NovelToon NovelToon

Jenglot

Perkenalan

Trisno Pratama seorang pria berkulit sawo matang, bertubuh tinggi serta beralis tebal usia Trisno sendiri menginjak 30 tahun.

 Trisno dari keluarga broken home, ia sendiri di besarkan oleh ibunya sementara ayah Trisno pergi bersama wanita lain.

Dari kecil Trisno kehidupan sangat keras, ia tidak bisa melanjutkan sekolahnya karena perekonomian yang sangat sulit. Trisno kecil sudah harus bekerja keras di saat teman-temannya duduk di bangku sekolah. Trisno pun memutuskan  pergi merantau ke ibu kota untuk mengadu nasib berharap dapat mengubah hidupnya menjadi lebih baik.

Namun kehidupan di ibu kota yang begitu sangat keras membuat impian Trisno hanya lah angan-angan. Trisno hanya dapat bekerja sebagai buruh bangunan karena Trisno sendiri hanya mempunyai ijazah lulusan SD saja.

Di ibu kota Trisno berkenalan dengan seorang wanita yang bernama Lasmini berparas cantik, berkulit putih, usia Lasmini menginjak 28 tahun. Lasmini sendiri di besarkan di rumah panti asuhan.

Trisno beserta Lasmi yang saling mencintai akhirnya memutuskan untuk menikah dan mereka tinggal di pinggiran ibu kota di gang kenanga mengontrak di sana hingga saat ini. 

Di sore itu selepas pulang bekerja Trisno mengendarai motor tuanya untuk menuju rumahnya.

 Trisno yang mengendarai motor tuanya dengan wajah lesu, sedih dan penuh beban masuk ke dalam gang kenanga tempat di mana Trisno tinggal.

Selang beberapa menit kemudian Trisno telah sampai di depan teras rumahnya.

“Lasmi! Lasmi! Bukakan pintunya!” pekik Trisno sembari mengetuk pintu rumahnya.

“Iya Mas, tunggu sebentar,” sahut Lasmi istri.

Lasmi pun mendatangi Trisno di ruang tamu untuk membukakan pintu rumahnya.

Saat Lasmi membukakan pintu rumahnya Trisno masuk ke dalam rumah duduk di rung tamu sembari menghela nafas panjang dengan wajah sedih dan penuh beban.

Lasmi menghampiri Trisno untuk berkeluh kesah tentang masalah perekonomian mereka.

“Mas, tadi ibu Retno datang ke sini Mas, kata ibu Retno kita sudah menunggak selama 5 bulan, kalau dalam bulan ini, kita tidak bayar maka harus secepatnya mengosongkan kontrakan ini Mas,” Lasmi yang menjelaskan kepada Trisno.

Trisno menghela nafas panjangnya tanpa bersuara apa-apa.

“Mas, ada apa? Aku lihat sedari tadi kamu diam saja,” tanya Lasmi.

Namun belum Trisno bercerita ada tiga orang laki-laki salah satunya bertubuh sedang dan kedua orang laki-laki bertubuh kekar dengan di hiasi tato di lengan mereka masing-masing.

“Trisno buka pintunya!” ucap salah satu laki-laki yang bertubuh sedang sembari mengedor pintu dengan begitu kerasnya.

Trisno yang mendengar suara Herman pun mendatangi pintu utama dan membukanya.

Herman adalah juragan kaya di gang tempat Trisno tinggal, Herman juga mempunyai toko emas. Karena perekonomian Herman yang cukup mapan bayak orang-orang di gang itu meminjam uang kepadanya termasuk Trisno, namun Herman yang  meminjamkan uang kepada mereka harus membayar bunganya dua kali lipat.

Setelah Trisno membukakan pintu untuk Herman, Herman pun langsung menagih utang di janjikan akan di bayar oleh Trisno.

Dengan di temani dua bodyguard di belakang Herman, ia pun menagih utang Trisno.

“Trisno cepat bayar utangmu!” ucap Herman dengan nada tinggi.

“Ma-maafkan saya Pak Herman, saya belum punya uang, untuk membayar utang saya,” tutur Trisno sembari memohon ke ringan kepada Herman.

“Alah kamu alasan saja, janji dan janji, pokoknya saya tidak mau tahu bayar hutangmu sekarang juga!” bentak Herman.

“Saya belum ada uang Pak Herman, saya minta jangka waktu sebulan lagi untuk membayarnya,” ujar Trisno memohon kembali kepada Herman.

“Apa seminggu lagi! Kalian berdua habisi Trisno dan ambil barang-barang berharga miliknya!” perintah Herman.

“Baik Pak?” ucap dengan serentak kedua bodyguard yang berada di belakang Herman.

Kedua bodyguard itu menghampiri Trisno, salah satu ada yang memegangi tubuh Trisno dari belakang dan salah satu lagi memukul wajah Trisno berserta perutnya.

Lasmi yang melihat kejadian itu di depan matanya pun memohon kepada Herman untuk menghentikan kedua bodyguard yang sedang menghajar suaminya itu.

“Jangan pukuli suami saya Pak Herman, saya mohon,” ucap Lasmi memohon kepada Herman sembari menangis.  

    Setelah beberapa menit kedua bodyguard telah selesai menghajar Trisno.

Mereka kembali beraksi mencari benda berharga di rumah Trisno. Trisno yang kesakitan pun tidak dapat berbuat apa-apa dirinya hanya dapat terduduk di lantai sembari menahan sakit, Lasmi menghampiri suaminya yang penuh luka lebam di wajahnya sembari memeluk Trisno.

Setelah mereka berdua berhasil menjarah harta Trisno seperti, TV, kulkas, panci pemanas, dispenser, kipas angin dan barang berharga lainnya.

“Bos, sudah tidak ada lagi barang berharga di sini!” pekik salah satu bodyguard Herman.

“Masukan semua barang itu ke dalam mobil pick up, dan kau Trisno semua hartamu ini belum bisa melunasi hutangmu kepadaku, aku akan memberikan tempo dalam bulan ini kau tidak bisa melunasi hutangmu jangan salahkan aku yang akan mengambil istrimu?” ancam Herman.

Mereka bertiga pergi dengan hasil jarahan di rumah Trisno.

Lasmi yang menangis melihat keadaan Trisno di tambah lagi ancaman Herman yang akan mengambil Lasmi dari sisi Trisno.

“Bagaimana ini Mas, Herman akan mengambil diriku,” ucap Lasmi dengan menangis.

“Aku bingung Lasmi harus berbuat apa, sementara hari ini aku habis di pecat dari pekerjaanku di bangun. Gara-gara bangunan yang aku kerjakan tidak kokoh mereka semua menyalahkan aku,” ucap Trisno dengan sedih.

“Lalu bagaimana ini Mas, bu Retno akan mengusir kita dari kontakkan ini, jika kita tidak bayar di bulan ini begitu pun Herman akan kembali datang di bulan ini menagih hutang kita Mas. Sedangkan hari ini aku tidak masak apa-apa semua habis hutang kita sudah menumpuk di warung,” eluh Lasmi kepada Trisno.

Trisno terdiam memikirkan apa yang harus dirinya lakukan, sementara di ibu kota sendiri mencari pekerjaan begitu sangat susah.

“Mas apa kamu tidak meminjam uang kepada Edi saja, mungkin dia mau membantu lagi pula Edi kan teman baikmu Mas, pasti dia mau membantu kita,” Lasmi yang memberi saran kepada Trisno.

“Aku malu Lasmi, hutang kita di Edi sangat banyak, aku merasa tidak enak jika harus meminjam kembali kepadanya.”

“Lalu bagaimana Mas, kita makan apa hari ini?” eluh Lasmi.

Kruukkk ...

(Suara perut Trisno yang berbunyi karena seharian tidak makan).

“Baiklah besok siang aku akan mencoba ke rumah Edi semoga saja dia mau membantuku,” Trisno yang pasrah.

“Hari ini kita puasa dulu, sampai kita mendapatkan uang untuk makan,” ucap Trisno.

“Iya Mas,” ujar Lasmi.

Di malam harinya mereka berdua yang menahan lapar memutuskan untuk mengisi perut mereka dengan segelas air saja.

“Oh iya Mas, aku baru ingat ada sisi nasi yang sengaja aku keringkan. Bagaimana jika malam ini kita makan itu saja Mas?” Lasmi yang memberikan saran.

“Ya sudah Lasmi, kalau begitu.”

“Tunggu sebentar ya Mas, aku mau menggorengnya terlebih dahulu,” ucap Lasmi meninggalkan Trisno ke dapur.

Beberapa menit kemudian Lasmi yang telah selesai menggoreng nasi sisa yang di keringkan olehnya.

Saat telah matang nasi sisa yang di keringkan itu bertekstur renyah seperti kerupuk dan di tambah sedikit garam akan lebih menjadi nikmat bagi mereka.

Rencana pergi ke hutan Kawi

Keesokan harinya Trisno berpamitan kepada Lasmi ingin pergi ke rumah Edi sahabatnya.

“Lasmi, aku pergi ke rumah Edi terlebih dahulu,” ucap Trisno yang sedang berada di teras rumah kontrakannya.

“Iya Mas, hati-hati di jalan,” ucap Lasmi yang berdiri di depan pintu masuk.

Trisno pun mulai menaiki motor tuanya, menyalakan motornya dan pergi menuju rumah Edi.

Rumah Edi sendiri berada di pinggir jalan raya, karena di samping rumahnya  Edi mempunyai usaha warung makan yang cukup besar bernama Warung makan Cak Edi

Jarak antara rumah Trisno dan Edi tidak terlalu besar hanya memakan waktu 15 menit jika menempuhnya  dengan kendaraan beroda dua.

Setelah 15 dalam perjalanan menuju Warung Edi, Trisno pun sampai di depan warung makan Edi.

Trisno masuk ke dalam warung makan tersebut, terlihat Edi di meja kasir yang sedang sibuk melayani pelanggan.

Seorang pemuda mendatangi Trisno yang sedang berdiri.

“Mau makan apa Mas?” tanya pelayan laki-laki itu.

“Sa-saya mau bertemu pak Edi bisa?” tanya Trisno yang gugup.

“Bisa dari Mas siapa ya namanya biar saya sampaikan?” 

“Bilang saja dari Trisno temannya.”

“Oh ya, tunggu sebentar ya Mas,” sahut si pelayan pergi meninggalkan Trisno.

Pelayan laki-laki itu menghampiri Edi bosnya dan menyampaikan pesan Trisno, mendengar hal itu Edi pun langsung menghampiri Trisno.

“Eh Trisno apa kabarnya?” sapa Edi dengan ramah.

“Baik Edi, tambah rame warungmu.”

“Iya Trisno alhamdulillah, tumben sekali kamu ke sini.”

“Aku mau minta tolong sama kamu Edi.”

“Ayo kita duduk di sana, sambil mengobrol santai.” 

Edi mengajak Trisno untuk duduk di belakang.

Setelah mereka berdua duduk santai Edi menanyakan kembali perihal bantuan apa yang di minta oleh Trisno.

“Kamu mau minta bantuan apa Trisno?” 

“Begini, aku baru saja di berhentikan dari pekerjaanku, dan terlilit hutang di rentenir, mana kontakkan aku sudah menunggak beberapa bulan, aku bingung harus bagaimana, dalam bulan ini aku harus membayarnya semua. Kira-kira kamu punya simpanan uang 50 juta.”

“50 juta? Kalau uang sebanyak itu aku tidak bisa bantu Trisno, warungku saja baru ramai seminggu ini. Aku bisa bantu hanya 5 juta saja,” ucap Trisno.

Mendengar ucap Edi yang tidak bisa membantu sepenuhnya membuat Trisno semakin bingung.

“Tolong aku Edi, siapa tahu kamu punya kenalan yang bisa meminjamkan aku uang segitu, aku sedang butuh sekali, pak Herman sangat kejam jika aku tidak bayar maka Lasmi akan di bawanya,” Eluh Trisno yang meminta tolong.

“Aku tidak bisa membantu Trisno aku tidak punya kenalan yang mau meminjamkan uang sebanyak itu, tapi jika kamu mau aku punya saran untukmu siapa tahu bisa membantumu?” ucap Edi.

“Apa itu?” tanya Trisno yang penasaran.

Edi mulai bercerita mengenai Warungnya yang sepi, dan Edi di sarankan oleh pelanggan untuk pergi ke hutan kawi bertemu nyai Asih. Setelah bertemu nyai Asih Edi menceritakan masalahnya nyai Asih memberi Edi penglaris hingga akhirnya warungnya ramai sampai sekarang.

“Itu saja saranku kamu datangi nyai Asih, ceritakan masalahmu. Nanti nyai Asih akan membantu masalah perekonomianmu,” ucap Edi.

“Apa itu benar  Edi?” tanya kembali Trisno meyakinkan dirinya.

“Coba lihat warungku tidak pernah sepi kan, aku sudah membuktikannya sendiri, dalam dua minggu ini aku menghasilkan omset 10 juta ”

“Ya sudah kalau begitu aku akan mengikuti saranmu, tapi aku boleh pinjam dulu uangmu.”

“Tunggu sebentar,” ucap Trisno.

Edi mendatangi meja kasir mengambil sejumlah uang di laci kasirnya, setelah itu Edi mendatangi Trisno kembali di tempat duduknya.

“Ini Trisno aku hanya bisa membatu segini saja, nanti jika kamu sudah sukses baru kamu bisa kembalikan uang ini kepadaku,” ucap Edi menyodorkan tumpukan uang ke meja Trisno.

“Terima kasih Edi, kamu benar-benar temanku yang terbaik.”

“Sama-sama semoga itu bisa membantumu dan jangan lupa kamu harus pergi ke hutan kawi temui nyai Asih mintalah bantuan kepadanya,” sahut Edi yang mengingatkan Trisno kembali.

“Baik Edi, aku akan mengikuti saranmu, ya sudah aku mau pulang dulu mau memberitahukan Lasmi tentang saranmu itu,” sahut Trisno.

“Tunggu sebentar?” 

Edi menyuruh beberapa pegawainya untuk membungkuskan dua bungkus nasi beserta lauknya untuk di berikan kepada Edi.

Setelah selesai membungkuskan dua nasi beserta lauknya, Edi pun memberikan bungkusan itu kepada Trisno.

“Ini buatmu dan Istrimu,” ucap Edi sembari memberikan kantong plastik yang berisi nasi bungkus.

“Te-terima Kasih Edi,” sahut Trisno yang terharu akan kebaikan temannya itu.

Setelah itu Trisno pun kembali pulang, dengan membawa dua bungkus nasi dan juga sejumlah uang. 

Sesampainya di rumah Trisno sudah di tunggu oleh ibu Retno pemilik kontrakan yang mereka tinggali.

“Eh Trisno, kapan kamu mau bayar tunggakanmu itu, kalau hari ini tidak kamu bayar sebaiknya kalian pergi dari kontrakanku ini!” ucap Ibu Retno dengan nada tinggi.

Trisno mengeluarkan uang yang dia pinjam kepada Edi tersebut  namun tidak semuanya, Trisno hanya memberikan uang sebesar 3 juta saja kepada Bu Retno.

“Ini Bu, sisanya nanti saya lunasan,” sahut Trisno dengan ramah.

Bu Retno langsung mengambil, uang di tangan Trisno lalu menghitungnya.

“Ini kurang! Sisanya bulan depan kamu harus melunasinya jika tidak kalian pergi saja dari kontrakan ini!” ancam Bu Retno.

“Ba-baik Bu” sahut Trisno.

Bu Retno pun pergi meninggalkan mereka.

Trisno pun duduk di kursi kayu yang berada di ruang tamu. Lasmi menghampiri suaminya lalu bertanya kepada Trisno mengenai perihal pinjaman 50 juta yang mereka ingin pinjam kepada Edi.

“Bagaimana Mas, apa Edi mau meminjamkan uang sebayak itu?”

“Tidak Lasmi, Edi hanya meminjamkan uang lima juta saja.”

“Lalu bagaimana kita membayar hutang pak Herman Mas?” ucap Lasmi yang sangat bingung.

“Edi menyarankan aku, untuk pergi ke hutan kawi bertemu Nyai Asih dia bisa membantu perekonomian kita, rencananya Mas mau coba meminta kaya kepada nyai Asih itu,” Trisno yang menjelaskan kepada Lasmi.

“Apakah itu benar terbukti Mas? Jaman sekarang marak sekali dukun penipu?”

“Tidak Lasmi, aku melihat betul, warung makan Edi begitu rame tidak sepi dari pengunjung setelah dia meminta penglaris kepada nyai Asih.”

“Kalau jika benar begitu, ya sudah kita coba saja Mas tidak ada salahnya, lagi pula mencari uang dengan jumlah yang sangat banyak itu sangat susah.”

“Iya Lasmi besok, pagi kita berdua akan pergi ke hutan kawi untuk memanta tolong kepada nyai Asih, aku sudah cape hidup miskin terus,” eluh Trisno.

“Aku pun begitu Mas, aku sudah lelah di hina banyak orang utang menumpuk belum lagi semua tetangga di sini selalu membicarakan aku dari belakang Mas.”

“Baiklah besok pagi kita akan pergi ke hutan kawi bertemu nyai Asih, oh ya Lasmi kamu pasti belum makan, ini aku bawakan makan tadi di beri sama Edi,” ucap Trisno memberikan kantong plastik yang berisi dua bungkus nasi.

Mereka berdua sedari kemarin menahan lapar akhirnya menyantap  makanan yang di berikan oleh Edi.

Tekad Trisno beserta Lasmi yang ingin kaya membuat mereka gelap mata, mencari jalan pintas untuk memenuhi keinginan mereka berdua.

Bersambung dulu ya gaes dukungannya sekilasnya saja terima kasih.    

 

  

  

 

   

 

Warung kopi

Keesokan paginya Trisno beserta Lasmi bersiap-siap pergi ke hutan Kawi.

Perjalanan yang di tempuh untuk sampai ke hutan tersebut memakan waktu sekitar lima jam perjalanan.

“Ayo Lasmi,” ajak Trisno yang telah siap.

“Ya tunggu sebentar Mas,” sahut Lasmi yang sedang memasukkan perlengkapannya ke dalam tas.

Beberapa menit kemudian Lasmi pun telah siap untuk berangkat.

Lasmi yang sedang berada di teras rumahnya tidak lupa mengunci pintu rumahnya sedangkan Trisno sudah siap duduk di atas motornya.

Setelah selesai mengunci pintu rumah, Lasmi menghampiri Trisno lalu naik di belakang Trisno duduk.

“Kamu sudah Siapa Lasmi?” tanya Trisno yang melihat Lasmi di melalui kaca spion motornya.

“Sudah Mas,” sahut Lasmi yang sedang di bonceng oleh Trisno.  

Mereka pun akhirnya berangkat menaiki motor tua Trisno menuju hutan Kawi.

Untuk menghilangkan rasa bosan di perjalanan Trisno mengajak Lasmi mengobrol santai.

“Lasmi aku tidak sabar lagi untuk menjadi kaya, sebentar lagi kita akan kaya,” ujar Trisno yang sedang berkhayal.

“Iya Mas, aku juga sudah bosan hidup seperti ini, aku ingin membeli baju bagus, makan di tempat mewah, membeli produk kecantikan,” sahut Lasmi yang juga ikut mengkhayal.

“Iya sayang, sebentar lagi keinginanmu dan aku akan segera tercapai, selamat tinggal kemiskinan,” ujar Trisno yang sangat antusias.

“Oh ya Mas, nanti kalau kita kaya aku mau beli rumah yang besar yang di dalamnya ada kolam berenangnya, seperti di TV itu Mas.”

“Iya Lasmi, aku akan memberikan semua keinginanmu jika kita menjadi kaya.”

Mereka berdua pun sangat asyik mengobrol hingga, tidak terasa sudah pertengahan jalan.

Trisno yang sedari tadi melewati hutan pohon karet yang terbentang panjang di sisi-sisi jalan.

“Mas, apa masih lama kita sampainya?” tanya Lasmi yang mulai merasa lelah duduk di atas motor.

“Aku pun tidak tahu sayang, kata Edi ini jalannya tapi kok sepanjang jalan tidak ada rumah penduduk atau warung?”

“Nanti kalau ada warung kita singgah dulu Mas aku lelah duduk di kendaraan ini, sekalian kita bertanya kepada pemilik warungnya di mana hutan Kawi itu,” Lasmi yang memberi saran kepada Trisno.

“Iya Lasmi.”

Tiga jam telah berlalu terlihat dari kejauhan sebuah warung kopi.

“Mas sepertinya di sana ada warung, ayo kita coba berhenti dahulu menanyakan kepada pemilik warung tersebut,” ucap Lasmi yang melihat warung kopi dari kejauhan.

“Baiklah Lasmi,” sahut Trisno.

Tidak berselang lama mereka pun telah sampai di warung tersebut.

Terlihat kedua orang paruh baya seperti suami istri yang sedang menjaga warung tersebut.

“Nek, saya pesan minumnya dua, satu teh hangat satu lagi kopi manis,” ujar Trisno yang hanya memesan minuman.

“Iya Nak,” sahut nenek tersebut.

“Mau ke mana Nak kalian berdua?” tanya Kakek yang menjaga warung tersebut.

“Ini Kek, kami mau ke hutan Kawi kira-kira masih jauh lagi apa tidak ya?” Trisno yang bertanya sang kakek.

“Lumayan jauh Nak, kira-kira menempuh jarak dua jam lagi baru bisa sampai ke hutan itu, memang kalian berdua mau apa di hutan itu?” tanya sang kakek.

“Ada keluarga yang tinggal di sana Kek,” sahut Lasmi yang berbohong.

Tidak berselang lama sang nenek pun datang membawa dua buah gelas berisi minuman kopi beserta teh.

“Ini pesanannya Nak,” ucap sang nenek sembari menyodorkan dua gelas minuman itu di meja mereka berdua.

“Terima kasih Nek,” sahut serentak Trisno beserta Lasmi.

Trisno yang sedang beristirahat sejenak mengajak mereka berdua untuk mengobrol santai.

“Kakek rumahnya di mana?” tanya Trisno.

“Ya warung ini Nak,” sahut sang kakek.

“Apa tidak takut jika malam sendirian di sini, saya lihat di sisi tidak ada pemukiman warga?” tanya Trisno.

“Sudah biasa kami berdua di sini jadi tidak takut,” sahut sang kakek.

Sembari berbincang-bincang kepada mereka berdua Trisno pun menyeruput kopi manisnya yang di ia pesan tadi.

Saat menyeruput kopi tersebut wajah Trisno berubah, rasa kopi itu tidak manis melainkan sangat pahit.

“Nek maaf ini kopinya sangat pahit sekali,” ucap Trisno yang meringis kepahitan.

“Oh iya mungkin Nenek lupa memberikan gula,” sahut sang Nenek mengambil gelas Trisno yang berisi kopi tadi.

Tidak lama kemudian Nenek memberikan segelas kopi yang dia ambil di meja Trisno.

“Nak Nenek lupa gulanya habis, belum beli,” ujar sang Nenek.

 “Ya sudah Nek tidak apa-apa,” tutur Trisno.

Beberapa menit kemudian mereka berdua yang telah selesai beristirahat di warung itu pun ingin melanjutkan perjalanan.

“Berapa semuanya Nek?” tanya Lasmi.

“10 ribu saja Nak,” sahut sang nenek.

Lasmi pun mengambil selembar uang berwarna biru di dalam tasnya.

“Ini Nek, kembalinya ambil saja,” sahut Lasmi yang memberikan selembar uang.

“Terima kasih Nak, hati-hati kalian di jalan,” ujar Nenek berserta kakek.

Mereka berdua pun menunu motor tua mereka.

Trisno yang lebih dahulu menaiki motor tuanya ingin menghidupkan motornya terlebih dahulu, namun saat di sedang di hidupi motor tua miliknya tidak dapat hidup.

“Sial motornya mogok,” sahut Trisno.

“Kenapa Mas, apa kehabisan bensin?” tanya Lasmi.

“Tidak sepertinya busi motor ini bermasalah,” ujar Trisno yang mencoba membenarkan motor tuanya.

Saat Trisno sedang sibuk membenarkan motor tua mereka yang mogok sedangkan Lasmi berdiri di samping Trisno.

Ada seorang bapak-bapak yang keluar dari hutan telah selesai mengambil getah karet. Bapak itu berjalan menuju rumahnya.

Saat sedang berjalan bapak itu melihat Trisno tengah sibuk memperbaiki motor tua yang mogok. Melihat Trisno yang sedang membutuhkan bantuan bapak itu pun menghampiri lalu menanyainya.

“Kenapa motornya Mas?” tanya bapak itu.

“Mogok Pak sepertinya businya bermasalah, tapi ini sudah saya perbaiki,” sahut Trisno.

“Oh ya sudah kalau begitu, kalian berdua memang habis dari mana?” tanya bapak itu.

“Dari warung kopi, beristirahat sebentar mau ke rumah nenek yang ada di hutan kawi,” ucap Trisno yang berbohong.

“Warung kopi? Di sepanjang jalan ini tidak ada warung kopi, ada memang waktu dulu, tapi karena ada insiden kecelakaan sebuah truk yang menabrak warung tersebut membuat kakek dan nenek yang menjaga warung tersebut meninggal dunia,” sahut bapak itu.

“Ah bapak, tidak mungkin tadi saya baru saja  dari–,” ucapan Trisno terhenti

 Trisno beserta Lasmi yang terkejut melihat warung kopi yang mereka singahi itu memang sebagiannya telah roboh dan terlihat seperti warung tua yang lama tidak di tempati bertahun-tahun, warung itu pun sebagian kirinya roboh akibat insiden mobil truk yang menabraknya.

“Melihat hal itu Trisno dan Lasmi sangat terkejut.”

“Tadi saya tidak  melihat warung itu roboh seperti itu pak dan kakek nenek ada di sana,” pungkas Trisno menjelaskan.

“Hal itu di sini sudah biasa Mas dan Mbak, banyak pengendara yang singgah tidak sadar jika warung itu telah roboh dan kakek, nenek yang menjaga warung itu pun telah meninggal dunia,” Bapak-bapak itu menjelaskan ulang kepada mereka.

Trisno pun segera menyalakan motor tuanya dan akhirnya motor tuanya pun hidup, Trisno beserta Lasmi pun segera menaiki motor itu dan berpamitan kepada bapak-bapak yang memberi tahu mereka tadi.

 

   

 

  

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!