"Takdir Allah itu memang indah dari yang awalnya kita tidak saling mengenal, bahkan tidak saling berkomunikasi, Allah takdirkan untuk bersatu. Pernikahan kita sama sekali tidak terpikir dalam benak saya karena pasalnya waktu itu saya sama sekali belum pernah memikirkan pendamping hidup"
_Raditya Senjaya.
"Allah sengaja menghilangkan dia dari hidup saya, karena Allah tau bahwa dia bukan yang terbaik buat saya karena sebenarnya kamulah yang terbaik buat Saya"
_Alnara Saquela Natania_
"Apa kamu masih menunggu saya? Jika iya, ijinkan saya mendatangi rumahmu bersama kedua orang tua saya untuk meminta restu kepada orang tuamu, agar saya bisa menikahimu"
_Gus Afan Al-faisal_
"Aku mengagumimu. Akan tetapi aku sadar, siapa kamu dan siapa aku. Aku hanyalah santriwati biasa sedangkan dirimu adalah anak kiyai, anak pemilik pesantren tempat saya menimba ilmu"
_ Anantazia_
"Saya serahkan anak perempuan saya kepadamu, saya alihkan tanggung jawab saya kepadamu, jaga dia sebagaimana kamu menjaga berlian berhargamu dan muliakan dia sebagai mana kamu memuliakan ibumu"
_Abi Senjaya.
"Perempuan itu bagaikan mutiara yang harus di jaga dengan baik oleh cangkangnya. Perempuan itu punya mahkota yang harus di jaga dengan sebaik-baiknya, jangan sampai mahkota itu jatuh karena seorang laki-laki yang belum halal bagimu"
_Umi Elvi Tazia_
*****
"ABANGGGGGG BUKAAAAAA" Teriakan nyaring nan melengking begitu mengisi penjuru rumah dengan nuansa mewah dan elegan. Ana, pemilik suara itu entah kenapa menggedor-gedor pintu kamar abangnya sejak tadi.
"ABANGGGG" Teriaknya lagi, namun belum juga mendapat sautan dari balik kamar. Terlihat remaja dengan baju koko pendek, sarung serta peci yang melekat pada tubuhnya tengah tertidur pulas di jam yang menunjukkan pukul 08.58. Bisa di ketahui jika remaja itu habis melakukan rutinitasnya bersama keluarga yaitu Sholat Dhuha.
Raditya, ya remaja itu adalah Raditya, jika biasanya sehabis sholat Dhuha ia bersama Abinya akan segera ke kantor untuk bekerja, namun berbeda dengan hari ini, ia lebih memilih untuk pergi ke kamar dan kembali terlelap, entah lelah atau bagaimana
"Ya Allah ya Rabb" ucap Ana, merasa jengkel karena tidak ada jawaban dari sang kakak, pintunya terkunci jadi ia tidak bisa masuk ke dalam kamar kakaknya. Tapi jikalau tidak di kuncipun Ana tidak mungkin masuk tanpa adanya ijin dari sang pemilik. Menurutnya masuk kedalam kamar pribadi orang tanpa ijin itu sungguh tidak sopan.
Di sisi lain, pria yang menjadi sebab Ana berteriak itu menggeliat dengan enaknya, ia menerjap-nerjapkan matanya mencoba menyesuaikan cahaya lampu yang masuk kedalam nertra matanya, tak lama kemudian ia mengubah posisinya menjadi duduk. Namun ketika itu teriakan Ana yang tak kunjung usai mengganggu pendengaran nya
"ABANGGG"
"ABA....... "
"Pelanin nada bicara kamu" ucapnya dingin dengan suara khas orang bangun tidur, bangun tidur yang kedua kalinya.
"A-afwan ya Bang, lagian kenapa abang di panggil gak nyaut-yaut sih?"
"Abang tidur, ada apa emang?"
"Astaghfirullahaladzim Abang, kok tidur pagi-pagi gini sih? Abang kan biasanya kalo habis sholat Dhuha itu berangkat kerja. Emang Abang hari ini gak kerja?" Ana bingung, pasalnya jarang sekali kakak satu-satunya ini tidur di pagi hari. Bahkan Ana pun sering mendengarkan nasihat dari Abangnya jika tidur di waktu pagi itu tidak baik, sering kali dia juga bilang jika setelah sholat fardhu subuh jangan di biasakan tidur lagi tapi tunggu waktu pagi dengan berdzikir dan bersholawat lalu setelahnya jika fajar sudah muncul bisa melakukan aktivitas lain, akan tetapi jika sudah waktunya sholat Dhuha tiba, barulah segera melakukan sholat Dhuha berjamaah bersama keluarga tercintanya
"Gak tau Dek, Abang kayanya hari ini libur dulu badan Abang serasa remuk" ucapnya kala merasakan seluruh tubuhnya terasa nyut-nyutan, mungkin karena terlalu sibuk bekerja
"Yaudah iya Abang istirahatin diri dulu ya di rumah biar Abang gak terlalu cape" Ana perhatian, perhatian yang begitu tulus sehingga membuat sang kakak tak kuasa menahan senyum.
"Ma Syaa Allah, Syukron Adek cantiknya Abang" ucap Raditya mengusap pucuk kepala Ana yang terbalut hijab.
"Ah iya, udah seharusnya Bang" balas Ana tersenyum
"Oh iya, ngapain kamu teriak-teriak begitu manggil Abang?" tanya Raditya menanyakan apa maksud dan tujuan sang adik memanggil dirinya dengan berteriak semacam itu.
"Itu bang, eumm.... Euhh..... " Ucapan Ana terjeda pasalnya ia takut mengatakan itu kepada kakaknya
"Ada apa? Sini ngomong sama Abang" Raditya meyakinkan Adiknya, ia tau jika Adiknya itu gugup dan sungkan untuk berbicara sesuatu hal kepada dirinya.
"Emmm, Abang mau gak temenin Ana?" Ucapnya pelan serta hati hati. Ia tau betul kakaknya itu, jika di ajak jalan-jalan atau di ajak ke tempat ramai akan menolak dengan alasan, di tempat umum seperti itu pasti banyak wanita-wanita yang membuka auratnya.
Gunawan menyergit, "Kemana?"
"Euhh.i-itu ke.... apa ya? Ke acara nikahan temen Ana waktu di pondok" Akhirnya sepenggal kata yang ingin di beritahu kepada kakaknya itu terucap juga.
"Mau nikah?"
Ana yang mulanya takut-takut merubah wajahnya menjadi kesal, jelas-jelas tadi dirinya memberitahu kepada kakaknya itu mau atau tidak dirinya menemani Ana ke acara nikahan temannya. Lalu bagaimana bisa ia menanyakan hal itu? Tidak tahu atau pura-pura bodoh?
"Enggak, dia mau makan" jawab Ana asal
"Tapi kok acara nikahan?" tanyanya lagi sok polos.
"Ihh Abang" Ana mencubit lengan Raditya , membuat sang empu meringis "kan dia mau nikah terus aku di undang tapi aku gak ada temen jadinya aku mau ajak Abang, gimana sih" jelasnya jutek.
Raditya terkekeh melihat tingkah adiknya, "Iya Abang tau, Afwan ya Dek. Memang kapan acaranya?"
"Besok"
"Yasudah besok setelah sholat Dhuha kita kesana ya?" tentu ucapan Raditya membuat Ana membulatkan matanya tak percaya, "A-Abang beneran?" tanyanya memastikan
"Iya beneran"
"Aaaa Abang makaci" ucap Ana manja sembari memeluk tubuh sang kakak
"Sama sama Dek" balas Raditya membalas pelukan sang Adik, "Oh iya Dek, Abi sama Umi kemana?"
Ana merenggangkan pelukannya, "Abi sama Umi katanya mau berkunjung ke pesantren milik sahabatnya Abi" jelas Ana, Abi Senjaya juga sepertinya meliburkan diri dahulu dari kantor untuk hanya sekedar berkunjung ke pesantren milik sahabatnya, gak apa-apa toh dia sendiri yang punya kantor.
Iya, Abi atau ayah dari Raditya serta Ana memang mempunyai sahabat yang memiliki pesantren di Jakarta. Pesantren yang lumayan terkenal di kalangan sana.
Raditya mengangguk, "Oh ya sudah"
"Abang mandi dulu lagi gih. Ana tadi udah siapin makanan, Abang makan dulu. Jangan sampai telat" peringat Ana.
"Ma Syaa Allah, punya Adik serasa punya Istri" kekeh Raditya.
"Hayooo, Abang kebelet nikah ya? Abang udah pengen nikah ya?" Ana curiga
"Pengen!!! Tapi jodohnya belum kelihatan, BUREM"
"Cari dong" saran Ana enteng.
"Pengen!!! Tapi jodohnya belum kelihatan, BUREM"
"Cari dong" saran Ana enteng
"Itu mulut gampang banget ngomongnya, kamu kira cari istri itu kaya cari kerikil heum?"
Ana menyengir kuda, "Hehe enggak sih"
"Ya maka dari itu, abang belum nemu yang tepat, lebih tepatnya Abang gak pernah mengenal perempuan" ucapnya terkekeh, yang mengingat dirinya tidak pernah sama sekali berbaur dengan perempuan, jangankan berbaur berkomunikasi di sosial media saja tidak pernah, padahal yang mendekatinya begitu banyak, namun entahlah dia bukannya merasa senang malah merasa risih dengan itu semua.
Perlu kalian ketahui Raditya juga tidak pernah yang namanya bermaksiat atau berpacaran, dalam usianya yang sekarang 23 tahun, Raditya sama sekali tidak pernah berpacaran. Begitupun dengan Ana, gadis berusia 20 tahun itu juga tidak pernah merasakan pacaran. Terlebih lagi Abi serta Abangnya itu terlalu posesif terhadapnya, jika ada seorang lelaki mendakatinya maka dengan sigap abangnya itu selalu mencegah hal itu dan membuat lelaki itu langsung urung untuk mendekati Ana.
"Ya udah sih Bang, Abang cuma belum di temuin aja sama jodoh Abang. Jangan takut gak kebagian jodoh, kan semua manusia di ciptakan berpasang-pasangan. Jodoh dan Maut itu sudah di tentukan sebelum kita lahir kedunia" tutur Ana yang berhasil membuat sang kakak senyum-senyum sendiri.
"Abang kenapa senyum-senyum sendri?" tanya Ana heran.
"Eh? Abang cuma kagum aja sama kamu, sekarang kamu udah pinter. Berarti terbukti bahwa selama kamu di Makassar kamu belajar dengan sungguh sungguh. Kamu berubah drastis Dek, yang bikin Abang terkagum-kagum lagi sama kamu, sekarang kamu adalah Hafidzhah hafal 30 Juz Al-Qur'an. Ma Syaa Allah Abang bangga sama kamu Dek"
ya Ana sempat menuntut ilmu di pesantresn yang berada di Makassar selama 6 tahun. Sengaja Abi Senjaya serta Umi Elvi memasukkan Ana ke pesantren ternama di Makassar adalah dengan alasan supaya Ana bisa menjadi anak yang sholehah, anak yang lebih baik lagi. Mereka tidak pernah menuntut Ana seperti Raditya, yaitu hafal 30 Juz. Namun dengan tidak menyangkanya mereka, ketika Ana pulang setahun yang lalu mereka di kabarnya jika anak perempuannya itu mendapat gelar penghafal terbaik 30 Juz Al-Qur'an. Tidak terbayang begitu bangganya mereka
"Ana juga kagum sama Abang, Abang juga kan hafal 30 Juz, bukan cuma Abang Umi sama Abi juga. Ma Syaa Allah Ana seneng banget punya keluarga kaya kalian.
"Tabarakallah Dek"
Ana tersenyum lepas, namun senyum itu pudar kala dirinya mengingat sesuatu, "Ihh Abang, katanya mau makan kok malah ngobrol terus? Abang belum makan dari tadi"
Raditya terkekeh, "Kamu sendiri yang ngajakin Abang ngobrol mulu"
"Ya udah Abang makan dulu habis makan kita murojaah, biar hafalan kita gak lupa" Ya, murojaah juga adalah salah satu dari kebiasaan mereka agar hafalan mereka tidak mudah lupa. Walaupun terbilangnya keluarga mereka adalah keluarga Hafidzah dan Hafidzah akan tetapi penghafalan juga harus sering di lakukan.
"Tumben kamu ngajak duluan, biasa harus selalu abang yang ajak"
"Gak papa aku pengen aja, yaudah gih sana... nanti gak jadi lagi" Ana mendorong badan sang kakak agar keluar dari kamar Raditya sendiri.
"Iya iya Abang makan"
°°°°°°°°°°
"Bang" panggil Ana kala tak mendapati Raditya masuk kedalam kamarnya setelah makan. Sudah 20 menit lamanya Raditya tak juga memasuki kamarnya padahal dari tadi sudah jelas jika ia dan Raditya akan murojaah atau mengulang hafalan.
Ana mengecek kamar Raditya yang berada di sebelah kamarnya, ia tak masuk melainkan hanya memasukkan kepalanya sedikit, "Abangg, ada di sini kah?"
Saat tak mendapati sang kakak di kamarnya, Ana memutuskan untuk ke lantai bawah, melihat di dapur siapa tau kakaknya masih berada di sana. Tapi masa iya selama itu belum selesai makan?
Sesampainya di sana, dan benar saja Raditya masih berada di sana tetapi bukan makan melainkan ia seperti tertidur. Kepalanya ia telungkupkan di lipatan-lipatan tangannya di atas meja.
"Astaghfirullah, abang" mendengar hal itu Raditya segera terbangun dan terkejutnya ia melihat Ana di depannya.
Raditya mengusap wajahnya kasar, "D-Dek?"
"Abang kenapa si? Kok dari tadi tidur mulu?"
"Ngantuk" balasnya singkat
"Padahal kita udah sepakat loh buat murojaah tapi pas aku tunggu gak dateng-dateng
"Astaghfirullah, abang lupa dek maaf ya. Yaudah sekarang kita murojaah. Yuk ke kamar kamu" ucap Raditya, merasa bersalah kepada adiknya, lagian kenapa sih ngantuk mulu bang? Semalam habis ngapain wkwk.
Sesampainya di atas, Raditya permisi ke kamarnya terlebih dahulu untuk berwudhu. Setelah itu barulah ia kekamar adiknya
"Udah?"
"Udah. Yuk mulai, mau surah apa hm?"
"Aku mau surah Al-Kahfi tapi barengan" pinta Ana.
"Yasudah kita barengan"
"Bismillahirrahmanirrahim" mereka serempak terlebih dahulu membaca basmallah
"al-hamdu lillaahillaziii angzala 'alaa 'abdihil-kitaaba wa lam yaj'al lahuu 'iwaja" mereka bersamaan membaca surah
Al-Kahfi.
"qoyyimal liyungziro ba-sang syadiidam mil ladun-hu wa yubasysyirol-mu-miniinallaziina ya'maluunash-shoolihaati anna lahum ajron hasanaa"
"maakisiina fiihi abadaa"
"wa yungzirollaziina qooluttakhozallohu waladaa"
"..................................... "
"..................................... "
"qul innamaaa ana basyarum mislukum yuuhaaa ilayya annamaaa ilaahukum ilaahuw waahid, fa mang kaana yarjuu liqooo-a robbihii falya'mal 'amalang shoolihaw wa laa yusyrik bi'ibaadati robbihiii ahadaa"
"Shadaqallah-hul 'Aziim"
Tak terasa, mereka sudah menyelesaikan 110 surah Al-Kahfi saking khusu-nya
"Alhamdulillah" ucap mereka serempak
Tanpa di sadari dua orang paruh baya sedari tadi mengintip dari balik pintu kamar, sudah bisa di pastikan jikalau itu adalah Abi dan Umi . Orang tua mereka. Sejak 7 menit yang lalu mereka baru saja pulang berkunjung dari pesantren milik sahabatnya Abi Senjaya.
"Ma Syaa Allah Bi anak anak kita" ucap Umi Elvi merasa bangga kepada kedua anaknya
"Iya Mi, Abi bangga sama mereka. Semoga Allah selalu menjaga mereka dan selalu melindungi mereka di manapun mereka berada. Juga, semoga mereka selalu terus berada di jalannya Allah, Aamiin"
"Aamiin"
Umi Elvi ingin masuk namun dengan segera Abi mencegahnya, Abi Senjaya menggeleng, "biar lah Mi, biarkan mereka berdua. Jangan di ganggu dahulu" kata Abi Senjaya, Umi Elvi mengangguk lalu mengikuti suaminya pergi ke lantai bawah.
°°°°°°°°°°
Keesokan harinya, di jam 08.30 Ana serta Raditya tengah sibuk bolak balik kesana kemari mencari barang yang akan di kenakan serta barang yang akan di bawa ke acara nikahan temannya Ana.
"Ya Allah Ya Rabb, ada apa dengan kedua anak kami" gumam Umi Elvi serasa pusing melihat kedua anaknya berlalu lalang di hadapannya. Jika menanyakan Abi , ia sehabis sholat Dhuha langsung berangkat ke kantornya.
"Umi liat kemeja putih Raditya gak?" tanya Raditya berhenti sejenak di hadapan Umi lalu kembali sibuk mencarinya lagi tanpa menunggu jawaban dari sang Umi.
"Astaghfirullah belum juga di jawab" ucap Umi Elvi sebisa mungkin bersabar
"Umi liat Abaya Ana yang hitam tapi ada polet putih itu gak Umi?" kali ini Ana lah yang bertanya.
"Umi, liat jas Raditya yang item gak?"
"Umi, kerudung pashmina hitam Ana liat gak?"
"Umi, ikat pinggang Raditya di mana?"
"Umi, liat.. .. "
"Sudah sudah, kalian ini. Umi pusing denger kalian bertanya-tanya ini itu sama Umi, bukannya kemarin malam kalian yang udah siapin, kalian yang setrika, kalian yang udah.... "
Ana serta Raditya saling pandang, lalu, "DI RUANG SETRIKA" ucap keduanya barengan, ketika itu juga keduanya buru-buru bergegas ke ruang setrika di mana baju yang mereka perlukan ada di sana.
"Afwan ya Umi kami potong omongannya" ucap Raditya terkekeh sebelum akhirnya berlalu mengejar adiknya. Umi Elvi hanya bisa geleng geleng dengan tingkah kedua anaknya.
*****
"Umi kita berangkat" ucap Raditya yang sudah siap pergi ke acara pernikahan sahabat Ana, menyalami tangan Uminya itu bergantian.
Terlihat Raditya memakai kemeja polos putih panjang di balut jas hitam tak lupa juga dengan sepatu hitamnya bak Ceo ternama di Indonesia. Sedangkan Ana seperti yang sudah di ketahui, ia memakai Abaya hitam dengan polet putih di setiap sudut abaya, hijab pashmina senada dengan abaya, juga sepatu Sneakers putih yang menambah elegan kepada sang pemakai.
"Assalamu'alaikum" pamit mereka
"Waalaikumussalam" jawab Umi Elvi, "hati-hati" tambah Umi memperingati.
Raditya serta Ana memasuki mobil, dengan Raditya yang mengemudi, tak lama kemudian Raditya menginjak pedal gas, sehingga membuat mobil itu bergerak maju. Selama di perjalanan Raditya maupun Ana tak membuka suara sedikitpun, hanya ada keheningan yang mengisi perjalanan mereka.
"Bang" akhirnya Ana membuka suara memecahkan keheningan yang ada.
"Heum?" balas Raditya berdehem singkat dengan mata yang tak lepas menatap lurus kedepanm
"Ana pengen nikah" ucap Ana pelan, sontak hal itu membuat Raditya tertawa terbahak-bahak.
Ana yang menyadari langsung cemberut dan memukul bahu sang kakak, "ih kok ketawa?"
"Emangnya mau nikah sama siapa Neng" jawab Raditya masih dengan menahan bengek.
"Ya aku emang gak punya pacar, tapi kan siapa tau dalam waktu dekat ini aku nemu"
"Hey!! Pacaran? Bahasa itu Dek? Bahasa alien?" ucap Raditya geleng-geleng kepala.
"No, no. Abang gak rela kalo adik Abang ini di dapetin dengan cara yang haram atau cara yang tidak di ridhoi Allah. Jika sewaktu-waktu ada laki-laki yang menginginkan kamu dengan serius, maka suruh dia ke rumah berhadapan langsung dengan Abi serta Abang" ucap Raditya finall.
"Iya Bang pasti. Aku juga gak mau pacaran, aku gak mau karena aku pacaran Allah jadi marah sama aku , aku gak mau karena aku pacaran, aku jadi jauh sama Allah"
"Kamu inget gak? Dalam surah Al-Isra, Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰۤى اِنَّهٗ كَا نَ فَا حِشَةً ۗ وَسَآءَ سَبِيْلًا
wa laa taqrobuz-zinaaa innahuu kaana faahisyah, wa saaa-a sabiilaa
Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk." jelas Raditya menjelaskan apa arti dalam surah Al-Isra ayat 32.
"Iya Bang Ana inget. Abang tenang aja aku bakalan jaga dan tahan diri aku supaya gak pacaran karena aku gak mau Mas Lauhul Mahfudz cemburu" ucap Ana senyum-senyum sendiri di akhir kalimat.
Raditya terkekeh, "iya Dek. Sebenernya kita itu bukan gak punya pacar, tapi kita lagi LDR-an sama seseorang yang di Lauhul Mahfudz"
"Smoga Allah mempersiapkan yang terbaik ya buat kita"
"Aamiin" ucapnya serempak
Asyiknya berbincang sehingga membuat mereka tak sadar bahwa sekarang mereka sudah sampai di sebuah rumah yang mengadakan acara pernikahan, yang sudah di ketahui itu acara pernikahan sahabatnya Ana.
Raditya mengedarkan pandangannya kesana kemari sehingga dirinya menangkap plang nama di sebuah pelaminan, " Nara dan Zaki" eja-nyam
"Namanya Nara Dek?" tanya Raditya kepada sang adik.
yang sedang melihat-lihat sekitarpun menoleh ke wajah kakaknya, "iya itu nama panggilannya, kalo nama aslinya Alnara" ucapannya terjeda, "Alnara Saquela Natania"
"Namanya sama kaya kamu, ribet"
"Kaya aku? Ribet? Gimana maksud abang?" tanya Ana merasa tak paham apa yang abangnya katakanm
"Anantazia, Natania. Agak berbelit bacanya" lalu keduanya terkekeh sampai akhirnya mereka masuk kedalam area halaman rumah yang sudah di dekorasi dengan semewah mungkin, lalu mereka duduk kursi bagian paling belakan.
Lumayan lamanya menunggu, kini sudah bagian pada acara inti yaitu akad nikah. Acara inti yang sudah di nantikan oleh semua hadirin acara, terutama kedua mempelai.
Nara, mempelai wanita itu yang semulanya bersembunyi di balik rumah akhirnya keluar juga, duduk di sebelah lelaki yang bernama Zaki yang sebentar lagi akan sah menjadi suaminya.
"Ma Syaa Allah Nara cantik banget" kagum Ana kala melihat sahabatnya memakai Dress panjang putih berhias pernak pernik, hijab pashmina putih, serta mahkota berwarna perak semakin membuatnya tambah elegan.
"Abang liat" kata Ana, namun sama sekali Raditya tak melihatnya ia malah memilih menatap kakinya yang terbalut sepatu.
"Maaf Gadhul Bashar Dek" jawab Raditya.
"Astaghfirullah iya lupa, Abang kan cowok kalo aku cewek jadi boleh aja liat Nara hhe"
Di satu sisi mempelai lelaki segera menjabat tangan ayah dari mempelai wanita, "Sudah siap?" tanya ayah dari mempelai wanita itu
Zaki, mempelai lelaki itu mengangguk, "siap pak" jawabnya mantap
"Bismillahirrahmanirrahim, Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau ananda Zaki Wijaya bin Herman Wijaya dengan anak saya yang bernama Alnara Saquela Natania dengan maskawinnya berupa uang tunai sebesar 1 miliyar rupiah, tunai.”
"Saya terima... "
"BERHENTI" teriak seseorang mampu membuat sakral nikah yang hampir secuil lagi berhasil terpaksa terhenti. Tiba tiba saja seseorang lelaki dengan berpakaian khas seragam polisi muncul dengan raut wajah yang sudah tidak bisa di ceritakan lagi.
"Apa apaan ini"
"Mohon maaf bapak ibu sekalian jika saya mengganggu, tapi saya harus segera membawa saudara Zaki ke kantor polisi atas laporan pemerk*s**n" penjelasan seorang polisi yang di ketahui bernama Sandy itu tentu membuat cengo seluruh tamu undangan apalagi Raditya serta Ana, sama, mereka juga tak kalah terkejutnya.
"Astaghfirullahalazim" Nara beristighfar, air matanya menetes, dadanya sesak, tak menyangka jika ternyata calon suaminya seperti itu. Nara menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Ia bersandar pada bahu ibunya.
"Bapak pasti bohong, anak saya tidak mungkin melakukan hal sebodoh itu" Herman mencoba membela anaknya.
"Mohon maaf pak, kami tidak akan melakukan tindakan sebelum kami punya bukti"
"Apa buktinya" tanya Herman dengan nada tinggi.
Seorang polisi mengambil sebuah barang dari dalam saku seragamnya, dan memperlihatkannya di depan Herman, "jam tangan ini adalah bukti dari korban" ucap polisi itu.
Tidak bisa mengelak memang Hermani tau betul itu adalah jam tangannya Zaki darinya, yang ia disaind khusus untuk Zaki jadi tidak mungkin orang lain mempunyai nya.
Sedangkan di sisi lain Zaki sudah mendengus, merutuki dirinya sendiri kenapa bisa ia teledor,, sial, umpatnya dalam hati.
"ZAKI" bentak Herman seperti murka terhadap anaknya.
"Pah aku... "
Plakkk
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Zaki. Herman, ya pelaku itu adalah Herman ayah kandungnya sendiri. Ia melakukan itu bukan tanpa alasan, Herman merasa bahwa dirinya sudah di permalukan di depan umum oleh anaknya sendiri.
"Pak silahkan bawa dia" ucap Herman Final, masa bodo yang akan di penjara nanti itu adalah anaknya, ia hanya tidak ingin anaknya lari dari tanggung jawab.
"Pah!! Aku ini anak papah. Bisa bisanya papah tega?"
"Berani berbuat berani juga bertanggung jawab boy" ucap Herman
"Mas Zaki" cicit Nara masih menangis di dekapan sang ibu
Zaki menoleh, "Nara aku gak seperti apa yang polisi itu bilang Na, aku... "
"Pergi mas" usir Nara, tanpa melihat wajah Zaki sedikitpun. Ia sudah terlanjut kecewa. Rasanya marah, sedih, kecewa, bercampur menjadi satu, jika ada yang menanyakan seperti apa kondisi Nara sekarang, sungguh tidak bisa di jelaskan.
"Na aku mohon... "
"Mari Pak segera ikut kami" ucap polisi itu mengunci pergerakan Zaki, yang sudah memberontak.
"Apaan sih Pak, lepas"
"Na aku mohon Ra, percaya sama aku"
"PERGIII" Teriak Reza tidak bisa menahan amarahnya, matanya memerah, urat nya seperti menonjol saking marahnya
"Saya gak sudi anak saya menikah dengan orang seperti kamu"
"Om... "
"Mari ikut kami Pak" polisi itu membawa Zaki dengan paksa, meskipun tidak mulus di karenakan Zaki terus saja memberontak, tetapi polisi itu tetap berhasil membawa.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!