"Bruaaak...!"
Wira membanting berkas yang ada di depannya. Kemudian mengusap usap wajah, lalu menghempaskan punggung pada sandaran kursi, sambil memejamkan matanya.
Jam dinding menunjukkan pukul lima belas siang, menjelang sore. Wira terlihat sangat lelah, dia terus memejamkan mata, sampai tiba tiba seseorang mengetuk pintu ruang kerjanya.
"Tok...tok..tok.. Izin masuk komandan."
"Ya masuk..!" Eh Siska, silahkan suduk, ada apa sis?"
Seorang polwan cantik berambut pendek setengkuk, berdiri tegap di depan pintu, sambil menenteng sebuah map berisi berkas di tangan kirinya.
Wira mempersilahkan polwan muda bernama Siska untuk duduk di kursi, tepat depan mejanya. Setelah itu, Wira memperbaiki posisi duduk, lalu melipat tangan di atas meja.
"Izin pak, ini laporan penemuan jenazah wanita di gudang peti kemas wilayah dermaga. Dari laporan petugas di lapangan, tidak ada tanda tanda kekerasan pada tubuh korban, hanya saja tubuhnya membiru dan kulitnya kurus kering seperti mumi."
"Sebagian rambut memutih, mata melotot, mulut menganga, dan ada cairan lendir di daerah bibir yang belum dapat kami pastikan."
Wira memperhatikan uraian Siska dengan seksama sambil mengernyitkan dahinya. Tampak sekali perwira muda itu sedang berpikir keras, dia coba mengolah informasi yang diberikan Siska dengan logika.
Menurut nalarnya, uraian Siska ganjil dan tidak masuk akal, sambil membuka map berkas yang di sodorkan, Wira terus mendengarkan apa yang sedang di laporkan bawahannya itu.
Setelah mendengarkan semua uraian Siska, Wira mengecek lagi kesesuaian laporan Siska, dengan fakta, dan bukti yang ditemukan pada saat team forensik melakukan olah TKP.
Lagi lagi Wira mengernyitkan dahi kala melihat foto korban, dan tempat kejadian perkara (TKP). Dia membaca laporan secara garis besar, kemudian menggaruk keningnya.
"Ini sangat aneh Sis, dalam laporan dikatakan jenazah baru meninggal beberapa jam yang lalu, tapi kondisi tubuh korban mengering, bagaimana mungkin bisa begitu?" bahkan jasadnya belum mengeluarkan aroma layaknya jenazah?" Ini benar benar ganjil."
"Iya pak, bahkan petugas juga kebingungan karena tidak ada sesuatu yang bisa menjadi petunjuk awal. Tidak ada luka bekas penganiayaan, tidak ada kartu identitas, bahkan saksi pertama yang menemukan korban juga tidak melihat siapapun di lokasi."
"Anjing pelacak juga sudah di kerahkan untuk menyisir area di sekitar pelabuhan, tapi hasilnya nihil pak."
"Lalu bagaimana dengan kamera cctv di area gudang?"
"Penemuan jasad korban, berada di titik buta pak, tidak ada kamera yang menjangkau area tempat jasad di temukan."
"Ok Sis, laporanmu saya terima, sementara waktu ikuti perkembangan kasus ini, cek apakah sudah ada masyarakat yang melapor kehilangan anggota keluarga, dan suruh dua anggota kita ke rumah sakit tempat jenazah di simpan, barangkali saja sudah ada orang yang mengaku keluarga korban."
"Siap komandan."
Siska kemudian berdiri, memberi hormat, lalu membalik badannya, dan pergi meniggalkan Wira di ruang kerja. Tidak ada aktifitas yang dilakukan, Wira hanya diam melamun, menjatuhkan kepala di meja sambil memejamkan mata.
Tak terasa waktu berjalan begitu cepat, langit berwarna kuning keemasan pertanda sebentar lagi matahari akan mulai tenggelam. Wira bangkit dari duduk, meraih jaket, dan sejurus kemudian pergi meninggalkan ruangan kantor yang sudah kosong di tinggalkan para pegawai.
Di lantai satu masih terdapat sedikit aktifitas anggota polri yang bertugas piket malam. Wira menuruni tangga sambil melambaikan tangan untuk menyapa mereka. Dua orang petugas jaga berdiri memberi hormat, Wira mengangguk pelan lalu melangkah gontai menuju mobil.
Untuk sesaat Wira berdiam diri di dalam mobilnya, entah apa yang ada dalam benaknya saat itu. Setelah beberapa menit terdiam, Wira menyalakan mesin, dan mobil sedan merah itu melaju meninggalkan halaman kantor tempatnya bertugas.
Sambil menyetir Wira memutar lagu rock kesukaanya, sesekali dirinya ikut bernyanyi. Tak berapa lama, Wira berhenti di sebuah restorant depan mall ternama di kota itu.
Wira memasuki restorant sambil mengamati sekeliling, setelah beberapa saat berdiri memperhatikan sekitar, ia lalu memutuskan untuk duduk di sofa dekat jendela. Tangannya yang kekar berotot meraih buku menu yang tersedia di meja. Mata Wira yang teduh sibuk memperhatikan sederet daftar menu makanan dan minuman yang ditawarkan restorant.
Tak lama berselang, seorang gadis sexy berseragam datang menghampiri meja yang ditempati Wira.
"Permisi Bapak, bisa saya bantu?"
Suara lembut gadis manis pelayan restorant mengejutkan Wira yang sejak beberapa menit, tampak bingung memilih makanan yang hedak dipesan.
"Owh, iya.. Sebentar mbak, saya masih memilih menu."
"Bagaimana kalau cumi dan udang saus tiram, atau ikan gurame bakar, ayam goreng, atau steak, ini adalah menu vaforit di restorant kami."
Ucap gadis pelayan restorant menawarkan menu andalan restorant mereka. Senyum gadis berlesung pipi itu sangat menawan, membuat Wira jadi sedikit salah tingkah, wangi parfum dan lekuk tubuhnya yang indah menggoda setiap mata yang memandang.
"Jadi, Bapak mau pesan apa?"
"Ehm.. Steak, kentang, dan ice lemon tea."
Ucap Wira gugup, sambil menggeser posisi duduknya sedikit menjauh dari tubuh gadis pelayan restorant yang berdiri sedikit menunduk di sampingnya.
"Baik Bapak, di tunggu sebentar ya.. hidangan akan segera kami antar."
"Terima kasih."
Ucap Wira pelan nyaris tidak terdengar. Si gadis pelayan menganguk ramah, kemudian beranjak pergi dari meja tempat duduk Wira dengan senyum manis di bibirnya.
Wira menarik nafas lega, dia seolah olah baru saja terbebas dari sesuatu yang mengintimidasi.
Sembari menunggu pesanan tiba, Wira bersantai menikmati alunan musik yang disajikan restorant. Untuk sejenak Wira dapat melepaskan diri dari rutinitas tugas yang membosankan.
Wira memalingkan wajahnya ke arah jendela, pemamdangan keramaian kota Surabaya tersaji indah memanjakan mata. Gedung gedung tinggi tampak kokoh berdiri. Wira terhanyut dalam riuh suasana malam.
Hampir dua puluh menit menunggu, akhirnya pesanan datang. Gadis pelayan restorant menghidangkan steak, kentang, dan ice lemon tea dengan cekatan.
Setelah memastikan semua pesanan, gadis pelayan restorant itu memberi cek list pada secarik kertas, sebagai tanda pesanan sudah lengkap dihidangkan.
"Terima kasih mbak."
"Selamat menikmati hidangan dari kami, jika butuh sesuatu silahkan panggil saya pak."
Usai menyajikan pesanan, gadis pelayan restorant itu segera berlalu dari hadapan Wira. Senyum ramah yang khas tersungging di bibirnya.
Wira menikmati hidangan makan malam dengan perlahan, sesekali matanya melirik sekitar, tak lama ia menyelesaikan suapan terakhir, dan tiba tiba terdengar suara gaduh dari sebrang jalan.
Wira yang penasaran dengan kegaduhan di luar, lalu bergegas menuju kasir untuk menyelesaikan pembayaran. Tergesa gesa ia berlari menyebrang jalan menuju mall yang berada tepat di depan restorant.
Orang orang sudah ramai berkerumun membuat ruang gerak menjadi sempit, Wira mencoba menerobos untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di tengah lantai mall.
"Permisi, tolong beri jalan, saya polisi!"
Wira merangsek menembus kerumunan sambil menunjukkan lencana polisi miliknya. Para pengunjung mall yang mendengar teriakan polisi, segera membuka jalan dan memberi ruang untuk Wira.
Sambil berjalan Wira mengeluarkan sarung tangan medis dari kantung dalam jaketnya. Sampai di tengah, ia melihat seorang wanita muda tertelungkup di lantai dengan kondisi yang mengenaskan.
"Apa yang terjadi pak security?"
"Maaf, Bapak ini siapa?"
"Saya polisi, ini tanda pengenal saya."
"Owh.. kebetulan sekali bapak berada disini, kami baru saja menelpon petugas untuk memeriksa kemari."
"Jadi begini pak polisi."
"Panggil saja saya Wira."
"Baik pak Wira."
"Jadi begini kronologinya pak Wira, tadi saya melihat mbak ini berjalan keluar dari sebuah outlet, perilakunya agak aneh. Dia beberapa kali mondar mandir dari lantai dua ke lantai tiga."
"Riasan wajahnya tampak berantakan, karena seperinya dia sedang menangis. Dari bahasa tubuhnya saya perhatikan mbak ini sedang gelisah menunggu seseorang, atau mungkin dia galau akan suatu hal."
"Entahlah, mungkin saja dia mengalami depresi karena sedang dirundung banyak masalah, saya tidak tahu pasti."
"Tapi yang jelas, ketika saya sedang berjalan mendekat untuk mencari tahu apa yang terjadi padanya, secara mengejutkan si mbak ini tiba tiba menaiki pagar pembantas di lantai tiga dan kemudian melompat."
"Jadi saya tidak sempat mendapat informasi tentang motif, kenapa dia sampai melakukan semua ini."
"Apa sebelumnya gadis ini bersama seseorang pak?"
"Tidak pak Wira, dari pantauan kami wanita ini datang sendiri saja."
Wira memperhatikan keterangan security yang menjadi saksi utama saat peristiwa terjadi. Ia mencatat semua keterangan, lalu menggali informasi dari beberapa orang pengunjung mall yang mengaku melihat korban, dan kemudian bersama karyawan mall melihat rekaman cctv.
Sambil menunggu petugas forensik dari polres datang ke TKP, Wira memeriksa kondisi jasad korban yang tergeletak berlumuran darah. Wira mengambil foto, berharap dapat menemukan petunjuk yang menjadi motif korban.
Ketika sedang memeriksa kondisi jasad, dan mengambil gambar dengan kamera phonsell, fokus Wira tiba tiba teralihkan pada sebuah tato yang berada di pundak korban. Tato itu sedikit tertutup rambut.
Wira menyibak rambut korban dengan hati hati. Tangan kirinya menarik kerah baju, agar bisa mengambil gambar tato di pundaknya. Ternyata itu hanya sebuah tato bergambar bintang dengan titik putih di setiap ujungnya.
Tidak ada hal khusus yang bisa di jadikan bukti permulaan sebagai petunjuk alasan wanita itu mengakhiri hidupnya. Sambil berdiri menjauh dari jenazah, Wira bergumam setengah berbisik.
"Sebenarnya apa yang sudah dialami gadis ini sampai sampai dia nekat mencabut nyawanya sendiri?"
Wira terus memikirkan motif gadis itu sambil memeriksa barang barang milik korban yang hanya berupa tas kecil dengan dompet didalamnya.
Beberapa menit kemudian petugas dari polres kota tiba di lokasi bersamaan dengan ambulans. Wira sempat berbincang bincang sejenak dengan team yang melakukan olah TKP, dia juga memberi beberapa keterangan tambahan, lalu izin meninggalkan lokasi, dengan catatan akan bersedia datang memenuhi panggilan penyidik, apabila keterangannya diperlukan.
Wira kembali ke halaman pakir restorant, lalu bergegas masuk mobil, dan langsung tancap gas menuju rumah. Sepanjang perjalanan pulang, Wira terus merenung, dia masih memikirkan apa yang telah terjadi hari ini. Dalam hati ia berharap agar segera dapat menuntaskan kasus, lalu menepi dari rutinitas sebagai anggota polisi.
Satu jam kemudian Wira telah sampai di depan pagar, dia akan turun dari mobil untuk membuka pintu pagar, ketika tiba tiba sudut matanya menangkap bayangan wanita dari kaca spion. Wira terdiam, matanya fokus pada kaca spion.
"Sial.. yang tadi itu nyata atau hanya khayalanku saja?"
"Hem.. Mungkin aku terlalu lelah, jadi imajinasiku melayang pada hal hal aneh."
Wira menepuk dahinya beberapa kali lalu dengan cepat keluar dari mobil dan bergegas membuka pintu pagar. Sempat merasa ada orang lain yang sedang mengawasi, Wira buru buru menepis perasaannya. Dia kembali masuk ke dalam mobil lalu memarkirkan mobil di garasi.
Sebelum keluar dari mobil, Wira iseng memperhatikan kaca spion. Benar saja, Wira melihat sosok wanita duduk di kursi penumpang tepat di belakangnya.
Wira terkejut, bulu kuduknya bergidik, tengkuknya terasa dingin, sesaat tubuh Wira terasa kaku tidak dapat bergerak, dia memejamkan mata sambil meyakinkan diri dalam hati.
"Ok.. Ini semua tidak nyata Wira, kamu hanya sedang berhalusinasi, yang namanya hantu itu tidak ada!"
Wira memupuk keberanian, lalu dengan spontan dia menoleh ke belakang. Dan kosong, tidak ada apapun di kursi belakang, benar benar kosong. Wira menarik nafas lega lalu turun dari mobil.
Jam dinding di kamar menunjukkan pukul dua puluh dua, setelah mandi dan minum segelas air Wira menghempaskan tubuhnya di ranjang. Hari ini sangat melelahkan baginya, Wira menatap langit langit kamar, sambil memikirkan apa yang baru ia alami di dalam mobil.
Entah itu nyata atau hanya sekedar halusinasi, tapi kejadian yang dialaminya, sukses membuat Wira tidak bisa tidur. Jam menunjukkan pukul dua dini hari ketika Wira akhirnya dapat tertidur pulas.
"Kriing... Kring....."
Suara phonesell Wira berbunyi, dengan malas dia meraihnya, lalu mematikan alarm. Tak lama berselang Wira bangun, dia tiba tiba ingat akan pergi ke rumah sakit, untuk memeriksa jasad wanita X yang di temukan di gudang pelabuhan.
Dengan tergesa Wira melompat dari ranjang, bergegas mandi, berpakaian, lalu mengambil susu, dan roti dari dalam kulkas. Sambil mengunyah roti dimulutnya, Wira berlari masuk ke dalam mobil. Hari ini Wira tidak ingin terlambat sampai di rumah sakit.
Wira segera tancap gas menuju rumah sakit, waktu seakan tengah memburunya. Jam dinding rumah sakit menunjukkan pukul tujuh pagi. Wira berjalan cepat setengah berlari menuju lobi rumah sakit untuk mencari informasi dokter jaga yang menangani jasad tanpa identitas yang dikirimkan ke rumah sakit itu kemarin.
Kondisi rumah sakit saat itu agak lengang, maklum saja masih pagi. Di lorong hanya ada beberapa perawat jaga, yang akan berganti shift dan cleaning service yang terlihat sedang sibuk membersihkan lorong rumah sakit.
Tanpa basa basi Wira mendatangi meja resepsionis dan berbicara dengan seorang perawat untuk menanyakan siapa dokter yang menangani jenazah wanita tanpa identitas yang ditemukan di wilayah pelabuhan.
Dari keterangan perawat jaga, Wira mendapat informasi bahwa dokter yang menangani jasad X bernama dokter Ani. Diapun bergegas menuju ruang otopsi agar segera bertemu dokter dan membahas kasusnya.
"Semoga saja dia masih berada disini."
Ucap Wira lirih penuh harap. Sebentar lagi akan ada pergantian shift, Wira tidak ingin usahanya untuk bertemu dokter Ani jadi sia sia.
Dan nasib mujur berpihak padanya, Wira bertemu dokter Ani tepat saat dokter itu keluar dari kamar jenazah di temani seorang perawat.
"Dok... Dokter Ani.. !"
Suara teriakan Wira menggema di lorong menuju kamar jenazah. Dokter yang merasa namanya di panggil segera menghentikan langkahnya, kemudian menoleh ke arah datangnya suara.
"Ya.. Saya Ani, apa ada yang bisa saya bantu pak?"
"Perkenalkan saya AKP Wira Raditya, petugas yang menangani kasus penemuan jenazah wanita tanpa identitas di daerah gudang peti kemas pelabuhan Bu Ani."
"Oh.. tadi malam anak buah bapak sudah menemui saya, tapi memang saya belum bisa memberikan keterangan apapun, perihal kematian korban."
"Jujur ini kasus janggal yang agak rumit pak Wira. Saya masih harus mendiskusikannya dengan para dokter, agar kami bisa mengambil kesimpulan tentang penyebab kematiannya."
"Maaf dok, apa ada sesuatu yang bisa dokter jelaskan kepada saya tentang kondisi jasad korban, apa saja dok, barang kali ada petunjuk awal yang bisa jadi rujukan."
Wira mendesak dokter Ani untuk menjelaskan kondisi secara umum, agar memperoleh sedikit petunjuk tentang jasad X.
Dokter Ani tidak menjawab pertanyaan Wira. Dia melangkah masuk kembali ke kamar jenazah, dan membuka lagi lemari pendingin yang di dalamnya tersimpan jasad X.
Kontan Wira memalingkan wajahnya, aroma kamar jenazah yang khas membuatnya mual. Sementara dokter Ani meminta perawat yang bersamanya untuk meletakkan jasad X di meja perawatan jenazah.
"Untuk saat ini yang bisa saya katakan adalah, kondisi korban seperti jasad yang di awetkan, dalam tubuhnya kami tidak menemukan nutrisi. Darah mengering pembuluh darah di otak pecah, dan jantungnya tidak ada atau hilang."
"Dari uji DNA di laboratorium usia wanita ini diperkirakan baru dua puluh lima tahun, tapi yang aneh, entah mengapa sebagian rambutnya berwarna putih. Bisa jadi pengaruh gen, atau pigmennya lemah, mungkin juga faktor lain yang belum diketahui.
"Kulit tubuhnya kering, berkerut, tak lazim untuk wanita di usianya. Jaringan otot membiru, lalu ada lendir di daerah bibir yang saat ini masih kami periksa di lab.
"Tidak ada tanda tanda kekerasan fisik pada tubuh korban sehingga kami tidak bisa menjelaskan secara pasti penyebab kematiannya. Jujur saja saya katakan, masih terlalu dini untuk menarik kesimpulan."
"Semua masih harus kami teliti lebih lanjut pak Wira. Tolong beri kami waktu untuk memeriksa lebih detil agar dapat menyimpulkan penyebab kematiannya secara jelas berdasarkan disiplin ilmu kedokteran."
"Ya meskipun kita sama sama tahu, bahwa manusia akan sulit menjalani hidup tanpa jantung."
Wira terperanjat mendengar penjelasan dokter Ani, otaknya seakan tidak dapat menerima paparan yang baru saja ia dengar.
"Oh iya pak Wira, coba perhatikan bahu sebelah kanan gadis ini, dia memiliki tato bergambar bintang, barang kali anda bisa menemukan petunjuk dari tato tersebut. Paling tidak anda dapat menggunakan gambar tato itu untuk melacak keberadaan keluarga si gadis X."
Menurut Wira ucapan dokter Ani ada benarnya. Dia bisa mulai penyelidikan dengan mencari orang orang atau komunitas yang menggunakan tato serupa. Syukur syukur bisa menemukan anggota keluarga gadis X pikirnya.
Wira mengambil foto tato bergambar bintang di bahu jasad yang terbujur kaku di atas meja perawatan jenazah. Sambil mengernyitkan dahinya Wira berusaha mencerna semua informasi yang di sampaikan dokter Ani.
"Saya tidak bisa mengatakan apa apa lagi, selain berterima kasih atas kerja samanya bu dokter. Kalau ada perkembangan, mohon informasikan kepada saya."
"Apapun itu, sekecil apapun informasinya, tolong kabari saya."
"Ini kartu nama saya, kapan saja bu dokter bisa menghubungi saya bila ada perkembangan."
"Oh tentu pak Wira, saya juga berharap kasusnya dapat segera menemukan titik terang."
"Bagaimanapun hukum wajib di tegakkan dan yang bersalah harus mendapat ganjarannya."
Wira menjabat tangan dokter Ani, lalu meminta izin untuk meninggalkan rumah sakit. Sementara dokter Ani, hanya memandangi perwira muda itu sampai benar benar hilang dari pandangan matanya.
Jam sepuluh pagi Wira tiba di halaman kantor, dia baru saja turun dari mobil, saat seorang gadis cantik dengan tanda pengenal melingkar di leher, datang menghampirinya.
"Pak Wira, pak.. maaf mengganggu waktu anda sebentar, perkenalkan, saya Linda dari kantor surat kabar Surya, izin untuk wawancara sebentar saja pak."
"Nanti saja mbak Linda, saya sedang sibuk, ada hal penting yang harus saya kerjakan sekarang!"
"Apa maksud bapak, sibuk menangani kasus misterius di pelabuhan, dan gadis yang melompat di mall kemarin malam pak?"
Linda segera mencecar Wira dengan pertanyaan, sembari mengikuti langkahnya yang berjalan cepat menuju kantor.
"Pak Wira tolong jawab saya, apakah dua kasus itu saling terkait pak?"
Wira menghentikan langkahnya, dalam benak pria kekar itu, ia mengaggumi kecerdasan Linda sebagai wartawan muda. Dia belum lagi berpikir apakah kedua kasus itu saling terkait. Namun Linda seakan akan telah memberinya sedikit pencerahan.
Wira memicingkan matanya, ia memperhatikan Linda yang saat ini sedang berdiri di depannya mengharapkan jawaban.
"Kamu jenius, ikuti saya sekrang, dan kita cari tahu sama sama jawaban atas pertanyaanmu!"
"Maksud bapak?"
"Maaf pak, saya tidak mengerti maksud anda, boleh jelaskan apa artinya?"
"Maksud saya, kamu ingin berita tentang kasus yang sedang kami tangani. Jadi saya izinkan kamu untuk meliput penyelidikan ini sampai tuntas."
"Eksklusif, khusus hanya untuk kamu."
Mendengar ucapan Wira, Linda melompat kegirangan. Dia sangat gembira bagai sedang mendapat hadiah puluhan juta dari acara kuis di televisi.
"Terima kasih komandan."
Ucap Linda sambil menjabat erat tangan Wira tanpa rasa segan sedikitpun. Bibir manisnya menyungging senyuman hangat penuh keakraban. Wira cukup terkejut melihat reaksi Linda terhadapnya. Gadis wartawan itu memeluk lengan Wira seolah olah mereka teman masa kecil.
"Eheem...!"
Suara Wira langsung menyadarkan Linda, tentang posisi mereka yang baru saja kenal, dan hanya sebatas hubungan profesionalisme kerja.
Linda buru buru melepaskan pegangan tangannya dari lengan Wira. Dia mengikuti langkah Wira dari belakang, sembari menepuk nepuk keningnya, sadar akan kekonyolan yang baru saja ia perbuat.
Dari jauh beberapa anggota polri, memperhatikan tingkah laku Linda. Wajah wartawan cantik itu memerah, dia berjalan menunduk sambil bersembunyi di balik punggung Wira yang lebar.
"Putrinya pak komandan?"
Seorang petugas jaga, mencoba menyapa sambil meledek Linda. Wira hanya membalasnya dengan senyum lebar, lalu mengepalkan tangannya.
Beberapa menit kemudian mereka sudah sampai di depan ruang kerja. Wira memanggil Siska dan Tomy untuk ikut masuk ke ruangannya guna membahas gadis X dan berbagai kemungkinan yang menghubungkan kasusnya dengan kasus bunuh diri di mall semalam.
Wira meminta ke dua staffnya membandingkan berkas korban untuk mencari korelasi yang mungkin terhubung, sehingga mereka lebih mudah menemukan motif di balik meninggalnya korban, walaupun mereka semua tahu kalau dua kasus ini berbeda.
Satu jam lamanya mereka meneliti berkas, mengamati dan mencatat beberapa keganjilan dalam ke dua kasus, namun mereka sama sekali tidak melihat ada benang merah yang bisa menghubungkan ke dua kasus tersebut.
Linda yang sejak tadi hanya diam melihat sambil sesekali mengambil foto, kemudian membuka obrolan untuk mengurangi ketegangan.
"Mungkin ke dua kasus ini bisa di hubung hubungkan kalau ke duanya sama sama memiliki ciri atau pola khusus sebelum kematian mereka."
Celetukkan Linda, membuat Siska dan Tomy saling berpandangan, mereka coba meneliti kembali berkas dihadapannya, sambil memikirkan ucapan Linda.
Tiba tiba Wira yang sedari tadi hanya mencatat dan mencoret coret buku agenda, menjentikkan jari, seakan akan menemukan ide, atau jawaban dari misteri tewasnya ke dua gadis itu. Dengan sigap Wira meraih phonesellnya lalu menghubungkan kabel data dengan komputer yang berada di dekatnya.
Tangan Wira cekatan menekan tombol mouse dan tak lama kemudian dia sudah mencetak dua foto korban yang sama sama memiliki tato bintang di bahu kanan.
"Kalian lihat ini, mereka berdua memiliki kesamaan ciri. Keduanya memiliki tato di bahu mereka."
"Tato korban di mall, tidak terlihat jelas karena terutup rambut, tapi coba lihat ke dua gambar ini, mereka memiliki tato yang mirip."
Wira menyodorkan ke dua foto kepada Siska dan Tomy, lalu mereka menyadari foto tato itu memang mirip tapi berbeda. Satu tato bintang di kelilingi lingkaran di tengah, sedang yang lain tidak.
"Maaf pak ini berbeda, mungkin hanya sebuah kebetulan mereka memiliki tato di bahu kanan, tapi sebenarnya ke dua kasus ini berbeda, tidak terkait satu sama lain."
Tomy menyanggah teori Wira, karena tato di ke dua jasad itu memang hanya mirip, dan akan tampak jelas berbeda bila keduanya disandingkan.
Pada awalnya Wira sempat terpancing ucapan Tomy, namun ia lebih mengikuti instingnya yang mengatakan bahwa mereka berdua memiliki hubungan yang saling terkait.
Wira meminta tomy untuk memperbanyak gambar tato, lalu memerintahkan seluruh anggota di bawahnya untuk mencari informasi sebanyak mungkin mengenai tato tersebut.
"Cari siapa saja orang yang menggunakan tato bintang seperti itu, tanyakan di buat oleh siapa, dan di studio mana?"
Berdasarkan instruksi tersebut, seluruh anggota yang berada di bawah komando Wira langsung bergerak mengumpulkan informasi. Beberapa orang dimintai keterangan, semua studio tato di geledah, namun mereka tidak menemukan satu petunjuk yang bisa mengarah pada penyelidikan.
Wira terlihat kesal, beberapa kali ia memukulkan tinjunya ke dinding hingga mengundang perhatian para staff yang berada di luar ruang kerjanya. Sementara Linda yang sejak awal selalu mengikuti aktifitas Wira menjadi agak takut melihat cara Wira meluapkan emosinya.
"Pak apa saya boleh meminta salinan gambar tato itu?"
"Mungkin saya bisa membantu mencari informasi."
Wira langsung memberikan salinan foto tato kepada Linda tanpa mengucapkan sepatah katapun. Linda mengambil salinan foto itu, dan langsung meminta izin meninggalkan ruangan.
Linda bergegas pergi menuju tempat kerjanya. Tak lama berselang, gadis itu sudah sampai di kantor, kemudian buru buru membuka laptop, dan sibuk berselancar di internet.
Linda membuka berbagai situs berita, sejarah, dan mitos, terkait gambar tato yang diberikan Wira kepadanya. Namun setelah lama mencari informasi, Linda sama sekali tidak menemukan artikel atau gambar yang cocok dengan tato yang dimaksud. Terkecuali gambar pentagram yang menurut banyak artikel, selalu dikaitkan dengan okultisme atau satu aliran penyembah setan.
Tidak disangka, hari mulai gelap, dan Linda baru tersadar kalau di ruangan itu hanya tersisa dia seorang diri. Suasana kantor yang sunyi sepi, membuat bulu kuduk merinding. Tiba tiba saja Linda merasa tidak nyaman. Hatinya mengatakan ada sesuatu di ruangan kantor yang sedang memperhatikannya dari suatu tempat.
Linda buru buru merapikan laptopnya kemudian berlari menuju tangga sambil komat kamit membaca doa sebisanya. Security yang melihat Linda berlari ketakutan, merasa heran dengan tingkahnya hari ini.
"Mbak Linda... Mbak..!"
Security itu berniat akan nenyapa Linda dan bertanya ada apa, sampai sampai dia berlari begitu kencang, seperti baru saja melihat setan. Tapi niat itu batal dilakukan, karena Linda keburu meninggalkan kantor.
Di halaman parkir, Linda menengadahkan wajah ke langit, dan melihat ujung menara kantor tempatnya bekerja diselimuti awan hitam pekat yang berputar.
Untuk beberapa detik Linda memejamkan mata, lalu membukanya kembali, dan ternyata langit terlihat normal normal saja, awan hitam di puncak gedung tidak tampak lagi olehnya. Dengan perasaan yang berkecamuk Linda meninggalkan halaman kantor mengendarai secuter bersejarah miliknya.
Di tempat berbeda Wira melamun seorang diri. Dia masih memikirkan apakah tato di bahu ke dua korban memiliki arti khusus, atau hanya sekedar fashion anak milenial yang tidak punya makna apa apa seperti yang dikatakan Tomy.
Seperti biasa Wira tiba dirumah pukul dua puluh dua malam. Pria lajang selalu menghabiskan waktu lebih lama diluar.
Mungkin dia tidak ingin merasa sepi, jadi setelah bekerja Wira selalu menyempatkan diri untuk nongkrong dengan teman atau sendiri saja menikmati musik di caffe sembari menyusun rencana kerja.
Ayah, Ibu, dan adik Wira berada jauh di kota Jakarta. Rina kekasihnya bekerja sebagai karyawan Bank BUMN di Bandung. Satu tahun ini mereka menjalin hubungan jarak jauh.
Rindu berat itu pasti, tapi Wira merasa ini yang terbaik untuk mereka. Komunikasi satu satunya solusi untuk menjaga hubungan. Beruntungnya Rina bukan gadis manja yang banyak menuntut. Dia gadis mandiri yang sangat pengertian.
Wira memang tidak pernah mengumbar kehidupan pribadinya kepada orang lain, terlebih kepada mereka yang belum di kenal dekat. Ada alasan khusus baginya untuk menutup itu semua dari orang lain. Maklum saja profesinya sebagai anggota polri beresiko memiliki banyak musuh.
Dua tahun kariernya di kepolisian, pria ganteng berotot ini, terhitung sudah sepuluh kali memenjarakan kriminal kelas kakap dan setidaknya tiga orang diantaranya adalah bandar obat terlarang jaringan internasional. Tentu itu adalah prestasi bagi institusi yang menaunginya. Tapi bagi Wira pribadi adalah resiko besar, karena artinya bertambah satu musuh.
Tentu bukan perkara mudah untuk berkecimpung di dunia kriminal. Lengah sedikit nyawa bisa jadi taruhannya. Wira sadar sepenuhnya akan resiko yang ditanggungnya, karena itu sedapat mungkin ia tidak mengekspose kehidupan pribadi dan orang orang terdekatnya kepada publik.
Malam ini Wira baru akan tidur di sofa, saat tiba tiba dia mendengar sesuatu yang mengganggu di luar. Wira membuka pintu untuk memeriksa sekeliling, tapi dia tidak menemukan apapun di luar, kecuali security komplek yang berkeliling untuk memastikan warga aman.
Baru saja akan masuk ke rumah, mendadak alarm mobilnya berbunyi. Kontan saja Wira panik, dia bergegas mengambil kunci dan mematikan suara alarm yang memekakkan telinga.
"Sial...!"
Ujarnya menggerutu. Wira memeriksa kondisi mobilnya, dan dia terkejut karena melihat noda darah yang telah mengering di dashboard mobilnya. Dia baru ingat kalau sejak kejadian di mall, Wira belum membuang sarung tangan medis yang digunakannya waktu itu.
Wira hanya membungkus sarung tangan dengan kantung plasik, lalu menyimpannya di laci dashboard mobil. Karena sibuk, dia lupa untuk membuangnya.
Malam itu juga Wira segera membersihkan noda darah di dasboard, lalu mengambil kantong plastik dari laci dan membakarnya di tong sampah.
Perasaan Wira tiba tiba saja berubah menjadi tidak nyaman. Dia tidak tahu apa yang membuat suasana hatinya jadi buruk. Malas memikirkan hal aneh, Wira mengambil segelas air untuk minum, kemudian memaksakan dirinya tidur walau masih belum mengantuk.
Jam tiga dini hari Wira terbangun karena merasa kedinginan. Dia bermaksud mencari remote untuk mematikan AC, namun tidak bisa menemukan keberadaan barang yang ia cari.
Dengan mata setengah terpejam Wira bangkit dari tidur lalu turun dari ranjang. Belum sadar sepenuhnya, Wira mendengar suara dari kamar mandi.
"Siapa yang mandi pagi pagi begini batinnya."
Wira melangkah menuju kamar mandi, lalu tersadar kalau dia hanya tinggal seorang diri di rumah itu. Sekujur tubuh Wira terasa kaku. Dia berdiri mematung di depan kamar mandi yang pintunya setengah terbuka.
Wira menahan jeritnya karena dari kaca yang tergantung di atas wastafel, dia melihat sosok wanita yang bunuh diri di mall dengan kondisi yang mengenaskan.
Seluruh tubuh wanita itu berlumuran darah hingga memenuhi lantai kamar mandi. Wajahnya pucat memandang tajam ke arah cermin.
Untuk satu menit lamanya Wira diperlihatkan pemandangan yang menyeramkan. Gadis itu memutar badannya lalu hilang menembus dinding.
"Ini benar benar tidak masuk akal."
"Aku baru saja melihat hantu?"
"Aku seorang polisi, di teror hantu gentayangan?"
"Owh.. Tidak, ini hanya khayalanku saja, Wira kamu harus menemui dokter psikater."
Wira galau, dia meragukan kesehatan mentalnya sampai merasa harus berkonsultasi dengan dokter atau psikolog.
Cukup lama berdiri terpaku di depan pintu kamar mandi, Wira kembali duduk di tepi ranjang sambil mengusap wajahnya. Terselip rasa takut dalam hati, tapi Wira segera menepisnya.
Dalam remang, Wira terus berpikir ada apa dengan dirinya. Dia dikenal sebagai sosok berani, kuat, rasional, skeptis, dan selalu mengandalkan logika, sekarang berhadapan dengan satu kondisi di luar nalar, berbau mistis.
"Tidak bisa begini terus, aku harus menemui om Boris."
Wira butuh nasehat dari orang lain tentang masalah ini, dan Sepintas yang terbayang dalam benaknya adalah AKBP Boris Sihombing. Perwira menengah yang dikenal cukup dekat dengan keluarganya.
Tidak menunggu lama Wira langsung berpakaian menyambar jaket, mengambil kunci mobil dan sebentar kemudian sedan merah meluncur memecah keheningan pagi.
Jam lima tiga puluh, Wira sampai di depan rumah AKBP Boris Sihombing. Orang yang dipercaya Wira akan dapat memberikan wejangan sekaligus solusi atas masalahnya.
Wira berdiri di depan pagar dengan ragu. Lalu seorang pria paruh baya berkaca mata tebal keluar dari rumah, berdiri dengan ekspresi wajah yang keheranan.
"Siapa yang bertamu pagi pagi begini?"
"Selamat pagi om Boris!"
"Wira..?"
"Ada apa anak itu kemari sepagi ini?"
Pria paruh baya bernama Boris berjalan, menuju pintu pagar, menyambut kedatangan Wira. Mereka berpelukkan, lalu Boris merangkul Wira berjalan masuk ke ruang tamu rumahnya yang cukup luas dengan beberapa foto serta lukisan menghias dinding.
"Ada apa kamu pagi buta sudah kemari?"
"Pasti ada masalah yang sangat genting sampai kamu mengunjungi om di jam begini. Tantemu saja belum sempat memasak nasi goreng, kamu sudah datang cari sarapan."
Ucap Boris bercanda untuk mencairkan suasana. Baru kali ini dia melihat anak seniornya itu, agak kikuk berhadapan denganya.
"Bagaimana kabar orang tuamu, adikmu jadi masuk fakultas kedokteran?
"Mereka semua sehat om, dan Dika jadi masuk fakultas kedokteran."
"Ehm.. Begini om, saya tutup point saja. Maksud kedatangan saya ke rumah om Boris, ingin membahas satu kasus yang tidak biasa."
"Tidak biasa bagaimana Wir..?"
Wira agak ragu meneruskan ucapannya, sementara Boris menanggapinya dengan wajah yang mulai serius.
"Om Boris percaya hantu itu ada?"
"Hahaha..!"
"Tentu saya percaya, yang begitu itu bagian dari budaya kita Wir..."
Boris tertawa terbahak, suaranya keras memenuhi seisi rumah. Wajah Wira sontak memerah, dia merasa konyol karena telah bertanya soal hantu.
"Jadi siapa yang bertemu dengan hantu?"
"Apa kamu di datangi hantu penasaran?"
"Iya om, saya melihatnya dua kali dan tadi pagi penampakan yang paling solid. Saya melihatnya dari cermin kamar mandi."
Mendengar pengakuan Wira, Boris terdiam. Dahinya berkerut, Dia sepertinya sedang memikirkan sesuatu.
"Memang apa yang sudah kamu lakukan, sampai dia ikut pulang?"
"Mahluk itu bukan penghuni asli di rumahmu?"
"Bukan om.."
"Bagaimana om Boris tahu?"
Pria paruh baya itu tidak menjawab, dia hanya menatap wajah Wira, seolah sedang memastikan ucapan Wira itu benar adanya.
"Ini om, gadis ini yang mendatangi saya."
"Entah benar nyata atau hanya halusinasi, tapi semenjak saya memeriksa kasusnya, gadis ini seperti mengikuti saya."
"Setidaknya dia menampakkan diri dua kali."
"Mungkin om Boris pernah melihat gambar tato ini, atau setidaknya punya sedikit informasi mengenai tato di foto?"
Boris mengambil foto di meja lalu memeriksa detil tato sambil coba mengingat sesuatu. Tampak sekali dia berusaha menggali lagi memori tentang kejadian di masa lampau, yang ingin dilupakannya.
"Sepertinya om familiar dengan tato itu, tapi tidak ingat persis dimana, dan siapa orang yang punya tato seperti ini?"
"Tolong ingat ingat lagi om, ini sangat penting untuk pengembangan kasus yang saya tangani."
"Sudahlah Wir, tidak usah terlalu dipikirkan kasus ini. Anggap saja kasus bunuh diri biasa, atau kasus kriminal yang tersangkanya masih dalam proses penyelidikan, dan kamu lepas kasusnya agar ditangani orang lain."
"Om sarankan kamu ambil cuti, pulang ke Jakarta atau berlibur."
"Soal hantu itu om hanya menyarankan, kamu bersihkan semua barang pribadi, mobil dan rumahmu, pokoknya semua hal yang pernah bersentuhan dengan dia."
"Om yakin kamu membawa sesuatu yang melekat dengan hantu itu, sehingga dia mengikutimu ke rumah."
"Lain kali kalau pulang dari TKP, bersihkan badanmu dulu baru pulang ke rumah, supaya aura jahat tidak ikut pulang ke rumah."
"Untungnya kamu masih bujang, jadi dia cuma ikut kamu, bagaimana bila dia meneror keluargamu?"
Wira tertegun mendengar nasehat Boris, dia berpikir lagi tentang kejadian di mall, lalu memastikan bahwa dirinya tidak membawa barang apapun milik korban, kecuali sarung tangan dengan noda darah yang telah di bakar, dan yang tidak ia sadari sepatunya pasti terkena genangan darah korban saat ia sedang memeriksa jasadnya.
Masalah tato, Wira yakin Boris mengetahui sesuatu tapi dia sengaja menutupinya. Karena satu alasan.
Wira ingin sekali mencecar Boris dengan banyak pertanyaan, namun rasa hormat kepada orang tua mencegah Wira untuk melakukannya.
"Wir.. Wira..!"
"Eh.. Iya om maaf, saya tidak fokus, ucapan om Boris membuat saya menyadari sesuatu."
"Kalau begitu saya permisi dulu."
Wira menjabat tangan Boris, lalu dengan tergesa gesa dia meninggalkan rumah orang yang akrab ia sapa dengan panggilan om.
"Saya pamit dulu om..!"
Pria paruh baya itu tersenyum melambaikan tangan, sambil menggeleng gelengkan kepala, perlahan dia melangkah masuk ke dalam rumah.
Di perjalanan pulang Wira merenung. Ucapan Boris mempengaruhi pikirannya. Hatinya ingin menolak untuk percaya, tapi kejadian itu nyata ia alami.
Satu jam berkendara Wira tiba di rumah. Tak ingin membuang waktu, dia langsung membersihkan seluruh isi rumah, mencuci pakaian, sepatu dan terakhir mencuci mobil.
Semua dilakukan oleh Wira seorang diri. Sampai tak terasa waktu berjalan sangat cepat. Wira mulai merasa lapar dan berencana untuk memasak mie instan.
"Teng...teng..!"
Terdengar suara ketukkan pintu pagar, Wira merasa agak kesal. Dia menghentikan aktifitasnya, lalu bergegas melihat siapa yang datang.
"Linda..?"
Kepala Wira dipenuhi tanda tanya, dia tidak menyangka kalau wartawan cantik itu tahu alamat rumahnya, dan datang di waktu dia sedang tidak ingin menerima kunjungan.
"Kamu tahu dari mana alamat saya?"
"Mau apa datang kemari?"
Wira membuka pintu pagar, sembari memburu Linda dengan pertanyaan beruntun. Linda tidak menjawab, dia hanya mengangkat kotak makanan yang di jinjingnya, lalu menerobos masuk ke dalam rumah.
"Kamu cari teman makan siang sampai jauh kemari?"
"Saya tahu Bapak belum makan siang, jadi saya datang bawa nasi rawon ke sini."
Tanpa sungkan Linda masuk menuju dapur sambil memperhatikan isi rumah Wira yang begitu rapih.Wira mengikuti Linda dari belakang sambil menggaruk kepalanya. "Gadis ini berani sekali pikirnya."
Linda mengambil mangkuk, piring, sendok, dan gelas seperti sedang berada di rumahnya sendiri. Sementara Wira sebagai tuan rumah justru terlihat canggung. Dia merasa risih dengan sikap Linda yang melayaninya berlebihan. Bahkan Rina saja tidak pernah memperlakukan dirinya sebaik Linda.
"Maaf pak, saya minta izin membahas ini, di jam istirahat bapak."
"Panggil Wira saja, ini bukan jam dinas."
"Baik mas Wira."
"Ini soal tato kemarin mas."
"Nanti saja di bahas, saya sedang lapar."
Linda menutup mulutnya dengan tangan sambil tertawa kecil. Dia takut Wira kehilangan selera makan tapi tidak bisa menahan tawa karena untuk pertama kali Linda melihat Wira tidak menjaga wibawa di depannya.
Untuk lima belas menit, ruang makan menjadi hening. Hanya sesekali terdengar suara sendok yang beradu. Wira memperhatikan paras cantik Linda, andai saja tidak ada Rina dalam hatinya, tentu Linda akan cocok menjadi pendamping.
Sadar dirinya sedang di perhatikan, Linda lansung menundukkan wajahnya. Gerak tubuhnya menunjukkan kalau dia merasa tidak nyaman diperhatikan. Tapi apa daya, Linda datang sendiri ke sarang singa, jadi dia harus siap dengan segala resikonya. Begitu yang ada di benak Linda saat Wira menatapnya.
Wira menyelesaikan makannya lebih cepat dari Linda, dia langsung membawa piring, mangkuk dan gelasnya sendiri ke belakang. Linda yang sejak tadi merasa tertekan jadi merasa lega. Cepat cepat dia menghabiskan suapan terakhir, lalu segera minum dan membawa piring ke belakang menyusul Wira.
"Biarkan saja di situ, nanti saya yang cuci."
Linda menuruti saja ucapan Wira, jantungnya berdegup kencang, bila tatapan mereka bertemu. Wira langsung berjalan ke ruang tamu, sementara Linda mengeluarkan laptop dari tas, kemudian menyusul Wira ke ruang tamu.
"Jadi apa yang kamu ketahui tentang tato bintang itu Lin?"
"Ini mas, coba lihat foto tato yang sudah saya perbesar. Menurut mas Wira ini apa?"
Wira melihat gambar tato yang sudah di perbesar Linda berkali kali. Walau sedikit pecah pecah, tapi Wira masih bisa melihat titik putih di tato itu. Titik putih itu sebenarnya mirip aksara jawa kuno. Tapi dia masih tidak yakin karena gambarnya kabur.
"Itu huruf aksara jawa kuno Lin."
"Tepat, dan yang lebih penting meskipun, tato ini berbeda tapi hurufnya sama mas."
"Sekarang kita tinggal cari tahu artinya, kemudian mencari sumber referensi, barangkali saja tato itu terkait dengan sekelompok orang, komunitas, atau organisasi."
Wira kagum dengan kecerdasan Linda. Beberapa hari ini polisi dibingungkan dengan kasus gadis X. Tapi Linda bisa memberikan petunjuk awal hanya dalam waktu dua hari saja.
"Gadis pintar, analisamu tajam, harusnya kamu jadi polisi, bukan wartawan."
Ujar Wira menyanjung. Mendengar pujian Wira, Linda lantas tersenyum tipis. Dia senang karena bisa membantu polisi mengungkap kasus jasad X.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!