"Ap... Apa?"
Anita kedua matanya terbelalak, ia begitu terkejut mendapatkan sejumlah tagihan kartu kredit untuk barang-barang yang sama sekali tak pernah ia beli,
Tas, baju, gaun, sepatu, parfum, kosmetik, semua barang-barang yang ada di dalam tagihan bukan merk yang biasa ia beli, dan ia pun tak pernah memakai kartu kredit sembarangan seperti itu,
Ah ya, pastinya,
Selama ini ia bekerja siang malam bukanlah untuk berfoya-foya,
Ia sekeras itu bekerja adalah demi membantu sang suami menjaga kestabilan ekonomi keluarga, memastikan anak-anak mereka tercukupi kebutuhannya dan bahkan juga mempersiapkan pendidikan mereka hingga sampai perguruan tinggi,
Ya, Anita, bukanlah perempuan yang senang menghamburkan uang hanya untuk membeli barang-barang tak jelas,
Ia sebagai wanita karir, sudah terlalu sibuk dengan semua kegiatannya di tempat kerja,
Tak ada waktu baginya menjelajah tempat belanja atau bahkan tongkrongan dengan teman-temannya di cafe ataupun resto mahal,
Tidak, ia tak ada waktu untuk itu, dan andai katapun ia ada sedikit saja waktu luang untuk melakukannya, maka Anita pasti akan lebih memilih menghabiskannya bersama keluarganya,
Ya, tentu saja bersama keluarganya, keluarga kecil yang ia cintai, suami dan juga kedua anaknya
Anita tampak menghela nafas, ia terduduk lemas di sofa ruang tengah rumahnya yang baru selesai ia renovasi sebulan lalu,
Tampak kemudian adik iparnya mengambil tagihan kartu kredit yang ada di tangan sang kakak ipar,
"Kenapa Mbak?"
Tanya adik ipar Anita tersebut,
Sejak kemarin sore, adik ipar Anita memang menginap di rumah Anita, selain karena memang sedang weekend, Rahma juga tahu Kakak laki-lakinya sedang keluar kota untuk urusan bisnisnya,
Anita menatap nanar wajah Rahma, adiknya iparnya,
"Rahma, menurutmu, siapa yang menggunakan kartu kredit itu?"
Lirih suara Anita bertanya,
"Bulan lalu, Ayahnya anak-anak memberitahu jika kartu kredit kami hilang dan akan melapor ke pihak bank, aku pikir urusannya sudah selesai, tapi ternyata ada tagihan masuk bulan ini,"
Tambah Anita lagi menuturkan,
Tampak kemudian Rahma membaca kertas yang ada di tangannya,
Tagihan yang lebih dari delapan puluh juta rupiah, yang seluruhnya hanya untuk belanja barang-barang perempuan yang Rahma pun tahu itu semua bukan kesukaan Kakak iparnya,
"Mas Joni, apa mungkin dia yang menggunakannya?"
Gumam Rahma seraya kembali menatap kakak iparnya yang kini terlihat menyangga kepalanya sambil mengurut keningnya yang pening,
Meskipun Anita sebetulnya hanyalah seorang kakak ipar saja, tapi Rahma menyayanginya sebagaimana kakak kandung sendiri,
Tentu itu karena Anita hadir di tengah keluarga Rahma memang seperti bukan orang lain, ia bukan hanya bisa menjadi anak menantu yang sangat layak disayangi keluarga, tapi juga ia bisa memperlakukan Rahma dan adik-adik suaminya seperti adiknya sendiri juga,
"Jika memang Mas Joni yang pakai, untuk apa dia memakainya,"
Rahma bergumam sendirian tak jelas,
Meskipun jauh di lubuk hatinya ia sebetulnya juga paham, semua barang-barang itu pastinya adalah milik perempuan,
Ya, perempuan, namun entah perempuan mana dan entah pula dia siapa,
"Dia pasti main gila lagi Ma,"
Kali ini suara Anita terdengar bergetar,
Rahma yang sungguh merasa hatinya ikut tak karuan mendekati kakak iparnya,
"Sabar Mbak, kita cari tahu lebih dulu sebetulnya apa yang terjadi,"
Ujar Rahma mencoba menenangkan Anita yang kini mulai menangis,
"Tidak Ma... ini pasti Mas Joni memang yang bermain api di belakang kita Ma,"
Kata Anita,
Rahma pun hanya mampu terdiam mendengar apa yang dikatakan kakak iparnya,
Kenyataan bahwa ini memang bukan kali pertama kakaknya bermain dengan perempuan lain, membuat Rahma sungguh merasa sangat bersalah pada kakak iparnya,
Perempuan itu, yang kini duduk sambil mulai menangis, sungguh untuk Rahma ia adalah perempuan yang sudah nyaris tanpa kekurangan apapun,
Ia cukup cantik, ia berpendidikan tinggi, ia juga bekerja di perusahaan besar, ia memiliki karir bagus, ia berasal dari keluarga ternama karena Ayahnya dulu merupakan mantan wakil Bupati,
Bukan hanya itu, Anita sangat baik pada Ibunya, selama sakitnya Ibu yang sebetulnya hanya mertua bagi Anita, pengobatan Ibu justeru Anita lah yang menanggung,
Kekurangan biaya kuliah Rahma pun, Anita lah yang selalu siap mengulurkan tangan,
Maka, sungguh entah apa lagi yang sebetulnya Mas Joni cari, karena jika ini hanya tentang keturunan, tentu saja itu terlalu tidak mungkin, karena Anita sendiri pun juga sudah mampu memberikan keturunan untuk Mas Joni,
"Coba kamu telfon kakakmu Ma, katakan padanya tagihan kartu kreditnya sudah di rumah,"
Kata Anita sambil kemudian berdiri dari duduknya,
"Mbak mau ke mana?"
Tanya Rahma,
Anita sekilas memandang adik iparnya sebelum memaksakan diri tersenyum pada Rahma,
"Aku ingin istirahat Ma, aku lelah,"
Kata Anita yang kemudian berjalan menuju kamar pribadinya,
Saat akan menuju kamar, Anita tampak berpapasan dengan anak sulungnya yang masih duduk di kelas satu SMA,
Anak sulungnya itu memandangi Bundanya yang terlihat begitu murung dan terlihat sama sekali tak sadar jika kini berpapasan dengan dirinya,
"Bun,"
Anak sulung Anita memanggil Bundanya, tapi sang Bunda tampak tak peduli,
Anita berjalan terus ke arah pintu kamarnya, pandangan kedua matanya kosong, benar-benar ia sudah terlalu sibuk memikirkan seluruh kemungkinan terburuk atas hubungannya dengan sang suami karena peristiwa ini,
Anita tampak masuk ke dalam kamar, mengabaikan anak sulungnya yang kini terlihat mengikutinya,
Tidak, ia sedang tak ingin bicara dengan siapapun kali ini, ia sedang merasa hancur berkeping-keping untuk kesekian kalinya,
Ya kesekian kalinya, setelah dulu suaminya juga pernah melakukannya dan nyaris membuat rumah tangga mereka hancur berantakan.
...****************...
Seorang anak perempuan berlarian di tepi pantai sambil terus tertawa riang, rambut panjangnya yang sedikit keriting di kuncir kuda tampak bergoyang ke sana ke mari mengikuti irama tubuh anak perempuan berusia sepuluh tahun itu, yang berlarian bermain bersama ombak laut selatan,
Di hamparan pasir pantai Parangtritis, Joni duduk dengan senyuman lebar menatap anak perempuan yang berlarian di tepi pantai sambil tertawa-tawa,
Baginya, melihat anak itu penuh kebahagiaan membuatnya merasa sangat senang,
"Mas,"
Tiba-tiba terdengar suara lembut perempuan dari arah belakangnya, Joni menoleh dan perempuan cantik tampak benar berdiri di belakangnya membawa dua buah kelapa,
Cepat Joni pun menyambut, mengambil kedua kelapa yang dipegang perempuan itu,
"Kenapa tidak bilang akan beli kelapa, ini berat sayang,"
Kata Joni,
Tampak sosok perempuan cantik itu tersenyum,
"Hanya kelapa, tidak apa, ada beberapa penjual minuman tapi rasanya lebih bagus minum kelapa saja,"
Ujar perempuan cantik itu, sambil kemudian menyusul duduk di tikar yang digelar di atas pasir,
Tampak delman lewat di depan sana, memuat pengunjung yang ingin menyusuri pantai tanpa harus kelelahan,
"Cantika begitu bahagia sepertinya,"
Kata Joni pada perempuan di sampingnya, yang tampak sibuk membetulkan ikatan rambutnya,
"Sudah lama dia memang ingin jalan-jalan ke Jogja, untungnya Mas mau mengajaknya,"
Ujar perempuan cantik itu yang kemudian bergelayut manja di lengan Joni,
"Aku kan sudah janji saat menikahimu, bahwa aku bukan hanya akan jadi suamimu, tapi juga akan menjadi Ayah untuk anakmu Lin,"
Joni lantas meraih tangan Linda, menggenggamnya lalu menciumnya dengan lembut,
"Aku mencintaimu, dan sudah seharusnya aku juga menyayangi anakmu,"
Kata Joni pula,
Linda tampak tersenyum mendengar kalimat yang dikatakan suaminya,
Ya, suami...
Laki-laki yang telah menikahinya secara sirih dua bulan lalu karena statusnya yang masih merupakan suami perempuan lain,
Laki-laki tampan, kaya, dan baik, siapa yang bisa menolak laki-laki dengan paket lengkap semacam itu, meskipun ia adalah suami perempuan lain tentu saja. Begitulah menurut Linda,
Linda kemudian menatap suaminya dengan kedua matanya yang memakai bulu mata anti badai,
"Sayang,"
Panggilnya lembut pada Joni,
"Yah,"
Sahut Joni tak kalah lembut, rasanya mereka memang tengah seperti pengantin baru pada umumnya,
Sedang mabuk-mabukan oleh cinta, sedang bahagia-bahagianya saat bersama,
"Apa Mas serius nantinya akan menceraikan isteri Mas?"
Tanya Linda,
Pertanyaan yang tentu saja tak diharapkan Joni mendengarnya saat ini,
Ia tampak gugup, meskipun ia mengangguk, tapi tidak dengan hatinya,
Ah yah, Anita, wanita itu, yang kini berada di rumah, wanita yang sangat mencintai pekerjaannya, yang selalu sibuk setiap hari dan nyaris tak ada waktu lagi untuk sekedar mengobrol santai dengan Joni di rumah,
Wanita yang sesungguhnya tetap menjadi ratu di dalam hati Joni, yang tempat itu tak pernah bisa digantikan perempuan manapun, meski Joni berulangkali bermain di luar rumah,
Tidak, menceraikan Anita sejatinya tak akan pernah mampu Joni lakukan, namun ia mengangguk karena tak ingin liburannya saat ini terganggu dengan tangisan Linda sepanjang hari,
"Kapan kira-kira Mas? Jika nanti aku hamil lalu kondisi kita masih seperti ini, anak kita akan kesulitan mengurus surat-surat penting,"
Lirih Linda,
Joni tampak meminum air kelapa sebentar, mengurangi rasa gugupnya dengan mengalihkan fokus ke hal lain,
"Kata Mas rumah sudah begitu dingin, kalian sudah seperti orang lain di rumah, apalagi yang perlu dipertahankan?"
Linda tampak terus mencecar, sepertinya ia lupa saat ini mereka ada di mana,
"Sayang, bisakah kita membahasnya nanti saja? Setelah kita pulang dari Jogja, lagipula kau bilang ingin mencari rumah untuk pindah dari rumah Ibu, lebih baik kita fokus mencari rumah dulu saja, baru kita bahas ini,"
Kata Joni,
Linda tampak menarik tangannya dan berhenti bergelayut di lengan Joni,
"Mas seperti selalu berusaha menghindari pembicaraan soal perceraian mas dengan Anita,"
Linda merajuk,
Joni menghela nafas, ia menatap Linda yang matanya memakai softlens itu berkaca-kaca,
"Aku memikirkan anak-anakku, mengertilah sayang, bukankah kamu pernah cerita bagaimana sulitnya menjelaskan pada Cantika tentang hubunganmu dengan Ayah Cantika yang harus berpisah, aku juga sama seperti itu, sulit menjelaskan pada anak-anak jika nantinya kami memutuskan untuk tidak bersama,"
Kata Joni,
Linda meneteskan air mata, lagi-lagi ia merasa begitu sakit memikirkan nasib pernikahan sirihnya yang entah akan sampai kapan, pernikahan yang kapan saja bisa diakhiri dengan mudah oleh pihak laki-laki karena tidak berkekuatan hukum negara sama sekali,
"Kamu tidak akan mendapatkan apapun dari harta suamimu, andai kemudian kamu dibelikan banyak hal olehnya, lalu kemudian suami sirihmu meninggal dan isteri pertamanya tahu, maka semua harta yang ada padamu bisa diambil alih oleh isteri sah nya,"
Linda teringat apa yang dikatakan saudaranya beberapa hari lalu,
"Negara hanya tahu harta yang dihasilkan suami yang menikah kamu secara siri adalah harta gono gini dengan isteri sahnya, harta yang hanya berhak dimiliki ahli waris, yaitu anak-anak mereka dari perkawinan yang sah,"
Kata saudara sepupu Linda lagi, yang membuat Linda benar-benar semakin ingin membuat Joni cepat bercerai dengan istri pertamanya, dan menjadikan pernikahan mereka menjadi pernikahan yang sah secara negara, bukan hanya sah secara agama,
"Mamah... Mamah..."
Tiba-tiba terdengar suara Cantika yang memanggil Linda, yang kemudian tampak anak perempuannya kini berlari menuju ke arahnya,
Celana Cantika tampak basah, pun juga sebagian kaos yang dikenakannya,
"Wah kenapa malah basah semua?"
Tanya Joni menyambut Cantika yang kini duduk di tikar di depan Joni dan Linda,
"Ombaknya besar Pah, tapi suka deh,"
Kata Cantika dengan wajah yang tampak begitu ceria,
"Cantika haus,"
Kata Cantika kemudian, sambil ia melihat kelapa yang ada di atas tikar,
"Minumlah, setelah ini kita pulang ke hotel dan makan siang di restoran hotel saja ya,"
Kata Joni,
Cantika mantuk-mantuk,
"Tapi nanti malam jadi ke Malioboro ya Pah?"
Tanya Cantika lagi pada Joni, seolah Joni memang benar-benar Ayah kandungnya,
Tampak Joni mengusap kepala Cantika,
"Tentu saja, kan Papah sudah janji,"
Ujar Joni,
"Horeee, Cantika mau beli banyaaaaak sekali, sampai uang Papah habis,"
Kata Cantika sambil tergelak, lalu meraih satu buah kepala untuk ia minum airnya dari sedotan,
Linda tampak tersenyum melihat kedekatan Joni dan Cantika,
Nyatanya, begitu banyak laki-laki hadir dalam hidupnya, namun hanya Joni yang mampu mendapatkan hati Cantika,
Ketulusannya pada Cantika tergambar jelas dari sikapnya pada Cantika, dan nyatanya anak-anak yang hatinya masih bersih selalu mampu membedakan mana orang yang sungguh-sungguh menyayangi mereka dan mana yang hanya sekedar basa-basi,
Dan hal ini, adalah salah satu alasan juga untuk Linda bisa terus bersama Joni, bagaimanapun caranya.
...****************...
"Bunda kenapa sih Tan?"
Ari, anak suluh Anita dan Joni tampak berjalan mendekati Rahma, tantenya yang kini sedang sibuk chat dengan seseorang,
"Yah, kenapa Ri?"
Tanya Rahma, meminta Ari mengulang pertanyaannya,
"Bunda, dia sepertinya sedang sedih, ada apa?"
Tanya Ari akhirnya mengulang,
Rahma yang ditanya demikian pastinya langsung bingung harus menjawab apa, menjelaskan apa yang terjadi tentu hanya akan membuat keponakannya itu malah banyak pikiran,
"Tidak apa, sedang pusing saja masalah pekerjaan, tadi diajak ngobrol Tante juga katanya lagi pusing,"
Kata Rahma akhirnya membohongi Ari,
Bersamaan dengan itu di luar rumah berisik suara bocah,.
"Riaaaan... Riaaaan, ayok berangkaaat,"
Rahma menoleh ke arah ruang depan yang bisa terlihat dari sofa ruang tengah karena posisi rumah kakaknya memang ruangannya dibuat tidak banyak sekat,
"Teman-teman Rian ya Ri?"
Tanya Rahma,
Ari tampak menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa dengan malas, lalu mengambil remote untuk menyetel TV,
"Biasa pada mau main futsal,"
Kata Ari menyahuti tantenya, yang selang beberapa detik tampak Rian berlari dari lantai dua, menuruni anak tangga dan kemudian menuju Tantenya,
"Tan, pamit main futsal, Bunda pergi ya,"
Kata Rian,
"Bunda di kamar,"
Sahut Ari tanpa menoleh pada sang adik,
"Tidak apa, pergilah, nanti Tante yang pamitkan pada Bunda,"
Kata Rahma,
"Oke deh tanteku yang cantik, Um Firman tidak pernah datang sih,"
Kata Rian sambil meraih tangan Rahma dan mencium punggung tangannya,
"Lagi sibuk, nanti kalau sudah tidak sibuk Tante ajak main lagi,"
Jawab Rahma,
"Yo i Taaan..."
Sahut Rian, yang kemudian berlari sambil menenteng sepatu futsalnya,
"Kamu tidak ada kegiatan Ri akhir pekan begini?"
Tanya Rahma pada anak sulung kakaknya,
Ari menggeleng,
"Kegiatan apa? Enak juga di rumah, malas keluar juga, tadinya sudah janjian sama Ayah mau climbing malah dia pergi,"
Kata Ari kesal,
Rahma tersenyum kecut mendengar jawaban Ari,
Sudah bukan rahasia memang, jika Ari sejak kecil memang sangat dekat dengan Ayahnya,
Kesibukan Bundanya yang bisa dikatakan lebih banyak waktu dihabiskannya di kantor, membuat Ari tak bisa menikmati kebersamaan dengan sang Bunda,
Untungnya Ayahnya yang hanya merupakan pengusaha jual beli mobil dan motor bekas memiliki waktu yang lebih fleksibel,
Ayah tak selalu harus berangkat pagi ke showroom miliknya, pun juga tak harus seharian berada di sana hingga kapanpun Ari dan Rian membutuhkan figur orangtua, Ayah akan selalu punya waktu untuk itu,
Namun, sayangnya beberapa bulan terakhir Ayah mulai pelahan berubah, ia tak lagi seperti dulu, yang selalu ada waktu untuk dihabiskan bersama dengan Ari,
Kadang naik motor bareng, kadang climbing, kadang main bulutangkis dan kadang juga sekedar ngopi di warkop atau juga kadang di cafe langganan mereka,
"Ayah main gila lagi ya Tan?"
Tiba-tiba pertanyaan itu terdengar dari mulut Ari, yang tentu saja membuat Rahma yang semula sedang kembali sibuk berbalas chat dengan seseorang tampak terkejut dan memandangi keponakannya,
Ari menatap tajam tantenya, tampak ia seperti berusaha menuntut jawaban jujur dari adik Ayahnya,
"Ke... kenapa kamu tanya begitu sih Ri? Ada-ada saja,"
Rahma tampak berdiri dari duduknya, baginya segera menghindari Ari adalah hal paling tepat saat ini,
"Sudah kamu nonton TV saja, Tante mau minta bikin jus ke si mbok,"
Kata Rahma kemudian sambil buru-buru pergi,
Yang tentu saja, sikapnya itu malah membuat Ari jadi tambah yakin jika memang ada sesuatu yang sedang melanda keluarganya, dan itu pasti adalah Ayahnya yang membuat kesalahan,
Jadi benar bukan hanya urusan pekerjaan?
Tulis Rahma dalam chat nya kepada seorang teman kakaknya,
Rahma mengenalnya karena teman kakaknya itu sudah dekat sejak sang kakak masih kuliah,
Bang Robi, teman Joni itu bahkan sudah sering menginap di rumah mereka,
Yah, kurasa kau sudah tahu, tanpa aku harus bicara pun pasti kau sudah tahu apa yang terjadi sebetulnya.
Balas Bang Robi,
Membaca balasan teman Kakaknya, Rahma tampak menghela nafas, gadis itu duduk di kursi ruang makan sambil mengurut kening,
Benar Kakaknya berbuat sesuatu yang bodoh lagi, mengulangi kesalahan lagi yang padahal sudah diwanti-wanti Ibu mereka, jika ia sama sekali tidak ridho jika sampai Anita menantu kesayangannya di sakiti,
Rahma lantas berjalan ke dapur, di mana si mbok sedang menyiapkan makan siang untuk majikannya,
"Mbok, aku dibuatkan jus alpukat ya, nanti,"
Kata Rahma,
"Oh, iya Non, nanti selesai masak nggih,"
Kata si mbok,
Rahma mengangguk,
"Ya Mbok, susunya sedikit saja,"
Kata Rahma lagi,
Si mbok mengangguk,
Lalu Rahma melangkah lebih dekat pada si mbok, sambil ia sesekali melihat keluar dapur takut ada yang akan mencuri dengar di sana,
"Mbok,"
Panggil Rahma dengan suara lirih,
"Ya Non, ada apa?"
Tanya si mbok,
"Dulu, Mbok pernah bilang ka aku kalau Bang Rojak menemukan sesuatu di mobil Mas Joni saat membawanya ke bengkel, apa Mbok masih simpan?"
Tanya Rahma,
"Oh, masih Non, masih, kan kata Non Rahma disimpan dulu saja tunggu Non Rahma ke sini,"
Ujar Si Mbok,
Tampak Rahma mengangguk,
"Bang Rojak tidak bilang ke siapa-siapa kan Mbok?"
Tanya Rahma lagi,
Si Mbok tampak menggeleng,
"Tidak Non, tidak berani, dia hanya bilang ke saya, dan malah dia juga yang minta saya bilangnya ke Non Rahma saja, jangan ke Bu Anita, kasihan kata Rojak,"
Tutur si Mbok,
Rahma mantuk-mantuk lagi,
"Diambil saja Non barangnya ada di kamar Mbok, di laci lemari pakaian Mbok,"
Kata si mbok pula,
Rahma pun mengangguk, ia lantas berjalan cepat keluar dari dapur untuk menuju kamar si Mbok,
Ia harus benar-benar memiliki bukti untuk memarahi kakaknya,
Ya, jika benar ia main perempuan lagi, jika benar ia menyakiti dengan sengaja perempuan sebaik Kak Anita untuk kesekian kali, maka Rahma sebagai adik ikut tidak terima,
Bagi Rahma, kakak iparnya adalah dewi yang tak bisa digeser siapapun di dalam keluarga,
Tak ada ipar sebaik dia, setulus dia, sesempurna dia, tidak ada, tidak akan semudah itu mendapatkannya lagi,
Rahma masuk ke dalam kamar si mbok, ia lalu mendekati lemari pakaian si mbok, membukanya dan langsung membuka laci lemari itu,
Dan...
Rahma matanya terbelalak, melihat sesuatu yang dibungkus plastik dan disimpan di lemari si mbok,
Diraihnya bungkusan plastik tersebut dengan tangannya yang tergetar,
"Perempuan binatang,"
Geram Rahma sambil meremas sesuatu yang ada di bungkusan plastik tersebut,
Rahma yakin perempuan itu sengaja meninggalkan ****** ***** berbahan sangat tipis itu di mobil kakaknya, setelah mungkin mereka melakukan hal menjijikan di sana,
Rahma sangat jijik, kesal dan marah serta ingin muntah,
"Perempuan macam begini harus diberi pelajaran."
Kata Rahma.
...****************...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!