...Akhirnya, aku akan bertemu dengannya hari ini.......
.......
.......
.......
Seorang gadis cantik tampak sedang berdiri sambil menatap ke luar jendela kantornya yang memperlihatkan pemandangan gedung-gedung pencakar langit yang sangat tinggi.
Tangan kanannya memegang satu gelas iced coffee, sementara tangan kirinya memegang ponsel yang menempel di telinganya.
“Jadi, bagaimana, pak pengacara? Apa semuanya sudah beres?”
Ia diam sesaat, mendengarkan apa yang dikatakan oleh lawan bicaranya di telepon.
“Kalau begitu, aku bisa menjemputnya hari ini, kan?”
“Baiklah, terima kasih banyak pak.” Senyum mengembang terpatri jelas di wajahnya.
Bagaimana tidak? Ia telah menunggu cukup lama, dan akhirnya saat yang ditunggu-tunggunya itu datang juga. Sumber kebahagiaannya akan datang hari ini. Ia menyeruput habis iced coffee yang tersisa di gelas dan membuangnya ke dalam tong sampah yang ada di dekat meja kerjanya. Ia meraih tas tangannya dan segera meninggalkan kantor menuju tempat parkir.
Ia membawa mobilnya meluncur ke kawasan Jakarta Timur. Setelah berkendara kurang lebih 2 jam, mobil Lexus putihnya berhenti di depan sebuah gedung berukuran sedang dengan papan nama besar bertuliskan ‘Panti Asuhan’ di depannya.
Ia turun dari mobil dan dengan penuh semangat melangkah cepat ke dalam panti asuhan tersebut. Setelah tiba di dalam, ia langsung mendekati meja penerima tamu.
“Permisi mbak, saya ke sini untuk menjemput anak yang akan saya adopsi.”
“Atas nama siapa?” tanya seorang wanita muda yang sedang bekerja di balik meja penerima tamu sambil tersenyum ramah.
“Atas nama Jane Chandra.”
“Baik, sebentar ya, akan saya periksa dulu.” Wanita itu lalu berdiri dan menghilang di balik ruang administrasi yang terletak di belakang meja penerima tamu. Tak butuh waktu lama, wanita itu kembali ke balik meja.
“Ibu Jane Chandra.”
“Iya.” Jane langsung menatap wanita itu dengan senyum di wajahnya.
Wanita itu membaca sebuah berkas yang ada di tangannya dan sedikit mengernyit sebelum akhirnya menatap Jane dan mengatakan, “Maaf, tapi bayinya telah di jemput tadi siang.”
Giliran Jane yang mengetnyitkan keningnya.
“Apa? Sudah dijemput? Siapa yang menjemputnya?”
...***...
Jane memarkirkan mobilnya dengan asal di halaman sebuah rumah yang cukup besar. Ia bergegas keluar dan agak sedikit membanting pintu mobil saat menutupnya. Dengan langkah lebar, Jane memasuki rumahnya dengan tidak sabar. Senyum mengembangnya sudah hilang, digantikan dengan wajah yang cemberut dan memerah menahan amarah.
Jane kembali ingat jawaban dari wanita muda di panti asuhan tadi.
“Seorang pria paruh baya yang menjemputnya. Pria itu mengaku sebagai ayah anda, namanya Benny Chandra. Dia juga membawa surat dari pengacara anda."
Wajah Jane semakin cemberut. Ia masuk dan langsung disambut oleh seorang wanita paruh baya yang langsung membungkukkan badan sopan padanya. Jane berhenti berjalan dan langsung menodongnya dengan pertanyaan, “Dimana Papa?”
"Bapak ada di ruang keluarga, Non," jawab wanita paruh baya yang tak lain adalah pembantu rumah tangga di rumah mereka. Tanpa mengatakan apa pun lagi, Jane langsung berjalan ke ruang keluarga di mana papanya berada.
Jane sampai di depan sebuah pintu kayu tinggi yang dibaliknya ada sebuah ruangan yang biasa mereka sebut ruang keluarga. Ia mendorong pintu dengan cepat dan langsung melangkah masuk. Seorang pria paruh baya sedang duduk di atas sofa kulit berwarna hitam. Seperti biasa, menyanding buku ekonomi bisnis tebalnya. Dia adalah Papa Jane.
“Papa,” sapa Jane sambil berusaha terdengar sopan.
“Kamu sudah datang rupanya.”
Jane mendengus pelan. Pasti papanya sudah merencanakan ini semua.
“Kalau kamu mau marah, marah saja. Tidak perlu berpura-pura menyapa sopan begitu. Ini tidak seperti dirimu,” dia berucap ringan di balik kacamata tebalnya. “Biasanya kamu sangat kritis dan pemarah.”
“Bagaimana bisa Pa—”
“Papa tidak mempermasalahkan lagi perihal kamu ingin mengadopsi anak. Tapi Papa tidak mau kamu melajang seumur hidup dan mengurusi anak yang bukan anak kandungmu.”
“Apa?”
Buku tebal itu sudah tidak lagi berada di depan hidungnya. Buku itu sudah di hempaskannya ke atas meja yang di samping kirinya. Kedua pupilnya kini menatap Jane dengan tajam dan serius.
“Papa tahu persis apa yang ada di kepalamu. Kamu berencana untuk tidak menikah, kan?”
Jane mendecak kesal.
Selalu saja begini. Jane benci mengakui kalau papanya selalu berhasil membaca apa yang ada di pikirannya.
“Kamu pikir Papa akan membiarkannya? Tidak. Ingat Jane, kamu adalah satu-satunya anak Papa.” Kata Papa dengan suara tegas.
Ya, dirinya memang anak tunggal, dan itu adalah fakta yang membuat Jane semakin kesal. Karena ia adalah satu-satunya.
Kedua mata papanya tidak lagi menatap Jane dengan tajam. Dia melepas kacamatanya dan mengelap lensanya dengan santai. “Kamu boleh merawat bayi itu. Tapi dengan satu syarat."
Oh, tidak. Jangan katakan.
“Kamu harus menikah terlebih dahulu.”
Yup. Hari yang buruk. Semua ekspektasi Jane berubah menjadi realita yang sangat-sangat menyebalkan.
“Kalau harus menikah, untuk apa aku mengadopsi bayi?” protes Jane tidak terima. Bagaimana bisa rencana yang telah ia susun sedemikian rupa sejak lama dihancurkan begitu saja oleh papanya.
“Papa tidak mau tahu. Sebelum kamu menemukan calon suami, bayi itu akan tinggal di sini, dan kamu tidak boleh menemuinya.”
“Papa!”
“Dan satu lagi,” Papa langsung memotong ucapan Jane. "Ada apa dengan warna rambutmu?"
Jane langsung menoleh pada rambut ungunya yang tergerai di bahu, yang baru saja ia warnai minggu lalu.
"Cepat cat kembali rambutmu itu."
...***...
Tidak mudah mencari calon suami mengingat fakta bahwa Jane telah memiliki seorang anak.
Kenapa sulit?
Karena Jane tidak memberitahu mereka kalau anaknya itu adalah anak adopsi. Ia berbicara dan bertingkah seakan-akan dirinya adalah gadis berusia dua puluh lima tahun yang belum pernah menikah namun sudah memiliki satu orang anak. Tak jarang para laki-laki yang ditemuinya terkejut mendengarnya. Tapi Jane melakukan ini demi kebaikan anaknya. Ia ingin mendapatkan suami yang tulus menerima dirinya yang telah memiliki anak, sehingga mereka akan menyayangi anaknya itu seperti anak mereka sendiri. Karena Jane tahu tak sedikit laki-laki yang hanya berlaku manis di depan saja. Dan ia tidak mau jatuh ke tangan laki-laki semacam itu.
Hari demi hari berlalu, dan Jane semakin frustasi karena papanya mulai mencercahnhya dengan berbagai kata-kata, seperti:
“Batas waktunya akhir bulan ini, berarti minggu depan. Kalau tidak, Papa akan kembalikan lagi bayi itu ke panti asuhan.”
Atau.....
“Apa saja yang kamu lakukan, sih?”
Entahlah, mana mungkin Jane menceritakan semua yang ia katakan pada setiap calon suaminya itu kepada papanya. Bisa-bisa semua akan semakin runyam.
“Cepat ganti pakaianmu dan bersiap-siaplah.”
“Lagi?” Jane menatap papanya dengan tatapan malas.
“Ini untuk terakhir kalinya. Papa hanya ingin membantumu. Jangan kecewakan Papa lagi.” Jawab Papa tegas.
“Baik, aku mengerti.” Jane menunduk lemas dan berlalu untuk bersiap-siap. Ia menghela napas berat, entah laki-laki macam apa lagi yang harus dihadapinya kali ini.
...***...
Pukul empat sore, Jane telah berdiri di depan sebuah restoran besar di kawasan Jakarta Selatan. Restoran yang telah menjadi tempat yang rutin ia kunjungi seminggu sekali karena Papa selalu mengatur pertemuan dengan setiap laki-laki pilihannya di sini. Jane sampai bosan harus datang ke sini.
Sekali lagi Jane mengecek penampilannya pada pintu kaca yang ada di hadapannya. Saat ini ia mengenakan dress selutut berpotongan simple dengan warna broken white dipermanis dengan bolero berwarna hitam. Rambut panjangnya yang telah ia cat cokelat di gerai dengan elegan. Tak lupa ia melengkapi penampilannya dengan sepatu heels berwarna senada dan tas tangan hitam bermerek Dior.
Penampilannya sudah cukup menunjukkan kalau dirinya berasal dari kalangan berada. Karena semenjak kemarin setiap laki-laki yang diatur oleh papanya kebanyakan adalah seorang CEO atau pewaris perusahaan keluarga. Jane tidak punya pilihan lain selain menerimanya.
Semoga saja hari ini berhasil, walaupun tipis harapan laki-laki yang akan ditemuinya itu mau menerima dirinya.
Hanya satu motivasi yang membuat Jane tetap melakukan semua ini. Karena ia ingin cepat-cepat bertemu dengan bayi yang diadopsinya.
Jane menarik napas dalam sebelum akhirnya mendorong pintu dan memasuki restoran tersebut.
...----------------...
...- Jane -...
..."Sebelumnya, ada sesuatu yang harus kamu ketahui..." ...
..."Aku sudah memiliki satu orang anak." ...
.
.
.
Jane berjalan masuk ke dalam restoran dan langsung menghampiri meja bernomor sepuluh, meja yang sudah dipesankan oleh papanya. Sepertinya ia datang lebih awal dibanding laki-laki yang akan ditemuinya itu, karena meja yang ada di hadapannya itu masih terlihat kosong. Jane menarik napas pelan dan mendudukkan dirinya di sana. Seorang pelayan berjalan menghampiri Jane tidak lama setelah ia duduk. Setelah mengatakan kalau dirinya sedang menunggu seseorang, pelayan itu mengangguk mengerti dan pergi. Jane melihat sekitar sebentar, lalu ia merogoh tas tangannya dan mengeluarkan ponselnya. Saat dirinya sedang menyibukkan diri dengan ponsel di tangannya, tiba-tiba ia mendengar namanya dipanggil.
"Jane Chandra?"
Suara seorang laki-laki menginterupsinya. Jane mendongak dan melihat seorang pemuda bertubuh jangkung sedang berdiri di sebelah mejanya.
"Perkenalkan, namaku Felix Setiawan," ujar laki-laki itu dengan ekspresi wajah yang datar sambil mengulurkan tangannya untuk bersalaman.
"Ah, iya," Jane berdiri dan langsung menyambut tangan laki-laki tersebut. "Salam kenal, Felix."
Sekarang Jane dapat melihat dengan jelas tampang laki-laki di hadapannya ini. Dia mengenakan kaos putih polos berkancing yang dipadu dengan blazer berwarna cokelat muda, dengan celana panjang bahan berwarna senada dengan kaosnya membalut kaki jenjangnya. Sepasang sepatu hitam mengkilap terpasang di kakinya.
Gagah dan tampan, itulah kesan pertama yang Jane dapatkan darinya. Sama seperti pemuda-pemuda lainnya yang sudah ia temui sebelumnya. Hanya saja pemuda yang muncul kali ini terlihat lebih muda dan bertubuh sangat tinggi. Jane saja harus mendongak untuk melihat wajahnya. Berapakah tingginya? Pasti dibatas seratus delapan puluh sentimeter. Oh, dan tidak lupa suaranya yang sangat halus.
Laki-laki bernama Felix ini langsung memanggil pelayan begitu mereka duduk. Setelah memesan, Felix mulai bertanya.
"Berapa umurmu?"
"Dua puluh lima tahun," jawab Jane singkat, agak canggung.
"Umur kita tidak terlalu jauh, aku dua puluh enam tahun," jawab Felix masih dengan ekspresi datar di wajahnya.
Jane mengangguk pelan. Agak ragu untuk menanyakan haruskah ia memanggil Felix dengan sebutan 'kakak'. Tapi sepertinya panggilan itu sedikit memalukan mengingat mereka yang baru saja saling mengenal.
"Terserah kamu mau memanggil aku apa. Tidak perlu terlalu formal karena perbedaan umur kita juga hanya satu tahun," ujar Felix seakan dapat membaca pikiran Jane. Jane tersenyum kikuk menanggapinya. Ia merasa bingung, bukan karena Felix yang seperti dapat membaca pikirannya, tapi tidakkah laki-laki ini terlalu dingin?
Percakapan mereka berhenti di situ. Ditambah saat makanan mereka datang, tidak ada satu pun dari mereka yang membuka suara. Jane tidak suka dengan keadaan seperti ini. Ia sedang berkencan, tidak bisakah laki-laki di hadapannya ini berbasa-basi? Seperti sekedar menanyakan pekerjaan, hobi, motto hidup atau mungkin tipe ideal. Tapi tampaknya itu tidaklah penting. Ayolah, mereka juga sama-sama tahu pertemuan ini bertujuan satu, yaitu pernikahan.
"Uhm... Felix," akhirnya Jane memberanikan diri membuka suara. Mata pemuda itu beralih dari piringnya kini menatap Jane.
"Sebelumnya, ada sesuatu yang harus kamu ketahui," kata Jane sambil meletakkan sendok dan garpunya. Felix tetap bungkam, dia memilih untuk menunggu Jane meneruskan kalimatnya sambil memainkan sendok yang ada di tangannya.
"Aku sudah memiliki satu orang anak."
Gerakan tangan Felix berhenti dan dia menatap Jane tak berkedip.
Yup, Jane sudah memperkirakan ini. Sudah pasti laki-laki di hadapannya ini tidak mau menerima dirinya. Jane tersenyum miris. Ia mengangkat kembali sendok dan garpunya lalu menyuapkan makanan ke dalam mulutnya ketika Felix akhirnya bersuara.
"Berapa umurnya?" Tanya Felix.
"Hm?" Jane menatap Felix dengan mata agak melebar. Ia tidak menyangka Felix akan menanyakan umur anaknya. Biasa para pemuda yang ditemuinya akan bertanya apakah dirinya sudah pernah menikah sebelumnya. Jane pun menjawab dengan agak tergagap. "O-oh, tiga bulan. Ya, u-umurnya baru tiga bulan."
"Masih kecil ya rupanya."
Jane tersenyum tipis menanggapinya.
"Baiklah kalau begitu."
Jane kembali menatap Felix dengan kening berkerut. "Baiklah? Apanya?"
Felix meletakkan sendok dan menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. "Baiklah, aku akan menikah denganmu."
Jane hampir saja tersedak. Ternyata benar perkataan orangtua bahwa kita tidak boleh makan sambil berbicara. Jane nyaris saja menyemburkan potongan steak yang sedang dikunyahnya ke wajah Felix.
Apakah ia tidak salah dengar? Apa katanya tadi? Dia mau menikah dengan Jane?
Di saat semua laki-laki menolaknya mentah-mentah setelah mengetahui ia sudah memiliki satu anak, ya walaupun hanya anak adopsi dan Jane menyembunyikan fakta itu dari mereka, tapi Felix malah mau menikah dengannya? Jane terbatuk pelan dan langsung meminum air putih yang ada di hadapannya.
"Jadi, kapan kita akan bertemu lagi? Bagaimana kalau besok kita makan di tempat lain, dan aku akan kerumah mu di akhir pekan? Aku ingin melihat anakmu," kata Felix santai sambil kembali memotong steak di piring dan memasukkannya ke dalam mulut.
"Apa kata mu barusan?" Otak Jane tampaknya masih belum dapat mencerna semua perkataan Felix dengan baik.
"Aku bilang bagaimana kalau besok kita jalan lagi? Dan aku juga ingin melihat anakmu, jadi gimana kalau aku ke rumah mu di akhir pekan? Sekalian bertemu dengan orangtuamu juga. Baru setelah itu kita bicarakan tanggal pernikahannya," jawab Felix masih terdengar santai.
Jane tidak bisa berkata-kata. Ia akhirnya hanya bisa berdeham pelan mengangguk kikuk. Otaknya masih berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi. Laki-laki ini setuju menikah dengannya? Dirinya benar-benar akan menikah?
Jane menatap steak yang masih ada separuh di piringnya. Selera makannya sudah hilang entah kemana. Ia akhinya hanya menusuk-nusuk steak di piringnya dan terus-terusan melirik Felix yang tetap terlihat tenang dan biasa saja.
...***...
"Mama!"
Jane langsung menghambur memeluk wanita paruh baya yang baru saja berjalan masuk ke dalam ruang keluarga. Dia adalah Emma William Chandra, Mama Jane.
"Putriku, Jane," Mama balas memeluk Jane.
"Aku kangen sekali sama Mama," Jane berujar manja.
"Mama juga, Sayang."
"Mama kenapa baru kembali sekarang? Andaikan Mama kembali sebelum Papa memutuskan perjodohan dan pernikahanku," keluh Jane begitu melepas pelukannya.
"Ada banyak hal yang harus di urus di kantor cabang di Jepang, Sayang." Mama mengelus rambut cokelat putri semata wayangnya itu. "Sayang, Mama memang seringkali berhasil membuat papamu itu berubah pikiran. Tapi kali ini Mama sependapat dengan Papa. Mana ada seorang ibu yang mau putrinya melajang seumur hidup. Lagipula, Mama yakin laki-laki yang dipilihkan oleh papamu pasti yang terbaik dan pantas untukmu. Kamu juga sudah menyetujui untuk menikah dengannya, kan?"
Jane terdiam. Ya, memang benar ia akhirnya menerima pernikahan ini. Tapi tentu saja karena keadaan yang membuatnya tidak mungkin menolak lagi. Ia tidak ingin bayi yang sudah diadopsinya itu dikembalikan lagi ke panti asuhan.
"Ngomong-ngomong, Mama sudah tidak sabar ingin bertemu dengan cucu Mama," ujar Mama lalu merangkul Jane menuju kamar sang bayi yang ada di lantai atas.
...----------------...
...- Felix -...
Hari minggu sore, Felix datang ke kediaman keluarga Jane untuk melihat anaknya sekaligus menemui kedua orangtua Jane dan membicarakan soal pernikahan mereka.
Papa terlihat begitu senang menyambut kedatangannya. Bagaimana tidak? Setelah sekian lama akhirnya ada juga laki-laki yang melamar anaknya. Mereka mengobrol panjang lebar dan Papa tidak henti-hentinya tersenyum senang. Felix juga tidak sedingin saat pertama kali makan malam bersama Jane tiga hari yang lalu. Papa baru melepaskan Felix saat Jane mengatakan bahwa laki-laki itu ingin melihat anaknya.
Mereka pun naik ke lantai dua. Felix menunggu di ruang duduk lantai dua sementara Jane masuk ke kamar. Tidak lama kemudian Jane keluar sambil menggendong seorang bayi mungil yang dibalut selimut berwarna baby blue. Jane mendekat ke arah Felix dan duduk di sebelahnya.
“Ini anakku. Dia laki-laki, dan namanya Aiden,” ujar Jane sambil menunjukkan wajah Aiden kepada Felix. Felix tertegun sesaat.
“Boleh aku menggendongnya?” tanya Felix tanpa mengalihkan pandangannya dari Aiden.
“Iya, tentu.” Jane memberikan Aiden ke pelukan Felix.
Felix terus memandangi wajah tertidur Aiden lekat-lekat. Kemudian sebuah kurva tercipta di parasnya. Laki-laki yang Jane anggap sedikit dingin itu tersenyum. Ya, barusan dia tersenyum. Jane melebarkan matanya. Ini pertama kalinya dia melihat laki-laki itu tersenyum tulus sejak bertemu dengannya tiga hari.
‘Dia bisa tersenyum juga,‘ batin Jane.
Felix mencium kening Aiden dengan sangat hati-hati. Dan Jane tertegun sesaat. Kenapa pemandangan ini sangat… indah. Seakan-akan Felix adalah seorang ayah yang baru pertama kali bertemu dengan anaknya. Dan tanpa disadarinya, sebuah senyum tipis terbentuk di bibir Jane.
...***...
Jane bersedekap, menatap tiga gaun pengantin yang terpampang di hadapannya. Saat ini ia sedang berada di butik untuk memilih gaun pernikahannya. Ia kemudian berjalan mengintari tiga gaun tersebut sambil memperhatikan setiap detail yang ada di gaun.
Jane berhenti di depan satu gaun berwarna broken white berlengan pendek dengan potongan kerah lebar dengan hiasan bunga-bunga putih di keselurahan bagian atas gaun tersebut.
“Sepertinya yang ini saja. Bagaimana menurut kalian?,” ujar Jane sambil menatap dua orang petugas wanita yang ada di hadapannya.
“Pilihan yang bagus, Nona Jane. Gaun ini pasti akan terlihat sangat cantik dipakai oleh Anda,” jawab salah satu petugas wanita itu sambil tersenyum ramah dan mengangguk.
Jane ikut tersenyum. "Oke, aku pilih yang ini saja."
Petugas wanita itu langsung mengambil gaun yang Jane pilih dan memberikannya kepada petugas yang satunya untuk dibawa ke ruang ganti.
"Anda bisa kembali ke ruang ganti dulu. Saya akan mempersiapkan dress ini untuk dicoba terlebih dahulu," kata petugas itu sopan. Jane mengangguk dan berjalan keluar dari ruang penyimpanan.
“Sudah dapat gaunnya?” Tanya Felix begitu melihat Jane keluar. Jane mengangguk dan mendudukkan dirinya di samping Felix yang sedari tadi menunggunya memilih dress di ruang ganti.
Tak lama kemudian petugas wanita yang tadi muncul dari balik tirai partisi berwarna cokelat tua yang ada di dalam ruang ganti ini. Jane langsung berdiri dan mengikuti petugas tersebut.
Tidak butuh waktu lama untuk mengenakan gaun tersebut, karena memang gaun yang dipilih Jane ini tidak memiliki desain yang rumit dan ternyata sangat pas di badannya, tidak terlalu sempit namun tidak kedodoran juga.
Setelah selesai dan memastikan gaunnya sudah terpakai dengan rapi di depan cermin satu badan hadapannya, Jane tersenyum puas.
Petugas tersebut langsung menekan satu tombol kecil yang ada di dekat cermin dan tirai langsung membuka secara otomatis, memperlihatkan Felix yang sedang duduk di sofa sambil membaca satu majalah fashion di tangannya.
Felix mendongakkan kepalanya dan dia tertegun sesaat. Felix menatap Jane yang ada di hadapannya tanpa berkedip, lalu satu senyuman muncul di wajahnya.
"Bagus sekali. Gaunnya sangat cocok denganmu," ujar Felix masih tersenyum.
Jane merasakan pipinya agak panas. Ia langsung menunduk, dan berpura-pura sibuk membetulkan bagian bawah gaunnya, berharap semoga saja wajahnya tidak memerah.
...***...
Felix mengendarai mobil BMW hitamnya keluar dari parkiran butik. Jane duduk di sebelahnya sambil menatapi satu buku catatan kecil yang ada di tangannya.
“Semuanya sudah, kan?” Felix melirik Jane sekilas lalu kembali fokus pada jalanan di depannya.
Jane mengangguk sambil menutup bukunya. Seharian ini mereka sibuk mengurus segala hal untuk acara pernikahan mereka yang akan diadakan dua minggu lagi. Mereka sudah menyewa gedung, memilih tema pernikahan, warna bunga, hidangan yang akan disajikan serta gaun pengantinnya.
"Aku tidak menyangka kalau mempersiapkan pernikahan bisa semerepotkan ini," ujar Jane sambil mencebikkan bibirnya.
Felix tersenyum mendengar ucapan Jane. Dia melirik jam di dashboard mobilnya. Sudah pukul setengah tujuh sore.
“Bagaimana kalau kita makan malam dulu sebelum aku mengantarmu pulang kerumah?” Tanya Felix sambil melirik ke arah Jane.
"Boleh. Memilih gaun pengantin membuatku sangat lapar," jawab Jane sambil mengangguk setuju. Felix lagi-lagi tersenyum mendengar ucapan Jane.
...***...
Jane dan Felix jalan bersisian di sekitar kawasan Jalan Sudirman. Mereka sudah selesai makan malam dan memilih untuk berjalan-jalan sebentar sebelum kembali kerumah. Keduanya kelihatan lelah dan diliput kebisuan. Saking kelelahannya membuat Jane terus menunduk. Felix menariknya saat seorang pemuda nyaris saja menabraknya.
“Hati-hati.” Kata Felix pelan. Jane tersenyum kecil melihat perlakuannya.
“Felix, ada yang ingin aku tanyakan," kata Jane akhirnya. Pemuda jangkung itu berdeham menanggapinya.
“Kenapa kamu mau menikah denganku?”
Langkah Felix terhenti, begitu juga dengan Jane.
“Kenapa kamu bertanya seperti itu?”
“Aku hanya... ya... penasaran. Karena ini tidak seperti kita menikah karena saling mencintai.” Jawab Jane. Felix kembali berjalan, membuat Jane harus kembali menyesuaikan langkah.
“Karena... anakmu lucu?”
Jane menatap Felix heran. “Aiden bukan satu-satunya bayi yang lucu di dunia ini, kan? Apa mungkin kamu akan menikahi ibunya karena anaknya lucu?” cibir Jane. Felix tersenyum kecil menyadari jawaban bodohnya.
“Begini saja, anggap saja kita saling membutuhkan.”
Jane terdiam dan menatap ke arah Felix.
“Aku butuh pendamping dan kamu butuh seorang ayah untuk anakmu, dan juga karena papamu.” Felix melirik Jane dan tersenyum tipis.
Ah, begitu maksudnya. Tapi tetap saja, bagaimanapun juga mereka akan menikah sungguhan.
“Tapi,” Jane menggantung kalimatnya. Masih ada sesuatu yang mengganjal pikirannya.
“Apa lagi?” jawab Felix masih sabar menghadapi pertanyaan-pertanyaan gadis itu.
“Aku harus menyesuaikan diri dulu. Iya, kita akan menikah. Tapi aku belum bisa.....yah, kau tahu.”
Felix menghentikan langkahnya lagi, membuat gadis itu juga melakukan hal yang sama. Tangannya terangkat menyentuh pundak Jane, dibaliknya tubuh gadis itu menghadapnya. Matanya bertemu dengan mata cokelat gadis itu.
“Jane, hal itu bukanlah tujuanku menikah denganmu. Jadi aku tidak akan memaksamu. Lakukan saja apa yang membuatmu nyaman.”
Jane menatap Felix datar, lalu sebuah senyum merekah di bibirnya.
...***...
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba juga.
Hari ini, Jane telah resmi menjadi istri seorang Felix Setiawan. Mereka baru saja mengucap janji suci di hadapan pastur, kedua orangtua Jane serta puluhan tamu undangan lainnya.
Seorang gadis pembawa bunga membawakan sepasang cincin yang akan mereka kenakan. Felix hari ini tampak gagah, mengenakan setelan serba putih dengan dasi berwarna cokelat, serta sepatu hitam yang tampak mengkilap. Rambutnya disisir rapi, benar-benar terlihat sangat tampan. Jane melihat papa dan mamanya yang terus tersenyum sumringan. Mereka benar-benar senang mendapat menantu yang gagah seperti Felix. Felix memakaikan cincin berhias batu Swarovski itu pada jari manis Jane, begitu juga sebaliknya. Para hadirin bertepuk tangan seusai mereka saling bertukar cincin. Jane masih memasang senyum menawannya sampai sang pastur mengatakan.
“Sekarang kamu dapat mencium pengantinmu.”
Senyum Jane sontak luntur tergantikan ekspresi panik. Jane tidak memperkirakan hal ini. Felix memang baik, dan dia sekarang merupakan suaminya. Tapi berciuman? Jane belum siap.
Jane semakin panik saat Felix memajukan wajahnya.
“F-Felix,” lirihnya.
Felix hanya tersenyum, tak menanggapi kepanikan istrinya itu. Papa Jane masih bertepuk tangan senang di bangkunya. Tidak sabar melihat kedua pasang pengantin baru itu menunjukkan bukti cinta mereka.
Dan kini wajah mereka berdua hanya berjarak satu mili. Jane tidak dapat berbuat apa-apa lagi, ia menutup matanya dan berharap semua secepatnya berakhir.
Para hadirin bersorak dan bertepuk tangan melihat pemandangan di hadapan mereka. Meninggalkan Jane yang mengerutkan keningnya kebingungan.
Sudut bibir.
Felix tidak mencium bibirnya, tapi hanya sudut bibirnya.
...***...
Sederetan acara pernikahan mereka sudah selesai. Jane dan Felix kini sudah berada di rumah baru mereka. Sebuah apartemen mewah yang terletak di Jakarta Selatan. Tidak hanya upacara pernikahan, resepsi pernikahan pun menguras tenaga mereka berdua. Jane masih ingat bagaimana tadi Felix meminta maaf karena telah menciumnya. Padahal pria itu juga sudah mengerti dengan tidak mencium bibirnya.
Setelah berganti pakaian, kini saatnya mereka akan beristirahat.
“Kamarnya hanya ada dua, satu untuk Aiden dan satu lagi untuk… kita,” ujar Felix sambil memperlihatkan dua kamar, kamar yang agak kecil untuk Aiden dan yang besar untuk…mereka berdua.
Sejenak mereka menatap canggung satu sama lain. Felix kemudian berdeham untuk menetralisir suasana.
“Kamu kelihatannya lelah, hari ini biar aku tidur bersama Aiden. Kamu tidur saja di kamar,” ujar Felix.
Di kamar Aiden terdapat sebuah single bed yang memang disediakan jika Jane harus tidur bersama Aiden atau untuk Aiden kalau sudah agak besar nanti. Jane mengangguk canggung. Kamar Aiden dan kamar utama terletak berhadapan.
“Selamat malam,” ucap Felix sebelum akhirnya menghilang di balik pintu kamar Aiden.
“I-iya, selamat malam.”
...***...
Mentari bersinar terang, cahaya kekuningannya masuk ke celah-celah jendela kamar utama. Membuat suhu kamar menjadi hangat. Jane menggeliat di atas kasur king size nya. Ia lalu terduduk, masih berusaha mengumpulkan kesadarannya.
Jane bangkit dan berjalan menuju kamar Aiden. Namun alangkah terkejutnya Jane saat menemukan box bayi di kamar itu dalam keadaan kosong.
Oh apakah dia ceroboh lagi? Dimana dia lupa meletakkan Aiden?
Jane segera menuruni tangga menuju lantai satu. Sepi. Tidak ada siapa pun di ruang tamu ataupun di dapur. Tapi kemudian Jane merasa ada yang aneh.
Dia ada dimana?
Sibuk berkecamuk dengan pikirannya membuat Jane tidak mendengar suara pintu luar terbuka. Felix masuk sambil mendorong kereta bayi.
“Kamu sudah bangun rupanya,” ujar Felix dan itu mengejutkan Jane.
Astaga, Jane baru ingat kalau sekarang dia tidak sendirian, dia sudah memiliki suami.
“K-kamu darimana?” tanya Jane sambil berusaha menutupi rasa kagetnya.
“Aku habis mengajak Aiden jalan-jalan pagi.” Felix menenteng beberapa kantong plastik ke arah dapur.
“Kamu mau sarapan apa?”
Jane mengikuti Felix ke dapur. “Kamu bisa memasak?”
“Iya, memangnya kenapa? Oh iya, tadi aku mampir ke minimarket dan membeli susu dan telur. Sepertinya omelette cukup untuk sarapan.”
Jane menatap Felix heran. Dia itu seorang suami atau pembantu sih? Pagi-pagi dia sudah membawa Aiden jalan-jalan dan sekarang dia akan membuat sarapan juga. Jane menggaruk lehernya yang tidak gatal.
Jane pun berjalan mendekat dan membantu Felix menyiapkan sarapan pagi. Sambil makan, mereka berencana untuk membeli kebutuhan Aiden dan beberapa perlengkapan rumah. Setelah selesai sarapan, mereka langsung bersiap-siap dan meninggalkan rumah menuju supermarket.
Mereka masuk ke supermarket dengan Jane yang menenteng satu tas berisi perlengkapan bayi dan mendorong kereta bayi, sementara Felix mendorong troli.
"Sini, berikan tasnya padaku," kata Felix sambil meraih tas yang ditenteng Jane. Dia kemudian meletakkan tas itu di dalam troli yang ia dorong. Mereka menyusuri setiap lorong dan memilih-milih apa yang akan mereka beli.
“Ini dia, di sini tempat pampersnya.”
Jane berdeham sambil mengamati satu-persatu merk pampers di hadapannya.
“Hmm, yang ini saja.” Jane mengangkat sekantung pampers dan menunjukkannya pada Felix yang mendorong troli di sebelahnya.
“Hei, Aiden itu baru saja lahir. Beli yang ukuran baru lahir atau S, bukan yang ini,” protes Felix di sebelahnya.
Jane merapatkan bibitnya dan kembali mengamati merk-merk pampers yang ada di rak. “Beli yang ukuran S… ” gumamnya.
“Ah, ini dia. Ukuran S.” Jane hendak mengambil pampers itu saat terdengar protes lagi dari Felix.
“Jangan beli yang itu.” Felix maju dan ikut mengamati rak. "Ini. Iya, beli yang ini. Pampers ini bahannya dua kali lebih lembut. Kita ambil yang isinya 100.” Felix mengambil pampers dengan merek yang berbeda dengan pilihan Jane.
“Selanjutnya, botol susu.” Jane tertarik dengan botol susu berwarnya biru muda dengan hiasan gajah di tutupnya.
“Jangan, yang ini saja. Karetnya lebih lembut untuk mulutnya.” Felix mengganti botol di tangan Jane dengan botol susu berwarna putih. Dengan terpaksa Jane meletakkan botol susu itu ke dalam troli mereka.
Selanjutnya mereka menuju bagian susu bayi.
“Susunya—”
“Iya, aku tahu. Beli susu untuk bayi baru lahir, kan?” ujar Jane menyela. Dia kesal disalahkan terus dari tadi. Jane mengamati merk susu itu satu-persatu. “Ah, ini dia. Kita ambil yang—”
“Tunggu dulu.”
Felix menyambar kaleng susu di tangan Jane. Dengan teliti dia membaca kandungan dari susu formula tersebut.
“Ah iya. Apa kamu sudah membawa Aiden ke dokter?” tanya Felix.
“Belum.”
“Kita harus memastikan apakah Aiden alergi protein susu sapi atau tidak.” Felix kembali membaca kandungan di label susu tersebut.
“Apa sebaiknya kita membeli susu kedelai saja?”
“Besok aku akan membawanya ke dok—”
“Tidak bisa begitu. Nanti kalau Aiden lapar bagaimana?”
“Felix, Aiden tidak alergi protein. Dia sudah tinggal di rumahku dan mamaku telah memberikannya susu formula. Pihak panti asuhan juga pasti akan memberitahukanku kalau Aiden memiliki alergi ataupun penyakit lainnya. Lagipula, kenapa daritadi kamu yang mengatur kebutuhan Aiden?”
Srek.
Sesuatu terjatuh dari tangan Felix. Dia menatap Jane dengan wajah datar. Jane langsung menunduk dan melihat ternyata yang jatuh adalah sebuah notes kecil. Tubuh Felix menegang saat Jane menunduk untuk mengambil notes itu.
Jane membaca deretan kata yang tertulis pada notes itu. Susu formula, pampers, botol susu, selimut…ini semua adalah kebutuhan bayi. Ini untuk Aiden?
“Kamu mencatat ini semua?” tanya Jane sambil mendongak menatap Felix tidak percaya.
“Kembalikan notes itu.” Felix berusaha merebut notes itu tapi Jane lebih pintar mengelak.
“Tunggu. Kamu mencari tahu dan menyiapkan daftar ini?” Jane masih memburunya dengan pertanyaan. “Mamaku kan sudah pernah berbelanja untuk Aiden. Harusnya kamu bertanya saja pada Mama—”
“Sudahlah, kita masih harus membeli pakaian bayi. Jangan membuang-buang waktu,” ujar Felix gusar dan berlalu mendorong trolinya meninggalkan Jane.
Jane tertawa kecil. Ia menunduk menatap Aiden yang sedang tertidur pulas di dalam kereta bayi.
"Aiden, sepertinya kamu mendapatkan seorang Papa yang perhatian," ujar Jane pelan. Ia lalu mendorong kereta bayinya dan berusaha mengejar Felix yang sudah menjauh.
...----------------...
...- Felix & Jane -...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!