Positif.
Dua garis.
Tespack yang dipegang Berlian menunjukkan dua garis, yang artinya saat ini ia sedang mengandung.
Mata Berlian berkaca-kaca, kala melihat tespack yang berada di tangan kanannya.
Ah..., rasanya lega sekali, setelah penantiannya selama dua tahun, akhirnya tuhan mempercayakan juga ia punya keturunan.
Betapa sangat bahagianya dirinya, ini adalah salah satu keinginan sang suami. Arhan.
Arhan selalu bertanya, apakah ia sudah positif? Dan kali ini ia akan memberikan kejutan untuk suaminya itu.
Namanya Berlian Husein. Tepatnya nama belakangnya tersemat nama ayahnya yang sudah tiada lagi.
Berlian adalah seorang perempuan yatim, yang bisa dibilang beruntung karna dua tahun yang lalu ia dinikahi oleh seorang pria kaya.
Kenapa enggak? Dia memiliki paras yang cantik, rambutnya yang lurus panjang, hidung yang mancung dan jangan lupakan dua lesung pipi yang menambah kesan manisnya ketika ia tersenyum. Jadi tak usah heran bila ia mampu memikat hati pria berdompet tebal.
Dua setengah tahun yang lalu ia mengenal seorang laki-laki yang sering mampir ke restoran tempatnya bekerja. Disitulah benih-benih cinta mulai bersemi.
Namanya Arhan, lengkapnya Arhan Pratama. Ia adalah seorang pengusaha muda di bidang tekstil, ia juga seorang anak yatim yang kini melanjutkan usaha mendiang ayahnya.
Berbicara tentang Arhan, ia juga seorang pria tampan dengan tinggi 175 cm, berkulit putih, dan punya senyum yang manis. Ah tak perlu jauh-jauh agar kalian bisa membayangkan Arhan, lihat saja mark prin, itu adalah salah satu dari tujuh kembarannya yang ada di dunia.
Balik lagi pada awal bagaimana mareka bertemu. Berlian adalah seorang pekerja paruh waktu di sebuah restoran yang ada di Jakarta. Tempat Berlian bekerja cukup elit, sehingga tak jarang yang mampir adalah Bos-bos besar dari perusahaan ternama, sekedar mampir untuk mengisi perut atau pun mengadakan pertemuan dengan klien mareka. Dan salah satu dati sekian banyaknya pelanggan, adalah Arhan yang kini menjadi suaminya.
Arhan memang langsung terpikat saat melihat Berlian. Bisa dibilang cinta pandangan pertama, namun Berlian tak telalu peduli, atau lebih kepada sadar diri bahwa seirang yang sempurna seperti Arhan menaruh hati padanya.
Dari situ Arhan gencar menarik hati Berlian. Namanya juga kaum Hawa, pantang sekali digoda. Dan jatuhlah Berlian ke dalam pelukan Arhan.
Lima bulan menjalin hubungan, Arhan memantapkan diri melamar Berlian. Walau mendapatkan penolakan dari sang Mama, Arhan tak mau mundur, ia tetap kekeuh menikahi pujaan hatinya.
Sempat saat itu Berlian ingin menyerah karna mendapat sambutan yang kurang baik, atau kasarnya ia ditolak oleh Mamanya Arhan. Namun bukan Arhan namanya jika ia tak mampu merayu hati Berlian, hingga mareka sampai di pelaminan.
Dan yang lebih indahnya, sekarang Berlian akan menjadi calon Ibu. Bolehkah ia berbahagia?
Berlian membekap mulutnya, dan hatinya tak henti-hentinya mengucap syukur memuja sang Rabb untuk berterimakasih atas segala yang telah diberikan tuhan kepadanya.
"Mas Arhan, aku hamil Mas!"
"Sebentar lagi Mas Arhan ulang tahun, nanti saja deh, sebagai kadonya saja. Mas Arhan pasti senang."
Yupzz, Berlian tak akan langsung memberitahukan Arhan, ia akan menunggu ulang tahun Arhan yang tak lama lagi.
Berlian tersenyum membayangkan reaksi Arhan yang senang mengetahui kehamilannya.
"Mas tunggulah sebentar lagi." Berlian bermonolog sendiri.
...****************...
Berlian telah selesai membungkus kadonya. Ia tak mampu melunturkan senyumnya melihat kotak kado tersebut. Ia yakin ini akan menjadi kado terindah untuk suaminya. Jelas! Arhan sangat mengidam-idamkan seorang anak. Ia selalu berbisik ketika pergumulan mareka selesai, bahwa ia menginginkan penerusnya. Bukan apa-apa, Arhan memang menginginkan ada yang akan mengikuti jejak kakinya nanti.
Berlian menaruh kadonya di laci paling bawah. Ia akan memgambil ketika hari itu akan tiba. Akan Berlian berikan di waktu yang tepat.
Jam menunjukkan pukul delapan malam. Biasanya Arhan akan pulang di jam segini jika ia punya pertemuan dengan kliennya.
Berlian pun bergegas menuruni tangga untuk menunggu sang suami. Ini adalah satu kebiasaanya, menunggu suami pulang. Dan inu sangat menyenangkan untuk Berlian.
Saat di anak tangga terakhir, Berlian melihat Ibu mertuanya, yaitu Bu Maharani. Berlian memberikan senyum hangat pada Bu Maharani, namun dibalaa dengan tatapan sinis.
"Mama." Sapa Berlian sembari menundukkan kepalanya sopan.
"Saya bukan Mama kamu!" Ketus Bu Maharani sembari berlalu pergi.
Dan ya! Ini adalah hal yang sudah biasa menjadi makanan sehari-hari Berlian. Hubungannya dengan Ibu mertuanya tak pernah baik. Tidak-tidak! Bukan Berlian yang tidak baik, melainkan Ibu mertuanya yang tak bisa menerima kehadiran Berlian di rumahnya.
Entah apa yang menyebabkan Bu Maharani tak menyukai Berlian, tapi yang Berlian sangat ingat Bu Maharani menentang pernikahan Arhan dengannnya dulu. Setelag dipikir-pikir mungkin saja karna Berlian berasal dari keluarga miskin, namun selain itu apalagi alasannya?
Sebenarnya bukan hanya Bu Maharani saja yang tak menyukainya, Adik iparnya pun ikut juga membencinya. Padahal selama ini, Berlian sudah mencoba untuk bersikap sebaik mungkin dengan keduanya. Namun hingga hari ini, ia masih di acuhkan.
Suara derit pintu terbuka, dan Berlian segera berlari ke arah suaminya lalu tersenyum sembari menyalaminya. Setelahnya Berlian mengambil tas kerja yang ada di tangan suaminya.
Raut lelah tercetak jelas di wajah Arhan. Ia bekerja keras seharian.
Berlian berjalan beriringan mengimbangi langkah besar suaminya yang tampak lesu.
"Masih nyetir sendiri ya Mas?" Tanya Berlian ketika mareka sudah menaiki gundukan tangga.
Arhan mengangguk seadanya.
"Pak Husein belum balik juga?" Tanya Berlian lagi.
"Anaknya masih sakit."
Berlian mengangguk mengerti. Lamgkahnya sudah tertinggal, Arhan lebih cepat menaiki tangga daripadanya.
"Mas mau makan dulu ata mandi dulu?" Tanya Berlian lagi, ini memang sudah rutinitasnya memperhatikan Arhan.
"Mandi dulu aja ya? Aku siapin air panas." Putus Berlian sendiri.
Sedangkan Arhan memilih diam dan pasrah atas pilihan istrinya. Tak terlalu penting.
Arhan membuka pintu kamar lalu berangsur merebahkan diri di atas ranjang. Sedangkan Berlian menaruh tas kerja Arhan di tempat yang semestinya lalu ia berlalu ke kamar mandi menyiapkan air mandi sang paduka.
Arhan menatap langit-langit kamarnya. Ia tak bergairah. Ia punya segudang masalah yang lebih rumit daripada masalah di kantornya. Dan masalah itu berhasil menyita selurih konsentrasi di otaknya.
"Mas! Airnya sudah siap!" Seru Berlian dari kamar mandi.
Arhan bangkit lalu duduk di tepi ranjang, wajahnya menunduk, sedangkan tangan kanannya memegang keningnya.
Berlian keluar dari kamar mandi. "Mas airnya sudah siap, Mas bisa mandi sekarang. Aku turun ke bawah dulu ya? Siapin makan malam buat kita."
Arhan hanya mengangguk asal tanpa ada niat untuk berkomentar.
Usai mandi dan berpakain, Arhan langsung merebahkan diri di atas ranjang. Pikirannya kalut. Sedari tadi ia sudah tak tenang memikirkan kata-kata Mamanya tempo lalu.
Berlian membuka pintu, dan pandangan yang menusuk matanya adalah Arhan. Tak biasanya Arhan begitu, maksudnya biasanya ia akan segera turun ke bawah untuk menyantap makan malamnya, tapi sekarang ia malah rebahan. Berlian langsung saja mendekati Arhan.
"Mas? Gak mau makan dulu?" Tanya Berlian yang menatap Arhan masih dalam pembaringannya.
"Gak!" Jawab Arhan tanpan mengalihkan atensinya dari langit-langit kamarnya.
"Aku udah kenyang tadi, makan sama klien. Aku capek, pengen istirahat." Sambung Arhan dengan nada yang cukup dingin.
Berlian bisa melihat ekspresi Arhan saat ini. Bahkan untuk menatapnya berbicara saja Arhan enggan. Berlian bukanlah perempuan bodoh, ia bukan perempuan yang begitu polos hingga ia tak menyadari perubahan suaminya.
Dalam pikiran Berlian beeputar tentang Arhan yang akhir-akhir ini berubah, dan telihat lebih dingin juga datar. Tidak ada lagi Arhan yang hangat seperti sebelum-sebelumnya. Apakah ia sedang punya masalah di kantor?
"Mas? Lagi ada masalah ya?" Berlian memberanikan diri bertanya pada sang suami dengan nada yanh selembut mungkin.
"Mas Arhan bisa cerita kok! Aku istrinya Mas! Aku siap mendengar keluh kesah Mas. Kali saja aku bisa memberikan masukan." Lanjut Berlian sembari memaksakan senyumnya.
Tak ada jawaban. Diam.
"Masukan apa yang bisa kamu berikan Lian?" Lirih hati Arhan.
Ah..., diamnya Arhan artinya tak mau di ganggu. Alangkah baiknya bila Berlian membiarkan Arhan untuk istirahat dulu, menenangkan pikirannya. Tapi sayangnya mulutnya tak bisa diam.
"Mas?" Panggil Berlian lagi seolah tak ada jera.
"Sudahlah Berlian, kamu tidur saja. Aku hanya capek, aku hanya butuh istirahat. Jadi, biarkan aku beristirahat, ini akan lebih baik daripada bicara dengan kamu." Barulah Arhan melihat pada wajah Berlian, namun setelah itu Arhan membelakangi Berlian dengan tidur dengan posisi miring.
Kata-kata Arhan bagaikan air es yang menyirami dirinya, dingin sekaligus menyadarkannya juga bahwa Arhan benar-benar telah berubah. Entah apa penyebabnya ia juga tak tahu.
Arhan yang dua tahun lalu menikahinya adalah Arhan yang lemah lembut juga penyayang. Tapi sekarang?
Ah sudahlah! Berlian tak ingin menerka-nerka hal buruk, biarlah ia berpikir positi bahwa sekarang Athan memang capek dan butuh istirahat.
Berlian pun memilih merebahkan dirinya fi samping Arhan, lalu menarik selimut sampai ke dadanya. "Selamat malam suamiku." Lirih Berlian.
Dan jika Arhan masih terjaga, niscaya ia bisa mendengat lirihan Berlian.
...****************...
Berlian terbangun di pagi harinya ketika ia merasakan gejolak yang amat sangat dari dalam perutnya. Lalu ia juga merasakan mual yang amat sangat seolah ingin kembuang apa saja yang pernah ia makan semalam.
Berlian segera bangkit dari tidurnya dan berlarike kamar mandi.
"Huek! Huek! Huek!" Berlian mengeluarkan isi perutnya. Rasanya pening juga iya, lega juga iya. Campur aduk.
Inikah yang dinamakan morning sickness? Mual dan muntah di pagi hari?
Ketika ia sudah mencuci mulutnya, juga membasuh muka. Berlian keluar dari Kama mandi dengan langkah lemas.
"Jangan lupa minum obatnya. Asam lambung kamu parah tuh!" Ucap Arhan dingin, dan suaranya terasa serak.
Rupanya laki-laki itu sudah bangun dan tengah duduk di tepi ranjang dengan muka khas bangun tidur.
..."Mas keganggu karna suara muntah aku ya?" Tanya Berlian sembari melangkah mendekat....
"Enggak juga. Ini memang sudah waktunya aku bangun."
"Ya sudah kalau begitu, aku siapin sarapan dulu ya Mas?" Izin Berlian tanpa mendapat respon apa pun.
Berlian segera keluar dari kamarnya, menuruni tangga lalu menuju dapur. Di sana ia mengambil telur lalu menggorengnya. Setelah itu Berlian mengambil sepotong ikan lalu digorengnya. Tapi bau ikan tadi membuat rasa mual kembali bergejolak.
Setelah menggoreng ikan, Berlian cepat-cepat berlari ke kamar mandi dan...
"Huek! Huek! Huek!"
Dia jadi anti terhadap bau sekarang.
Setelah selesai di kamar mandi, Berlian keluar. Di sana sudah ada Ibu mertuanya yang sedang membuatkan susu.
"Gimana bisa anak saya menikahi wanita penyakitan seperti kamu!" Sindir Bu Maharani. Nampaknya ia tadi mendengar Berlian muntah.
"Ngurusin sarapan sendirian aja kamu gak becus!" Tambahnya lagi sembari mengambil nampan yang berisi tiga gelas susu hangat.
"Dek! Kamu jangan dengerin Nenek kalau lagi ngomong ya? sebenarnya Nenek itu baik kok!"
Ingin rasanya Berlian berteriak bahwa sekarang ia sedang mengandung. Mungkin Bu Maharani berpikir bahwa asam lambung Berlian sedang kambuh.
Setelah menyiapkan sarapan untuk Arhan, Berlian menghidangkannya di meja makan. Tak lama setelah itu Arhan turun dan bergabung di meja makan. Ada Bu maharani, Aurelia, Arhan juga Berlian.
Berlian mengambil roti tawar yang sudah di isi dengan telur olehnya. Sedangkan Berlian mengambil sedikit nasi juga ikan. Maklum ia tidak biasa sarapan ala mareka dengan rot, tak membuat perutnya kenyang.
"Kok susunya cuman tiga?" Tanya Arhan saat melihat di depan Berlian tak ada susu.
"Mama kan buat hanya untuk anak Mama. Lagian Berlian bukan anak kecil, dia bisa bikin sendiri. Masa buat susu saja malas."
"Gak papa Mas! Aku kan gak suka susu Mas!"
"Ya udah deh! Lanjut makan!" Arhan malas harus memperpanjang masalah sepele yang sebenarnya itu termasuk penting.
Bu Maharani selalu bersikap begitu pada Berlian, tak menganggap Berlian seorang menantu yanh selayaknya. Hal itu kadang-kadang membuat Arhan sedih.
Di saat Berlian baru menyuapi bebera sendok nasi juga ikan ke dalam mulutnya, perutnya tak mau menerima. Apalagi bau ikan yang menurutnya masih amis, padahal biasanya tidak. Seketika rasa gejolak itu muncul lagi.
"Aku permisi dulu ya?" Berlian bangkit dari tempat duduknya lalu berlari ke kamar mandi.
"Huek! Huek!" Berlian memuntahkah isi perutnya lagi.
Setelah itu Berlian kembali dengan keadaan lemas ke meja makan.
"Kamu muntah lagi?" Tanya Arhan saat Berlian baru duduk.
"Iya Mas!"
"Kan istri kamu memang penyakitan!" Cibir Bu Maharani yang diikuti senyum remeh oleh Aurelia.
"Ma!" Tegur Arhan.
"Kan memang iya Mas?" Tambah Aurelia.
Arhan malas membalas ucapan adik dan mamanya.
"Kamu udah minum obat belum? Harusnya setengah jam sebelum makan, kamu minum obat dulu." Protes Arhan.
"Ada kok Mas" Jawab Berlian diiringi anggukan.
Dalam hati Berlian tersenyum, ternyata sang suami masih memperhatikannya juga. Walau sikapnya dominan dingin, tapi Berlian yakin Arhan masih mencintainya.
"Ya udah deh aku langsung ke kantor aja." Ucap Arhan lalu meneguk susunya.
"Aku antar Mas!"
Arhan mengangguk menyetujui, lalu ia bangkit dari meja makan diikuti oleh Berlian yang menjinjing tasnya Arhan.
Sedikit cuap-cuap. Aku balik lagi nih. semoga kalian suka ☺ jangan lupa like komennya.
Berlian mendengar suara ribut-ribut di rumah. Dari indera pendengaran yang ia tangkap suaranya berasal dari ruang tamu. Sayup-sayup ia juga mendengar namanya ikut terseret dalam keributan itu.
Suara itu adalah suara Arhan dan Ibu mertuanya Bu Maharani. Sesekali adiknya Aurelia juga ikut menimpali, walau Berlian tak tahu pastinya apa yang menjadi pemicu keributan tersebut. Dan yang mendominasi adalah Bu Maharani, ia lebih banyak berbicara ketimbang yang lainnya, bukan berbicara tepatnya berteriak.
Sejak kedatangan Berlian dua tahun yang lalu, rumah ini selalu penuh dengak cekcok, perdebatan antara Arhan dan Bu Maharani. Biasanya hanya karna sang mertua yang selalu nyinyir terhadap sesuatu tentang Berlian. Dan Arhan berdiri di depan sebagai pembela Berlian. Belum lagi Aurelia yaitu adik perempuannya Arhan yang menjadi kompor untuk Ibunya.
Karna perdebatan yang tak kunjung selesai, membuat Berlian jadi penasaran. Berlian memutuskan untuk keluar dari dalam kamar dan menuruni tangga.
Dan benar saja Ibu mertuanya sedang ngamuk parah. Terlihat dari wajahnya yang sudah merah padam, tapi masih berapi-api, belum lagi Aurelia yang ada di sisi Bu Maharani ikut menumpahkan bensin dalam keributan itu.
"Gara-gara perempuan itu!" Teriak Bu Maharani sembari menunjuk pada berlian yang baru menginjak anak tangga terakhir.
Bingung? Tentunya. Ia yang baru datang tapi malah ia yang disalahkan dan menjadi sasaran kemarahan mertuanya. Berlian hanya berdiri mematung kebingungan dengan mulut terbuka, namun tak berucap sepatah kata pun.
"Gara-gara kamu anakku berubah! Semenjak kedatangan kamu ke sini, dia tidak lagi menghormati aku sebagai Ibunya." Bwrang Bu Maharani dengan menunjuk-nunjuk ke arah Berlian yang berjarak tiga langkah darinya.
"Mama!" Seru Arhan, "Mama ini bicara apa sih?"
Sungguh! Arhan sangat frustasi dengan kelakuan Mamanya. Hampir setiap hari ia adu mulut dengan sang Mama karna masalah yang sama, yaitu Mamanya yang masih tidak bisa menerima Berlian sebagai menantunya.
"Memang benar! Perempuan ini yang menghasut kamu, kamu masih gak percaya dengan apa yang Mama katakan tadi? Kamu menganggap Mama bohong?"
Entah apa yang telah Bu Maharani katakan pada Arhan, Berlian pun tak paham. Tapi di sini ia jadi pusat permasalahan mareka. Berlian tak berani membuka suara barang sedetik pun, jujur saja ia takut.
"Baiklah Arhan kalau kamu tidak percaya dengan segala yang Mama katakan tadi. Biarin Mama saja yang pergi dari rumah ini." Entah itu sebuah ancaman, keputusan, atau malah hanya gertakan dari Bu Maharani saja.
Hah? Maksudnya bagaimana? Pergi? Yang benar saja? Ternyata masalahnya cukup besar.
"Ma! Jangan? Ma!" Arhan menarik lengan Bu Maharani yang hendak pergi.
"Ini rumah Mama, kenapa Mama yang keluar?" Tanya Arhan.
"Kalau begitu siapa yang seharusnya keluar?" Tanya Bu Maharani dengan nada sinis diiringi alisnya yang naik sebelah menambah kesan kejamnya.
"Mama tanya siapa yang seharusnya keluar dari rumah ini?" Teriak Bu Maharani tak sabar.
"Gak ada!" Tegas Arhan dengan suara tinggi, "Gak ada satu pun yang boleh keluar dari rumah ini."
"Baiklah. Sepertinya itu cukup sebagai jawaban." Timpal Aurelia. "Kalau Mas Arhan masih bingung gak bisa menentukan pilihan, biarin aku dan Mama yang pergi dari rumah ini. Mungkin Mas gak bisa percaya omongan aku dan Mama."
"Aurel!" Teriak Arhan.
"Mas! Sejak kedatangan perempuan ini, aku tuh menderita tahu gak? Dia selalu berkuasa. Aku dan Mama berasa numpang di sini."
"Benar sekali.Memang seharusnya Mama yang pergi, agar perempuan ini senang." Tunjuk Bi Maharani pada Berlian dengan dagunya.
Bagaimana Berlian? Sedih, takut, bingung telah menjadi satu. Padahal ia sendiri masih yak tahu di mana letak kesalahannya.
"Mama mau ke mana? Jangan pergi Ma!" Arhan berusaha agar tak ada satu pun yang pergi, termasuk Berlian pastinya.
"Kalau kamu ingin Mama tetap di sini, silakan pilih, Mama yang melahirkan kamu atau perempuan ini yang baru kamu kenal?" Bu Maharani melakukan penawaran pada Arhan.
Kedua opsi yang sama-sama tak menguntungkan. Maksudnya ia ingin tak ada opsi behmgituan, karna ia akan memilih keduanya.
"Ma...., mana bisa begitu. Dia istri aku." Lirih Arhan memberi pengertian pada sang Mama berharap Mamanya akan luluh.
"Kalau begitu, biarin kami pergi Mas! Mas juga masih bingung siapa yang Mas perjuangkan." Aurelian memanas-manasi keadaan dengan ucapannya.
"Mama..., Mama mau ke mana? Ini rumah Mama." Barulah Berlian berani mengeluarkan satu kalimat dengan nada yang lirih.
"Diam kamu! Ini semua gara-gara kamu." Bukannya menjawab, Bu Maharani malah menghardik Berlian.
"Kamu pasti senangkan? Mas Arhan lebih memilih kamu daripada kami?" Pekik Aurelia dengan mata melotot.
Berlian menggeleng, "Enggak! Berlian sama sekali gak berpikir begitu. Berlian maaih bingung kenapa Mama dan Aurel ber-"
"Cukup Berlian!" Potong Arhan, alhasil Berlian tak melanjutkan kata-katanya lagi.
"Tapi Mas?"
"Aku bilang cukup, ya cukup! Jangan memperkeruh suasana."
Memperkeruh suasana? Apa maksud Arhan dengan kata lain, Berlian memang benar-benar penyebab keributan ini? Sumpah! Di sini Berlian hanya ingin meluruskan bagaimana yang seharusnya, ia juga ingin tahu di mana letak kesalahannya, mungkin saja ia benar-benar salah, dan itu ia akan merubahnya.
"Aurel ayo bantu Mama. Mama semakin pusing di sini." Pinta Bu Maharani.
"Ma..." Panggil Arhan.
"Sudahlah Arhan, kamu urusi saja istri kamu itu."
"Ma, Arhan mohon Mama jangan pergi. Arhan cuma punya Mama."
"Kalau Mama terus-terusan di sini, sperrinya dua hari lagi Mama akan mati."
"Ma..., jangan.ngomong begitu!"
"Apa brdanya? Toh kamu tidak bisa memilih kan antara Mama dan dia?"
Arhan mengacak rambutnya frustasi. Mengapa pula ia harus dihadapkan pada situasi sulit seperti ini?
Jika ia memilih Mama dan adiknya, otomatis ia kehilangan sang istri yang begitu ia cintai. Dan sebaliknya pula jika ia memilih Berlian, ia akan kehilangan, orang tua juga adik satu-satunya. Apa tak ada jalan lain selain pilihan?
"Kalau kamu pilih Mama, ceraikan dia!"
Cerai? Arhan dipaksa menceraikannya? Mengapa ia tega? Pikir Berlian. Bukankah ia juga seorang perempuan? Tapi mengapa ia sangat tega memisahkan anaknya dengan orang yang ia cinta. Di mana letak hatinya?
Bagaimana bisa seorang Ibu memaksa anaknya bercerai? Tapi untuk membantah, Berlian tak punya keberanian apa pun. Tapi satu yang ia yakini, Arhan tak akan meninggalkannya, ia sudah pernah berjanji dulu.
Arhan memejamkan matanya sesaat, ia frustasi. Lalu ia melirik Berlian yang Berjarak selangkah darinya, kemudian melirik Mama juga Aurelia yang berada di depannya. Benar-benar pilihan yang sulit.
Apa yang harus Arhan lakukan? Siapa yang harusnya ia pilih?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!