Desa Sukawin adalah daerah terpencil yang hanya di kelilingi sawah dan pegunungan. Suasana di sana masih amat asri, pepohonan yang subur dan juga masih kental budayanya. Rumah-rumah penduduk juga masih berbentuk rumah panggung, walaupun mereka berpenghasilan rendah tetapi warganya pada makmur karena mereka memiliki ladang yang luas.
"Dijah, nanti sekalian antarkan lauk ini tempat pamanmu ya ..." Teriak Maimunah -- ibunya Khadijah.
"Iya, Mak." Khadijah menyahuti dari kamarnya, ia sedang berpakaian untuk pergi kerja di sebuah toko yang berada di simpang rumah pamannya.
Di ruang makan, Maimunah dan Rojali sedang menikmati sarapan. Tiba-tiba keluarlah Khadijah dengan memakai gamis dan jilbab yang warnanya serupa dengan gamisnya.
Khadijah hanya meminum teh hangat lalu pamit untuk pergi, "Sarapan dulu, Jah ..." Titah Pak Rojali sambil menunjuk tempat duduk yang masih kosong.
"Di toko saja, Bah ... Ijah sudah telat, nanti makan roti saja di sana."
"Makanya jangan bergadang mulu," ucap Maryam, sang adik yang masih sekolah.
Khadijah mendelikkan matanya agar adiknya tidak berbicara panjang lebar lagi, "Abah ... Emak ... Dijah pergi dulu ya, Assalamu'alaikum."
"Waalaikumsalam."
Khadijah Khairiyah, sering di sapa sebagai Dijah. Wanita yang menjadi kembang desa akibat kecantikan yang ia punya. Khadijah memiliki sifat yang periang, bahkan di saat sedih pun ia tak ingin memperlihatkannya pada orang sekitar. Banyak sekali laki-laki yang ingin mendekatinya, namun sangat susah mendapatkan hati Khadijah. Wanita itu lebih senang sendiri, menurutnya single itu happy karena hanya mengurusi perasaan sendiri. Ya, itulah Khadijah.
Khadijah berlari mengambil sepedanya, kemudian ia telusuri desa yang indah tersebut. Dayungannya sangat kencang pertanda ia sedang buru-buru. Sebenarnya ia belum terlambat, tetapi karena akan mampir ke rumah pamannya yang pasti tidak mungkin sebentar di sana, ia terpaksa pergi lebih awal.
Sampailah di rumah panggung berwarna biru langit, rumah yang begitu bersih dan rapi. Bagaimana tidak, anak dari pamannya ada sembilan orang dan masing-masing mendapatkan tugas membersihkan rumahnya. Sedangkan dirinya hanya bertiga, ia anak pertama dan dua adiknya masih sekolah. Maryam sudah kelas 12 SMA, tetapi ia sangat malas dan menyebalkan. Kalau Abdullah, adik bungsunya tersebut masih kelas 4 SD, hobinya masih bermain-main.
Bruk!
"Aw! Bang Malik!" Pekik Khadijah yang tak sengaja tabrakan dengan Abang sepupunya.
"Astaga, Khadijah! Kalau jalan hati-hati dong," ketus Malik.
"Dih, sudah dia yang nabrak, dia pula yang marah."
"Kamu yang nabrak Abang, bukan sebaliknya."
"Terserah! Paman sama Bibi mana?"
"Di dalam, masuk saja!"
"Ya iyalah, memang mau masuk. Ngapain di sini sama Bang Malik tukang main perempuan."
"Heh! Apa kamu bilang?"
"Tukang main perempuan!"
"Abang bukan tukang main perempuan, tapi sedang memilah mana yang terbaik buat jadi pasangan."
"T e r s e r a h, terserah!" Ledek Khadijah sambil mengeja hurufnya terlebih dahulu.
"Berisik kamu, sana masuk."
Khadijah langsung masuk dan memeluk bibinya yang bernama Markonah, "Assalamu'alaikum, Bibi ..."
"Waalaikumsalam, nggak kerja kamu?"
"Kerja, Bi ... Ini ada titipan dari emak."
"Wah, apa ini?"
"Gulai ayam kampung, Abah baru potong ayam tadi subuh."
"Ayam yang mana?"
"Si Otong, Bi ... Abah kesal sama si Otong kerjanya buang pup di dalam rumah makanya di potong sama Abah."
Markonah pun terkekeh mendengarnya, tiba-tiba suara laki-laki juga ikut terkekeh. Rupanya pamannya 'lah yang baru saja keluar dari kamar. "Kirain siapa yang datang kok ramai nian, rupanya keponakan paman yang super ceria."
"Paman ..." Khadijah mencium tangan pamannya.
"Kamu kapan menikah, Jah?"
Pertanyaan yang paling sering di hindari, pertanyaan yang menaikkan emosi, dan pertanyaan yang membuat mood Khadijah berubah menjadi monster. Kenapa harus paman sendiri yang menanyakannya? Jika saja itu orang lain --- Malik misalnya, sudah ia pukul habis-habisan sejak tadi.
"Kalau nggak Sabtu ya Minggu," jawab Khadijah ngasal.
"Kalau di tanya orang tua yang benar jawabnya," celetuk Malik yang tiba-tiba muncul.
Khadijah memanyunkan mulutnya, "Antara tanggal 1 sampai tanggal 31, Paman. Atau antara bulan satu sampai bulan 12 deh," Khadijah masih saja bergurau pada paman dan bibinya.
"Kamu ini!" Bu Markonah terkekeh mendengarnya, "Bibi sayang nian sama kamu, Jah. Kamu anak yang baik, pintar, shalihah dan periang. Bibi yakin siapapun suami kamu pasti dia akan beruntung memiliki istri seperti kamu," sambung Bu Markonah.
"Aamiin."
"Dih, panjang 'lah itu kupingnya kaya gajah," ketus Malik.
"Kamu nggak boleh begitu, Lik. Atau kamu saja yang jadi suaminya Dijah, gimana? Dari pada sibuk mencari pacar yang nggak tahu asal usulnya, mending sama Dijah saja." Ucap Pak Anto, paman Khadijah.
"Ogah!" Sahut mereka berdua bersamaan.
Khadijah pun pamit karena jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi, sementara tokonya akan buka jam setengah sembilan. Khadijah dan Malik memang tidak pernah akur, mereka terus saja saling berbalas kekesalan seperti kucing dan tikus.
Padahal Khadijah adalah gadis kembang desa, tetapi tak ada satupun laki-laki yang dapat menaklukkan hatinya. Sama halnya dengan Malik, ketampanannya membuat banyak wanita menjadi jatuh cinta. Sialnya ia malah memanfaatkan itu untuk memainkan mereka. Dalam satu pekan, entah berapa wanita yang di kencaninya. Ia bahkan tidak segan-segan mencium wanita itu walaupun tidak adanya hubungan di antara mereka.
"Kamu kenapa toh, Nduk?" Pemilik toko tersebut rupanya memperhatikan gerak-gerik Khadijah yang sedari tadi banyak melamunnya.
"Eh, Ibu ... Nggak pa-pa, Bu."
"Ada yang sedang kamu pikirkan ya?"
"Kelihatan ya, Bu?"
Pemilik toko tersebut langsung terkekeh, "Dijah ... Dijah ... Kamu itu lucu nian," sambil menggelengkan kepalanya. "Sudah tiga tahun kamu kerja di sini, sudah Ibu anggap juga kamu itu anak Ibu, berarti tandanya Ibu sudah hapal dengan semua mimik wajah kamu."
Khadijah hanya bisa tersenyum menanggapinya, tidak mungkin ia menceritakan bahwa dirinya di jodohkan dengan sepupunya sendiri. Walaupun terkesan bercanda, ia tahu jika paman dan bibinya berbicara serius tadi.
"Jah, kamu beneran nggak mau ya sama anak Ibu? Farhan itu anaknya baik, 'kan kamu bisa nilai sendiri setiap hari jumpa sama dia."
Benar kata beliau, Farhan memang anak yang baik. Ia lulusan pesantren dan kini membuka madrasah di daerah mereka. Cukup terbilang mapan, tetapi Khadijah masih enggan menerimanya.
"Maaf, Bu. Menikah itu bukan soal main-main, itu di saksikan langsung oleh Allah. Dijah takut kalau Dijah belum siap menikah, nanti Dijah malah di marahin sama Allah."
Wanita paruh baya tersebut tersenyum, "Yowes, ndak usah di pikirin. Ibu tadi cuma nanya doang. Oh iya, Ibu ke pasar dulu ya, belum masak tadi karena persediaan habis."
"Iya, Bu ..."
***
Malam telah tiba, Khadijah baru saja sampai di rumah. Ia tercengang karena ternyata sudah ada paman dan bibinya di sana. Lagi-lagi ketakutannya pun kembali muncul, ia sangat berharap jika paman dan bibinya tidak membahas hal yang tadi lagi. Permintaan paman dan bibi mungkin bisa di tolaknya, tetapi jika permintaan itu keluar dari mulut orangtuanya, entah bagaimana cara ia menanggapinya nanti.
"Assalamu'alaikum ..."
"Waalaikumsalam ..." Semua mata tertuju padanya.
"Ada Paman dan Bibi rupanya, Dijah mandi dulu ya ..."
"Paman sama Bibi mau pulang kok, Jah ..."
"Cepat sekali," kata Khadijah.
"Iya, soalnya mau bicara dengan si Malik. Ya sudah, pamit dulu ya, semuanya ... Assalamu'alaikum."
"Waalaikumsalam."
Mereka pun mengantar Bu Markonah dan Pak Anto ke depan hingga sampai tak terlihat lagi. Setelah itu, Khadijah masuk ke kamar. Akan tetapi, saat ia memegang engsel pintunya, ayahnya memanggilnya. "Khadijah!"
"Iya, Bah ..."
"Jangan lama-lama mandinya, Abah mau ngomong sama kamu."
"Baik, Bah ..."
'Kyaaa! Bagaimana ini, Tuhan?' Teriak Khadijah di dalam hatinya.
Gadis cantik satu ini tak juga keluar dari kamarnya, sejak tadi ia hanya mondar-mandir nggak jelas. Jantungnya berdegup kencang, sepertinya kali ini ia sangat percaya diri jika yang di bicarakan tentang perjodohan antara dirinya dengan sepupunya sendiri.
'Tok! 'Tok! 'Tok!
"Dijah!" Teriak Bu Maimunah di balik pintunya.
'Huh, mati aku!' gumam Khadijah.
"Khadijah! Apa kamu tidur? Hei, bangun!"
Khadijah pun membuka pintunya langsung, ia takut jika ibunya malah mendobrak pintu kamarnya. Dulu, sewaktu sekolah ia pernah mengunci pintu dari dalam hingga Bu Maimunah mendobraknya karena Khadijah susah di bangunin padahal hari sudah siang. Ibunya memang wonder women, pikirnya.
'Ceklek!
"Kamu tidur ya?"
"Nggak, Mak ... Cuma tutup mata bentar doang," kilah Khadijah.
"Sudahlah, ayo keluar! Abah sama Emak mau bicara dengan kamu," kata Bu Maimunah pada putrinya.
"Apa nggak bisa besok saja, Bu? Dijah lelah, lesu, letih, lunglai."
"Kamu itu lebay, sudah jangan banyak bantah!"
Akhirnya Khadijah mengikuti ibunya, terlihatlah Pak Rojali sudah duduk di ruang tamu. Sedangkan kedua adiknya sudah di suruh masuk ke kamar masing-masing.
"Ayo, duduk!" Titah Pak Rojali.
Khadijah pun mengangguk, "Adik-adik dimana, Bah?"
"Di kamarnya, mereka sedang belajar."
"Oh," Khadijah ber oh ria sambil memikirkan pembicaraan selanjutnya untuk mengalihkan pembicaraan.
"Dijah, umur kamu sudah berapa?"
"Dua puluh lima tahun, Bah."
"Kamu tahu, di umur segitu di desa kita ini para gadis sudah pada menikah."
"Tapi lihatlah mereka, Bah. Ada yang nikah karena sudah hamidun, ada yang kepergok berduaan di sawah, ada yang ---"
"Siapa yang menyuruhmu membantah?"
"Maaf," lirih Khadijah.
"Abah punya satu permintaan sama kamu," kata Pak Rojali dengan tatapan tajam.
"Apa, Bah?"
"Abah sudah tua, emak juga sama. Kita sudah lama menginginkan cucu, melihatmu bahagia bersama keluarga kecilmu."
"Belum ada yang cocok, Bah ..."
"Bagaimana dengan Farhan?"
"Dijah belum bisa membuka hati Dijah, Bah ..."
"Hm, begitu ..." Pak Rojali pura-pura berpikir, "Lagian kita nggak tahu dalamnya gimana walaupun luarnya tampak alim. Mending yang tampangnya brandal tapi hatinya sangat lembut, iya 'kan Mak?"
"Benar, Bah ..."
Khadijah mulai bingung, "Maksudnya gimana, Bah?"
"Malik!"
"Abah mau menjodohkan Dijah dengan Bang Malik?"
"Kenapa tidak? Lagian kita tahu bibit bebet bobotnya, Jah ... Dia anaknya paman kamu, Abang dari emak."
"Tapi Abah sama Emak tahu sendiri 'kan kalau Bang Malik itu playboy?"
"Nak, laki-laki itu pemilih. Mungkin itu sebabnya dia mengencani banyak wanita agar dia bisa mendapatkan yang terbaik dari yang baik."
"Dijah nggak mau, Bah ... Mak ..."
"Anggap ini permintaan terakhir Abah, ya?"
"Jangan ngomong begitu, Bah ... Umur Abah sama Emak itu panjang. Ini bukan zaman Siti Nurbaya, sekarang sudah modern, Bah ..."
"Jadi kamu nggak mau penuhi permintaan Abah?"
"Bukan begitu, Bah ..." Tetapi saat Khadijah melihat wajah ayahnya yang menjadi murung, Khadijah pun menghela napasnya. "Ya sudah, Dijah mau."
"Alhamdulillah," sahut Pak Rojali dan Bu Maimunah.
Di tempat lain, Pak Anto dan Bu Markonah sedang menunggu kepulangan putranya. Malik memang sering sekali main keluar entah kemana ia pergi dan tanpa berpamitan. Tak lama kemudian, lelaki itu pun pulang.
"Duduk!" Titah Pak Anto.
"Ada apa, Bah?"
"Abah sama Emak mau bicara sama kamu, ini penting."
Malik duduk di kursi yang di pinta ayahnya, perasannya mulai cemas teringat dengan ucapan tadi siang. "Bicara apa sih, Bah? Jangan bilang ini tentang tadi siang?"
"Mumpung kamu sudah berhasil menebak, jadi gimana jawaban kamu?"
"Ini serius, Bah?" Malik semakin tercengang, ia membuang napasnya dengan kasar.
Kemudian Malik menatap ibunya, "Mak, apa-apaan ini? Dijah itu sepupu Malik, nggak boleh ada pernikahan kalau sesama sepupu."
"Emak setuju ..." Malik sudah tersenyum, padahal ibunya menggantungkan ucapannya, "Dengan Abah! Ya, memangnya kenapa kalau Dijah sepupu kamu? Toh kalian beda emak beda bapak. Kalian hanya satu nenek dan kakek saja dari Abah. Lik, Dijah itu anak Sholihah, kamu beruntung mendapatkannya," Lanjut Bu Markonah.
"Tapi Malik nggak cinta sama Dijah, lagian pernikahan itu bukan soal main-main. Masa iya menikah tapi kaya kucing dan tikus?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!