Apakah seorang mantan itu bisa jadi sahabat? Jessi rasa itu mustahil. Kehidupan Jessi berantakan karena seorang mahkluk yang bernama mantan.
Welcome to Jessica Setiawan story... Kalian bisa baca Novel You’re my Boy lebih dulu supaya ga bingung ya... Jessica ini sama-sama absurd nya dengan kakaknya, Boy.. jadi pasti sangat seru..
Selamat membaca...
***
“Boy, kamu mengusirku?” teriak Jessi dengan suara melengking.
“Tidak Jess. Tapi, kamu tau kan seberapa bahayanya Marco?”
“Ya, tapi aku tidak ingin pergi ke sana.”
“Kamu hanya punya 2 pilihan, Jess.” “Kamu pergi ke kota itu dan hidup tenang di sana, atau kamu tetap di Jakarta tapi aku tidak bisa menjamin keamanan mu.”
‘Tut..tut...’ Boy menutup teleponnya secara sepihak.
Jessi melemparkan ponselnya ke ranjang. Dia kesal karena Boy seenaknya saja menyuruh Jessi untuk pindah ke sebuah kota yang bahkan Jessi tidak yakin itu masuk ke dalam google maps.
Purwokerto? Kota macam apa itu?
Sekali lagi Jessi memikirkan ultimatum Boy yang mengatakan jika Jessi hanya punya 2 pilihan.
Semua cerita ini berawal dari Marcellino Scotts atau yang sering disebut Marco. Pria itu adalah mantan pacar Jessi. Marco sangat frustasi saat Jessi meminta putus. Dia tidak terima jika hubungan asmara mereka harus berakhir, jadi Marco selalu mengejar Jessi siang dan malam bahkan sampai menguntitnya.
Seandainya Marco orang biasa, Boy tidak perlu menyuruh Jessi bersembunyi. Masalahnya, Marco orang yang nekat. Dia ingin mendapatkan Jessi dengan segala cara. Marco juga sampai menyeret adiknya ke dalam masalah hanya karena seorang Jessica.
Boy sudah memikirkan semua kemungkinan dan pada akhirnya dia harus menyuruh Jessi untuk bersembunyi di sebuah kota kecil.
"Sebaiknya aku minta pembelaan dari Mom and Dad." Jessi beranjak dari kamarnya untuk mencari Bayu dan Sania.
Bayu dan Sania berada di ruang tengah ketika Jessi turun.
"Mom! Dad!" teriak Jessi.
Sania yang terkejut segera mendorong tubuh Bayu yang hendak menciumnya. Bayu mengusap wajahnya kasar. Baru saja ingin bermesraan dengan istrinya, ada saja gangguan.
"Kalian seperti anak muda saja." sindir Jessi sembari duduk di tengah Bayu dan Sania.
"Justru bagus kan.. orang tuamu bisa akur sampai sekarang." ucap Sania dengan bangga.
"Ada apa Jess? Jangan bilang kamu ingin minta uang jajan lagi." Bayu memandang Jessica dengan curiga.
"Ya, itu juga Dad.. tapi ada hal penting lain.." Jessi mengubah posisi duduknya menghadap pada Bayu.
"Boy menyuruhku pindah dari kota ini."
"Lho, kenapa? Mom gak mau berpisah sama anak mom yang cantik ini.." Sania memeluk Jessica dari samping.
"Iya, mom.. apalagi Boy menyuruhku pindah ke kota kecil." lapor Jessi lagi. "Gimana aku bisa hidup di sana mom?"
"Kenapa Boy menyuruhmu pergi?" Bayu mengambil ponselnya berencana untuk menelepon Boy yang sedang Honeymoon ke Korea.
"Tanya saja Dad.." kata Jessi setuju.
"Jangan, sayang.. mereka pasti lagi sibuk membuat Boy Junior." Sania menahan tangan Bayu.
"Gak apa-apa Mom.. Boy kan multitasking." Jessi melepaskan tangan Sania dari Bayu.
"Jess, kamu mau dengar apa yang kakakmu lakukan?" seru Sania kesal.
"Ya enggak, tapi Dad perlu bicara sama Boy."
"Nanti saja."
"Sekarang."
"Sudah.. sudah.. kalian ribut saja." "Dad akan telepon Boy dulu." Bayu bangun dari sofa, lalu pergi ke meja makan mencari tempat yang sedikit lebih tenang.
Sementara menunggu Bayu telepon, Jessi juga memainkan ponselnya untuk melihat situs belanja online.
"Kamu mau belanja apa?" tanya Sania sambil melirik ke arah ponsel Jessi.
"Beli jepit rambut, Mom." Jessi menunjukkan ponselnya ke arah Sania.
Sania mengambil ponsel Jessi untuk melihat berapa angka 0 yang tertera di layar.
"Jessica! Kamu mau beli jepit rambut atau mau beli motor?" pekik Sania yang terkejut karena jepit rambut Jessi harganya belasan juta setara dengan harga sebuah motor.
"Mom.. ini bagus.. limited edition." nanti kalau Jessi gak cocok, ini untuk Mom." rayu Jessi.
"Oke lah.. tapi jangan sampai Dad tau. Dia bisa marah karena kamu terlalu boros." ingat Sania. Dia melihat rincian ATM miliknya yang di pegang Jessi, dan Jessi sudah menghabiskan hampir 1 M untuk belanja dalam waktu sebulan ini.
Percakapan mereka terhenti karena Bayu sudah kembali dan duduk menghadap Sania-Jessi.
"Boy sudah jelaskan." Bayu memulai pembicaraannya dengan wajah serius. "Kenapa kamu bisa pacaran dengan Marcellino Scotts?" ucapnya to the point.
"Dad, kami dulu itu teman kuliah." "Jadi wajar kan kalau sering kumpul bareng dan akhirnya pacaran."
"Jessi.. kamu bikin pusing orang tua." "Dad saja malas untuk kerjasama dengan Tuan Scotts..Kamu malah berhubungan dengan anaknya." Bayu memijit pangkal hidungnya untuk mengurangi rasa sakit kepala yang tiba-tiba muncul.
"Jadi, Dad tidak akan menyuruhku pindah kan?" tanya Jessi sambil merangkul lengan ayahnya dengan manja.
"Kamu ikuti saja kata Boy."
"Tapi, Dad.."
"Tapi sayang.."
Sania dan Jessi komplain bersamaan.
"Ini perintah, Jess. Jangan sampai si Marco menemukanmu." "Dan satu lagi, kamu juga harus belajar hemat di sana. Pengeluaranmu sudah terlalu banyak. Kamu boros sekali."
"Hahaha.." Jessi tertawa geli. "Boy lebih banyak Dad. Dia beli rumah baru juga mobil Bugatti." "Dad sepertinya harus kirim dia ke planet lain."
"Jessii.. kakakmu itu sudah punya perusahaan. Dia beli pakai uangnya sendiri. Sedangkan kamu.."
Bayu tidak melanjutkan kata-katanya karena tidak tega pada Jessi yang memasang wajah hampir menangis.
"Dad jahat sekali. Padahal harta dad gak akan habis 7 turunan!" teriak Jessica emosi. Dan benar saja, dia sudah menangis karena merasa Bayu tidak menyayanginya.
"Kasihan keturunan kedelapan, Jess. Ikuti saja kata Dad dan Boy." Sania mencoba menenangkan Jessica.
Jessi yang mencari pembelaan dari Bayu dan Sania kini malah justru diserang oleh mereka berdua.
"Jess.. mau kemana?" teriak Bayu yang melihat anaknya malah naik keatas.
"Mau kabur dari sini." jawab Jessi kesal.
"Lho, dia setuju? tadi katanya ga setuju?" tanya Sania bingung.
"Biarkan saja lah. Biar Boy yang urus Jessica." Bayu mengajak Sania duduk kembali dan melanjutkan kegiatan mereka yang sempat tertunda karena Jessi.
Kota Purwokerto
Jessica terkejut ketika dirinya sampai di kota yang namanya bahkan Jessica tidak ingat. Dia berulang kali mengucapkan kata 'astaga' sambil menggelengkan kepala.
"Pak Samsul, kita kembali ke Jakarta saja." ucap Jessi pada sopir pribadinya.
"Tidak bisa, Non. Tuan Boy bisa memecat saya." Pak Samsul tidak menggubris perkataan Jessica dan tetap menjalankan mobilnya dengan santai.
"Kalau di pecat, nanti saya yang akan pekerjakan Bapak." tawar Jessica lagi.
"Hmmm.. bayarnya pakai daun Non?" "Non saja tidak ada pekerjaan." ucap Pak Samsul sambil menahan tawanya.
"Ini sungguh kejam." "Kenapa semua membully aku?" Jessi melipat kedua tangannya sambil mengerucutkan bibir.
"Kami tidak membully, Non. Tapi itu kenyataan."
"Ya.. ya.. sudah lah.. kapan kita sampai ke kost?"
"Sebentar lagi. Nona lihat-lihat saja dulu kota ini." saran Pak Samsul.
'Apanya yang mau dilihat? Boy memang keterlaluan. Dia mengirim ku ke tempat yang begitu kecil dan sepi ini.' protes Jessi dalam hati.
Tak lama, mobil Lexus mereka sampai ke sebuah bangunan berlantai 2 yang terletak di pusat kota. Boy memang kakak yang luar biasa baik. Dia sudah menyiapkan semua hal bagi Jessi supaya Jessi tidak kerepotan.
"Jadi aku tinggal di sini?" tanya Jessi sambil mengernyitkan dahinya.
"Ya,, tenang saja, Nona. Tempat ini strategis dan dekat dengan mall dan juga rumah sakit. Jadi anda tidak kerepotan mencari kendaraan atau jalan kaki."
"Jalan kaki?" "Bukankah mobilnya di tinggal sini, Pak?"
"Saya hanya mengantarkan Non Jessi saja, setelah itu saya kembali ke Jakarta." Pak Samsul membuka bagasi dan mulai menurunkan koper-koper milik Jessica.
"Tidak bisa seperti ini, Pak. Sebentar, aku akan telepon Boy." Ucap Jessi panik.
Boy bukan hanya mengusirnya ke tempat terpencil, tapi juga ingin menyiksanya dengan tidak memberikan mobil.
"Boy, aku tidak terima." kata Jessi begitu teleponnya terhubung pada Boy.
"Kenapa adikku sayang? Apa kamu sudah sampai?" tanya Boy dengan suara super lembut.
"Aku tidak mau tinggal di sini kalau kamu tidak memberikan aku mobil."
"Lho, jadi kamu mau tinggal dimana?"
"Boy,,, lebih baik kamu kirim aku keluar negeri."
"Jessica.. are you sure?" "Kalau begitu, aku akan kirim kamu ke Africa." jawab Boy dengan santainya.
"Boy, aku tidak ingin bercanda." Jessi mulai kesal dengan Boy yang bertindak semena-mena.
Sementara Jessi sedang menelepon, Pak Samsul sudah selesai menurunkan barang Jessi yang seperti orang pindahan. Dia lalu masuk ke dalam mobil dan segera menjalankannya.
"Pak Samsuuuuul.." teriak Jessi yang berlari mengejar Pak Samsul. Tapi, karena perintah dari Boy yang mengharuskan Pak Samsul pergi secepatnya ketika sudah sampai ke tempat tinggal Jessi, akhirnya dia tidak mempedulikan lagi teriakan wanita itu.
"Booooy.." Jessi mulai kembali merengek pada Boy.
"Jadi, kamu ingin tinggal di situ atau di Africa?" "Kalau memang mau di Africa, nanti aku akan suruh Pak Samsul kembali."
"Kenapa cuma untuk menghindari mantan, kamu sampai bertindak sejauh ini Boy?" tanya Jessi dengan nada sedih.
"Ya, salahmu sendiri cari mantan seperti Marco yang spesial pakai telor." "Aku rasa hanya 2 tempat itu yang cocok untuk menampung mu, Jessica Setiawan."
"Boy, kamu tidak takut jika adik kesayanganmu ini sampai terluka di sini?" tanya Jessi yang masih mencoba merayu Boy sebisa mungkin.
"Sayaaang, kenapa kamu lama sekalii.. cepat, aku sudah kedinginan."
Jessi bisa mendengar suara Marsha alias istri Boy dari ujung sana.
"Sudah ya, aku sedang membuat keponakan yang lucu untukmu. Tolong jangan diganggu dulu." Boy menutup telepon secara sepihak.
"Menjijikan sekali." Jessi menyimpan ponselnya kembali di dalam tas. Dia menatap nanar barang-barang yang berserakan di depan kost nya.
"Mba Jessica?" sapa seorang pria paruh baya berkulit sawo matang yang bertubuh kurus.
"Iya, saya Jessica." "Tapi kok bapak tau sih?"
"Ya, kemarin kakaknya mba yang ganteng itu sudah telepon sama bapak untuk menyiapkan sebuah kamar terbaik di sini." ucapnya sambil memandang Jessi dari atas ke bawah. Sebenarnya sangat mudah mengenali Jessi. Dia memiliki rambut biru.
"Oh.." jawab Jessica malas. Sebenarnya dia kesal, karena Bapak itu menyebut Boy 'ganteng'.
"Ayo, mari bapak bantu tunjukkan kamar Mba Jessi." Bapak itu berjalan sambil membawa 2 koper Jessi.
Sedangkan Jessi membawa koper yang paling kecil. Dia mengikuti orang itu dengan takut-takut.
Kost ini berbentuk paviliun. Jessi lumayan tenang karena artinya privasinya sedikit tidak terganggu.
Bapak itu naik ke lantai 2. Dia baru berhenti di kamar paling pojok.
Kesan pertama Jessi saat masuk ke kamarnya adalah biasa saja. Ruangan itu hanya cukup luas dengan perabot selayaknya yang ada di kamar kost. Ranjang, lemari, televisi. Bedanya adalah kalau di kamar Jessi ini, ada kulkas, dan mini pantry, juga ada sofa yang cukup nyaman. Memang lengkap, tapi jauh dari kata mewah.
"Mba, saya ambil sisa barang mba Jessi di bawah. Kalau butuh bantuan, mba panggil saja ya.." "Nama saya Pak Hadi."
"Ya, makasi Pak Hadi." Jessi menaruh kopernya sembarangan.
'Kehidupan macam apa ini?' Jessi merebahkan diri di ranjang dan menatap langit-langit kamarnya. Bagaimana nasibnya ke depan nanti? Hidup baru nya sungguh menyedihkan.
Ponsel Jessi berdering. Jessi dengan malas mengambil ponselnya.
Nomor asing..
"Halo.. ini siapa?" tanya Jessi lesu.
"Kamu tidak bisa pergi dariku, Jessica Setiawan." suara serak yang khas di sana terdengar begitu menakutkan.
Jessi membulatkan matanya mendengar suara Marco. Dia bangun dari ranjang dengan perasaan cemas.
"Marco.. plis.. aku sudah tidak ingin memiliki hubungan apapun denganmu. Tolong kamu jalani saja hidupmu sendiri dan jangan ganggu aku."
"Tidak bisa, Jess. Kamu harus jadi milikku. Sembunyi di manapun, aku akan tetap menemukanmu." ancam Marco.
Jessi segera mematikan ponselnya, lalu langsung memblokir nomer Marco. Dia begitu takut Marco menemukannya dan akan melakukan hal yang nekat.
Untuk kabur dari Marco, sebenarnya Boy sudah mempersiapkan semua dengan baik. Dia menjamin bahwa ponsel Jessi tidak bisa dibobol alias di hack. Boy juga memerintahkan Jessi untuk tidak menggunakan media sosial sementara waktu. Tapi, Marco tetap saja bisa menelepon Jessi dengan nomer lain. Ini sungguh berbahaya.
'Sudahlah, Jess.. mungkin Boy benar.. kamu harus berbesar hati untuk hidup di kota kecil ini.' Jessi berkata pada dirinya sendiri.
Akhirnya mau tidak mau, Jessi harus menjalani hidup baru nya sesuai dengan rencana Boy.
Jessica tidak berniat untuk keluar dari kamar kostnya. Cuaca yang panas membuat dia enggan bergerak. Apalagi saat ini dia ada di kota kecil, dimana tidak ada hal yang menarik.
Kruuk.. kruuuk
Perut Jessi sudah berbunyi keroncongan. Ya, sejak kemarin sampai siang ini, dia belum menyentuh makanan sama sekali.
Jessi beranjak dari ranjang. Dia menggunakan jaket dan menyisir rambutnya yang berantakan.
Jika ingin tetap hidup, Jessi harus keluar untuk mencari makan. Dia juga sebenarnya harus mengeksplor kota ini karena suka tidak suka, inilah tempat tinggal Jessi yang sekarang.
"Pak Hadi, apa ada mall di dekat sini?" tanya Jessi ketika bertemu pak Hadi di bawah.
"Ada mba.. Mba tinggal keluar, terus ke kiri. Ikuti jalan saja." Pak Hadi menunjukan arah dengan baik.
"Makasi Pak."
"Mba, mau jalan kaki dengan pakaian seperti ini?" tanya Pak Hadi dengan ekspresi kaget.
"Iya. Memangnya ada yang salah Pak?" Jessi menatap penampilannya dari atas ke bawah. Dia menggunakan kaos oversize yang di dobel jaket, dipadu dengan celana hotpants yang hampir tertutup oleh kaos oversizenya. Ini adalah outfit normal bagi Jessi jika ingin keluar jalan-jalan ke mall.
"Enggak, cuma kan panas.. Nanti mba gosong." ucap Pak Hadi sambil tersenyum.
Pak Hadi memang mengagumi Jessi sejak pertama dia datang. Wajah Jessi yang imut dan kulitnya yang putih mulus begitu menyenangkan untuk dilihat. Bagi Pak Hadi, Jessi itu bagaikan artis Korea yang sering anaknya lihat di youtube.
"Ya gak apa-apa Pak. Saya malas ganti baju." Jessi membalas senyum Pak Hadi, lalu dia segera keluar sebelum dia mati kelaparan.
"Cewek.. sendirian aja nih.." sekumpulan pemuda bersiul dan menggoda Jessi yang berjalan cepat melewati mereka.
"Dasar kurang kerjaan." umpat Jessi kesal. Dia tetap berjalan saja dan tidak menunjukan rasa takut. Padahal dalam hatinya, jantung Jessi sudah berdetak tidak karuan. Pantas saja tadi Pak Hadi bertanya tentang pakaian yang Jessi kenakan. Jessi lupa jika kota ini berbeda dengan Jakarta. Jessi harus latihan beradaptasi setelah ini.
Setelah bebas dari kumpulan pemuda gila itu, Jessi sampai juga di mall. Jessi mengelap keringat yang mengalir di dahinya sambil memandang kanan kiri mall.
Mall di sini begitu kecil. Jessi hampir saja mengira ini bukan mall, tapi hanya pusat perbelanjaan. Jessi mulai menjelajahi seluruh mall. Dia mencari makanan yang terdekat saja yang tidak mengharuskan dia menunggu lama.
Akhirnya Jessi sampai di sebuah resto Jepang di lantai 2 yang terlihat tidak terlalu ramai. Jessi memesan sembarangan menu yang ada, karena kepalanya sudah mulai pusing dan cacing di perutnya meronta ingin mendapat makanan.
"Mom, kota ini sangat kecil dan panas. Jessi tidak, betah di sini,Mom." keluh Jessi yang menelepon Sania sembari menunggu makanan siap.
"Jess.. di sini juga panas." balas Sania untuk menghibur Jessi.
"Tapi di sini lebih panas Mom. Dan baru jalan sebentar saja kulitku gosong."
"Kamu harus beli payung dan sun screen, sayang."
Jessi berdecak kesal. Sania memang tidak mengerti perasaannya. Atau ini karena di Korea, Sania selalu pergi menggunakan kendaraan umum dan juga membawa payung. Jadi dia menyuruh Jessi melakukan itu juga.
"Mom, Jessi butuh mobil." "Tolong bilang pada Boy Oppa untuk belikan Jessi mobil di sini." rengek Jessi.
Mendengar anaknya yang mengerek seperti itu, Sania merasa tidak tega. Boy dan Bayu memang kejam. Mereka bukan hanya meninggalkan Jessi sendirian di kota orang, tapi mengambil seluruh fasilitas Jessi.
"Nanti Mom akan coba diam-diam belikan kamu mobil. Tapi jangan sekarang, karena Boy sebentar lagi akan pulang dengan Marsha."
"Makasi mom.. Mom memang yang terbaik, tidak seperti Boy." ada sedikit nada lega ketika Jessi mendapat dukungan dari Sania.
"Kamu juga jangan bermalas-malasan. Tunjukkan kalau kamu juga bisa kerja." pesan Sania.
"Ya, Mom. Tapi Jessi tidak tau apakah di sini ada kantor, karena sejauh memandang, Jessi tidak melihat perkantoran." Lagi-lagi Jessi berdecak putus asa.
"Ya sudah. Nanti kita telepon lagi. Mom harus bikin makan siang untuk Dad."
Jessi meletakkan ponselnya di meja. Dia menengok ke arah dapur untuk melihat apakah makanannya sudah siap.
"Siang mba.. ini makanannya." Seorang pelayan akhirnya membawa makanan Jessi.
Dalam sekejap meja Jessi penuh dengan makanan.
"Apakah mba datang bersama teman?" tanya pelayan itu kepo.
"Mas, saya pesan minumnya berapa?" Jessi balik bertanya.
"Satu."
"Ya sudah. Kalau satu, artinya saya itu sendirian mas." jawab Jessi ketus.
'Apa dia tidak pernah makan setahun?' batin pelayan itu sambil berlalu.
Jessi kini memandang makanan di depannya. Dia segera makan dengan lahap tanpa banyak berkata lagi.
Pelayan tadi ternyata masih mengamati Jessi dari kejauhan. Dia geleng-geleng kepala karena Jessi makan seperti orang kelaparan. Cantik-cantik kok gelojoh.
Tidak butuh waktu lama bagi Jessi untuk menghabiskan semua makanan yang tersedia. Jessi menepuk perutnya yang sedikit buncit setelah makan dengan kenyang.
"Hebat banget yah mba.. bisa habis 5 porsi makanan sendirian." pelayan tadi kembali untuk membereskan piring Jessi.
"Mas, saya memang gak makan dari kemarin." curhat Jessi.
"Lho, kenapa mba? Apa habis putus cinta?"
"Lebih parah dari itu mas. Saya baru saja di usir dari rumah." "Saya stress dan harus cari pekerjaan."
Pelayan itu yang tadinya berpikiran negatif pada Jessi, kini jadi prihatin mendengar cerita wanita di depannya itu.
"Ada banyak lowongan pekerjaan di mall ini, mba. Siapa tau mba bisa kerja di sini."
"Apa iya, mas?" "Saya sangat butuh pekerjaan." teriak Jessi senang.
"Ya mba. Coba mba tanya satpam. Dia pasti tau tempat mana yang butuh lowongan pekerjaan." jelas pelayan itu dengan semangat.
"Ya mas..terimakasih sarannya." Jessi mengeluarkan 10 lembar uang 100 ribuan, lalu memberikan itu pada pelayan yang sudah memberi saran dan melayaninya.
"Tolong bayarkan dan ambil saja sisanya." ucap Jessi sambil berlalu.
Jessi memang antimainstream. Sejak masuk, Jessi sudah menarik perhatian orang dengan rambut birunya. Sekarang, dia memberikan tips pada seorang pelayan begitu banyak.
Setelah sadar karena dapat rejeki nomplok, pelayan tadi segera mendoakan Jessi supaya wanita itu banyak rejeki dan cepat dapat pekerjaan.
*
*
*
Sementara itu, Jessica masih memikirkan bagaimana cara dia bisa beradaptasi di sini.
Sejak tadi, orang-orang melihatnya dengan pandangan aneh. Pertama Pak Hadi, lalu pemuda-pemuda yang menggodanya, setelah itu pelayan restoran yang kepo itu juga memandang dia dengan cara berbeda.
Sekali lagi Jessi memandang dirinya di cermin.
"Apa yang salah?"
Lama Jessi berpikir sambil mengagumi dirinya. Dan ya.. Jessi baru sadar jika rambutnya terlalu mencolok. Tapi, Jessi sangat suka dengan rambut birunya.
'Boy memang luar biasa kejam.' Umpat Jessi dalam hati. Dia sepertinya harus mengalah untuk mengecat rambutnya dengan warna berbeda, supaya tidak mencolok perhatian lagi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!