1. Hanaya Purnamasari
Gadis cantik nan smart. Ia terlahir dari keluarga miskin. Ayahnya seorang buruh tani, sedangkan ibunya hanyalah seorang ibu rumah tangga yang memiliki gangguan penglihatan. Itulah sebabnya, Hana ingin sekali memperbaiki ekonomi keluarganya dan menjadi dokter spesialis mata agar bisa menyembuhkan ibunya yang sakit. Gadis pendiam ini tidak mudah jatuh cinta. Banyak cowok yang mengutarakan ingin menjadi pacarnya, tapi dia menolak. Hingga perjuangan seorang bad boy untuk meluluhkan hatinya ternyata berhasil. Ia jatuh cinta. Cinta yang pelan-pelan mendorongnya ke lembah paling mengerikan.
2. Adrian Mahendra
Cowok ganteng, cool, playboy, dan tajir. Dia putra seorang pengusaha kaya di kotanya. Perilakunya buruk, bahkan nilai akademiknya pun sangat buruk. Akan tetapi tidak setelah mengenal Naya—panggilan kesayangan untuk gadis tercintanya. Ia berubah menjadi sosok yang berbeda dari biasanya. Adrian juga mencintai Naya dengan cara yang tidak biasa. Tidak seperti yang ia lakukan terhadap gadis-gadis lain sebelumnya. Namun, sayang, hatinya bak terguncang ombak tsunami, mendengar kabar kekasihnya mati bunuh diri. Ia pikir semua adalah karenanya. Ia menyalahkan dirinya sendiri.
3. Jenny Ferantika
Sahabat Hanaya. Dia imut dan ceria. Putri dari seorang DPR kaya raya di kotanya. Dia sangat dermawan. Tidak jarang Jenny memberikan sesuatu kepada sahabat karibnya tersebut. Hubungan keduanya sangat dekat. Mereka memiliki hobi yang sama, yaitu bermain piano. Tak disangka, diam-diam cowok yang mereka sukai pun sama. Lahirlah cinta segitiga yang tak sehat.
4. Heri Handika
Heri adalah sosok cowok smart dan pendiam. Gayanya yang culun, membuatnya sering di-bully. Termasuk oleh Adrian sendiri. Keduanya menjadi akrab ketika Adrian mulai meminta Heri untuk belajar bersama. Tidak disangka, diam-diam rasa kecewa dan iri dalam benak Heri muncul, yang pelan-pelan melukis jurang tercuram di antara keduanya. Bumerang atas segala keindahan yang ternoda.
5. Randi Purnama
Kakak kandung Hanaya. Dia memiliki image yang sangat buruk. Mulai dari mencopet, hingga terlibat kasus narkoba, sudah ia lakoni. Terlahir dari keluarga miskin membuatnya tidak bisa bersyukur. Ia selalu membanding-bandingkan kehidupannya dengan kehidupan orang lain. Namun, bagaimanapun sifat buruknya, ia sangat menyayangi keluarganya. Hanya saja, ia tidak tahu bagaimana cara merealisasikan rasa sayang tersebut. Sesungguhnya ia sangat menyayangi Hanaya, termasuk Adelia—adik bungsunya yang masih berusia balita. Jiwanya semakin terguncang, mengetahui kabar kematian Hanaya yang tiba-tiba bunuh diri.
6. Serena Angelista
Gadis ini sangat menyukai Adrian. Dia seorang putri dari model ternama, Vivian. Rasa cintanya terhadap Adrian, membuatnya akan melakukan apapun untuk mendapatkannya. Meskipun cintanya bertepuk sebelah tangan.
Di atas adalah beberapa tokoh utama dalam kisah "SELAPUT DARAKU" ini.
______________________________________________
Hola, perkenalkan aku Thamie Si Author Keceh. Salam kenal semuanya ...?
Oh, ya, ini pertama kali Kak Thamie nulis genre horor, loh? Suer, deh! Sejujurnya tidak ada basic nulis horor. Karena sebenarnya, Thamie berusaha melampaui keterbatasan diri yang penakut.
Wah, di novel pertama Thamie di Mangatoon/Noveltoon ini bergenre ROMANCE. Eh, siapa tahu ada yang minat. Sekalian promosi boleh, ya? Judulnya "BUKAN PELAKOR". He-he. Silakan kunjungi, siapa tahu suka.
Oh, ya, karena ini pertama kalinya uji nyali nulis yang berbau horor begitu. Novel ini tentu saja tidak akan seseram novel-novel yang lain. Cocoklah buat kalian yang ingin coba-coba baca novel horor.
Semoga novel ini bukan hanya sekadar hiburan. Author Keceh berharap, Readers Tersayang dapat memetik secuil hikmah dan pembelajaran di dalamnya.
Tetap sedia tissue, sebelum gerimis! (Ciri khas novel Author Keceh sudah pasti ada bumbu bawangnya. Wkwk)
Oh, ya, jangan lupa untuk dukung novel ini, ya ...? Kasih LIKE, COMENT, VOTE, DAN RATE BINTANG LIMA. Terima kasih banyak atas dukungannya ...?
Happy reading, Gaes ...!
Hari di mana petualangan itu di mulai. Perjalanan kelam yang sulit terbayangkan. Saat raga berpisah dengan ruh. Jatuh ke lembah kegelapan. Masuk ke lorong yang sunyi. Pendar itu terus memudar, pelan-pelan menikam atma. Terasa seperti mimpi. Melepas setiap angan, melewati cita-cita, yang sudah tak lagi berarti. Hilang. Seluruh asaku telah enyah. Hingga bersemayam di dalam tulang hitam, dendam "Selaput Daraku" yang telah terenggut paksa.
Aku Hanaya, dan ini kisahku.
Cukuplah aku yang tersesat, kalian jangan!
_____________________________________________
"Berita terbaru. Seorang pelajar ditemukan tewas bunuh diri melompat dari Jembatan Hitam, Jumat (13/03/2019). Belum diketahui motif dari aksi nekat korban bernama Hanaya Purnamasari—remaja berusia 16 tahun." Seorang reporter tengah menyiarkan sebuah berita di televisi.
"Korban ditemukan dalam kondisi tak bernyawa pada pukul 12.45 WIB, oleh salah seorang warga," lanjutnya.
“Kami telah selidiki motifnya. Kejadian ini murni bunuh diri,” ujar Kasubbag Humas Kepolisian Resor Metropolitan, Jaja Junaedi.
"Korban merupakan pelajar dan tercatat sebagai siswa SMA Merpati Putih. Korban kali pertama ditemukan oleh Paijo—seorang warga yang hendak buang air besar di sungai. Ia sangat terkejut ketika tiba-tiba mencium bau busuk dan mendapati korban sudah mengapung terbawa arus sungai. Korban ditemukan dalam keadaan berseragam SMA. Kondisi korban sendiri tampak mengenaskan dengan kepala retak dan tubuh yang mulai membusuk," lanjut Jaja Junaedi.
Kasubbag Humas Kepolisian tersebut mengatakan, usai Paijo mengabarkan penemuan mayat tersebut, warga pun berdatangan ke lokasi dan melaporkan kejadian ini ke Polsek, lalu dievakuasi ke RSUD. Hasil identifikasi Polres Metro, tidak menemukan adanya tanda-tanda kekerasan. Jadi, korban murni bunuh diri.
Adrian yang tengah duduk di depan televisi menatap nanar siaran berita tersebut. Bulir-bulir air yang tergenang seakan ingin ia tumpahkan seluruhnya. Ia membenci dirinya sendiri. Penyesalan akan sesuatu hal yang seharusnya tidak ia lakukan. Tangannya mengepal erat, seakan ingin menghantam keras-keras dadanya sendiri.
Berita itu sudah seminggu. Dan masih hangat-hangatnya diperbincangkan. Segera ia raih remote untuk mematikan televisi. Adrian beranjak menuju kamar, lalu berbaring untuk mendinginkan otak.
***
Sementara di rumah duka, jasad Hanaya akan dikebumikan. Tangis histeris Purwati—ibu kandung Hanaya tak terbendung. Ia belum bisa mengikhlaskan kepergian putrinya tersebut. Terlebih, Hanaya adalah gadis yang berbudi baik, berprestasi, penurut, dan sangat berbakti terhadap keluarganya. Kehilangan sosok putrinya membuat hati wanita berusia 40 tahun itu seakan remuk redam. Ia belum mengerti bagaimana cara merelakan kepergian Hanaya untuk selama-lamanya.
Hasan Hapsari—ayah kandung Hanaya—hanya dapat menatap pilu keranda yang sudah siap dibawa ke pemakaman. Hatinya terasa hancur berkeping-keping. Terlebih, Hanaya adalah gadis kesayangannya. Gadis yang selalu memberikan semangat lebih di benak Hasan. Ketika putrinya itu berkata, "Ayah, sekarang Ayah harus berlelah-lelah. Esok nanti, kalau Hana sudah menjadi dokter, Ayah sama Ibu cukup di rumah saja. Jangan berpanas-panasan lagi, ya?"
Isak tangis Hasan tak teredam lagi. Meski tubuhnya tampak kurus dan renta, tetapi ingatannya masih terlalu kuat untuk memutar ulang setiap jengkal kalimat yang terlontar dari bibir manis Hana. Jiwanya bak tertusuk tombak yang kedalamannya tak terukur. Asanya serasa patah satu per satu seiring berjalannya kereta beroda manusia tersebut.
Sedangkan Randi—kakak kandung Hanaya— hanya berdiri terpaku. Matanya yang merah dan bengkak sudah cukup menggambarkan betapa terpukul hatinya mendapati kenyataan ini. Lengannya yang dipenuhi tato tengah menopang sesosok bocah berusia lima tahun dengan mata berair. Ya, Adelia Purnamasari—adik bungsunya. Yang turut merasai duka nestapa kehilangan sosok kakak perempuan tercintanya.
Siapa menyangka, gadis cemerlang itu bernasib semalang ini. Perangainya yang baik dan santun, selalu dikenang oleh para sahabat, tetangga, bahkan guru-guru di sekolahnya. Mereka semua turut mengiringi jenazah Hanaya menuju pemakaman.
Lantunan tahlil mengiringi langkah kereta beroda manusia tersebut.
***
Sedangkan di kamar, Adrian gelisah. Ia tahu bahwa hari ini adalah prosesi pemakaman kekasihnya tersebut. Namun, ia justru berdiam diri di rumah. Adrian merasa tidak akan mampu menahan diri bila harus menyaksikan prosesi pemakaman pujaan hatinya itu.
Adrian kembali termenung pada kejadian itu. Tiga Minggu yang lalu, sepulang sekolah mereka bertemu di perpustakaan.
(Flash Back)
"Ada apa, Nay," tanya Adrian ketika mereka telah duduk berhadapan.
"Adrian, aku ...." Hanaya meremas rok abu-abunya.
"Tunggu sebentar." Adrian mengamati wajah Hanaya seksama. "Wajahmu pucat. Apa kau sakit?"
Gadis manis berambut lurus itu menunduk, lalu menggeleng.
"Ada apa? Apa kau sedang ada masalah?"
Kali ini Hanaya mengangguk pelan. Tiba-tiba bulir bening mulai berjatuhan ke pipi gadis berperawakan tinggi nan ramping tersebut. Adrian segera menyadari ada sesuatu yang salah pada diri kekasihnya itu. Adrian pun segera berpindah tempat duduk ke sebelah Hanaya. Ia raih jemari tangan kekasihnya itu, lalu menggenggamnya erat. Seakan tengah mengatakan, 'katakanlah segalanya padaku'.
"Nay, ada apa?" Adrian menegakkan kepala gadis itu, lalu mengusap wajah Hanaya yang basah. "Apa kau masih marah gara-gara kejadian malam itu? Aku tahu aku salah. Aku akan menikahimu, tapi nanti, setelah kita selesai kuliah."
Hanaya membalas tatapan lembut Adrian. Namun bibirnya tak lekas mengatakan apapun.
"Aku janji. Kita akan menikah. Tapi nanti, usai—"
Belum selesai Adrian bicara, Hanaya langsung memotong perkataan cowok rupawan tersebut. "Aku hamil," ucapnya lirih.
Kedua mata Adrian terbelalak mendengar penuturan Hanaya. Kepalanya segera menoleh ke sekeliling ruangan. Tidak ada seorang pun kecuali mereka berdua.
Adrian kembali menatap Hanaya. "Ba-bagaimana mungkin?"
"Bagaimana apanya? Ini semua gara-gara kamu."
"Tapi, Nay. Kita tidak mungkin menikah secepat ini, kan?"
"Bagaimana denganku? Aku juga tidak mungkin seperti ini. Aku harus meraih beasiswa kedokteran."
Adrian menatap lekat kedua netra gadisnya. "Gugurkan saja," lirihnya.
"Kau gila!"
"Hanya itu pilihan terbaik untuk kita."
"Kau egois."
"Oh, ayolah. Papa dan mamaku tidak akan memaafkanku bila sampai mereka tahu hal ini."
"Lalu, bagaimana dengan nasibku? Aku ingin menjadi dokter. Aku stress memikirkan ini."
"Maka dari itu, gugurkan kandunganmu," lirih Adrian lagi.
"Nikahi aku. Setelah itu kita kuliah bersama."
"Tidak bisa. Kedua orang tuaku tidak akan setuju. Malu juga, kan, kita belum cukup umur untuk menikah."
"Adrian ...."
"Enyahkan."
"Tidak."
Adrian menarik napas kasar. "Jika kamu tetap kekeuh seperti itu, lebih baik hubungan kita berakhir."
Hanaya menatap dalam mata cowok paling digemari cewek-cewek putih abu di sekolahnya tersebut. "Mudah sekali kamu melontarkan kata-kata itu, Adrian."
"Maumu apa, sih, Nay. Sebentar lagi kita juga akan ujian. Masak iya kita menikah!" Nada suara Adrian mulai meninggi.
"Tapi ...."
Adrian bangkit dari duduknya, kembali ia embuskan napas kesal. "Terserah. Aku mau pulang. Capek."
Adrian pun pergi meninggalkan Hanaya sendiri di perpustakaan. Hanaya kembali menangis. Ia bukanlah gadis yang tidak tahu dosa. Ia mengerti bahwa aborsi adalah sebuah tindakan yang dibenci Tuhan. Namun, dia harus tetap melanjutkan sekolah.
Adrian meremas rambutnya sendiri. Mengingat itu, membuatnya gila. Ia sama sekali tidak menyangka semua akan berakhir seperti ini. Gadis tercintanya telah pergi untuk selama-lamanya.
"Maafkan, aku, Nay ...."
***
Di pemakaman, jenazah Hanaya telah dimakamkan. Purwati masih menangis meratapi kematian putrinya. Begitupun Hasan yang terus meremas dadanya sendiri.
"Ibu, nanti kalau Hana sudah menjadi dokter, Hana janji, akan menyembuhkan kedua mata Ibu."
-- BERSAMBUNG --
_____________________________________________
Hola, Readers Kece ...?
Author sengaja memakai alur maju-mundur, ya? He-he, jadi masih banyak misteri yang belum terkuak di balik kematian Hanaya. Silakan ikuti saja. Karena di episode-episode selanjutnya, pertanyaan kalian akan terjawab.
Kalau pakai alur maju terlalu mudah ditebak soalnya. Ini juga pertama kali nulis horor. Genre yang sama sekali tidak pernah Author kuasai. Author akan terus belajar. Semoga bisa sampai END, ya?
Terima kasih untuk Readers Setia Kece yang masih terus mendukung Kakak, ya?
Thank you ...!
Malam yang dingin. Angin berembus lebih kencang daripada biasanya. Seakan tengah meniupkan kehidupan baru untuk kematian yang awal. Suara penghuni malam menambah sensasi mencekam. Mengirimkan aroma mistis ke dunia yang gelap gulita.
Sesosok kepala muncul dari bawah air sungai. Wajah bersimbah darah, dengan kepala pecah, dan mata mengerikan. Mata itu berisikan dendam. Pancaran aura yang terasa mematikan. Seolah ingin memangsa sesuatu. Perlahan tubuhnya naik. Mengekspos seragam sekolah putih abunya. Kaki itu berjalan di atas permukaan air.
***
Purwati tengah menangis di kamar yang biasa ditempati Hanaya. Entah sudah berapa banyak air yang ia tumpahkan dari kedua netra tuanya. Purwati masih belum bisa melepaskan putri tercintanya. Diraihnya sebuah foto berbingkai dari atas meja. Meski kedua matanya tidak mampu melihat begitu jelas, tapi ia masih dapat melihat Hanaya tersenyum ceria sambil menggendong Adelia. Sedangkan Randi merangkul Hanaya sembari tersenyum lebar. Ketiga buah hatinya itu adalah penyemangat hidup. Sayang, satu yang paling membuatnya banyak berharap telah pergi.
Saat Purwati mengusapkan jemarinya ke arah foto Hanaya, tiba-tiba saja wajah Hanaya berubah. Purwati kaget karena kedua matanya yang buram dapat melihat jelas sosok putrinya itu menangis, mengeluarkan darah dari kedua belah matanya.
Purwati segera mengucek matanya, seakan sedang mencari adakah yang salah dengan kedua matanya? Ia kerjapkan matanya beberapa kali. Gambar mata berdarah itu pun lenyap, kembali seperti semula.
Benar, kupikir kedua mataku yang tidak beres.
***
Sedangkan di kamar, Adrian masih mengurung diri. Ia tak mau makan apapun. Hingga mamanya menghampiri putra pertamanya itu sembari membawa makanan.
"Sayang, ayo makan dulu. Mama sudah buatkan makanan kesukaanmu." Renata—mamanya Adrian—duduk di tepi ranjang.
"Aku tidak lapar, Ma." Adrian tetap berbaring, tanpa menoleh makanan yang Renata bawakan.
"Adrian, mau sampai kapan kamu begini? Kamu akan sakit bila tidak makan. Bangunlah, dan makanlah ini," ucap Renata lembut.
Adrian tidak menjawab. Ia malah merubah posisi tubuhnya, membelakangi mamanya.
Renata menghela napas panjang. "Mungkin ini adalah takdir yang digariskan Tuhan untukmu, Adrian. Mama sudah pernah melarang kalian berhubungan, tetapi kamu tetap kekeuh. Akhirnya, dengan cara ini kalian bisa berhenti berhubungan," ucap Renata, kali ini dengan nada sedikit kesal.
Ya, Renata memang tidak pernah menyukai Hanaya. Baginya, gadis miskin itu tidak pantas berpacaran dengan putranya. Jadi, kematian Hanaya, justru membawakan angin segar bagi Renata.
"Mulai sekarang, berhentilah memikirkan gadis itu. Kamu masih punya kehidupan, Adrian. Masih banyak gadis cantik yang mengantri untuk menjadi pacarmu. Lagipula, tidak ada gunanya memikirkan orang yang sudah mati!"
Adrian tidak menanggapi. Ia hanya mengepalkan kedua tangan. Ia ingin sekali menjawab, tetapi suasana duka dalam hatinya lebih kuat dibandingkan kemarahannya.
"Ya sudah, kalau tidak mau makan. Terserah."
Renata beranjak meninggalkan kamar putranya, lalu menutup pintu kamar tersebut.
"Mama tidak suka kamu berhubungan dengan gadis miskin itu! Pokoknya kalian harus putus! Jika tidak, mama dan papa akan menjodohkan kamu dengan paksa! Memalukan. Seperti tidak ada gadis lain saja!"
Begitu kalimat paling memekakkan telinga Adrian, ketika ia ketahuan jalan berdua dengan Hanaya. Adrian menghela napas dalam, lalu pelan-pelan membalikkan badan. Bersamaan dengan itu, sesosok bayangan berkelebat. Membuat Adrian terkejut.
Tiba-tiba bulu kuduknya berdiri. Adrian menatap seisi ruangan, kemudian mendudukkan tubuhnya. Angin di luar rumah seakan memaksa masuk menerobos lubang-lubang fentilasi. Mengantarkan hawa dingin, bersama sesosok gadis berambut panjang yang tengah berdiri di pojok kamar Adrian.
Tanpa Adrian sadari, sosok bersimbah darah itu tengah menatapnya dengan tatapan mengerikan.
***
Jenny tengah gelisah memikirkan sahabat karibnya yang telah mati bunuh diri. Ia tidak menyangka Hanaya bisa melakukannya. Ia pikir, Hanaya cukup cerdas untuk tidak melakukan perbuatan senekat itu.
Diambilnya ponsel dari nakas. Sembari bersandar di kepala ranjang, ia menghubungi sebuah nomor. Tersambung.
"Halo, Her."
"Ya, halo, Jen." Suara di seberang telepon.
"Kamu lagi ngapain?"
"Aku lagi ngerjain tugas."
"Kamu masih sempat mengerjakannya?"
"Lah, kenapa?"
Jenny menghela napas kasar. "Aku takut, Her."
Terdengar suara tawa di seberang telepon. "Takut apa? Takut hantu Hanaya menggentayangimu?"
"Ih, Her! Jangan sembarangan bicara! Kalau Hanaya benar-benar menjadi hantu bagaimana?"
"Yaelah, Jen. Hantu itu enggak ada. Yang ada hanya halusinasi. Titik! Sudah ya, aku mau menyelesaikan tugas sekolah. Tidur dan mimpilah yang indah, Jejen. Bye!"
Sambungan telepon terputus. Jenny menatap layar ponsel itu kesal, lalu meletakkan kembali di atas nakas. Ia pun berbaring. Perasaan gelisah terus menerus mengganggu ketenangan hatinya. Ia tidak bisa tidur. Terpaksa ia pejamkan mata, berharap rasa kantuk segera muncul.
Sesosok gadis dengan rambut terurai sudah duduk di tepi ranjang. Jenny tidak menyadari itu. Namun, sinyal mistis mengalir perlahan ke tubuhnya. Jenny merasakan ada hawa yang aneh menyelimuti tubuhnya. Bulu kuduknya berdiri.
Dalam terpejam, Jenny meraba selimut untuk menutupi tubuh. Tangannya bergerak-gerak ke bawah, mencari-cari selimut tersebut. Akan tetapi, tiba-tiba ia menyentuh tangan lain di sisi tubuhnya. Jenny sangat terkejut.
"Argh!!" Ia pun berteriak keras dengan kedua mata yang masih terpejam.
Tidak lama pintu kamar Jenny terbuka. Mamanya menghampiri Jenny dengan heran. "Ada apa, sih, Jen, teriak-teriak segala. Mama kaget tahu?"
Jenny menghela napas lega mendengar suara mamanya. Segera ia buka kelopak matanya dan bangun untuk memeluk tubuh mamanya itu. Anehnya, tiba-tiba saja tubuh mamanya itu terasa berbeda. Jenny terbelalak menyadari tubuh yang ia peluk berseragam SMA.
"Argh!!" Jenny kembali berteriak dan melepaskan pelukannya. Kemudian berbaring tengkurap, dengan bantal menutupi kepalanya.
Sebuah tangan menyentuh punggungnya.
"Pergi! Jangan mendekat! Jangan ganggu aku!"
"Jen, ini mama. Kamu kenapa, sih?" Suara mamanya kembali terdengar.
"Be-benar itu Mama?" Bibir Jenny berucap gemetaran. Sedangkan napasnya naik-turun tak teratur.
"Iyalah, ini mama. Siapa lagi?"
Akhirnya Jenny memberanikan diri untuk membuka bantal yang menutupi kepalanya. Matanya segera menangkap sosok mama tercintanya itu yang sudah duduk di tepi ranjang.
Anty—mamanya Jenny—mengelus punggung Jenny lembut. "Kalau mau tidur itu berdoa dulu, Jen. Jangan asal tidur. Supaya kamu tidak diganggu oleh hal-hal buruk."
Jenny mengubah posisi tidurnya. Ia memiringkan tubuh, lalu meraih tangan mamanya itu. "Mama jangan tinggalkan Jenny. Mama tidur di sini saja sama Jenny, ya, Ma?"
"Iya, Sayang ...."
-- BERSAMBUNG --
______________________________________________
Terkhusus Readers Kece Tersayang, pindahan dari Readers novel BUKAN PELAKOR. Jika kalian takut, Author Kece sarankan untuk tidak usah membaca novel yang ini, tidak apa-apa. Karena Author tidak ingin kalian yang takut malah jadi terganggu dengan kisah-kisah mistis dan mengerikan.
Namun, jika kalian memang berani untuk menantang diri mencoba sensasi baru, Author sarankan untuk mengikuti novel ini. Karena ini masih standar horor biasa. Lagipula ada, kok, nilai-nilai kehidupan yang Author tanamkan di dalamnya.
Usai novel ini TAMAT, akan terbit novel terbaru. Tentunya ROMANCE lagi.
Thanks ya, sudah mengikuti novel-novel Author Kece. 💖
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!