NovelToon NovelToon

Amara Ingin Punya Mama

1. Permintaan Amara

"Lira, tolong jangan pergi! Aku baru saja kehilangan Ayah, lalu kehilangan perusahaan. Kalau kamu juga pergi, aku bagaimana? Putri kita masih kecil, Lira. Kami berdua membutuhkan kamu." ucap Alvian seraya menahan langkah istrinya yang hendak pergi meninggalkan rumah kecil sederhana yang mereka tempati sejak satu bulan yang lalu. Dia menggendong Amara yang saat itu masih berusia enam bulan.

"Jangan halangi aku, Mas! Aku tidak bisa hidup melarat seperti ini. Bukan pernikahan seperti ini yang aku inginkan," sergah Lira menatap Alvian dengan penuh kebencian, dia tidak sanggup hidup miskin seperti saat ini. Sudah satu bulan sejak rumah besar mereka disita, tapi Alvian tidak kunjung mendapatkan pekerjaan. Untuk apa lagi dia bertahan dengan pria tak berguna seperti itu? Di luar sana masih banyak yang menginginkan dirinya.

"Tolong mengertilah, Lira. Aku sedang berusaha, bersabarlah untuk sementara waktu!" bujuk Alvian dengan tatapan mengiba, dia bisa hancur jika semua orang pergi meninggalkan dirinya.

"Maaf Mas, keputusanku sudah bulat." tukas Lira, kemudian mendorong bahu Alvian dengan kasar. Hampir saja Amara terjatuh dari gendongan Alvian jika dia tidak cepat mendekapnya.

Lalu Lira berlari menuju sebuah mobil mewah yang sudah menunggunya di depan pagar kayu. Seorang pria paruh baya tampak berdiri dengan setelan jas berwarna hitam yang melekat di tubuhnya. Sekilas penampilan pria itu terlihat seperti seorang konglomerat kaya raya.

Setelah pria itu membantu menaruh koper Lira di dalam bagasi, keduanya memasuki mobil dan berlalu pergi begitu saja.

Alvian yang melihat itu hanya bisa menangis seraya mendekap Amara dengan erat. "Maafkan Papa, Nak. Papa tidak bisa mencegah Mama." lirih Alvian berderai air mata, lalu mencium pipi Amara. Dia merasa gagal menjadi seorang suami dan ayah yang bertanggung jawab untuk Lira dan Amara.

...****************...

"Papa..." pekik Amara dengan suara lantang saat menangkap kepulangan Alvian dengan serentetan kantong yang dia bawa. Amara pun langsung berlari menghampirinya.

Alvian menjatuhkan kantong itu di lantai dan berjongkok sambil merentangkan kedua tangannya.

"Aah... Putri Papa sudah mandi rupanya, wangi sekali." sanjung Alvian seraya mendekap dan mencium pipi Amara yang sudah berada di pelukannya.

"Iya dong Pa, tadi dimandiin sama Bibi." ucap Amara, lalu mencium pipi Alvian di setiap sisinya.

Alvian kemudian berdiri membawa Amara dalam gendongannya. "Ratih, tolong siapkan makan malam ya! Itu ada makanan yang aku bawa dari restoran." Alvian menunjuk kantong yang dia bawa tadi, lalu masuk ke kamar bersama Amara.

Selagi Ratih tengah sibuk menyiapkan makanan di meja makan, Alvian menaruh Amara di atas kasur lalu dia pun meninggalkan Amara barang sejenak untuk membersihkan diri.

Tidak lama, Alvian keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk putih yang dililit di pinggang. Setelah mengenakan kaos dengan celana pendek, Alvian duduk di sisi ranjang.

"Pangeran tampan, dimana sisirnya?" tanya Amara terkekeh.

"Iya Tuan Putri yang cantik jelita," jawab Alvian menahan tawa, lalu mengambil sisir yang ada di atas meja rias dan menyodorkannya ke tangan Amara.

Seperti biasa, Amara lah yang selalu merapikan rambut sang papa sehabis mandi.

Sedang asik menyisir rambut Alvian, tiba-tiba air muka Amara berubah manyun. Alvian bisa melihat dengan jelas dari pantulan cermin.

"Loh, mukanya kenapa cemberut gitu, Tuan Putri?" tanya Alvian mengerutkan kening. Entah apa yang dipikirkan putrinya itu.

Lalu Amara menghentikan aktivitasnya, dia duduk di pangkuan Alvian sembari mengusap rahang berbulu sang papa dengan tangan mungilnya.

"Pa, Amara ingin punya Mama." lirih bocah itu. Mata almond-nya berbinar mengandung cairan yang menggenang.

Sontak hati Alvian terenyuh mendengar permintaan putrinya. Matanya ikut berkaca, dia tau semua kasih sayang yang dia curahkan selama ini belum sanggup menggantikan peran seorang ibu di hati Amara.

Akan tetapi, Alvian tidak bisa mengabulkan permintaan Amara. Dia trauma memiliki istri, dia takut ditinggal lagi seperti lima tahun yang lalu. Kepergian Lira waktu itu menyisakan luka yang begitu mendalam di hatinya. Entah kapan luka itu akan sembuh?

"Apa Papa saja tidak cukup? Kurang apa lagi kasih sayang yang Papa berikan selama ini?" tanya Alvian menahan nafas, ini benar-benar berat baginya.

"Cukup Pa, tapi Amara pengen ngerasain kasih sayang seorang Mama. Semua teman-teman di sekolah punya Mama, mereka selalu mengatakan kalau Mama mereka sangat baik." sahut Amara dengan polos.

"Amara pengen dimandiin Mama, Pa. Dipakein baju, disisirin dan dikepang rambutnya. Amara juga pengen disuapi dan tidur di pelukan Mama." imbuh bocah itu penuh harap.

Bak sebuah cambukan keras yang mendarat di punggungnya, tubuh Alvian mendadak bergetar mendengar itu. Dia tergagap tanpa tau harus menjawab apa.

"Memangnya Mama Amara kemana sih, Pa? Kenapa Mama tidak pernah datang nengokin Amara? Apa Mama tidak sayang sama Amara? Apa Amara nakal makanya Mama tidak mau melihat Amara?" cerca gadis kecil itu dengan sederet pertanyaan yang kian menggetarkan hati Alvian. Lagi-lagi dia terdiam tanpa tau harus berkata apa.

"Tok Tok Tok..."

Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu yang berasal dari arah luar. Alvian pun menghela nafas lega, dia sangat bersyukur karena kedatangan Ratih bisa membantunya lepas dari pertanyaan sulit yang diajukan Amara.

"Nah, sudah saatnya makan. Ayo, ikut Papa!" ajak Alvian, lalu menggendong Amara dan membawanya keluar. Amara pun tak lagi banyak bertanya, dia mendekap tengkuk sang papa dengan tangan mungilnya.

Setibanya di meja makan, Alvian mendudukkan Amara di kursi. Dia lekas mengisi makanan ke dalam piring dan menyuapi Amara dengan tatapan menggelap.

Jika saja waktu itu Lira mau sedikit bersabar, mungkin perpisahan itu tidak akan pernah terjadi diantara mereka. Amara tidak harus kehilangan kasih sayang seorang ibu sampai detik ini.

Akan tetapi, nasi sudah terlanjur jadi bubur, tidak mungkin kembali menjadi beras. Alvian sendiri sudah mati rasa terhadap seorang wanita, tidak ada lagi niatnya untuk menjalin hubungan dengan wanita manapun.

...****************...

"Hei, jangan kurang ajar padaku! Ayo, cepat lepaskan aku!" teriak seorang gadis saat dua orang satpam menahan pergelangan tangannya.

"Enak saja, kau pikir ini restoran nenek moyangmu. Habis makan seenaknya main kabur begitu saja, bayar woi, bayar!" ucap seorang satpam jengkel.

"Tapi aku tidak punya uang, nanti deh aku bayar. Sekarang lepaskan dulu!" pinta gadis itu memohon.

"Tidak bisa, sekarang tinggal pilih. Mau aku laporkan ke polisi atau sama pemilik restoran ini?" tawar satpam itu.

"Tidak dua-duanya," jawab gadis itu cepat.

Karena kasihan pada gadis cantik itu, mereka pun memutuskan untuk menghubungi Alvian yang merupakan pemilik restoran.

Setelah berbicara panjang lebar, Alvian pun memerintahkan satpam untuk melepaskan gadis itu. Menurut Alvian seporsi makanan tidak akan membuat restorannya bangkrut, hitung-hitung bersedekah dengan cara tak diduga.

"Ya sudah, kali ini kami memaafkanmu. Tapi jika lain kali membuat ulah lagi, kami pastikan kau akan mendekam dipenjara!" ancam seorang satpam seraya melepaskan pergelangan tangan gadis itu.

Sontak gadis itu mengulas senyum. "Tidak akan, lain kali pasti aku bayar. Sekalian sama makanan yang aku makan tadi." ucapnya enteng tanpa rasa bersalah sedikitpun.

"Oh ya, tolong sampaikan ucapan terima kasihku pada bos kalian itu. Aku sangat menyukainya, dia pasti orang baik." imbuh gadis itu mengukir senyum, lalu berlenggak lenggok meninggalkan restoran.

Sebenarnya dia tidak ada niat untuk kabur apalagi tidak membayar, hanya saja dompetnya benar-benar ketinggalan di rumah. Dia tersadar saat makanan itu sudah masuk ke dalam perutnya hingga tandas.

2. Pertemuan Tak Disengaja

"Siang Pak," sapa seorang gadis cantik saat tiba di depan pintu restoran. Dua orang satpam yang berjaga di sisi kiri dan kanan pintu kaca menatap malas pada gadis itu.

"Hei, kau lagi kau lagi. Mau apa lagi kau kemari, hah? Pergi sana!" usir salah satu satpam sambil menghadang langkah gadis itu.

"Jutek banget sih, Pak. Awas, nanti cepat tua loh." seloroh gadis itu menahan tawa.

"Jangan banyak omong, lebih baik pergi dari sini sebelum kami melakukan tindak kekerasan padamu!" ancam satpam yang diketahui bernama Budi. Namanya terpampang jelas pada seragam yang dia kenakan.

"Eits... Jangan kasar gitu dong, Pak! Jadi pria itu harus lembut pada wanita, ingat darimana Bapak berasal. Kalau tidak karena wanita, tidak mungkin Bapak bisa lahir ke dunia ini." celetuk gadis itu mengulum senyum.

"Tidak usah mengajariku bagaimana cara menghormati wanita, gadis sepertimu memang pantas dikasari. Cepat pergi, jangan sampai aku melaporkanmu ke pihak yang berwajib!" ancam satpam itu dengan tatapan tajam menyeramkan.

"Ya ampun, sampai segitunya. Padahal niatku ke sini baik loh Pak. Aku mau makan sekalian membayar hutang semalam. Masa' orang datang baik-baik malah diusir? Awas ya, nanti aku adukan sama pemilik restoran ini!" gertak gadis itu, lalu memilih pergi dengan bibir komat kamit mengumpat kesal.

Karena tidak diizinkan masuk, gadis itu terpaksa mengurungkan niatnya untuk bertemu dengan pemilik restoran yang baik hati. Namun sebelum sampai gerbang, dia tak sengaja menyenggol seorang gadis kecil yang tengah bermain hingga terjatuh.

"Aww..." rintih gadis kecil yang ternyata adalah Amara. Dia terduduk lesu sambil memandangi lututnya yang memar.

"M-maaf," gadis itu tergagap dan segera berjongkok di hadapan Amara. "Sakit ya? Maaf, Kakak tidak sengaja." imbuhnya seraya memperhatikan luka di kaki Amara lalu meniupnya pelan.

"Tidak apa-apa Tante, ini cuma luka kecil. Kata Papa kalau mau jadi orang hebat tidak boleh cengeng." jawab Amara seraya tersenyum, dia tidak mengeluh sama sekali.

Melihat kepolosan Amara dan cara bicaranya yang seperti orang dewasa, gadis itu sontak tersenyum dan mencubit pipi Amara gemas. "Pintar banget kamu, anak siapa sih ini?" geram gadis itu, lalu mengecup pipi Amara spontan.

"Anak Papa, Tante." jawab Amara polos, dia terkekeh menahan rasa geli.

"Hehe... Iya juga ya, pertanyaan macam apa itu?" gadis itu ikut terkekeh menertawakan dirinya sendiri. "Tapi jangan panggil Tante dong, ketuaan. Panggil Kakak saja ya!" tawar gadis itu.

"Ya," angguk Amara setuju, lalu mengulurkan tangannya. "Aku Amara, nama Kakak siapa?" tanya bocah itu.

"Nama yang indah, sama seperti orangnya." mau tidak mau gadis itu terpaksa memperkenalkan dirinya pada Amara. "Kenalkan, nama Kakak Anika." keduanya saling berjabat tangan seraya melempar senyum.

"Cantik, seperti orangnya." sanjung Amara mengikuti cara bicara Anika.

"Ah, kamu bisa saja. Kecil-kecil sudah pintar merayu, hihihi..." Anika pun tertawa geli, begitu juga dengan Amara yang terlihat begitu bahagia mendapat teman baru.

Setelah berkenalan dan bercengkrama menghabiskan waktu kurang lebih setengah jam, Amara kemudian menunjuk pintu restoran lalu mengangkat kedua tangan. Dia ingin Anika menggendongnya untuk bertemu dengan sang papa yang ada di dalam sana.

Awalnya Anika menolak. Mana mungkin dia bisa masuk setelah perdebatan yang terjadi diantara dia dan satpam tadi, tapi karena Amara merengek dia pun terpaksa mengangguk.

Siapa sangka kali ini dua satpam itu malah membiarkannya masuk tanpa mencegahnya. Anika pun menautkan alis, bingung melihat perubahan mendadak kedua satpam itu.

Tapi ya sudahlah, untuk apa memusingkan masalah itu? Yang penting kali ini dia bisa masuk dan menikmati makan siang di restoran mewah itu. Anika sangat menyukai menunya.

"Dimana Papa kamu?" tanya Anika pada Amara yang masih berada di gendongannya.

Amara memutar leher menatap sekelilingnya dan mengerucutkan bibir setelah itu.

"Ya sudah, sambil menunggu Papa kamu datang, makan sama Kakak dulu yuk!" ajak Anika, perutnya sudah sangat lapar dan keroncongan sedari tadi. Dia tidak bisa menunggu lebih lama lagi.

Mendengar ajakan Anika, Amara pun mengangguk pelan pertanda mau diajak makan oleh gadis yang baru dia kenal itu. Entah kenapa dia merasa nyaman bersama Anika.

Setelah mengambil tempat duduk, Anika memesan makanan sesuai permintaan Amara. Siapa sangka selera mereka ternyata sama, keduanya memesan seafood dan jus mangga.

Setelah pesanan mereka datang, keduanya makan begitu lahap. Amara tanpa sungkan minta disuapi seperti sudah kenal lama dengan Anika. Anika yang sejatinya penyayang anak kecil tidak menolak sama sekali. Dia menyuapi Amara dan menyeka sudut bibir Amara yang belepotan.

Usai makan, Amara malah semakin manja dan meminta eskrim tanpa ragu. Anika pun mengindahkan permintaan bocah itu dan memesan eskrim rasa coklat stroberi sesuai keinginan Amara.

"Eskrim-nya enak, Kakak mau?" tawar Amara seraya menyodorkan eskrim yang ada di tangannya ke mulut Anika.

"Tidak usah, kamu saja yang makan. Kakak sudah kenyang," tolak Anika dengan sopan.

Sayang penolakan Anika itu malah membuat Amara mematung dengan bibir mengerucut, air mukanya mendadak gelap dengan pipi menggembung seperti bakpao yang baru keluar dari kukusan.

Sadar akan perubahan raut muka Amara yang begitu tiba-tiba, Anika pun membuka mulut lebar-lebar. Amara yang tadinya cemberut langsung tersenyum dan menyuapi eskrim itu ke mulut Anika.

"Mmm... Enak sekali, lagi dong!" pinta Anika yang sengaja ingin menghibur Amara agak tidak sedih. Amara pun menyuapinya lagi dan lagi.

Setelah eskrim itu tandas, Amara seketika menguap. Lelah bermain dan kenyang setelah makan begitu banyak, membuat matanya mengantuk. Tanpa ragu dia pun berbaring di sofa yang mereka tempati dan menjadikan paha Anika sebagai bantalan.

Melihat Amara seperti itu, Anika seketika tersenyum dan mengusap kepala bocah itu hingga benar-benar tertidur dengan pulas.

Tidak lama setelah Amara terlelap, seorang pria berperawakan tinggi gagah mendekat ke sofa yang Anika duduki. Matanya berkilau seperti permata, hidungnya sangat mancung bak segitiga sama kaki, rahangnya dipenuhi bulu, membuat ketampanannya kian memancar. Sayang raut mukanya nampak dingin seperti beruang salju.

Tanpa berkata apa-apa, pria itu langsung saja mengangkat tubuh mungil Amara. Sontak Anika terkejut dan lekas menahan tangan pria itu. "Hei, siapa kamu? Kenapa mengambilnya? Kamu maling anak ya? Iya, kamu pasti maling, tolong..." teriak Anika yang sontak mengundang perhatian banyak orang, para pengunjung yang ada di sana menatap heran pada Anika.

"Diam kamu, jangan asal tuduh!" sergah pria yang ternyata adalah Alvian, papa kandung Amara sendiri. Tatapannya nampak tajam seperti musang lapar.

"Tolong... Dia mau maling anak ini," teriak Anika lagi. Hal itu membuat Alvian geram dan membungkam mulut Anika dengan sebelah tangan. Anika meronta-ronta sehingga menimbulkan guncangan pada tubuh Amara yang sudah berada di gendongan Alvian.

"Papa..." gumam gadis kecil itu sembari membuka mata perlahan, sedetik kemudian menutupnya kembali. Anika sontak terpaku dengan pipi yang tiba-tiba memerah. Alangkah malunya dia menuduh Alvian sebagai penculik anak, dahinya mengeluarkan keringat jagung saking gugupnya menjadi tontonan semua orang.

"Hahaha..." para pengunjung restoran tertawa terbahak-bahak melihat kelakuan asal Anika yang menuduh pemilik restoran sembarangan.

"M-maaf, a-aku..." setetes cairan bening jatuh di sudut mata Anika, malunya sudah menjalar hingga ubun-ubun.

Tak kuat menahan rasa malu yang kian memuncak, Anika pun berlarian menjauhi Alvian. Dia dengan cepat membayar tagihan di meja kasir lalu berlari kencang meninggalkan restoran. Entah kemana mukanya akan dia sembunyikan?

3. Amara Mau Kak Anika

Setelah kepergian Anika, Alvian membawa Amara ke ruangan pribadinya. Di sana memang sengaja disediakan sebuah kasur single khusus untuk Amara jika ikut bersamanya ke restoran.

Akan tetapi Amara malah menangis histeris saat Alvian hendak menaruhnya di kasur. Dia tidak ingin tidur di sana, dia hanya ingin bersama Anika.

Amara pun berteriak seperti orang kesurupan memanggil nama Anika dan meronta-ronta di gendongan Alvian, tentu saja hal itu membuat Alvian bingung. Tidak biasanya Amara bertingkah seperti ini.

Dengan berbagai cara Alvian mencoba membujuknya, tapi tidak satupun yang mengena di hati Amara. Gadis kecil itu hanya menginginkan Anika dan tidur bersamanya.

"Amara, dengar Papa ya Nak!" kata Alvian dengan nada melembut.

"Tidak mau, Pa. Amara maunya Kak Anika, huhu... Hiks..." Amara terisak sesenggukan yang membuat nafasnya tidak beraturan.

"Tapi Anika itu siapa, sayang? Papa tidak kenal sama dia," tanya Alvian penasaran. "Kita pulang dulu ya, sama Bibi saja di rumah." bujuk Alvian.

"Huhu... Amara maunya sama Kak Anika saja, Pa." jawab Amara yang terus saja menangis, dia melompat turun dari gendongan Alvian dan berlari meninggalkan ruangan.

"Amara..." sorak Alvian, tapi tidak diacuhkan oleh putrinya.

Sesampainya di bawah, Amara berlari ke tempat mereka duduk tadi. Kepalanya celingak celinguk mencari keberadaan Anika, tapi dia hanya mendapati bangku kosong yang sudah dibersihkan pelayan restoran. "Huhu... Kak Anika, kenapa Kakak ninggalin Amara?" gadis kecil itu terhenyak di lantai menangisi kepergian Anika. Dia merasa nyaman bersama gadis yang baru dia kenal itu.

"Amara..." Alvian mengambil putrinya yang selonjoran di lantai dan menggendongnya.

"Huhu... Pa, tolong cari Kak Anika. Amara mohon, hiks..." pintanya terisak.

"Iya, nanti Papa cari ya. Sekarang Amara diam dulu, jelaskan sama Papa siapa Kak Anika." bujuk Alvian sambil menyeka pipi Amara, lalu mendekapnya dan mengusap punggungnya.

Alvian benar-benar bingung melihat tingkah Amara. Selama ini putrinya tidak pernah menangis sehisteris ini, apalagi karena orang asing yang Alvian sendiri tidak tau siapa orangnya.

Setelah Amara tenang dan menceritakan semuanya, Alvian kembali membawa Amara ke ruangannya lalu meminta satpam mengiriminya rekaman CCTV beberapa saat yang lalu. Dia penasaran siapa gadis yang dimaksud Amara itu.

Setengah jam berlalu, ponsel Alvian menerima notifikasi pesan masuk. Dia lekas membukanya bersama Amara yang tengah duduk di pangkuannya.

"Ini Kak Anika," tunjuk Amara pada gadis yang nampak tengah menyuapinya makan.

Dari rekaman yang tengah berputar, Alvian melihat jelas bagaimana kedekatan antara Amara dan Anika. Gadis itu memperlakukan Amara dengan penuh kasih sayang, wajar jika Amara merasa kehilangan saat Anika meninggalkan restoran.

"Ya sudah, nanti kita cari Kak Anika. Sekarang ikut Papa pulang dulu ya," ajak Alvian.

"Tidak mau," geleng Amara dengan bibir mengerucut.

"Sayang, tolong jangan siksa Papa seperti ini. Mencari seseorang itu butuh proses Nak, tidak mungkin langsung ketemu. Kita tidak tau dimana dia tinggal," keluh Alvian menghela nafas berat. Dia memang berniat mencari gadis itu tapi tidak mungkin langsung bertemu hari ini, kecuali dunia ini hanya selebar daun kelor.

"Tapi Papa janji kan," lirih Amara dengan pipi menggembung.

"Iya sayang, Papa janji. Apa pernah Papa tidak menepati janji sama Amara?" jawab Alvian dengan pertanyaan.

Amara tidak menyahut, dia hanya menggeleng dengan bibir mencebik.

Setelah berhasil meyakinkan Amara, Alvian memutuskan untuk pulang lebih awal lalu memerintahkan satpam mencari tau tentang Anika. Demi Amara, apapun akan dia lakukan asal putrinya bahagia. Alvian tidak ingin Amara merasa kekurangan setelah kepergian ibunya yang tidak bertanggung jawab.

Sesampainya di rumah, Amara langsung berlari ke kamarnya dan mengurung diri sendirian. Dia sedih, kenapa Anika menghilang tanpa berpamitan padanya? Dia belum sempat mengucapkan terima kasih dan memeluknya.

"Ratih, tolong bujuk Amara! Aku ada urusan di luar, kalau Amara bertanya bilang saja aku mencari yang dia inginkan." ucap Alvian pada wanita yang sudah seperti adiknya sendiri.

"Baik Pak," angguk Ratih mengerti.

Setelah Alvian meninggalkan rumah, Ratih langsung menutup pintu dan menguncinya sesuai perintah Alvian. Selama tidak ada Alvian di rumah, Ratih dilarang keras menerima tamu.

Sedangkan Alvian sendiri memilih kembali ke restoran, dia benar-benar pusing memikirkan permintaan Amara.

Bagaimana kalau gadis itu ternyata bukan orang baik? Bisa saja perlakuannya pada Amara tadi hanya modus untuk menarik perhatian putrinya.

Atau bagaimana jika gadis itu ternyata sudah bersuami? Jangan sampai dia dikatakan pebinor karena hanya ingin mempertemukan Amara dan gadis itu.

Ah, semakin diingat kepala Alvian rasanya ingin pecah. Bisa-bisanya Amara memintanya mencari gadis yang dia sendiri tidak tau dimana keberadaannya, dari mana usulnya dan apa pekerjaannya.

Alvian merasa seperti orang bodoh yang harus menuruti keinginan gadis sekecil Amara. Tapi bagaimanapun juga dia harus tetap menepati janji, dia tidak mau mengecewakan putri kesayangannya.

Sesampainya di restoran Alvian lekas menemui Budi, satpam yang tadi dia perintahkan mencari tau tentang Anika. Sayang satpam itu tidak mendapatkan petunjuk sama sekali, dia hanya menceritakan bahwa gadis itulah yang tadi malam hendak kabur tanpa membayar tagihan.

Mendengar penjelasan Budi, tawa Alvian sontak menyembur. Untung ludahnya tidak mengenai wajah satpam itu.

"Gadis aneh," gumam Alvian menggeleng-gelengkan kepala, lalu memasuki restoran dan lekas menuju ruangan.

Setelah duduk di kursinya, Alvian membuka laptop yang ada di atas meja. Entah pikiran dari mana, dia mencoba iseng membuka laman instagram pribadi miliknya yang akhir-akhir ini jarang sekali dia lihat.

Lalu dia pun melakukan pencarian atas nama Anika. Banyak sekali nama yang muncul sehingga Alvian harus membukanya satu persatu dan akhirnya menghentikan gerakan jarinya saat mendapati foto Anika yang tengah tersenyum lepas.

Ya, Alvian masih mengingat jelas wajah gadis itu. Dia yakin wanita itulah yang dia cari.

"Anika Suherman," gumam Alvian dengan seringai tipis yang melengkung di sudut bibirnya. Senyuman yang sudah jarang terlihat sejak kepergian Lira lima tahun yang lalu.

Setelah melihat data yang terpampang di profil Anika, Alvian lekas menutup laptopnya lalu meninggalkan ruangan dan turun ke bawah. Dia pun meninggalkan restoran dan melajukan mobilnya menuju hotel Cantika.

Tepat pukul tujuh malam, mobil Alvian sudah tiba di parkiran hotel. Kebetulan dia sangat mengenal pemilik hotel itu dan lekas memasukinya.

Namun sebelum sempat bertanya pada resepsionis, seorang gadis tiba-tiba berlarian ke arahnya hingga tanpa sengaja tubuh mereka berdua berbenturan. Gadis itu hampir jatuh tapi Alvian dengan sigap menahan pinggangnya. Pandangan keduanya tiba-tiba bertemu untuk sesaat.

"Ma-Maaf," ucap gadis yang ternyata adalah Anika. Dia dengan cepat meluruskan tubuhnya tapi Alvian tak kunjung melepaskan pinggangnya. "Pak?" imbuh Anika sembari menggerakkan tangannya di depan mata Alvian.

"I-Iya," Alvian mengerjap, lalu melepaskan Anika dengan cepat.

"Sekali lagi maaf, aku tidak sengaja." ucap Anika lalu melanjutkan larinya menuju parkiran hotel.

Setelah Anika menjauh, Alvian lantas tersadar dan mengusap wajahnya kasar. Dia pun ikut berlari menyusul Anika yang tengah mencari tempat persembunyian.

Dari dalam sana, dua orang pria muncul sembari celingak celinguk di teras hotel mencari kemana larinya Anika. Dua pria itu nampak seperti bodyguard yang memiliki tubuh tinggi besar dan mengenakan pakaian serba hitam.

"Hei, apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Alvian saat menemukan Anika yang tengah bersembunyi di samping mobilnya. Gadis itu berjongkok seperti anak monyet yang tengah ketakutan.

"Sssttt... Tolong jangan berisik!" desis Anika dengan suara yang nyaris tak terdengar.

Melihat tingkah Anika yang aneh, Alvian pun mengerutkan kening bingung. Dari awal dia sudah curiga, sepertinya Anika memiliki kelainan jiwa.

"Hei, di sini ada... Mmm..."

Anika langsung berdiri saat Alvian mengencangkan suaranya, Anika pun membungkam mulut Alvian dengan tangannya. "Tolong jangan berisik!" pintanya memohon.

Sayang Alvian tidak peduli dan menjauhkan tangan Anika dari mulutnya. "Hei, kalian mencari... Mmphh..."

Lagi-lagi Alvian bertingkah, tapi Anika dengan cepat memeluk tengkuknya dan melu*mat bibirnya saat melihat bayangan seseorang yang mendekati mereka berdua. Sontak Alvian terperanjat dengan mata membulat sempurna.

Entah apa yang ada di benak Anika sehingga terlalu berani memberikan ciuman pertamanya pada pria yang tidak dia kenal itu. Dia bahkan dengan mudahnya memejamkan mata menikmati bibir Alvian yang mulai basah ulahnya.

"Hei, siapa di sana?" seru salah satu dari pria yang mencari Anika tadi. Dia pun tak sengaja melihat punggung Alvian yang berada di pelukan seseorang yang tidak bisa dia lihat dengan jelas.

"Dasar tidak waras, kalau mau bermesraan masuk sana. Di dalam masih banyak kamar kosong," umpat pria itu, lalu meninggalkan mereka berdua begitu saja.

Setelah pria itu menghilang, Anika melepaskan tautan bibir mereka dan menjauhkan tangannya dari tengkuk Alvian. "Maaf, aku tidak bermaksud kurang ajar. Aku terpaksa karena kamu tidak mau diam." ucap Anika menundukkan pandangannya, dia mengayunkan kakinya hendak pergi tapi Alvian dengan sigap menahan pergelangan tangannya.

"Enak saja main pergi, kamu pikir aku ini pria apaan?" sergah Alvian dengan tatapan tajam seperti musang jantan.

"Maaf, aku benar-benar tidak punya pilihan." ucap Anika dengan air muka memelas.

"Maafmu saja tidak cukup, sekarang ikut aku!" Alvian membuka pintu mobil dan mendorong Anika ke dalam. Setelah Anika duduk, Alvian memasangkan sabuk pengaman. "Diam di sini!" tukas Alvian menajamkan tatapan yang membuat Anika bergidik ngeri.

Setelah Alvian duduk di bangku kemudi, mobil itupun melesat pergi meninggalkan gerbang hotel.

"Pak, aku benar-benar minta maaf. Tolong lepaskan aku!" pinta Anika memohon sembari menoleh ke arah Alvian yang tengah fokus mengendarai mobil.

"Jangan mimpi, gadis kurang ajar sepertimu pantas diberi hukuman." jawab Alvian meninggikan volume suaranya.

"Pak, tolong mengertilah. Aku terpaksa mencium Bapak. Mereka itu orang jahat, mereka mau menangkapku dan menjualku." terang Anika dengan wajah menyedihkan.

"Itu bukan urusanku, siapa suruh bermain-main denganku?" jawab Alvian dingin dengan pandangan datar seperti jalan yang dia lalui.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!