NovelToon NovelToon

ISTRI DURHAKA

1

Part 1, Bangkrut

Sebuah perusahaan properti milik Arka Jaya Santoso yang berdiri sukses selama bertahun-tahun, kini harus gulung tikar karena banyaknya pesaing yang kini akhirnya bisa mengalahkan perusahaan tersebut.

Arka jatuh bangkrut dan dia harus membayar gaji semua karyawan yang masih menjadi beban tanggung jawabnya, kepalanya serasa mau pecah saat menerima kenyataan hidup yang baru saja ia alami.

"Astagfirullah, Ya Allah, semua milik-Mu, dan semua akan kembali pada-Mu, ampuni lah hamba Ya Allah."

Tangis membanjiri pipi Arka yang baru saja tertimpa musibah itu, rasanya dunia berhenti seketika saat ia tahu bahwa usaha satu-satunya itu kini lenyap bagai di telan bumi.

Tok! Tok! Tok!

Seorang wanita bernama Susan mengetuk pintu ruangan Arka, dan Arka pun mempersilahkan masuk sekertaris nya itu, ia menyeka air mata yang tumpah membasahi pipinya.

"Selamat siang Pak, maaf Pak, saya ingin menyampaikan tentang desakan para karyawan yang meminta untuk dibayar gajinya, karena ini sudah menunggak selama dua hari, mereka butuh untuk biaya kehidupan mereka dan lain-lain, Pak," ucap Susan menyampaikan keluhan para karyawan pada Arka.

"Saya tahu, tapi kamu juga pasti tahu kan Susan, kalau saya ini bangkrut, saya tidak memiliki lagi sisa uang untuk saya bayarkan pada karyawan, dari mana saya harus membayarnya, Susan," sahut Arka dengan tatapan mengarah pada Susan.

"Saya sangat mengerti kondisi Bapak, tapi saya tidak bisa membantu apa-apa," kata Susan ikut merasa bingung dengan masalah pimpinannya.

"Ya sudah kalau begitu, kamu tolong bantu saya untuk mengatakan pada mereka, bahwa saya pasti akan membayar gaji mereka, saya akan tanggung jawab, dan saya tidak akan lari." jelas Arka berusaha untuk mencari jalan keluar.

Susan mengangguk pelan, mengikuti arahan dari pimpinannya lalu setelah itu ia pergi kembali meninggalkan ruangan Arka. Arka kembali memijit kembali kepalanya yang benar-benar sakit, rasanya ia tidak tahu harus pulang atau tetap ada di kantor itu.

Sementara di tempat lain, Cahaya sedang melakukan kegiatan arisan bersama dengan teman-teman sosialita nya di rumah, di mana banyak sekali menu makanan dan minuman yang dihidangkan sebagai penyambutan para grup arisan tersebut.

Cahaya terlihat memakai gelang emas, kalung, cincin, dan juga anting yang begitu sangat mewah dan mahal, hingga pesonanya membuat para ibu-ibu sosialita itu merasa sangat iri.

"Bu Cahaya, Ibu cantik banget lo pakai perhiasan seperti itu, mana lengkap dengan gaun mahal dan juga hills yang juga pastinya sangat mehong," ucap bu Tiwi, salah satu dari grup arisannya.

"Iya, Bu Cahaya memang tampilannya selalu berbeda-beda, maklum suaminya pengusaha sukses, jadi wajar kan memanjakan bu Cahaya sampai seperti ini," puji bu Anjani melempar senyum pada Cahaya.

"Ibu-ibu biasa saja, jangan berlebihan begitu pada saya, tapi apa yang kalian katakan itu tentu saja benar, suami saya seorang pengusaha sukses, untuk apa coba uangnya kalau bukan untuk istrinya ini, saya sangat bahagia sekali lo Ibu-ibu." jelas Cahaya memamerkan rentetan berlian yang ia pakai dengan senyum manisnya.

Pembahasan itu tak sampai di situ saja, mereka masih begitu antusias dan semangat membawa Cahaya terbang ke langit ke tujuh dengan pujian mereka. Dan sambil menikmati makanan yang telah tersaji mereka tetap melakukan kegiatan sosial sebagaimana layaknya seorang wanita-wanita yang sangat hobi sekali pamer, dan ber-ghibah.

Sampai waktu sore pun tiba, di mana acara itu sudah selesai dan mereka pun pamit untuk pulang, Cahaya dengan percaya dirinya berjalan mengantarkan para teman-temannya itu keluar dari rumah mewahnya yang begitu sangat indah.

"Kami pergi dulu ya, Jeng Cahaya. Semoga bulan depan kita bisa kumpul-kumpul lagi seperti ini," ucap salah satu teman Cahaya yang merangkul tubuh ramping Cahaya.

"Ya dong pastinya, kita harus tetap menjalin silahturahmi ini dengan berkumpul bersama, dan bulan depan pastinya akan ada barang baru lagi yang harus kita pamer kan saat kita kumpul nanti, ya," sahut Cahaya sambil tertawa.

"Kalau itu pasti, hahahaha___"

Sontak saja mereka semua tertawa puas mendengar ucapan Cahaya yang begitu sangat senang ketika memamerkan sesuatu pada teman-temannya.

Meraka pun satu per satu pergi meninggalkan kediaman Cahaya, sementara Cahaya sendiri terlihat begitu bangga memamerkan semua yang ia miliki di tangan, leher, telinga, dan juga jemarinya itu, berupa perhiasan mewah yang tidak sebanding dengan milik para teman-temannya.

"Bulan depan aku harus membeli lagi berlian yang baru, agar mereka bisa melihat sekaya apa aku dan suamiku." ungkap Cahaya berlenggak-lenggok berjalan masuk ke ruangan tamu.

Mama Wulandari, mama mertua Cahaya yang melihat menantunya sedang berbangga diri mengenai apa yang ia miliki itu hanya bisa menggelengkan kepala dari kejauhan, sebagai menantu satu-satunya Wulandari tidak ingin membuat Cahaya tersinggung dengan kata-kata dan nasehatnya, namun jika tidak diberikan nasehat, tentu saja Cahaya tidak akan berubah.

Langkah kaki Wulandari menggunakan tongkat besi untuk menompang tubuhnya itu di sadari olen Cahaya, pehatian Cahaya pada perhiasannya itu pun beralih pada mama mertua yang ada di hadapannya.

"Ada apa, Ma? Kok liatin aku kayak gitu banget?" tanya Cahaya dengan nada sewot.

"Cahaya, apa tidak sebaiknya kamu gunakan uang kamu itu untuk menabung sayang, Rehan dan Tiara sudah mulai tumbuh besar, dan sebentar lagi mereka akan duduk di bangku SMP, sebaiknya kamu kurangi pergaulan kamu," ucap Wulandari memberikan nasehat.

"Aduh Ma, kenapa harus nabung si, nggak usah lah! Toh mas Arka juga punya uang lebih banyak, jadi Mama nggak usah khawatir," sahut Cahaya menolak usul dari mama mertuanya.

"Tapi sayangnya sekarang aku sudah tidak punya apa-apa lagi, Cahaya."

Tiba-tiba suara yang sangat tidak asing di dengar oleh Cahaya, sampai akhirnya perhatian Cahaya mengarah pada laki-laki itu, dan laki-laki itu adalah Arka. Suami yang baru saja ia bangga-banggakan itu.

Langkah kaki Cahaya mengarah pada Arka yang saat itu terlihat sangat kusut, dan menenteng sepatu kerjanya dari kantor pulang ke rumah.

"Mas, apa-apaan ini? Kenapa penampilan kamu dekil banget!" marah Cahaya melihat penampilan suaminya yang seperti tidak terurus.

"Aku bangkrut, Cahaya."

Dengan lemah gemulai tubuh kekar Arka jatuh ke lantai, ia sangat lemas ketika berhadapan dengan Cahaya, dan juga Wulandari yang sedang berusaha mendekati dirinya.

"Arka, bangun lah Nak, kita bisa bicarakan ini di sofa." ajak Wulandari dengan nada sesaknya.

Wanita yang sudah berumur itu sebenarnya sudah mendengar bahwa putranya itu mengatakan bahwa dirinya bangkrut, namun ia tidak ingin terlihat sedih di hadapan Arka yang justeru sedang membutuhkan semangat.

Dengan lemas Arka menghempaskan tubuhnya di sofa, dan ia terlihat sembab karena sejak di kantor ia sudah menangisi garis takdirnya.

"Mas, jangan kayak gini dong, kamu harus jelasin kamu kenapa," omel Cantika yang tidak tahan melihat suaminya yang terlihat lemah.

"Cahaya, tolong kamu ambilkan minum untuk suamimu ini, jangan kamu berikan omelan yang justru akan membuat suami kamu sedih," seru Wulandari memberikan nasehat pada menantunya itu.

2

Cahaya akhirnya pergi ke dapur, mengambilkan minuman untuk suaminya, Arka. Setelah itu ia menyodorkan gelas tersebut bersamaan dengan sodoran pertanyaan yang membuat Arka tak bisa menyembunyikan semua nya.

"Aku bangkrut Cahaya, perusaan bangkrut," ucap Arka yang akhirnya bersuara.

"Ha, apa Mas? Mas, kamu jangan becanda dong, kenapa bisa bangkrut si!" omel Cahaya tidak percaya dengan kebenaran yang ia dengar.

"Kamu tidak salah dengar Cahaya, aku bangkrut, rumah ini saja terpaksa harus kita tinggalkan untuk membayar hutang." jelas Arka menambah sesak di dada Cahaya.

Cahaya benar-benar tidak habis pikir, jika kehidupannya akan sangat berubah, karena kekayaan dan kekuasaan yang suaminya miliki kini diambil oleh sang pemilik rezeki.

Wulandari, ibu kandung Arka tersenyum tipis kala itu, meskipun dirinya sendiri merasa sangat sedih, namun ia tidak bisa jika harus menambah beban yang saat ini dirasakan oleh Arka, putra nya.

Tok! Tok! Tok!

Ketukan pintu terdengar begitu nyaring, malam-malam begini ada tamu yang datang dan membuat Cahaya sedikit kesal untuk membukanya, saat itu Arka bangkit, ia tidak mau jika Cahaya memperlihatkan wajah masamnya pada tamu.

"Cahaya, biar aku saja yang membuka pintunya," ucap Arka.

"Bagus lah, aku juga lagi males ketemu sama orang!" celetuk Cahaya kesal.

Arka menerima sikap Cahayala, ia sadar bahwa apa yang dilakukan oleh Cahaya adalah sebagai bentuk rasa kecewa atas apa yang telah terjadi, ia tidak membalas sikap Cahaya yang seperti itu.

Saat pintu dibuka oleh Arka, betapa terkejutnya ia karena yang datang adalah beberapa karyawan yang di kantor yang belum mendapatkan gaji bulanan darinya.

"Emmm, kalian ada apa malam-malam datang ke sini?" tanya Arka gugup, ada rasa takut yang terlihat jelas di matanya.

"Pak, tentu saja kami datang ke sini untuk meminta hak kami, gaji bulanan kami belum Bapak berikan, Pak," ucap salah satu dari mereka yang menatap kecewa pada Arka.

"T-tunggu dulu, kita bisa bicarakan ini di kantor saja, kenapa kalian nekat datang ke rumah saya," seru Arka yang tidak enak pada istri dan ibunya.

"Tidak bisa Pak, saat kami tahu bahwa perusahaan bangkrut, tidak mungkin kami akan kembali lagi ke sana untuk bekerja, tentu saja kami akan mencari tempat lain. Tapi sebelum itu kami lakukan, kami ingin meminta hak kami pada Bapak." jelas salah satu dari mereka dan di anggukkan oleh lain nya.

Arka sangat bingung saat itu, ia tidak tahu harus berkata apa untuk meminta mereka bersabar, tentu saja mereka memiliki hak atas gaji yang seharusnya Arka bayar, dan mereka juga memiliki keluarga yang harus mereka nafkahi.

Saat itu Cahaya terpancing untuk datang, karena terdengar suara yang sangat ramai di depan pintu. Dan saat Cahaya keluar mata para karyawan itu tertuju pada semua perhiasan yang dipakai oleh Cahaya.

"Itu, istri Bapak punya banyak perhiasan, Bapak bisa menjualnya dan membayar gaji kami," ucap salah satu dari mereka.

"Ee j-jangan, itu sudah menjadi hak istri saya, saya akan cari cara agar saya bisa membayar gaji kalian, saya janji," seru Arka tidak enak hati untuk menyetujui permintaan mereka.

"Apa yang akan Bapak lakukan? Usaha apa yang akan Bapak coba untuk membayar gaji kami, pokoknya kami tidak mau tahu, bayar gaji kami secepatnya, Pak!" desak mereka yang tidak sabar.

Cahaya sangat kesal saat itu, lantaran suara bising yang ia khawatir kan akan terdengar oleh para tetangga, dan itu akan membuat harga dirinya sangat jatuh. Salah satu karyawan pun berusaha nekat, merampas gelang emas yang dipakai oleh Cahaya, dan saat itu Cahaya terkejut karena ulah salah satu dari mereka.

"Eh, apa-apaan ini, kenapa kalian mengambil gelang ku!" pekik Cahaya tidak terima.

"Lebih baik Ibu lepaskan perhiasan Ibu secara mandiri, atau kami akan mengambil nya secara paksa, kami juga punya keluarga yang harus kami nafkahi Bu, jadi kami harus melakukan ini," suruh salah satu dari mereka.

"Ya nggak bisa gitu dong, ini perhiasan saya," tolak Cahaya masih berusaha mempertahankan miliknya.

"Bu, kalau Ibu tidak menuruti permintaan kami, kami lah yang akan merebut paksa perhiasan itu." jelas mereka dengan tegas.

Cahaya menatap Arka yang seperti patung tak bersuara dan tak bergerak, ia sebelum nya berharap bahwa Arka akan menghentikan perbuatan mereka, namun justru Arka nampak memohon dengan tatapan mata yang berkaca-kaca, hingga akhirnya Cahaya pun melepaskan apa yang ia miliki saat itu.

Setelah semua yang dipakai oleh Cahaya habis, mereka pun merasa sangat senang. Wulandari merasa kasihan pada Cahaya yang terlihat sangat marah dan kecewa itu, ia mendekati pintu dan memberikan sebuah cincin yang pernah Arka hadiahkan untuknya.

"Bapak-bapak, saya punya satu cincin, kalian bisa menjual cincin ini untuk menutup hutang putra saya pada kalian," ucap Wulandari menyerahkan dengan ikhlas.

"Tapi Bu, itu cincin___" Arka nampak menolak saat Wulandari melakukan itu.

"Sssstt, jangan bedakan Ibu dengan Cahaya, Ibu ikhlas membantu mu." jawab Wulandari lirih.

Cahaya menangis dan membuang muka, ia pergi berlalu meninggalkan mereka semua dan masuk ke kamar. Saat itu semua karyawan merasa lega karena setidaknya mereka bisa membawa pulang uang dari hasil penjualan perhiasan yang mereka dapatkan.

Mereka pun pergi dengan hati senang, meninggalkan Arka dan Wulandari yang sedang berdiri mematung di sana.

"Ibu, maafin Arka, Arka jadi merepotkan Ibu," ucap Arka merasa bersalah.

"Tidak Arka, Ibu sama sekali tidak merasa telah membuat kamu repot, dengan tetap tinggal dan hidup bersama mu saja, Ibu sudah merasa sangat senang," sahut Wulandari melempar senyum.

"Ibu, aku harus menemui Cahaya, saat ini pasti Cahaya sedang sangat sedih," kata Arka yang langsung tertuju pikirannya pada sang istri.

"Temui lah, berikan ia pengertian, bahwa saat ini memang kamu sedang diuji." jawab Wulandari meminta putra nya untuk pergi.

Arka mengangguk kecil dan pergi menemui Cahaya yang sedang menangis di kamar, Arka duduk di sudut ranjang dan menatap Cahaya dengan kasihan.

"Cahaya, maafkan aku, aku harus membuat kamu kehilangan perhiasan yang kamu pakai," ucap Arka, lirih.

"Aku berjanji, saat aku punya uang nanti, aku akan mengembalikan semua itu dengan hasil kerjaku." sambung Arka mencoba untuk memberikan keyakinan pada Cahaya.

Mendengar penuturan dari Arka justru membuat Cahaya semakin kesal dan benci, bagaimana dia bisa mengembalikan perhiasannya sedang saat ini ia sudah tidak memiliki harta sedikit pun.

"Nggak perlu berjanji Mas, memangnya kamu yakin bisa mengembalikan perhiasan ku dalam waktu dekat, ha! Enggak kan," hardik Cahaya marah.

"Mungkin sekarang memang belum bisa Cahaya, tapi aku berjanji akan berusaha," ucap Arka.

"Omong kosong! Sekarang lebih baik kamu pergi dari kamar ini, aku tidak sudi tidur satu ranjang denganmu!" usir Cahaya melempar Arka dengan sebuah bantal.

Arka tak bersuara, ia sadar saat istrinya sedang sangat kecewa dan marah, akan lebih baik jika dirinya tidak mengajak Cahaya bicara dulu karena ia sedang tidak baik-baik saja. Arka pun keluar dari kamar dan meninggalkan Cahaya sendiri.

Saat itu Cahaya sangat marah, ia berteriak kencang untuk melampiaskan kemarahannya seorang diri.

3

Beberapa hari kemudian, suasana hati Cahaya masih dalam keadaan kecewa. Namun, apapun itu bentuk rasa kecewa, Cahaya harus menjalani semua peran sebagai seorang istri dan ibu dari dua anak yang sudah masuk sekolah sadar. Ia harus tetap menyiapkan bekal dan juga pakaian kedua anaknya setiap pagi.

Setelah selesai, Cahaya menyiapkan sarapan pagi di meja makan, dan semua keluarga sudah siap untuk menyantap makanan di meja bersama.

"Loh, kok sayurnya sama kayak kemarin? Tempe, tahu, dan tumis kangkung," ucap Aldo, ia merasa bosan karena masih belum terbiasa dengan makanan seadanya.

"Hanya ini yang bisa Ibu masak, jadi Aldo dan Tasya tidak boleh banyak mengeluh," seru Cahaya dengan nada yang tertahan.

"Lagian apa susahnya di, tinggal di makan aja, kalian berdua nggak perlu capek-capek masak makanan ini sampai jadi hidangan di meja." sambung Cahaya pada kedua anaknya.

Aldo dan Tasya terdiam, sejak kebangkrutan yang dialami oleh Arka membuat mood Cahaya sangat buruk, hingga tak terkontrol. Bahkan di hadapan anak-anak saja Cahaya sama sekali tidak bersikap baik.

"Anak-anak, lebih baik kalian sarapan dulu ya, nanti biar Ayah antar kalian ke sekolah, biar nggak telat," ucap Arka melempar senyum, mencoba untuk menghibur Aldo dan Tasya.

"B-baik Ayah__" dengan jawaban yang sama, akhirnya Tasya dan Aldo mengikuti perintah dari ayahnya.

Beberapa saat kemudian, mereka pun sudah menyelesaikan sarapan pagi mereka, dan saat itu Arka mengajak anak-anak untuk berangkat bersamanya. Menggunakan sepeda motor butut, hanya itu lah yang saat ini Arka miliki sebagai kendaraan pribadi nya.

"Ke mana mobil Ayah ya, kenapa beberapa hari ini kita di antar sama motor butut ini?" tanya Aldo berbisik pada Tasya, adiknya.

"Aku juga tidak tahu Kak, ya udah ayo berangkat saja, nanti kita beneran telat." jawab Tasya yang tidak ingin memikirkan hal itu.

Tasya dan Aldo sekolah di tempat yang sama, Aldo sudah berada di kelas 5 SD, dan Tasya berada di 4 SD, sengaja Arka menyekolahkan meraka di tempat yang sama, agar bisa mengantar dan menjemput mereka di tempat yang sama.

Tibanya di sekolah, Aldo dan Tasya berpamitan pada sang ayah, dan Arka mengecup kening mereka masing-masing.

"Anak-anak Ayah, belajar yang pintar ya, maafin Ayah, hari ini Ayah belum bisa kasih uang jajan, Ayah masih belum dapat kerja, sayang," ucap Arka merasa sangat bersalah.

"Tidak masalah Ayah, kami sudah dibawakan bekal oleh Ibu," seru Tasya penuh senyum.

"Ya Ayah, kami akan kenyang dengan bekal yang kami bawa, Ayah tidak usah khawatir." jelas Aldo ikut bersuara.

Jawaban kedua anak itu membuat Arka semakin merasa bersalah, ia meminta mereka untuk segera masuk agar tidak melihat ada sesuatu yang akan keluar dari kedua matanya, karena terharu.

Mereka pun dengan semangat meninggalkan Arka setelah berpamitan, Arka mengusap air matanya dan menyalakan mesin sepeda motornya dengan segera.

Arka memutuskan untuk tidak pulang ke rumah, ia akan pergi mencari kerja sampai ia mendapatkan pekerjaan.

Sementara di tempat lain, Cahaya nampak sangat kesal dan jenuh di rumah bersama Ibu mertua nya, saat itu Cahaya sedang duduk di sofa ruang tamu, ia memainkan ponsel yang terasa sangat hambar.

"Duh, ya ampun, kenapa hidupku seperti ini si, sangat membosankan," ucap Cahaya meletakan ponselnya begitu saja.

Tak lama kemudian, ponsel itu berdenting, pesan masuk membuat Cahaya dengan lemas untuk membukanya. Grup teman-teman arisan mengirimkan sebuah lokasi yang akan mereka hadiri hari ini, dan saat itu Cahaya diundang untuk datang ke sana.

Cahaya nampak bingung apa yang akan ia balas saat itu, tentu saja ia tidak mungkin menolak ajakan tersebut karena tidak ingin mereka semua tahu bahwa ekonomi Cahaya saat ini sedang menurun.

"Bagaimana ini, nggak mungkin kan kalau aku menolak ajakan mereka, tapi gimana ya. Duh, apa aku masih punya uang?"

Cahaya nampak bimbang dengan pilihan yang harus ia putuskan sekarang juga, ia pun pergi ke kamar dengan buru-buru. Memeriksa lemari pakaian dan berharap bahwa akan ada uang yang bisa ia temukan di salam sana.

Hingga akhirnya Cahaya teringat oleh satu hal, uang bulanan sekolah anak-anak yang masih tersisa di sana. Cahaya pun mengambil dan menjadikannya sebagai modal untuk dirinya bergaya.

"Uang ini cukup buat aku pergi dan makan sama temen-temen di sana, lumayan lah buat obat jenuh," ucap Cahaya tanpa pikir panjang.

Dengan cepat Cahaya pun mengganti baju dan berdandan, baju mahal yang ia koleksi sama sekali tidak menunjukkan bahwa Cahaya saat ini sedang jatuh miskin, ia nampak dengan yakin bahwa apa yang ia lakukan itu adalah benar. Setelah cukup lama berdandan di kamar, Cahaya pun keluar dalam keadaan rapi dan juga wangi.

"Cahaya, kamu mau ke mana?"

Tiba-tiba Cahaya terhenti saat mendengar suara Wulandari, Ibu mertua yang menyadari niatnya untuk pergi.

"Mau pergi Bu," ucap Cahaya singkat.

"Iya maksud Ibu kamu mau pergi ke mana, kok kamu keliatannya rapi banget?" Wulandari menatap menantunya itu dari ujung rambut hingga ujung kaki.

"Ya lah Bu, saya malu kalau harus keluar dalam keadaan dekil, saya tidak mau kalau sampai temen-temen saya tahu kalau saya ini sudah jatuh miskin," celetuk Cahaya dengan beraninya.

"Astagfirullah Cahaya, seharusnya kamu bersikap seperti ini, kalau memang takdir sudah digariskan seperti ini, harusnya kita terima itu, jangan justru menutup-nutupi." jelas Wulandari menasehati Cahaya.

Cahaya menatap kesal pada Ibu mertuanya, lantaran terlihat sangat tidak suka saat dirinya yang berargumen demikian. Cahaya berdebat sedikit dengan Ibu mertuanya, saat Wulandari meminta dirinya untuk merubah penampilan dan pergaulan, karena hal itu akan sangat berpengaruh pada keuangan yang masih sangat sulit itu.

Namun Cahaya menolak keras, ia justru tidak mau jika Wulandari terlalu ikut campur mengenai pilihan dan hidupnya. Dengan percaya diri Cahaya melenggang pergi dengan pakaian dan gaya nya yang dulu.

Tibanya di restoran mahal itu, Cahaya dengan percaya diri masuk dan menemui para geng arisan yang sudah menunggu kehadirannya itu. Mereka menyambut dengan gembira saat tahu Cahaya datang, dan saat itu Cahaya dipersilahkan duduk di sebuah bangku kosong yang memang sudah dipesan untuk Cahaya.

"Ya ampun, maaf ya, aku telat tadi karena ada sedikit urusan," ucap Cahaya masih dengan gaya modis nya.

"Tidak masalah jeng, kita ini kan punya kesibukan masing-masing memang. Oh ya, karena sudah kumpul semua, gimana kalau kita pesen makanan?" tawar salah satu dari mereka.

Mereka pun dengan serempak mengangguk setuju, kecuali Cahaya, ia menggelengkan kepala saat Ratih hendak mengajak mereka pesan makanan.

"Aku mau jus aja deh, soalnya lagi progam diet nih," ucap Cahaya beralasan, ia tidak mau malu karena takut uang yang ia bawa tidak cukup untuk memesan makanan.

"Ya ampun, badan mu itu sudah sangat ideal Jeng, mau diet gimana lagi," seru Titin yang menatap Cahaya.

"Tapi aku merasa gemukan, jadi aku tidak mau sering makan. Kalian enakin aja ya, pesan saja makanan, dan aku pesan kan minuman." jelas Cahaya yang tidak merubah keputusannya.

Ratih pun mengangguk pelan, m

enyetujui permintaan Cahaya dan menyodorkan menu jus yang akan Cahaya pilih, lalu setelah itu Ratih pun memanggil pramusaji untuk menyiapkan semua pesanannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!