Nama Sulasna adalah tokoh utama dalam kisah Kidung Bumi Wengker. Sejak kecil ia tidak mengetahui siapa ayahnya. Yang ia tahu selama ini ia di asuh oleh Kakeknya Ki Pasinggahan dan juga oleh Ibunya yang bernama Nyai Selayar.
Nyai Selayar ibu Sulasna menikah dua kali. Pernikahan Pertama dengan Papak Paringan, dari tokoh persilatan golongan putih tidak di karuniai anak. Papak Paringan meninggal setelah ia terkena racun dari senjata Ki Lowo Abang dalam pertarungan di Bukit Sepayung.
Sedangkan yang kedua menikah dengan anak murid dari Ki Pasinggahan. Pernikahan ini merupakan wasiat dari Suaminya, Papak Paringan, sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir. Bahkan Papak Paringan juga memberikan senjata pada Ki Blandong, putra murid Ki Pasinggahan.
Senjata Tongkat Kembar yang merupakan warisan dari Ki Papak Paringan menjadikan nama Ki Blandong semakin tersohor di rimba persilatan. Sehingga ia bergelar Pendekar Tongkat Kembar.
Pada sebuah pertempuran antara golongan putih dan golongan hitam Ki Blandong, yang merupakan suami dari Nyai Selayar itu tewas. Ia meninggalkan putra yang bernama Sulasna.
Karena kedua suaminya meninggal dunia dalam pertempuran melawan golongan hitam, Nyai Selayar merasa putus asa pada dunia persilatan. Akhirnya ia menanggalkan dunia persilatan bersama Kakak dari Gurunya, untuk hidup dengan damai di Padepokan Ki Pasinggahan. Dan jubah biru baju kebesarannya ia tanggalkan.
Ki Pasinggahan merupakan tokoh ternama dalam rimba persilatan, dari golongan putih dan telah lama mengundurkan diri memilih jadi pertapa. Dia merupakan Kakak dari guru Nyai Selayar yang bernama Nyai Pandan Sari.
Sebagai seorang yang di asuh oleh para Pendekar tua Sulasna juga memiliki berbagai ilmu Kanuragan yang diajarkan oleh Kakek Guru dan Simboknya .
Rahasia tentang siapa Simboknya dan siapa Ki Pasinggahan terbongkar saat ia bertemu dengan orang tua di sebuah hutan. Ia baru mengerti bahwa ia adalah putra yang di asuh oleh tokoh pendekar.
Pertemuan itu sebetulnya adalah pertemuan untuk membangkitkan naluri Pendekar dari Nyai Selayar. Sebab Sulasna adalah putra Ki Blandong yang telah diidamkan untuk menjadi seorang Warok. Warok adalah sosok Pendekar namun bersifat Brahmana. Ia Brahmana namun dia tidak gentar bila menghadapi lawan yang tidak benar bagaikan seorang Pendekar.
Para Penjaga Ilmu Warok, Ki Pasinggahan sebagai Komandonya satu persatu wajib mewariskan ilmu pada Sulasna. Maka setelah ia berlatih pada Kakek Penjalin, Sulasna melanjutkan berguru pada Nyai Pandan Sari. Nyai Pandan Sari adalah perempuan yang menjadi penjaga pengolahan energi bagi para Warok.
Dalam perjalanannya Sulasna menuju Goa Toya Marta bertemu dengan Harimau Siluman. Sosok harimau siluman bisa ditaklukkannya, dan Sulasna mendapat pusaka Putut Jangkung, sebagai tanda dirinya adalah Raja Sima Semesta.
Memang Sulasna adalah seorang putra dari Pendekar yang berilmu putih. Maka ia begitu berbakat dalam berlatih untuk mencapai tahapan Warok.
Lima penjaga ilmu Warok ia datangi satu persatu. Sebagai Pendekar Satriya Pinandita, Sulasna kemudian menjadi tokoh yang membela kebenaran. Ia adalah Warok Sulasna, Raja Sima Semesta.
Simak Kisah selengkapnya........
Seorang lelaki muda berjalan tertatih tatih. Ia merasakan adanya luka memar pada badannya. Namun sekuat tenaga ia tetap menjaga jalannya agar berimbang. menguatkan dirinya agar tidak terbanting, sebab bila terjadi semacam itu tentu badan akan bertambah remuk.
Lelaki muda itu bernama Sulasna. Dengan wajah oval dan rambutnya panjang sebahu. Kadang memang di Gelung di atas namun tidak jarang di tali agar nampak rapi. Sulasna merupakan seorang lelaki yang cukup gagah, dari perawakannya dan tubuhnya kekar. Karena ia sering mencari kayu bakar di hutan yang dari hasil kerjanya itu bisa untuk mencukupi makan ibu dan dirinya.
Bapak dari Sulasna telah meninggalkannya semenjak Sulasna masih kecil. Masa itu sebetulnya bukan sengaja. Pada saat itu Ayah Sulasna yang juga sebagai blandong mencari kayu di hutan. Sebab orang orang ilmu hitam masih mengincar kelompok golongan putih. Termasuk anak murid dari Ki Ageng Pasinggahan.
Ki Ageng Pasinggahan adalah salah satu guru dari golongan putih yang cukup punya nama, karena kehebatan yang luar biasa. Ilmu dan jurus yang di ciptakanya telah banyak membikin bingung dari golongan hitam. Dan tidak sedikit murid muridnya bisa mengahbisi golongan hitam, termasuk ayah dari Sulasna. Sebelum nya Ayah Sulasna adalah Pendekar yang pilih tanding. Gelarnya adalah Pendekar Tongkat Kembar
Di beri gelar Pendekar Tongkat Kembar, karena dua tangannya bisa memainkan tongkat sekaligus. Tongkat itu bukan sembarang tongkat, tapi Tongkat yang didapatkan dari Pendekar Papak Paringan. Pendekar Papak merupakan tokoh persilatan yang memiliki kehebatan luar biasa. Jurus tongkatnya begitu mumpuni dan tak jarang bila bertarung membingungkan lawannya. Sebab dengan jurus bayangan seribu di padu dengan tongkat kembar bisa mengobrak ngabrik lawan dalam sekejap.
Papak Paringan memiliki istri yang bernama Nyai Selayar. Nyai Selayar merupakan adik seperguruan dari dari Ayah Sulasna. Nyai Selayar adalah Ibu Sulasna.
Ceritanya, pada saat pertarungan pada Bukit Sepayung antara golongan hitam dan golongan putih terjadi. Sebab mereka memperebutkan Pedang Angin Suci di bukit Sepayung. Pedang itu konon di buat seorang Empu Yang Sakti. Dan diberikan pada Ki Ageng Pasinggahan. Rupanya Ki Ageng Pasinggahan menyembunyikan Pedang tersebut pada sebuah bukit, yakni di Bukit Sepayung, agar tak ada yang bisa menemukan Pedang itu, Ki Ageng Pasinggahan memagarinya dengan rajah air. Sedang yang dapat menemukan adalah yang bisa membuka rajah air. Tentu saja dia adalah murid murid dari Ki Ageng Pasinggahan.
Ki Ageng Pasinggahan memberi kunci cara menembus rajah tersebut pada Nyi Selayar. Lalu memberi tahu letak dari pedang tersebut, dan bila ingin mengambilnya dipersilahkan. Maka Nyai Selayar bersama suaminya Ki Papak Paringan mengambil Pedang itu.
Tapi ketika dalam perjalanan Pulang ia di cegat oleh Ki Banas salah satu tokoh golongan hitam yang mendengar keberadaan Pedang Angin Suci. Rupanya Ki Banas tidak sendiri, ia bersama empat pendekar begundalnya. Yaitu Arga sumirat atau bergelar Pedang Api, Si Bajil dan Ki Paneluh.
Pertarungan dual lawan satu terjadi Nyi Selayar mampu merobohkan Ki Paneluh dan Arga Sumirat. Dan di Sepayung juga Nyi Selayar mampu menyaksikan kehebatan Pedan Angin Suci. Sebab Pedang Api yang di miliki Arga Sumirat terpatahkan melawan Angin Suci. Sehingga Arga Sumirat dan Bajil dan Paneluh harus berlari dengan luka luka parah di tubuhnya.
Lantas Nyi Swlayar membantu suaminya Ki Papak Paringan. Ki Papak mengeluarkan Jurus Bayangan Seribu dan Tongkat Kembar. Sedang Nyi Selayar berjaga dengan jurus Sewu banyu. Karena ia tahu jurus andalan Ki Banas adalah Samudra Geni yang bila dikerahkan akan membakar lawannya secepat kilat. Sedangkan yang mampu mengatasi api adalah air.
Memang Ki Banas tidak lawan bila menghadapi kedua Pendekar tersebut, namun tiba tiba datanglah Kelelawar berjumlah ribuan menyerang kedua Pendekar tersebut.
"Rupanya Ki Lowo Abang ada di sini," batin Ki Ageng Papak Paringan.
Belum selesai Ki Ageng Papak Paringan membatin, tiba tiba petir menyambar dada Ki Papak Paringan yang telah buyar konsentrasinya karena ada kelelawar yang merupakan senjata dari Ki Lowo Abang.
"Bajingan Lowo Abang, kau melukai suamiku,"gertak Nyi Selayar.
"Tidak hanya melukai, Nyi. Namun sebentar lagi suamimu akan mati. Karena racun kelelawar yang ada padanya telah merayap pada tubuhnya. Hahahahaha hahaha... hahaha," Kata Lowo Abang menyombongkan dirinya.
Nyi Selayar antara dendam dan Amarah yang menyatu, ia menyeran kedua Pendekar golongan hitam tersebut. Nyi Selayar Terdesak, karena kesulitan menghadapi Jurus Ki Banas Samudro Geni dan Jurus Lowo Abang.
Melihat Nyi Selayar terdesak, Ki Lowo Abang mengeluarkan pasukan kelelawarnya, Nyi Selayar Mundur tiga langkah. Ia memasang kuda kuda, lalu diambilnya Pedang Angin Suci. Kelelawar dari Ki Lowo Abang berjatuhan satu persatu. Sebab Pedang Angin Suci tak nampak pada penglihatan lawan, sehingga Ki Lowo Abang sulit untuk mengendalikan kelelawarnya.
Melihat keampuhan Pedang Angin Suci, Ki Banas menyerang dengan Jurus Samudra Geni. Semula Hawa Panas keluar pada tempat tersebut, lalu api membara menyerang Nyi Selayar. Nyi Selayar yang memainkan Pedang Angin Suci melihat serangan tersebut , ia gunakan jurus Sewu Banyu.
"Glak... Gliar," Jurus Samudra Geni tidak kuasa menyerang Jurus Sewu Banyu dan Pedang Angin Suci. Dan saat itu juga kedua tokoh hitam itu harus meninggalkan tempat tersebut.
Tapi bagi Ayah Sulasna yang melihat dari kejauhan beda lagi. Dendam terlanjur menyulutnya. Sebab siapa tega melihat adik seperguruannya menahan luka dari suaminya. Ia melemparkan mustika singa, sebuah senjata rahasianya.
"Duk, Duk, .... pyar," Mustiko singo dilempar tepat mengenai lengan Lowo Abang, sebelah kanan.
"Keparat, Putra Pasinggahan!" teriak Lowo Abang, sambil pergi menahan luka.
"Tidak berhenti di sini! Awas tunggu pembalasanku!" ujar Lowo Abang meninggalkan lokasi Bukit Sepayung, yang kemudian di kejar oleh Ki Banas
Nyi Selayar, menubruk suaminya yang terluka parah. Ia mengeluarkan energi positif untuk mengurangi luka dalam pada suaminya. Melihat yang begitu, Ayah Sulasna tidak tega, ia mengeluarkan energinya juga untuk membantu Nyi Selayar.
"Diajeng, ayo kita bawa pada rumah Gedhe Sepayung. Sebab bila tidak kita rawat luka suamimu tambah parah," ujar Ayah Sulasna.
"Kakang, Kakang, .... panas sekali di dadaku Kakang," ungkap Ki Papak Paringan.
"Bertahanlah, Di," kata Ayah Sulasna sambil membopong Ki Papak Paringan.
"Sepertinya saya sudah tidak kuat, Kakang," kata Ki Papak Paringan.
"Kamu harus kuat, Kang, harus bertahan. Tugas kita masih banyak," ungkap Nyi Selayar sambil menangis.
Kakak beradik seperguruan itu terus berjalan menyusuri lembah Sepayung menuju rumah Ki Gedhe Sepayung. Memang menuju rumah Ki Ageng Sepayung membutuhkan waktu semalam, dari lokasi tersebut. Karena terdesak keadaan maka Ayah Sulasna menyuruh Nyi Selayar berada di belakang Punggungnya. Ia mengeluarkan Ajian Sepi Anginnya, dan dalam sekejap sampailah ia di rumah Ki Gedhe Sepayung
Namun alangkah terkejutnya mereka, sebab rumah Ki Gedhe Sepayung telah porak poranda. Dan Gedhe Sepayung telah tidak ada di lokasinya. Tinggal sebuah Kitab yang ada di situ.
Nyi Selayar menjelajahi rumah Ki Gedhe Sepayung. Ia menemukan sebuah patrem dengan darah kering. Patrem tersebut bergambar bunga anggrek.
"Rupanya Nyi Sutasih telah membunuh Ki Gedhe Sepayung," batin Nyi Selayar.
"Ada apa Diajeng?" tanya ayah Sulasna.
"Ini Kakang," ungkap Nyi Selayar menunjukkan patrem dengan darah yang kering.
"Nyi Selasih???!!" ucap Ayah Sulasna pelan.
Mereka kemudian bersama menuju rumah Gurunya, Ki Ageng Pasinggahan.
****
Ki Ageng Pasinggahan melihat muridnya membopong Ki Papak Paringan, mengerti bahwa mereka telah melawan golongan hitam. Ki Ageng Pasinggahan kemudian mengeluarkan jurus dan energi negatif untuk menyembuhkan luka suami dari muridnya tersebut.
Tiga hari, dalam perawatan, rupanya tidak mampu menahan jalannya racun kelelawar dari Lowo Abang. Dan Akhirnya Ki Papak Paringan meninggal dunia.
Sebelum meninggal dunia, Papak Paringan memberikan Tongkat Kembar pada Ayah Sulasna dan menitipkan Nyi Selayar pada Ayah Sulasna.
Bersambung....
Sentra itu, di hutan pandan seorang lelaki tua menatap lekat pada Sulasna. Bocah yang baru usia 15 tahun dan pencari kayu bakar itu terkejut. Sebab ada seorang yang ada dalam hutan Pandan. Sebab selama ini ia masuk keluar hutan pandan tak pernah bertemu dengan seorang pun.
sulasna tak henti henti menatap dirinya pada lelaki tersebut. Lelaki tua itu berbaju hitam, bercelana hitam. Rambutnya yang sudah dua warna di Gelung ke atas. Dengan wajahnya yang bulat, alias matanya tebal. Dengan kain batik ia jadikan sabuk. Dari caranya berdiri dengan kaki yang kokoh dan sedikit direnggangkan membentuk kuda kuda berdiri, sebagai tanda bahwa lelaki tua itu memiliki ilmu Kanuragan.
"Hei bocah, siapa namamu? Kenapa kau berani masuk Alas Pandan ini?!" tanya lelaki tua sambil matanya tak lepas menatap Sulasna. Seolah mata itu ingin bertanya lebih jauh tentangnya.
"Namaku Sulasna. Saya masuk ke Alas Pandan sudah biasa, Kek. Rumahku hanya seberang alas kayu Wangi. Aku mencari Kayu Bakar," Jawab Sulasna.
"O... Jadi rumahmu Kayu Wangi?'"
"Rumahku di tapal batas Alas Kayu Wangi, Kek. Sedang Kakek kenapa di sini dan siapa nama Kakek," tanya Sulasna.
"Tapal batas Alas Kayu Wangi?" gumam Kakek itu, seolah di tujukan pada dirinya sendiri.
"Iya, Kek," ucap Sulasna.
Melihat Kakek itu diam dan merasa tak memiliki urusan dengannya Sulasna mengambil kayu bakar yang telah di tumpuknya. Kayu kayu dari ranting dan dahan itu ia kumpulkan dan kemudian di ikatnya menjadi satu.
Melihat kelakuan Sulasna yang seolah tak peduli dengan siapapun, Kakek itu hanya tersenyum.
"Pasti, pasti ini Putra Nyi Selayar dari pernikahannya yang ke dua, dengan almarhum Pendekar Tongkat Kembar," batin Kakek tersebut. Ia terus mengamati Sulasna yang telah selesai mengikat kayu bakar tersebut.
Meski badan Sulasna tegap, tapi usianya masih lima belas tahun. Otot dan tulangnya memang kuat. Namun ia harus peteteran juga ketika mengangkat seikat kayu bakar yang besar dan berat, sedangkan kebiasaan kayu dengan ukuran tali tersebut adalah ukuran orang dewasa.
"Kreeek, Krek... Brugj!"
Sulasna yang memaksa mengangkat seikat kayu tersebut harus jatuh bersama kayu yang di panggilnya.
Melihat yang demikian Kakek itu hanya tersenyum. Sebab ia melihat tak ada yang membahayakan pada bocah itu.
"Acuhnya adalah sifat keturunan Selayar, Pendekar Jubah biru. Sedangkan nekatnya adalah kenekatan Si Blandong Pendekar Tongkat Kembar.," ujar batin lelaki tua tersebut.
Sejak dulu Selayar memiliki sifat acuh. Dari Keacuhannya itu menyebabkan dia di sebut orang yang angkuh. Padahal dalam diri dan jiwa Selayar memiliki sifat yang lembut luar biasa. Sedangkan Blandong suaminya memang sejak kecil dalam asuhan Ki Pasinggahan. Seorang Pertapa yang sudah menghilangkan sifat keduniaannya. Maka Si Blandong terbangun sifat yang welas asih pada siapa saja. Kesetiaan kawan dan suka membantu orang lain tertanam pada siswa Ki Pasinggahan. Sebetulnya Nyi Selayar juga putra murid Ki Pasinggahan, namun aslinya ia adalah asuhan dari Nyi Pandan Wangi. Seorang Pendekar Putri yang menghilang entah kemana setelah pernikahan muridnya Selayar dan Papak Paringan.
Menurut Selayar, Nyi Pandan Wangi ingin melanjutkan pertapaannya di balik air terjun Toya Marta. Hal ini telah lama diungkapkan pada saudara dan muridnya. Namun Selayar tidak memperbolehkan. Karena dia ingin dalam pernikahannya dengan Papak Paringan bisa di saksikan gurunya.
*****
Kembali Sulasna mencoba mengangkat Kayu Bakar dalam seikat tali yang ukuran besar. Sementara Kakek itu tetap mengamati dari tempatnya dengan senyum yang di tahannya. Tiba tiba wajah Kakek itu mengerut. Sebab Sulasna akan mengangkat dengan mengeluarkan Ajian Bandung.
"Aji Bandung," ujar Kakek dalam hati.
Mau tidak mau Kakek itu mendekat pada Sulasna. Sebab dia yakin Aji yang dipakai bocah itu belum begitu sempurna. Dan ia akan menguji anak dari Selayar. Tentu anak ini juga asuhan dari Ki Pasinggahan.
"Saat kayu mau diangkat dengan kekuatan Aji Bandung oleh Sulasna, tiba tiba, "diassssh." sebuah tendangan kuat bersarang pada tangannya.
Sulasna yang telah mengumpulkan tenaga Bandung terpaksa mundur satu langkah.
"Kenapa Kakek menendangku. Apa aku salah, Kek?" ujar Sulasna.
"Kau mau bawa kayu tersebut tanpa seijin aku," ujar Kakek itu dengan tetap memandang tajam pada Sulasna.
"Brak...."
Tanpa ada kode apapun Kakek itu menyerang Sulasna dengan tenaga dalamnya. untung tendangan tersebut tidak mengenai Sulasna tapi menyasar pada Kayu yang ada di sampingnya.
Melihat Kondisi yang tidak kompromi, Sulasna pun menyerang. Ia meloncat dan membalas tendangan pada Kakek. Tendangan Sulasna hanya di beri separoh tenaga. Kakek tua tidak menghindar justru tendangan itu seolah dibiarkan mengenai tubuhnya
"Diash....das," tendangan Sulasna bersarang pada tubuh Kakek tua. Secepat kilat Kakek tua tubuhnya berputar terkena tendangan Sulasna . Namun tiba tiba tubuh itu sudah berada di atas ikatan kayu bakar milik Sulasna. Mau tidak mau Sulasna dibuat melongo padahal yang tak di duga
"Hahaha ..haha, Bocah, kalau kau ingin kayu bakar ini, Dengan syarat kau bisa mengambilnya," ujar Kakek itu sambil tertawa terkekeh kekeh
Seperti di tantang Sulasna menyerang pada tubuh Kakek dengan pukulan dan tendangan. Tapi tanpa beringset dari tempatnya Kakek itu mampu menghindari serangan Sulasna.
"Siapa Kakek ini, dari hawanya dia tidak menandakan sebagai seorang berilmu tinggi, namun ternyata kecepatan jurusnya dalam menghindari serangan ku begitu cepat," ujar batin Sulasna.
Melihat Sulasna diam, Kakek tersebut duduk dengan santai pada ikatan kayu Sulasna.
"Anak muda segitu kok sudah capek, hehehehe," ejek Kakek pada Sulasna.
Mendengar ejekan yang demikian Sulasna bersiap menyerang. Kali ini ia akan menggunakan jurus Banyu Sewu dan Aji Banyu Sewu.
"Ajian Banyu Sewu di imbangi dengan jurus Banyu Sewu..." ujar batin Kakek yang rupanya mengenal pembukaan jurus jurus Sulasna.
"Hiaaaat," Sulasna menyerang dengan jurus Banyu Sewunya. Jurus jurus yang terbangun dengan indah dan berkekuatan. Namun kembali Kakek hanya menghindar dengan duduk dan kadang berdiri. Sesekali ia menyampingkan badannya ke kiri dan kekanan.
Kembali Sulasna harus mengatur nafasnya. Karena ia untuk menyerang lawannya mau tidak mau menguras tenaga dalam dan semua tendangan dan pukulannya harus, selalu mengenai lokasi kosong.
"Hehehehe, bagaimana anak muda .. hahahaha, payah lagi .. payah lagi!" ejek Kakek itu sambil duduk di kayu bakar Sulasna.
Melihat hal ini Sulasna menyadari, Kakek ini tidak mau menyerang. Tentu ada yang di mauinya.
"Sebetulnya siapa Kakek ini dan mau apa menemuiku?!" tanya Sulasna.
"Hahahaha.... hahaha .. Aku orang tua tak berguna... hahaha. Kalau mau tahu tujuanku, ya jelas ingin melihat Jurus Banyu Sewu yang tak berguna itu ... hahahahaha ..." Jawab Kakek.
Sulasna tercengang mendengar perkataan Si Kakek tersebut. Di la tahu jurus yang aku gunakan. Tentu dia Pendekar hebat yang tidak sembarangan
"Aji Bandung gak sempurna, Jurus Banyu Sewu gak berguna. Hahaha .. haha ...haha," ejek Kakek.
Kakek itu secepat kilat telah sampai di hadapan Sulasna. Sulasna tentu saja terkejut bukan main.
"Banyu Sewu itu akan sempurna bila kau menyerang lawan, tapi tidak ingin menciderainya. Namun bila kau ada niatan kecil, meski sebesar kerikil ingin menciderai lawan, tentu kesempurnaan tenaga akan musnah," tutur Kakek tersebut.
Sulasna memang telah di beri tahu hal itu oleh Kakek Gurunya.
"Penguasa Aji Banyu Sewu dengan kesempurnaanya hanya ada dua di dunia persilatan. Yaitu Kakek Gurumu Ki Pasinggahan dan adiknya yaitu Gurunya Simbokmu, Nyi Pandan Wangi," ujar Kakek itu.
Sulasna kembali terheran heran mendengar penuturan lelaki tua itu. Sebab Sulasna tidak pernah mendengar cerita siapa dan dari mana Kakek Gurunya.
"Keduanya Pendekar tapi bukan Pendekar. Keduanya Pertapa tapi Pendekar. Maka kami menyebutnya adalah Warok," tutur Kakek tua.
Kakek itu menepuk pundak Sulasna.
"Semoga kau mampu mewarisi watak bapakmu, watak Kakek Gurumu. Kau harus banyak berlatih bertarung. Tanpa kau berlatih bertarung, kapan kau tahu mengeluarkan jurus. Simbokmu Selayar, tidak pernah memakai jurus Banyu Sewu untuk menyerang lawan. Dia memakai jurus Banyu Sewu hanya untuk membendung lawan," ujar Kakek tua.
"Terima kasih atas nasehatnya, Kakek," ujar Sulasna.
"Kalau kau mau tahu aku, datang ke Alas Penjalin. Di balik sungai itu," ujar Kakek.
Sulasna hanya menganggukkan kepalanya sambil memandang arah sungai yang ditunjukkannya.
"Sampaikan salamku pada Kakek Gurumu dan Simbokmu. Simbokmu Pewaris tunggal dari Pandan Wangi. Kakek Gurumu adalah keturunan dari seorang Pertapa yang berbudi," ujar Kakek itu yang dalam sekejap menghilang di hadapan Sulasna.
Kembali Sulasna terheran heran melihat kemampuan Kakek itu.
"Sampaikan salamku pada Kakek Gurumu dan Simbokmu. Semoga semua panjang umur," ujar Kakek itu yang hanya tinggal suaranya bergema. Bertanda tenaga dalamnya begitu tinggi.
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!