NovelToon NovelToon

MENIKAHI PERAWAN TUA (IBU ANGKAT ANAKKU)

Episode 1

"Kasihan ya"

"Iya kasihan sekali"

"Sepertinya baru beberapa hari"

"Kulitnya masih berwarna merah"

"Tega sekali orang tuanya"

Kerumunan orang-orang mengelilingi halaman depan pos keamanan dengan suara desas-desus yang memenuhi area sekitar.

Hampir semua warga ingin melihat sesuatu yang membuat mereka penasaran, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa berkumpul sambil menduga-duga apa yang sebenarnya terjadi.

Pagi itu, daerah Kartana dihebohkan dengan penemuan seorang bayi yang terdampar di depan pos satpam. Motif pembuangan bayi baru lahir ini terjadi dan membuat gempar seluruh daerah serta warga yang melintas.

Pak satpam yang berjaga keliling tidak melihat siapa orang yang membuang bayi malang tersebut, ia pun baru tahu ketika salah satu warga memberitahunya.

Di tahun itu belum banyak warga yang mempunyai cctv, kawasan mereka bukan kawasan elit seperti komplek perumahan, membuat informasi yang didapat sangatlah minim untuk diketahui.

Kehebohan terus berlangsung ramai, tak ada yang berani membawa bayi itu, seluruh warga hanya berdiri sambil melihat sesosok bayi di dalam keranjang.

Seorang perempuan muda yang pagi ini akan berangkat kerja seketika dibuat terheran dengan sekumpulan orang banyak yang memenuhi halaman pos satpam.

Adira Mahayu memicingkan kedua matanya ke arah puluhan orang-orang itu, kepalanya bertanya-tanya apa yang sedang diributkan oleh para warga sekitar.

Rasa penasaran Adira muncul, kaki jenjangnya melangkah kembali sambil mendekati kerumunan tersebut.

Bisik-bisik para tetangga membuat Adira akhirnya bertanya, karena sangat sulit untuk Adira melihat peristiwa yang terjadi di depan.

"Bu Marni, ini ada apa ya? Kenapa semua orang berkumpul disini?"

"Eh Adira, memang kamu belum tau? Ada bayi yang di buang di depan pos satpam, kasihan sekali" jawab perempuan berusia matang itu.

"Apa??!!" Tak bisa menutupi keterkejutannya Adira spontan berteriak kaget.

"S-siapa yang membuangnya?"

"Belum ada yang tau, soalnya tidak ada satu pun warga yang melihat siapa pelaku yang membuang bayi itu. Sekarang kami sedang menunggu pak RT kemari" jelas Bu Marni.

"Gih kamu lihat, siapa tau bayi itu anak teman kamu" celetuk Bu Marni menyuruh Adira melihat dengan jelas.

Karena penasaran Adira menerobos kerumunan orang-orang sambil berdesak-desakan.

Hingga ketika ia sudah berada di barisan paling depan Adira bisa melihat seorang bayi mungil yang terlelap di dalam keranjang bayi.

Bayi itu nampak tertidur dengan damai meski suara-suara warga mengelilinginya.

Benar-benar bayi yang malang, kenapa ada yang tega membuang bayi seimut ini? Adira hanya menatap cemas tanpa bisa berbuat apa-apa.

Tak lama pak RT datang untuk melihat bayi tersebut, ditemani oleh istrinya.

"Ya Tuhan.... Apa yang terjadi?" Pak RT ikut terkejut melihat manusia kecil itu, tanpa pikir panjang pak RT langsung mengais bayinya.

"Jam berapa bayi ini ditemukan?" Tanya pak RT pada warga.

"Tadi pagi sekitar jam enam, pak RT" ujar salah satu warga.

"Ada yang melihat pelakunya?"

"Tidak, pak" ungkap warga lagi.

Pak RT semakin dibuat frustasi, ia pun kembali memandang bayi kecil dalam gendongannya, tatapan sendu mengarah pada bayi dalam balutan kain tersebut.

"Ya sudah, saya akan bawa dulu bayi ini ke rumah sambil membuat laporan pada polisi. Tolong beberapa warga ikut saya sebagai saksi, yang lainnya tolong jangan berkumpul disini dan kembali pada aktivitas kalian masing-masing" perintah pak RT yang langsung diiyakan warganya.

Seketika orang-orang bubar begitupun dengan Adira, dia berjalan lagi untuk berangkat bekerja meski rasa penasaran masih memenuhi pikirannya.

"Semoga keluarganya segera ditemukan, kasihan sekali bayi itu" gumam Adira berdoa.

Ia pun kembali melanjutkan kegiatan hariannya pagi itu.

***

Di kantor Adira langsung diserbu pertanyaan oleh rekan kerjanya, pertanyaan seputar berita yang baru saja menghebohkan daerah tempat tinggalnya ternyata sudah tersebar hingga ke telinga masyarakat.

"Ra, benar di daerah mu ada bayi yang dibuang?" Pertanyaan itu keluar bahkan sebelum Adira duduk di kursi kerjanya.

"Iya, Sya. Kasihan bayinya, tega sekali orang yang sudah membuang bayi itu. Seharusnya sekarang dia sedang dalam dekapan Ibu dan Ayahnya" lirih Adira teringat wajah sang bayi.

"Astaga, apakah orang yang membuang bayi itu orang tuanya sendiri?" Tanya Marsya.

"Tidak tau, Sya. Belum ada informasi yang pasti"

"Kalau benar orang tuanya sendiri aku benar-benar tidak menyangka, tega sekali mereka! Hanya mau membuat bayinya saja, selepas itu bayinya malah dibuang padahal banyak diluar sana yang berjuang agar bisa punya anak" nafas Marsya berderu menahan emosi, tangannya mengepal membayangkan kejahatan si pembuang bayi.

Adira mengangguk setuju, dulu Ayah dan Ibunya pernah bercerita jika mereka menanti kehadiran Adira selama sepuluh tahun pernikahan, kehadiran sangatlah patut disyukuri, mendengar berita ini membuat Adira ikut sedih berkali-kali lipat.

"Kita doakan saja semoga keluarganya cepat ditemukan dan membawa bayi itu kepada Ayah Ibunya" ucap Adira.

"Semoga saja, tapi..... Bagaimana jika tidak ada satupun dari keluarganya yang datang? Uhhh.... Kasihan sekali dia" Marsya berkaca-kaca ketika membayangkan hal tersebut, tidak tega melihat bayi terlantar tanpa keluarga aslinya.

"Jangan berpikir negatif dulu, Sya. Sekarang polisi sedang menindaklanjuti kasus ini, aku yakin keluarganya akan segera ditemukan" kata Adira dengan yakin.

"Kenapa kamu sangat yakin? Padahal kamu bilang belum ada informasi apapun terkait pembuangan bayi ini" ujar Marsya makin dibuat bertanya-tanya.

Adira berpikir sejenak, sebenarnya ia juga tidak tau pasti tetapi firasatnya berkata seperti itu.

"Bayi itu tidak dibuang di dalam kardus seperti yang biasa ada di berita-berita, bayi itu berada dalam keranjang bayi yang bisa diperkirakan harganya sangat mahal, bayi itu pasti berasal dari keluarga kaya, tak akan sulit menemukan identitas keluarga asalnya" jelas Adira menebak meski hanyalah dugaan semata.

"Tapi bisa saja kalau dia berasal dari keluarga yang berada, orang yang membuang bayi itu akan menutup rapat informasi tentang pembuangan bayi tersebut termasuk pelaku yang membuang bayi itu"

Lagi-lagi pendapat Marsya ada benarnya, Adira setuju dengan opini dari rekan kerjanya ini, banyak kemungkinan yang terjadi, bisa saja bayi itu akan kesulitan kembali pada keluarganya karena informasi yang sengaja ditutupi oleh si pelaku yang kemungkinan masih berasal dari keluarganya sendiri.

"Sekarang bayi itu dengan siapa?"

"Bayinya di bawa ke rumah pak RT untuk sementara, tidak mungkin dibiarkan terus di depan pos keamanan. Dia harus mendapat kehangatan di dalam ruangan" Adira memberitahu.

"Apa kamu tahu jenis kelamin bayinya?"

"Aku dengar laki-laki" jawab Adira.

Keduanya sama-sama merenung memikirkan nasib sang bayi, sebenarnya sudah banyak berita tentang bayi yang dibuang, tetapi karena hal ini terjadi tak jauh dari tempat mereka tinggal membuat keduanya jadi ikut kepikiran.

Tiba-tiba sebuah pertanyaan mengejutkan Adira.

"Apa kamu tidak berniat mengadopsinya, Ra?"

Episode 2

Mata Adira terbuka sepenuhnya, sontak ia menoleh pada sang sahabat. Pertanyaan Marsya sungguh diluar nalar, bagaimana mungkin Marsya bertanya seperti itu pada wanita lajang sepertinya.

"Mana bisa, aku belum pernah memiliki pengalaman mengurus anak. Aku juga belum menikah, bagaimana jika suatu saat calon suamiku keberatan dengan anak yang aku angkat?" Ujar Adira berbalik tanya.

Memang ia kasihan, tetapi Adira tidak pernah berpikir sejauh itu sampai berniat mengadopsinya. Mengurus diri sendiri saja masih kerepotan apalagi mengurus seorang bayi yang butuh pengetahuan dan wawasan.

"Ya sudah pilih calon suami yang menerima anak angkat saja, kalian bisa membuat kesepakatan terlebih dahulu" balas Marsya dengan gampangnya.

Adira mendengus akan perkataan Marsya, ia menggeleng sebagai penolakan.

"Tidak semudah itu, mengadopsi seorang anak tidak bisa dilakukan jika hanya karena rasa kasihan semata. Untuk saat ini aku hanya ingin memiliki anak dari rahimku sendiri" ungkap Adira dengan tegas, selagi ia bisa melahirkan seorang anak Adira tak mau gegabah mengadopsi anak orang lain. Banyak yang harus dipertimbangkan, wanita lajang yang belum pernah menikah sepertinya harus berpikir ratusan kali, berbeda dengan wanita yang sudah pernah menikah.

"Lalu, kenapa bukan kamu saja yang mengadopsi?" Lanjut Adira.

"Kamu kan tau aku akan segera menikah, calon suami ku mana mungkin memberi izin mengadopsi seorang anak. Lagian masa sih baru juga mau bikin anak mendadak sudah muncul saja bayi diantara kami" jawab Marsya agak nyeleneh, meskipun jawabannya serupa dengan Adira.

Adira memutar bola mata malas mendengar perkataan ambigu temannya, walau hal itu membuat Adira sedikit iri karena Marsya sebentar lagi akan menikah berbeda dengan dirinya yang masih melajang.

"Aku pun begitu. Sudahlah... Ayo kita kembali bekerja, pekerjaan ku banyak hari ini"

Marsya lantas kembali ke meja kerjanya, keduanya memulai pekerjaan hingga sore menjelang.

***

Sepulang dari bekerja Adira langsung pulang ke rumah, saat melewati rumah pak RT ada beberapa polisi disana, Adira tebak mereka sedang menangani kasus pembuangan bayi tadi.

Langkah Adira berhenti tepat di depan bangunan itu, ia hanya menatap sambil mengedarkan pandangan mencari-cari dimana bayi itu berada, apakah sekarang bayinya masih disini? Adira tak berani bertanya karena takut mengganggu petugas.

Ia kemudian kembali berjalan hingga sampai di rumah.

Aroma masakan menyambut Adira ketika ia membuka pintu utama, wangi masakan Ibundanya memang selalu membuat Adira ngiler, ia masuk ke dapur dimana wanita paru baya yang masih sangat cantik itu tengah menggoreng sesuatu.

"Sore, Bu"

Sang Ibu menoleh dan mendapati putri semata wayangnya disana.

"Sudah pulang, nak?"

Adira mengangguk dan mencium tangan Nadin, Ibundanya.

"Ibu masak apa? Adira jadi lapar mencium aromanya"

"Tumis buncis, tadi tetangga sebelah kasih Ibu sedikit buncis dari hasil panen kebunnya. Jadi Ibu langsung masak saja sekalian buat makan kamu pulang" kata Nadin sambil mengoseng masakan.

Adira manggut-manggut sambil terus memerhatikan kegiatan orang tuanya, tiba-tiba Adira teringat lagi bayi tadi.

"Bu, sudah tau belum ada bayi yang dibuang di daerah kita?"

"Iya, Ibu lihat tadi pagi jam 9. Ibu langsung ke rumah pak RT berbarengan dengan tetangga yang lain, kasihan sekali dia masih baru beberapa hari dilahirkan" Nadin turut sedih melihat keadaan sang bayi.

"Apa sudah ada informasi lebih lanjut lagi? Apa keluarganya sudah ada yang ditemukan?" Adira memberondong pertanyaan sangking penasaran.

"Katanya belum ada, semua informasi masih membutuhkan waktu beberapa hari. Untuk sementara bayi itu akan diurus oleh Ibu RT" jelas Nadin bercakap.

"Padahal bayinya sehat dan sangat tampan, seharusnya mereka bersyukur diberikan keturunan yang sempurna. Bayi itu juga tidak rewel meski hanya diberi susu formula, Ibu tidak tega kalau membayangkannya" sambungnya lagi.

Adira termangu merasakan kepiluan, tadinya ia harap saat pulang bisa mendengar kabar baik terkait bayi itu, namun yang didapat masih kabar yang sama.

"Kalau dugaan Ibu, bayi itu dibuang oleh orang tuanya sendiri. Bisa jadi karena faktor ekonomi atau karena mental mereka belum siap untuk menjadi orang tua, hingga tanpa berpikir lebih jernih lagi akhirnya mereka membuang bayinya sendiri. Huftttt.... Itulah kenapa kita harus berhati-hati dalam memikirkan resiko ke depannya, ini juga pelajaran bagi kita semua terutama kamu yang mungkin sebentar lagi akan menikah dan memiliki keturunan, harus dipikirkan apakah sudah siap secara keseluruhan jangan sampai nantinya malah terjadi hal yang tidak diinginkan" petuah Nadin pada putri cantiknya ini, sebagai seorang wanita dan seorang Ibu ia tentu perlu memberi nasihat untuk Adira di masa depan.

Menginjak usia yang dewasa entah dua atau tiga tahun lagi mungkin jodoh Adira akan datang, meski kini Adira belum mengenalkan siapa-siapa tetapi Nadin yakin akan banyak lelaki yang berniat meminang putrinya untuk dijadikan seorang istri.

Dengan demikian sudah menjadi kewajiban Nadin untuk memperingati Adira kapan waktu yang tepat untuk memiliki keturunan.

"Usia Adira baru 23 tahun, Bu. Adira belum bisa memberi Ibu dan Ayah apa-apa, Adira belum memikirkan soal menikah" tutur Adira terkekeh.

"Bagi Ibu dan Ayah adanya kamu sudah lebih dari cukup, kami tidak minta apapun yang penting kamu sehat dan bahagia, itu saja! Kalau memang ada yang berniat melamar kamu dan kamu mau, kami sebagai orang tua tentu akan mendukung asalkan dia pria baik dan bisa jadi pendamping setia untukmu" Nadin tersenyum lembut sambil memandang Adira sekilas.

Ucapan Ibunya membuat Adira terharu dan berkaca-kaca, tanpa bisa dicegah Adira memeluk sang Ibu saat itu juga.

"Adira sayang Ibu dan Ayah" ucap Adira tercekat.

"Ibu juga sayang padamu, kamu akan selalu menjadi putri kecil Ibu sampai ajal menjemput kami" balas Nadin mengusap lembut surai hitam milik Adira.

Hati wanita muda itu bergetar saat mendengarkan penuturan sang Ibu, entah kenapa seperti ada sesuatu yang berbeda padahal Ibunya bukan sekali mengatakan hal demikian.

Adira hanya terdiam karena tak bisa mengeluarkan suara, rasanya ingin menangis kencang tetapi tenaganya sudah habis terkuras seharian ini.

Ia belum siap jika harus kehilangan orang tua tercinta, Adira tak memiliki siapa-siapa selain mereka, ia anak tunggal dan tak punya teman untuk berbagi cerita juga beban hidupnya.

Keinginan sang Ibu adalah mereka ingin bisa menemani Adira sampai tahan pelaminan, memastikan putri semata wayangnya mempunyai teman hidup dan tepat.

Adira mengerti kenapa kini orang tuanya sering menyinggung tentang pernikahan, tetapi Adira tak mau memaksakan kehendak, ia belum siap dan tak akan memaksa, takut terjadi hal yang tak diinginkan.

"Sudah, sekarang kamu mandi sana. Ibu mau menyelesaikan masakan ini" titahnya yang langsung dilaksanakan oleh Adira.

Ia pun pergi dari dapur dan masuk ke dalam kamar guna membersihkan diri.

Episode 3

Adira keluar kamar setelah mencuci muka dan menggosok gigi, saat Adira melangkahkan kakinya ke ruang tengah ia disambut oleh pemandangan dua koper besar milik orang tuanya.

Disana sang Ibu sedang sibuk mem-packing barang-barang ke dalam koper, tak menyadari kedatangan putrinya yang masih berdiri memperhatikan.

"Ibu mau kemana?" Seru Adira mengagetkan perempuan paru baya disitu.

Nadin pun menoleh, lalu kembali lagi pada aktivitasnya.

"Ibu dan Ayah kan mau malang, kamu lupa ya?"

Adira mengerjap sembari mengingat-ingat, mungkin memang Adira tak ingat jika orang tuanya pernah berkata begitu.

"Memang ada acara apa kalian ke malang?"

"Kami mau mengunjungi makam Mbah mu, mumpung Ayah sedang libur tiga hari kami manfaatkan untuk ziarah kesana" jelas Nadin disertai senyum lembut penuh kerinduan.

Adira langsung melayang protes pada sang Ibu.

"Lho, Adira kan juga mau ikut! Kenapa tidak tunggu akhir bulan saja agar Adira bisa mengajukan cuti?" Tuntutnya merengek.

"Kalau dinanti-nanti yang ada malah tidak jadi, kita bertiga bisa kesana lain kali. Sekarang Ibu dan Ayah sedang ingin sekali kesana, Ibu sudah sangat rindu bertemu mendiang kakek dan nenekmu" ujarnya memberi Adira pengertian, tadinya memang ia dan sang suami berencana ke malang bertiga bersama Adira. Namun karena mengetahui putri mereka sedang sibuk-sibuknya dan tak mungkin dipaksa untuk mengambil cuti sekarang mereka pun sepakat untuk ke malang berdua saja.

Bukan tak sabar menunggu, akan tetapi seiring dengan mendiang orang tuanya yang sering datang ke dalam mimpi membuat Nadin tak bisa menunggu lama lagi.

Dan besok ia serta suaminya akan berangkat ke malang setelah mengantarkan Adira bekerja sekaligus berpamitan.

Bagas, sang Ayah muncul dari balik pintu kamar sambil membawa pakaian yang bertumpuk.

"Kenapa mukamu begitu?" Timpal Bagas melihat ekspresi Adira.

"Berapa lama kalian ke malang?" Tak menjawab pertanyaan Bagas, Adira justru menanggapinya dengan pertanyaan lagi.

"Cuma dua hari, mengejar cuti Ayahmu saja" balas Nadin.

Adira menghela nafas panjang, ia juga rindu dengan mendiang kakek dan neneknya, tapi Adira belum diberi waktu untuk kesana, ia juga tak bisa mencegah niat baik Ibu dan Ayahnya untuk berziarah hanya karena dirinya tak bisa ikut.

"Kamu berani kan tinggal sendiri disini selama kami pergi? Kamu kan sudah dewasa, apalagi cuma dua hari" kata Bagas tanpa berhenti mengemasi pakaian-pakaiannya.

"Iya Adira berani kok, asal kalian jangan terlalu lama disana kalau tidak Adira akan nekat menyusul" sambung Adira bernada serius.

Tetapi Bagas dan Nadin justru tertawa kecil, mereka mengira kata-kata Adira hanyalah sebuah candaan belaka.

"Tidak akan lama, Ayah tidak bisa memperpanjang cuti. Yang ada Ayah dipecat dari kantor" tutur Bagas bergurau.

"Makanya cepat menikah supaya ada yang menemani kamu setiap waktu" lanjut Bagas merecoki Adira tak jauh seperti istrinya.

Adira hanya tersenyum malas, tau jika Ayahnya tengah menggoda Adira dengan mengaitkan seputar pernikahan.

"Jangan mulai, Yah"

"Mulai apa?" Bagas pura-pura tak paham.

"Sudah ah, Adira mau bantu Ibu dan Ayah beres-beres barang bawaan. Sini Bu biar Adira saja" Adira duduk dan merebut apa yang ada ditangan Ibunya, merapikan peralatan yang akan dibawa, ketiganya berbincang sambil sesekali melepas tawa hingga tanpa terasa jam dinding sudah menunjukkan angka sepuluh. Akhirnya mereka menyudahi kegiatan lalu beranjak menuju kamar.

***

Hari ini Adira masuk agar siangan, ia bisa membantu menggantikan Ibunya ke pasar lantaran Nadin sibuk kembali berbenah.

Pukul tujuh Adira sudah kembali dari pasar, ia membawa jinjingan kresek dikedua tangan.

Dari jauh Adira melihat Ibu RT yang tengah duduk sembari menggendong seorang bayi. Dengan penuh semangat Adira mempercepat langkahnya.

Ia menghampiri wanita tersebut sambil menyapa.

"Pagi Bu, RT" sapa Adira ramah.

"Eh Adira, habis dari pasar ya?" Melihat kantung belanjaan Adira.

"Iya, Bu RT"

"Bu Nadin nya kemana? Tumben kamu yang ke pasar"

"Ibu lagi sibuk beres-beres barang, soalnya hari Ibu mau ke malang dengan Ayah" ungkap Adira sambil mencuri pandang pada bayi imut itu.

"Kamu juga ikut, Ra?"

"Enggak Bu, Adira tidak ikut karena belum boleh mengajukan cuti"

"Memang ada acara apa orang tua kamu ke malang?" Tanya Bu RT menggali informasi.

"Mau mengunjungi makam Mbah"

"Ohh...." Balasnya ber oh ria.

Pandangan Adira sudah terkunci pada wajah lucu bayi mungil ini, mulut yang menguap membuat Adira gemas ingin mencolek pipi gembul itu.

"Baik banget bayinya, apa gak rewel Bu?"

"Sama sekali enggak, kalau nangis paling minta susu atau karena popoknya penuh. Pagi ini mumpung cuacanya cerah jadi sengaja di jemur supaya dapat vitamin D" jelas wanita berdaster itu, mengayunkan si bayi dengan gerakan kecil.

"Lucunya....." Lirih Adira.

"Mau coba gendong?" Tawar Bu RT.

Adira berpikir sejenak, ingin sebenarnya menimang sebentar tetapi Adira baru saja dari pasar takut ada virus yang menempel di badannya dan malah berpindah pada sang bayi.

"Nanti saja Bu kalau saya sudah bersih, sekarang masih bau karena habis dari pasar" tolak Adira halus meski hatinya sangat ingin memindahkan bayi itu padanya.

Bu RT pun mengangguk paham.

"Bayinya sudah punya nama belum, Bu?"

"Belum, saya gak berani memberikannya nama" tukas Bu RT.

Adira manggut-manggut tanda mengerti, mungkin memang keluarganya yang berhak memberi nama pada bayi itu, meski tidak tahu kapan si bayi akan bertemu dengan sanak keluarga.

"Kalau keluarganya masih belum ditemukan bagaimana dengan nasib bayi ini, Bu RT?" Tiba-tiba kalimat itu keluar begitu saja dari mulut Adira, ia mengusap lembut pipi chubby si mungil dengan jari telunjuknya.

"Kalau memang identitas keluarganya tidak di temukan, mungkin bayi ini akan diserahkan pada panti asuhan. Sebenarnya kasihan dan tidak tega melihatnya, tapi kami juga tidak bisa membantu lebih jauh" sahut Bu RT berlirih, sebagai seorang Ibu ia tentu merasakan kesedihan yang dialami oleh bayi dalam gendongannya ini, Ibu mana yang tega menelantarkan seorang anak dengan usia yang baru beberapa hari di dunia.

"Ra....."

"Iya Bu?" Sahut Adira.

"Kamu tidak berniat mengadopsinya? Umur kamu sudah cocok memiliki seorang bayi" celetuk Bu RT.

Lagi-lagi Adira termangu akan kalimat tanya dari istri RT nya ini, sudah dua kali Adira mendapatkan pertanyaan yang sama dari orang yang berbeda

Tapi tetap, ia belum ada niat mengadopsi bayi tersebut.

Adira hanya tersenyum kaku, "Adira belum siap Bu, masih mau fokus dulu bekerja. Mungkin suatu saat nanti ada orang baik yang mau menjadikan bayi ini anak angkatnya"

"Anaknya baik dan tampan, pasti banyak yang menginginkannya. Adira yakin" tambah Adira, memandang rinci manusia kecil yang terbalut kain berwarna biru yang tengah tertidur menikmati hangatnya matahari pagi.

Tangan mungilnya menggenggam erat jari telunjuk Adira, seolah tak ingin ia beranjak pergi.

Tapi sayang Adira harus segera pulang ke rumah, dengan terpaksa ia menarik jarinya hingga genggaman itu pun terlepas. Membuat sang bayi terusik dan perlahan menangis tanpa disangka.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!