NovelToon NovelToon

Teror Dedemit Sumur Tua

Bab 1. Bikin Gara-gara

HARI Minggu sekitar pukul 11 siang cuaca cerah. Tampak orang-orang di sebuah kampung pulang  berolahraga dari lapangan desa, terutama anak-anak muda. Gaya hidup mereka seperti orang kota saja.

Ya, di zaman kini gaya hidup orang kota dan desa tak jauh berbeda. Yang membedakan hanyalah fasilitas atau infrastrukturnya. Di kota serbaada, di kampung seadanya.

Ada tiga wanita muda berjalan berdampingan, ketiganya pulang dari olahraga rutin mingguan. 

Ketika salah seorang dari ketiganya melihat penjual bakso dorong, dia nyeletuk memprovokasi dua temannya.

"Wi, Mas, kita ngebakso dulu yuk!" ajak Yati kepada Wiwi dan Imas sahabatnya.

"Woalah jam segini udah ngebakso, gak lucu!" timpal Imas.

"Emang ngebakso harus jam berapa?" sungut Yati 

"Ya....ntarlah jam dua belas ke atas," balas Imas.

"Lalu? Mengapa si mang bakso udah dateng jam segini? Bukankah itu berarti ia sudah minta dibeli?" ucap Yati tak kalah dalih.

"Ya udah, kalau mau ngebakso ya ngebakso, kalau enggak ya enggak lah!" ujar Wiwi mencoba menengahi pertikaian kedua temannya.

Akhirnya ketiganya menghampiri si emang penjual bakso.

"Mang bikin bakso!" ujar Yati semangat.

"Satu, dua, atau tiga, Neng?" tanya penjual bakso, sementara tangannya gesit mengambil mangkuk dan lap kain bersih.

"Dua aja Mang!" kata Yati, cepat.

"Tiga, Mang!" sahut Imas tak kalah cepat.

"Katanya jam dua belas ke atas?" Yati mendelik sinis, bibirnya mencong.

"Lapar tahu!"

"Hahahaha....." Yati dan Wiwi tertawa ngakak, sementara yang

ditertawainya cuma manyun.

Akhirnya si emang bakso  bersiap-siap melayani ketiga wanita itu dengan mengambil tiga buah mangkuk. Selesai diwadahi lalu disodorkan kepada ketiga perempuan muda yang tampak tengah ceria itu.

Ketiganya lantas menyimpan mangkuk baso di meja yang disediakan penjual bakso, dan duduk di kursi kayu panjang.

Air liur mereka sontak mengalir menatap mangkuk berisi bakso kesukaan. Tak ada lagi acara mecicipi, to the point  saja disantap sambil heboh berbincang ke sana ke mari. 

Mereka bertiga adalah buruh pabrik yang lokasinya tak jauh di Kampung Mekarsari tempat mereka tinggal. Hari minggu mereka libur dan kerap memanfaatkan waktu itu untuk  berolahraga seperti warga lainnya di lapangan desa.

Ketika asyik makan bakso, tiba-tiba sikut Yati mengenai lengan Wiwi.

"Ada apa sih?" Wiwi menatap wajah Yati dengan penuh tanda tanya.

"Tuh Arjunamu!" bisik Yati sambil menunjuk dengan isyarat kepalanya kepada seorang pemuda yang tengah berlari-lari kecil. Tampaknya habis berolahraga juga hari Minggu itu. Namun entah di mana sebab di lapangan tadi tidak terlihat.

Wiwi pun menoleh dan benar saja ada Warya. Jantung Wiwi mendadak dagdigdug. Ia berusaha menyembunyikan wajahnya takut dilihat Warya sedang jajan bakso di pinggir jalan. Namun usahanya gagal karena sang Arjuna itu sudah berada di dekat meja penjual bakso.

"Wow, ngebakso kagak mengajak-ajak," ucap Warya sembari mendelik ke arah Wiwi. Yang dilihat cuma tersenyum kecil, tanpa menatapnya. Entah mengapa tatapan mata sang Arjuna itu membuat hati Wiwi tak berdaya.

"Ayo War kalau mau!" Yati menawari.

"Ogah ah, tadi udah ngebubur di sana," tolak Warya. Namun dia pun ikut duduk di ujung bangku.

"Ikut duduk ya!" kata Warya.

"Mang boleh ada yang numpang duduk tapi enggak jajan?" ujar Yati  membuat Warya tersipu.

"Enggak boleh, kecuali nraktir kami!" giliran Imas yang bicara.

"Boleh, boleh.....!" kata si emang bakso terkekeh.

Warya mau numpang duduk dengan harapan bisa pulang bareng dengan Wiwi. Gadis itu memang tengah didekati Warya dan tampaknya Wiwi pun tak menolaknya. Mereka berempat memang satu kampung beda RT saja.

Acara makan bakso pun usai. Ketiganya bersiap-siap angkat kaki.

"Berapa duit Bos?" tanya Yati sambil tersenyum. Dia menyebut si emang bakso sebagai bos sehingga Imas dan Wiwi pun menepuk tangan Yati.

"Dua puluh dua ribu lima ratus semuanya, biar dua puluh ribu aja Neng."

Yati segera megambil uang dari dompetnya demikian pula Wiwi dan Imas. Namun mereka kalah cepat oleh Warya yang dengan gesit menyodorkan uang kepada si emang bakso Rp 50.000.

"Udah, udah, masukin lagi tuh uang kalian!" kata Warya.

"Apaaa? Bener nih?" Yati, Wiwi, dan Imas,  terbengong-bengong.

"Ya benerlah nih uangnya," kata Warya lagi.

"Bentar, bentar, Mang, apa boleh mentraktir bakso tapi dia sendiri tidak ngebakso?" ujar Yati , lagi-lagi bikin kawan-kawannya terkekeh-kekeh.

"Hahahaa......ada-ada saja si Eneng," Mang bakso menimpali.

"Kalau begitu ayo kita cabut. Makasih ya ganteeeeng...." kata Yati sambil melirik Warya lalu ke Wiwi.

"Iya, iya," kata Warya, melirik Wiwi yang tampak cemberut karena Yati memujinya dengan sebutan ganteng.

Mereka lantas bangkit. Namun, tiba-tiba sebuah sepeda motor melaju kencang dan ketika melihat mereka, motor itu mendekat nyaris saja menabrak meja.

Keruan saja mereka kaget.

"He, apa-apaan sih? Kok motor mau ditabrakkan kepada kami? Enggak lihat apa?" kata Yati sambil melotot menatap penunggang motor.

"Sori, sori, disengaja!" celoteh pemuda penunggang sepeda motor itu seraya cengengesan.

"Kalau disengaja tak perlu bilang sori!" hardik Yati makin berani.

"Halah banyak bacot cewek genit! Dan kau pemuda tengik, awas ya mengganggu pacar gue!" kata si pemuda bernama Darpin, dia anak kepala desa.

Berkata begitu Darpin menatap tajam Warya lalu tebar senyum ke Wiwi. Yati dan Imas menyadari kalau Darpin ada rasa kepada Wiwi, sementara Wiwi tak meladeni karena selain sudah terikat asmara kepada Warya, juga tak senang dengan perilaku Darpin yang arogan dan suka mabuk-mabukan meski diketahui katanya dia mahasiswa.

"Awas ya, kali ini gue maafin. Lain kali, gue lihat kamu dekatin cewek gue, akan kuhajar!" hardik Darpin sambil mengepalkan tinju ke arah Warya.

"Jangan lain kalilah, sekarang aja mungpung ada waktu, lagian  kan sudah jelas saya mendekati Wiwi karena memang dia mau didekati," kata Warya tak kalah gos, membuat hati Darpin makin membara.

Bukan kali ini saja memang Darpin bikin gara-gara kepada dia, namun Warya masih bersabar. Akan tetapi kali ini, di hadapan tiga wanita yang salah satunya adalah sang kekasih hatinya, Warya merasa sudah saatnya menampakkan diri siapa dia sesungguhnya.

"Apa kau bilang?" dan Darpin pun turun dari sepeda motornya lalu mengirimkan sebuah tinju mengarah kepada wajah Warya. Mujur Warya gesit menghindar sehingga tinju Darpin hanya memangsa angin.

"Brengsek!" Darpin amarah.

Wiwi, Imas, dan Yati minggir mendekati si emang penjual bakso seolah mohon perlindungan.

Darpin menjambak kerah baju Warya, dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya siap-siap menggampar. Namun, dengan sigap Warya mengirimkan sikut ke dada Darpin yang seketika menjerit kesakitan.

"Auuuuw......!" jerit Darpin.

Hatinya makin panas ketika melihat ketiga cewek di dekat tukang bakso cekikikan seolah melecehkannya karena tak bisa menangkis sikutan Warya.

Tak pikir panjang lagi, Darpin  mundur, mendekati sepeda motor lalu dinaiki.

"Kali ini elo boleh tersenyum jahanam! Suatu saat pasti menyesal! Camkan itu!" kata Darpin seraya menghidupkan mesin sepeda motornya dan melaju kencang bagai babi dikejar anjing pemburu.   

"Hati-hati kamu Wi, War," Yati mewanti-wanti  sahabatnya Wiwi dan Warya.

"Iya, mentang-mentang anak kades, orang kaya, berperilaku tak sopan," Imas ikut bicara.

"Iiii........" kata Wiwi, namun ucapannya tidak berlanjut sebab tiba-tiba terdengar suara motor dengan knalpot bising.

Ternyata Darpin kembali lagi menghampiri mereka yang masih berkumpul di dekat tukang bakso.

Tampaknya Darpin ingin mengatakan sesuatu, tepatnya manambah ancaman.

"Dan kamu Sarwi! Kamu anak orang miskin, anak orang tak punya. Untung ada Bapak gue yang mempekerjakan orangtuamu menggarap sawah, kalau tidak, kamu dan keluargamu sudah mati!" hardik Darpin dengan amarah. Lalu lanjutnya,

"Mestinya kamu terima cintaku agar orangtuaku menyayangimu dan akan mengangkat derajat keluargamu kalau mau kawin denganku. Namun kamu malah menerima cinta si bedebah itu, meski dia anak orang kaya, tapi lebih kaya orangtuaku!" koar Darpin lagi sambil menunjuk-nunjuk Warya.

(Bersambung)

Bab 2. Rencana Jahat

Wiwi dan Warya hanya diam. Warya sebenarnya ingin merobek mulut jahat si bajingan itu, namun ditahan dulu. Pun Wiwi ingin mengatakan sesuatu, namun dia ingat kepada kedua orangtuanya yang memang menggantungkan hidup di Kades Danu, ayahnya Darpin.

'Kasihan orangtuaku kalau tak punya pekerjaan,' bisik Wiwi.

"Sebaiknya kau putuskan percintaanmu, kalau tidak ingin orangtuamu celaka!" ancam Darpin tak segan-segan bicara.

"Darpin!" akhirnya Warya bicara juga. 

Namun Darpin tak menanggapi dan langsung tancap gas meninggalkan mereka. Perkelahian tadi yang membuatnya malu, tak ingin terulang.

Hanya dalam angannya setumpuk rencana sudah tertampung untuk membuat perhitungan.

***

Malam baru menutup siang, ketika Darpin mondar-mandir di dalam kamar rumahnya yang besar. Musik cadas ia nyalakan untuk mengusir gundah gulana hatinya. 

Namun tetap saja tak menolong. Musik dari galeri HP yang dihubungkan dengan speaker superngebas itu pun dimatikan. Terbayang lagi kejadian tadi siang. Begitu muak melihat pria penggoda Wiwi sang kekasihnya.

Dia ingat akan membuat perhitungan, baik kepada si Wiwi apalagi kepada si Warya. Dia begitu berharap bisa membangun rumah tangga dengan Wiwi, meski sebenarnya nafsunya bisa menclok seketika kepada  wanita cantik plus seksi mana saja.

Akan tetapi apa yang harus dilakukan? Si bedebah Warya itu ternyata punya keahlian beladiri, nyaris saja dia tadi kalah kalau tak segera lari. Namun Darpin merasa puas telah melontarkan kata-kata ancaman.

Dia berharap ancaman itu bisa membuat keduanya kapok. Ya, Warya jera tak mendekati si Wiwi lagi dan Wiwi pun bersedia dijadikan pacar sekaligus bersedia dinikahinya.

Apalagi kedua orangtua Wiwi bekerja pada ayahnya. Perkiraannya bakal bisa dengan mudah mendekatinya.

Akan tetapi, benarkah mereka bakal kapok hanya dengan ancaman verbal? Darpin meragukannya. Gegas ia pungut HP. Melihat-lihat nomor kontak.

"Dom, Halo!" teriak Darpin menghubungi sahabatnya.

"Halo, Bos!" balas HP di seberang, Doma konco setia Darpin.

"Lagi  ngapain lo? Bisa ke istana gue?"

"Biasa, lagi rebahan Bos. Ada proyek? Bisa, bisa. Kapan?"

"Dasar pemalas lo rebahan mulu. Ya, ada proyek gede. Kalau bisa ya sekarang, sekalian panggil tuh dua anak ingusan si Gonto dan si Benco!"

"Beres. Siap. Gua ke sana!"

"Cepet, ya!"

"Oke, Bos!"

Komunikasi HP diputus Darpin. Tersungging senyuman. Sebagian beban benaknya lumayan sedikit berkurang.

Setengah jam berlalu, di halaman rumah Darpin terdengar bunyi mesin motor digas meraung-raung. 

"Hai monyet! Ngapain lo mesin motor dibunyikan kayak di hutan?" 

Hardik  yang punya rumah, ternyata Pak Danu, sang kades yang juga ayahnya Darpin.

"Ih, maaf, maaf Pak Kades. Kirain bapak gak ada di rumah. Kami disuruh datang sama Gan Darpin...," Doma segera turun dari motor dan menghampiri Pak Kades lalu sun tangan nyaris 10 kali, takut terus dimarahi gegara membunyikan mesin motor kayak di hutan.

"Gila lu, ayo masuk!" 

Pak Kades menyuruh masuk walau kesal melihat ulah kawan-kawan kampungan Darpin ini. Namun, hatinya bangga karena kawan Darpin itu begitu tunduk dan hormat kepadanya. Pun dengan Gonto dan Benco megikuti langkah Doma menyalami Pak Kades.

Doma menuntun sepeda motor ke halaman rumah dekat teras. Dikunci. Lalu permisi ke Pak Kades untuk memasuki kamar Darpin.

Di tengah rumah tampak Bu Kades Windi tengah menonton TV. Doma hanya membungkuk hormat, tadinya mau sun tangan juga tapi takut dimarahi Pak Danu.

"Masuk!" Darpin mempersilakan kawan-kawannya masuk ke kamarnya.

Di sana sudah tersedia makanan goreng bakwan berikut kopi yang disediakan si Bibi. Keruan saja Doma, Gonto, dan Benco tak sabar ingin mencicipinya. Namun pribumi belum mempersilakannya.

'Padahal gue udah laper banget nih,' bisik hati Doma sambil menatap tajam bakwan segede-gede telapak tangan anak remaja yang masih mengepul. Enak banget kalau disantap langsung diiringi kopi panas, sayang tak terlihat rokok sebatang pun.

"Sayang belum dipersilakan, takut kualat gue," kesal hati Doma.

"Jadi begini," Darpin membuka wacana. Menarik napas dalam-dalam.

Ketiga temannya bukannya menatap wajah sang bos yang tengah gundah gulana menghadapi persoalan penting, malah mengerlingi jamuan bakwan dan kopi dengan saliva keluar masuk tenggorokan.

"Hai! Napa kalian? Lihat mata gue! Gue serius nih! Ngopi entar kalau pertemuan udah beres!" 

"O, o, iya Bos. Maaf," Doma garuk-garuk kepala tak gatal.

"Tapi, tapi, kalau kelamaan nanti bisa dingin gak enak Bos," Doma akhirnya memberanikan diri bicara tentang hasrat perutnya yang sudah ingin terisi bakwan.

"Dasar, perut kampungan. Kalau begitu, ayo ngopi dulu! Tapi awas ya jangan banyak-banyak nanti ngantuk lo!"

"Siap, Bos!" ujar ketiga konco Darpin seraya mereka berebutan mencomot bakwan dan langsung pindah amblas ke perut mereka tanpa berlama-lama di genggaman tangannya.

"Okew, okew, silawkan Bhossss mo bicawara apa?" tanya Doma, bicara tak jelas karena sambil  mengunyah bakwan dan kopi panas.

"Makan dulu lo!" Darpin menjitak kepada Doma yang dianggapnya tak sopan bicara sama bos dengan mulut lagi mengunyah.

"Iy, iy, iya.......Bos!" Doma cengengesan.

Hanya tinggal sebiji bakwan di piring. Kopi tinggal seperempat gelas. Darpin geleng-geleng kepala melihat ulah ketiga konconya ini. 

Sejatinya dia tak ingin gaul sama ketiganya yang cuma lulusan SMP, itu pun entah tamat atau tidak. Sementara Darpin anak kuliahan yang masih betah di kampus meski sudah lima tahun karena banyak mata kuliah yang belum lulus. Kemungkinan besar bisa DO.

Namun, Darpin harus bergaul dengan ketiga pemuda ini untuk membantu segala keinginannya, termasuk merebut hati Wiwi dan menghajar pria yang mencoba-coba mendekatinya seperti Warya.

"Gue minta pendapat atau bantuan elo-elo. Gue makin sulit mendekati si Wiwi, daripada mau ama gue, dia lebih memilih si bedebah Warya," ujar Darpin dengan suara lirih berharap iba dari ketiga konconya.

"Setan!" teriak Doma

"Iblis!" koar Gonto.

"Kunyuk!" semprot Benco.

Darpin tahu ketiga temannya bersimpati kepadanya.

"Apa yang harus kami lakukan bos?" Doma kini tampak serius menanti komando. Boleh jadi karena bakwan dan kopi panas telah masuk di perutnya. 

"Itulah mengapa aku panggil kalian. Ayolah ini saatnya kalian berpendapat. Apa yang harus kita lakukan sekarang?" Darpin memandangi wajah ketiga temannya.

Doma, Gonto, dan Benco, manggut-manggut, namun matanya menclok di bakwan yang tinggal satu lagi di piring, tanpa memberikan solusi seperti  yang diminta Darpin.

Tampaknya ketiganya amat tergoda oleh sebiji lagi bakwan di piring. Akhirnya ketiganya secara bersamaan nekat mencomot bakwan itu.

Dan.....plak, ketiga tangan itu secara bersamaan bertemu di piring. Saking semangat dan tergesa-gesa. Beradulah ketiga jemari mereka.

"Aooooow....!" Ketiganya berteriak sambil mengibas-ibas jemari tangannya yang terasa sakit bekas beradu.

"Apa-apaan kalian? Ini serius, serius, eh malah berebut bakwan!" Darpin murka.

Sontak piring berisi bakwan yang gagal dicomot itu diambilnya, lalu Darpin meludahi bakwan tersebut.

"Ayo, siapa yag mau? Silakan ambil!" ujar Darpin membuat ketiga temannya terbengong-bengong.

Hening beberapa saat.

"Udah, jangan banyak ulah. Gue serius nih!" Darpin membuka kembali pembicaraan.

"Hehe....maaf, soal bakwan makan aja sendiri Bos. Udah diludahi....." Doma masih sempat-sepatnya bercanda.

"Namun soal si Wiwi dan si Warya. Ya kita beresin aja Bos. Jangan diambil pusing!"

"Iya itu udah gue pikirin ke sana, bego! Yang aku mau tanyain ke kamu-kamu bagaimana cara memberesinnya?"

kata Darpin dengan mata melotot tajam ke muka Doma.

Darpin mengambil sebungkus rokok dari saku jaketnya sekaligus koreknya. 

Sebatang rokok dicabut, diselipkan ke bibirnya dan disulut, lalu diisapnya dalam-dalam serta matanya merem melek menikmati asap rokok. 

Sekilat bungkus rokok dan koreknya dimasukkan lagi ke dalam saku jaketnya. (Bersambung)

Bab 3. Aksi Dimulai

Doma, Gonto, dan Benco, cuma saling pandang. Di benaknya sama bergumam, 'Tega nian si bos merokok tanpa menawari anak buah'.

"Doma, kau bawa rokok?" tanya Darpin. Doma geleng kepala.

"Kau Gonto?" juga geleng.

"Kau Benco?" sami mawon.

"Tapi kan kalian ingin merokok?"

"Jelas dong, Bos."

"Makanya ayo segera beri solusi tentang beban pikiran gue untuk beresin si Wiwi dan si Warya. Mengapa tadi aku masukkan lagi bungkus rokok dan koreknya? Karena kalian belum juga memberikan solusi," dalih Darpin.

"Pelit mah plit aja, woy!" sindir Doma dalam hati.

  

"Tindakan macam apa kiranya yang perlu diberikan kepada si Wiwi, Bos?" tanya si Gonto.

"Pokoknya dia harus dibikin menyesal tidak mecintai gue, Gon. Tapi jangan sampai disakiti tubuhnya. Dia cantik, bodinya membuat gairah berahiku tak tertahankan," sahut Darpin dengan saliva naik turun.

"Kalau si Warya, Bos?" giliran Benco yang bertanya.

"Mati cepat lebih baik," ujar Darpin cepat dan tegas. Disangkanya menghilangkan nyawa orang sama dengan membunuh nyamuk.

"Beres!" timpal Benco.

"Ya udah kalau begitu kita culik saja si Wiwi, umpetin di tempat yang tidak mudah diketahui," usul Doma.

"Usul yang bagus Dom. Kita mulai beraksi," ujar Darpin.

"Kapan dimulai Bos?"

"Besok malam, saya suka lihat si Sarwi dan adeknya itu suka belanja ke warung malam-malam. Kita buntuti......lalu ambil Si Sarwi. Gue bakal bawa mobil," kata Darpin.

Setelah keempatnya sepakat atas rencana besok malam, barulah Darpin mengeluarkan bungkus rokok dan diperebutkan oleh ketiga konconya.

 

Mulut masam sedari tadi, nyaris saja sebungkus rokok itu hancur kalau tak segera diamankan sang pemilik. Sebatang demi sebatang lantas diberikan kepada ketiga temannya. Lalu diumpetin lagi ke saku jaketnya.

"Pelitnya minta ampun nih si Bos," gumam ketiga temannya dalam hati. Kalau berterus terang bicara, bisa-bisa rokok yang sudah pada disulut itu disita kembali.

Pertemuan pun bubar. Ketiganya pamit dan berjanji besok malam siap beraksi sesuai dengan rencana.

"Kalian mau pulang begitu saja?"

"Emang!" sahut Doma.

"Ya udah kalau begitu silakan pergi. Tadinya gue mau ngeganti uang bengsin ama lo," kata Darpin.

"Yaaaa....amplop. Gue lupa Bos. Ya, mana, makasih deh."

Darpin pun mengeluarkan uang Rp 50.000. Dikira Doma sejuta atau dua juta, ini cuma Rp 50.000, padahal misi yang akan dilakoni bukan kerjaan enteng-enteng. Taruhannya bisa nyawa. Tapi daripada tidak ya diterima sajalah.

Ketiganya pun pamit. Tak lama kemudian terdengar deru mesin sepeda motor, digas, dan tak terdengar lagi ditelan malam.

"Yessss!" Darpin mengepalkan jemari tangan, diacungkan ke atas, dan ditarik sekaligus ke bawah sambil berujar 'yes' sebagai tanda sukses membuat rencana.

"Rasain lu Sarwi, lu Warya," gumamnya, lalu 'terbang' ke atas rajang. Ambil HP. Klik membuka galeri, tampak sesosok wanita muda cantik yang selama ini jadi impiannya. Si Wiwi, dipandangi tiada henti, lalu layar HP itu didekatkan pada bibirnya pas pada bibir wanita di HP. Begitulah cara Darpin melepas rindu kepada sang kekasih yang menolak cintanya mentah-mentah.

***

Malam esoknya udara terasa dingin sehabis sore tadi diguyur hujan. Keadaan kampung tak seperti biasanya terasa sepi, hanya sesekali sepeda motor lewat di jalan raya kampung itu.

Dua orang wanita muda kakak beradik baru pulang dari warung membeli berbagai keperluan, mulai kebutuhan dapur hingga keperluan sehari-hari mereka berdua seperti odol dan sabun.

"Pelan-pelan dong Kak, jalannya!" kata sang adik kepada kakak wanitanya yang berjalan cepat seolah ada firasat buruk akan menimpa dirinya malam itu.

"Ayo cepat Wat, entar keburu malam, takut ada apa-apa lewat makam," kata sang kakak kepada sang adik bernama Wati.

Ya, ternyata wanita itu adalah Wiwi, dia baru pulang belanja di warung lumayan kumplit langganannya malam itu.

"Masa takut sama hantu? Hantu itu cuma omongan orang, buktinya kagak ada," timpal Wati tak mau percaya omongan  kakaknya.

"Huh! jangan gegabah bicara Wat! Kalau ada yang dengar gimana?"

"Yang dengar siapa? Cuma kita berdua, kok!"

"Pokoknya ayo cepet! Lagian ini obat nyamuk mau segera dipakai!" kata Wiwi mengalihkan pembicaraan, tidak lagi menakut-nakuti adiknya dengan hantu tetapi dengan hal realistis, obat nyamuk.

"Iya, iya, iya!" akhirnya Wati menurut.

Keduanya berjalan berdampingan menempuh jalan kampung yang cuma diterangi cahaya lampu dari satu dua rumah. Lampu PJU belum  begitu banyak.

Ketika keduanya akan memasuki kawasan yang ada permakaman umum, Wiwi dan Wati, terhenti sejenak. 

Sepertinya di depan ada  sesuatu yang mencurigakan. Tas belanjaan yang mereka bawa dipegang erat-erat takutnya ada orang jahat yang mau merampok.

"Wat, apa tuh di depan?" bisik Wiwi.

"Mana?" 

"Tuh?"

"O iya sepertinya ada mobil, Kak. Ayo jalan ajalah, habis ke mana lagi tak ada jalan lain," ajak Wati.

Meski Wiwi amat ketakutan, dia pun menurut. Keduanya berjalan cepat ingin segera melewati mobil yang terparkir di pinggir jalan tanpa menyalakan lampu di dalamnya.

Ketika sudah mendekati dan melewati mobil itu sontak Wiwi dan Wati mempercepat langkahnya. Mobil sudah berhasil dilewati dan tidak ada siapa-siapa juga tak terjadi apa-apa.

Wiwi dan Wati merasa senang karena bisa lolos dari mobil yang semula diduga dinaiki orang yang akan berbuat jahat. 

Akan tetapi, sekitar 20 langkah dari mobil, tiba-tiba tubuh Wiwi dicengkeram sesosok tubuh serasa kekar.

Sementara Wati pun sama, sekilas dia melihat ada 4 sosok tubuh pria yang mengganggu dia dan kakaknya. Ketiganya mengenakan kupluk penutup kepala. Seorang pria menyergap Wati lalu kepala Wati ditutupi karung kemudian diikat dan dibiarkan tergeletak di pinggir jalan. Sementara tubuh Wiwi dibopong dua orang pria dan dimasukkan ke dalam mobil. 

Di dalam mobil tangan Wiwi ditarik ke bagian belakang tubuhnya lalu diikat tambang plastik kuat-kuat, sementara mulutnya disumpal saputangan besar sehingga praktis tak bisa berbuat apa-apa kecuali meronta-ronta ingin lepas dan menangis berurai air mata nestapa. 

Lalu mobil itu bergerak meninggalkan lokasi permakaman dan Wati yang meronta-ronta berusaha melepaskan diri dari karung yang menutupi kepala dan setengah tubuhnya berikut tali yang mengikatnya.

"Tolong-tolong, tolooooong.........!" Wati berteriak-teriak minta tolong. 

Tak ada yang mendengar, maklum kawasan itu agak jauh dari rumah penduduk.

"Tolong-tolong, tolooooong.......!" Wati berteriak lebih keras lagi.

Tiba-tiba ada seseorang yang mendengar teriakan Wati. Dengan senter HP yang dibawanya pria muda itu segera lari menuju arah datangnya suara.

Semakin dekat bunyi yang minta tolong makin  jelas. Ketika tersorot lampu senter HP, ia begitu terkejut.

"Ada apa, siapa kau nona?" kata si pria muda itu demi mendengar yang minta tolong itu sepertinya wanita muda.

"Tolong aku, aku Wati," timpal Wati.

"Wati?!" pria muda itu begitu terkejut. 

Segera saja dia membuka jeratan tali pada tubuh Wati dan mencopot karung yang mentupi tubuhnya.

Setelah terbuka,

"Wati kenapa kau sayang?" tanya pemuda yang bernama Anwar itu.

"Tolong aku War, tolong, kakakku, kakakku....." Wati terbata-bata dan menangis lalu mendekap tubuh Anwar, kekasih hatinya.

"Kenapa dengan Kak Wiwi, Wat?"

"Dia hilang, hilang di sini!"

""Ya Allah......, ayo kita cari!" ajak Anwar.

"Di mana hilangnya?"

Dan Wati pun berceritera sepulangnya dari warung kemudian melihat ada sebuah mobil, dan 20 langkah kemudian dia dan kakaknya ada yang menyergap beberapa pria.

"Ini penculikan. Beruntung kamu tidak ikut diculik, ayo kita pulang, lapor kepada orangtuamu dan ke pihak berwajib," ajak Anwar.

Keduanya lantas pergi meninggalkan area permakaman umum dan bermaksud ke rumah orangtua Wati dan Wiwi. Beruntung tas belanjaan tak diembat penjahat. Anwar membantu membawa tas belanjaan tersebut.

Setibanya di rumah, Wati menangis sejadi-jadinya di depan Pak Muslih bapaknya dan Bu Ratih ibunya.

"Kenapa kamu menangis Wati? Mana kakakmu?" tanya Pak Muslih dan Bu Ratih hampir bersamaan

"Celaka Pak, Bu!"

"Celaka?" Pak Muslih dan Bu Ratih saling pandang. (Bersambung)

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!