnya, Kayla, keluar dari toko dan membeli tiga gamis beserta jilbabnya. Tentu saja, Avan yang membayar, karena jatah bulanan Kayla siapkan untuk keperluan dapur.
Setelah membeli beberapa bahan makanan. Pasangan muda itu kembali ke rumah tak lupa mereka mampir sebentar ke resto milik Avan. Di kota sendiri Avan sudah punya dua, satu kafe kopi Manis dan satu resto Ndeso. Menyempatkan untuk sekedar mengisi perut sebelum pulang. Begitu sampai di rumah, Kayla langsung menata isi kulkas dan tidur begitu selesai. Karena memang ia sangat kelelahan karena seharian membereskan rumah.
Satu Minggu berlalu, Kayla pun sudah mendapat pekerjaan di salah satu RS tak jauh dari rumah. Hari itu Kayla masuk shift siang, sehingga setelah selesai membuat sarapan untuk Avan, ia kembali tidur. Lalu baru bangun sebelum Zuhur.
Kayla mengerjab, melihat jam di dinding kamar. Kayla mengucek matanya, dan mengecek gawainya. Ada beberapa pesan dari rumah sakit, dan pesan dari suaminya. Kayla duduk terbangun dan membaca pesan dari Avan.
("La, nafkah bulan ini mas letak di bufet ruang tengah.")
Hanya itu, tak ada pesan lain dari Avan. Setelah menjawab ok, Kayla bergegas mandi sekalian mengambil wudhu untuk menjalankan sholat Zuhur nya.
Kayla menatap wajahnya di cermin, ia memang masih belum memakai penutup kepala. Avan memang pernah membelikannya jilbab dan gamis. Namun, tak sekalipun Kayla pernah memakainya. Bahkan saat mengikuti kajian bersama sang suami.
Kayla mengambil tas kerjanya, lalu berjalan keluar kamar. Kayla teringat pesan dari Avan saat ia melewati ruang keluarga. Kayla melangkahkan mendekati bufet, lalu mengambil amplop di sana. Dahi Kayla mengernyit, ada dua amplop. Kayla membaca tulisan di luarnya. Jatah bulanan dan satu amplop lagi bertuliskan nafkah Kayla.
Gadis itu tertegun, kenapa Avan membedakan jatah bulanan dan nafkah untuknya. Kayla membuka amplop jatah bulanan, nominal yang sama seperti bulan lalu. Menurut Kayla, itu sudah sangat banyak. Bulan kemarin saja masih bersisa, sangat cukup untuk kebutuhan dapur dan dirinya. Meski begitu, Kayla mencoba membuka amplop nafkah untuknya. Mulut Kayla melebar, menghitung uang di dalamnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!