NovelToon NovelToon

Aku Memilih Diam

Hidup menumpang

...Titik kekecewaan wanita yang tertinggi adalah diam. Diam karena sudah merasa lelah sebab mengeluh pun sia-sia. Diam karena marah-marah pun percuma. Diam karena tak ada yang peduli padanya....

Begitu pula yang dirasakan oleh Arinda Rahma, wanita 27 tahun yang telah menjadi seorang ibu beranak satu. Dia dan keluarga kecilnya masih numpang di rumah orang tuanya. Suaminya hanya pekerja pabrik sedangkan Arin tidak bekerja karena anaknya masih menyusui.

"Rin, kalau sedang senggang jangan main hp mulu. Ini mainan anakmu dibereskan," tegur sang ibu.

Arin memutar bola matanya jengah. "Iya, Bu. Ini ada yang pesan barang sama aku," jawab Arin.

"Beli satu doang balasnya sejam," gerutu sang ibu. Arin sudah biasa mendengar kata-kata pedas dari ibunya. Dia hanya ingin membantu suaminya dengan membuka bisnis online agar kerjanya bisa sambil mengasuh anaknya yang sebentar lagi berusia dua tahun.

Arin pun segera memberesi mainan anaknya. Namun, baru saja ditaruh di tempatnya. Anaknya kembali mengobrak-abrik mainan itu. Arin membiarkannya sejenak hingga anaknya selesai bermain.

Tring

Sebuah pesan masuk dari customernya. Arin segera membalas chat dari customer itu. Sesaat kemudian ketika ibunya sedang berjalan, dia tak sengaja menginjak salah satu mainan anaknya.

"Mainan berserakan begini dibiarin aja. Hape mulu yang dipegang kerjaan nggak ada yang beres," gerutu sang ibu. Arin hanya bisa mendengus kesal tapi dia tak membantah omongan ibunya.

Wanita itu meletakkan hpnya lalu memberesi mainan anaknya lagi. Arin mencoba berbicara pada anaknya. "Sayang, kalau mainan jangan dilempar ke mana-mana ya," ucapnya menasehati anak yang baru bisa berjalan itu.

Tapi dasar anak-anak mereka dinasehati pun percuma karena mereka belum mengerti. Apalagi seusia Flora. Anak kecil itu hanya nyengir ketika sang ibu berbicara.

"Bagaimana ibu bisa marah padamu jika senyummu membuat hati ibu meleleh," ucapnya pada sang anak.

Hari sudah mulai sore, Arin akan memandikan Flo. Karena dia masih kecil jadi Arin menyalakan kompor untuk memasak air. Setelah menyalakan kompor Flora menghampiri ibunya. "Ibu, mimik, mimik," rengek Flo. Arin pun membawanya ke kamar.

Matanya yang mengantuk membuat Arin tertidur. Tak lama kemudian ibunya berteriak. "Arin, ini yang masak air kamu?" tanya sang ibu. Arin pun berlari ke dapur.

"Iya, Bu. Maaf aku lupa mematikan kompornya. Flo ngajak ne*nen," ucapnya dengan jantung berdebar karena takut kebakaran.

"Lain kali kalau lagi masak air ditungguin aja. Ini lama-lama gasnya cepat habis kalau kamu begini caranya," omel sang ibu.

"MasyaAllah. Beginilah rasanya hidup numpang di rumah orang tua. Mas kapan kita pindah dari sini?" batin Arin menjerit.

Arin pun hanya bisa diam tanpa menjawab omelan ibunya. Dia memandikan anaknya setelah itu mengajaknya bermain.

"Flo sudah makan apa belum?" tanya Bu Nia pada Arin.

"Iya, Bu. Ini baru aku mau ambilin nasinya." Arin berjalan menuju ke dapur.

"Kalau anak sore gini jangan dibiarkan kelaparan." Lagi-lagi ibunya mengomel. Tapi ya sudahlah, pikir Arin. Ibunya memang seperti itu.

Menjelang petang, suaminya pulang. "Assalamualaikum, Dek."

"Waalaikumsalam, Ayah," jawab Arin. Dia senang sekali suaminya kembali. Flora pun berlari ke arah ayahnya.

"Ayah." Flo ingin memeluk Ikbal tapi Arin melarang.

"Ayah biar cuci tangan dulu ya sayang. Nanti peluk ayah kalau ayah sudah mandi. Jadi baunya wangi," ucapnya memberi pengertian pada sang anak.

"Ya sudah aku ke belakang ya sayang," pamit Ikbal pada istrinya.

Ikbal dan Arin adalah teman sejak SMP. Tapi mereka baru mulai menjalin hubungan ketika Arin sudah bekerja. Saat itu mereka bertemu ketika ada acara reuni. Ikbal terpesona dengan kecantikan Arin yang natural tanpa make up berlebih.

Sikap Arin yang disegani banyak temannya karena dia dulunya anak yang berprestasi di sekolah juga menjadi daya tarik tersendiri. Bahkan kebanyakan pemuda di desanya memperebutkan cinta Arin. Mereka berlomba-lomba mendapatkan perhatian Arin. Tapi sayangnya gadis itu hanya tertarik pada Ikbal.

Wajah tampan dan postur tubuh tinggi serta kulit putih membuat Arin tak bisa menolak pesona Ikbal. Karakter Ikbal yang dingin di luar tapi lembut di dalam membuat Arin bersedia menerima pinangan laki-laki itu.

"Mas, mau aku buatin minuman apa?" tanya Arin pada suaminya.

"Biasa Yang kopi susu," jawabnya sambil tersenyum. Arin pun membalas senyuman suaminya. Selama menikah tak banyak pertengkaran yang berarti. Meski begitu mereka akan saling memaafkan satu sama lain.

"Rin, tawari suamimu makan. Pulang kerja dia tuh capek. Jadi istri nggak pengertian," tegur sang ibu.

"Ya Allah kalau bukan ibuku pasti aku sudah marah-marah. Astaghfirullah hal adzim," batin Arin dalam hati seraya mengelus dadanya.

"Mas aku ambilkan makan ya," tawarnya pada sang suami seraya meletakkan kopi susu kesukaan suaminya.

"Nggak usah, Dek. Aku sudah makan di luar. Diajakin makan sama teman-teman kerja tadi di warung bakso," jawabnya.

"Oh ya sudah," ucap Arin sambil tersenyum. Namun, Ikbal tidak akan diakui makan kalau ibunya itu belum lihat.

"Rin, suaminya ditawari makan," omel sang ibu.

"Bu, saya sudah makan di luar tadi," sela Ikbal dengan sopan.

"Nggak apa-apa. Makan lagi, nak," ucap ibunya dengan lembut.

"Ya Allah kalau sama mantu kesayangan aja suaranya dilembut-lembutin. Heran yang anak kandungnya itu aku apa Mas Ikbal sih," batin Arin kesal.

Setelah itu ibunya masuk karena Ikbal menolak makan lagi sebab perutnya sudah kenyang. Melihat istrinya yang cemberut Ikbal tahu kalau Arin sedang kesal. "Mukanya jangan ditekuk gitu, Dek," ledek Ikbal pada istrinya.

"Habisnya aku kesel mas sama ibu. Dia marah-marah mulu sama aku. Tapi kalau sama kamu ibu selalu berlaku halus," ungkapnya menyampaikan kekesalannya.

"Mungkin kamu melakukan kesalahan yang tidak kamu sadari," jawab Ikbal. Arin mengingat apa saja yang membuat ibunya kesal.

"Ya, aku memang banyak salah, Mas," ucapnya mengakui kesalahannya.

"Apa aja dek?" tanya Ikbal.

"Apa? Salahku?" tanya Arin memastikan. Ikbal mengangguk. Arin menghela nafas beratnya.

"Aku terlalu lama membalas chat customer. Flora berantakin mainan sampai tak sengaja terinjak oleh kaki ibu. Ibu mengira aku tak membereskan mainannya padahal aku sudah berkali-kali membereskan mainan. Tidak hanya itu aku tadi lupa mematikan kompor saat sedang memasak air," jawab Arin sambil mengerucutkan bibirnya.

"Makanya jangan kebanyakan main hp," tegur sang suami.

"Mas, aku main handphone kan buat jualan online. Kamu tahu kan gaji kamu itu pas-pasan jadi apa salahnya kalau aku sedikit membantumu," balas Arin.

Tanpa dia sadari ucapannya itu menyinggung perasaan suaminya. "Kamu kurang bersyukur. Selama ini semua gaji sudah kuberikan padamu. Jangan hanya menyalahkan aku seharusnya kamu pandai mengatur uang," bentak sang suami.

DEG

...♥️♥️♥️♥️...

Bagaimana Kisah Arin dan Ikbal selanjutnya?Assalamualaikum yuk ikutin novel berbau rumah tangga ini sampai akhir.

Komentar tetangga

...Apa yang orang lain lihat belum tentu sesuai dengan pemikiran mereka. Terkadang kenyataan beda dari ekspektasi....

Sadar jika ucapannya menyinggung perasaan suaminya, Arin pun meminta maaf. "Mas maaf jika kata-kataku kasar." Arin ingin memegang tangan Ikbal tapi dia cepat-cepat berlalu meninggalkan istrinya.

Ikbal memilih keluar dan menonton televisi bersama anaknya, Flora. Arin merasa bersalah. "Seandainya saja aku ini tidak mudah mengeluh mungkin suamiku tidak akan marah," batin Arin merasa menyesal.

Ikbal memilih diam. Arin ikut diam karena dia tak mau membuat suaminya semakin marah. "Flo, bobok di dalam yuk!" ajak Arin. Flo menolak. Dia masih ingin main.

Tak lama kemudian ibunya mengajak Flora ke rumah saudaranya yang tak jauh dari rumahnya. "Flo mau diajak ke mana Bu malam-malam begini?" tanya Arin cemas.

"Mau ajak ke rumah Bu Lekmu," jawab Bu Nia.

"Tapi ini kan sudah malam, Bu," larang Arin. Sang ibu memicingkan mata.

"Cuma sebentar. Lagian kok nggak bosen sih di rumah aja. Ibu aja bosen karena tidak bisa menonton televisi. Ibu mau nonton televisi di sana," ucapnya dengan ketus.

Arin merasa sang ibu sedang menyindirnya. Tapi Ikbal orang yang tidak peka. Dia begitu cuek dan dingin. Arin hanya memejamkan mata mengingat perkataan sang ibu. "Kalau mau negur kenapa nggak sama orangnya langsung sih?"

Arin merasa selalu jadi pelampiasan kemarahan ibunya. Dia merasa tidak adil karena tidak pernah menegur Ikbal secara langsung. "Sabar Rin, sabar. Kamu hanya numpang di sini," gumamnya dalam hati.

Sampai pukul sembilan malam, Bu Nia bum juga pulang ke rumah. Arin merasa gelisah. "Mas apa aku susul saja ya Flora di rumah Bu Lek?" Arin meminta pendapat suaminya.

"Nanti juga pulang," jawabnya dengan ketus. Arin pun tak jadi menyusul anaknya. Dia masih menunggu ibu dan anaknya pulang ke rumah. Namun, hingga setengah jam kemudian Bu Nia tak juga membawa cucunya pulang.

Ikbal memilih masuk kamar karena matanya sudah mengantuk. Sedangkan Arin mondar mandir di depan rumahnya. Ketika dia ingin menyusul Bu Nia pulang menggendong anaknya. Arin segera menghampiri Flora. "Kenapa lama sekali Bu pulangnya?" tanya Arin pada Bu Nia.

"Filmnya baru selesai. Lagi pula Flora masih belum mengantuk. Iya akan Flo?" tanya ibunya pada anak kecil itu.

"Belum mengantuk bagaimana Bu. Mata Flora sudah satu begini?" gumam Arin yang menggerutu. Bu Nia sayup-sayup mendengar ucapan anaknya itu. Dia hanya mendengus kesal.

Setelah itu Arin membawa Flora ke dalam kamar. Dia menyusui anaknya yang terlihat mengantuk. Arin melihat suaminya tidur dengan menutup mata menggunakan lengannya. Arin hanya menghela nafas. Mungkinkah suaminya itu masih marah? Karena sedari tadi dia irit bicara, pikir Arin.

Keesokan harinya Ikbal pergi bekerja tanpa berpamitan pada Arin. Arin semakin menyalahkan dirinya sendiri. "Apa perkataanku belum bisa kamu maafkan, Mas?" gumam Arin yang menatap kepergian suaminya.

Setelah itu, Flora menangis. Dia memanggil ibunya karena berada dalam kamar sendirian. Arin segera menghampiri anaknya. "Jangan menangis ya sayang." Arin mencoba menenangkan anaknya.

"Kenapa sih Rin pagi-pagi sudah berisik?" tegur ibunya.

"Flora baru bangun, Bu," jawab Arin.

Tring

Arin menerima pesan dari pembeli yang ingin memesan barang padanya. Dia pun segera membalas pesan dari customernya itu. Bu Nia tidak suka ketika pagi-pagi anaknya memegang handphone. "Mandiin dulu Flora, kamar juga dibersihkan. Cucian kamu tuh di belakang masih numpuk," omel sang ibu padanya.

"Iya, iya." Arin mendengus kesal.

Setelah membalas sebentar, Arin memandikan Flora. Namun, handphonenya terus berbunyi karena menanyakan banyak hal mengenai barang yang akan dipesan. Arin bekerja sebagai dropshiper barang-barang fashion seperti baju, tas dan sepatu online yang dipasok dari produsen. Dia hanya memajang foto di media sosial lalu menjualnya. Jika ada yang memesan barulah dia ambil barang.

Usai memakaikan baju pada Flora, Arin kembali memegang handphonenya. Dia jadi lupa menyisir rambut Flora. "Arin, Arin. Kamu ini kalau main handphone terus yang ada kerjaan kamu tidak akan beres," gerutu ibunya. Bagaimana Arin bisa mengabaikan chat yang datang dari pembeli. Bukankah pembeli itu raja?

"Ini tuh ada yang mau beli barang Bu," terangnya mencoba menjelaskan pada ibunya.

"Kamu jualan apa sih? Jualan kok nggak ada barangnya?" omelnya.

"Ya memang Arin kirim langsung dari produsen ke pembeli. Arin ini hanya perantara istilahnya," terang Arin yang masih bersabar menghadapi ibunya.

"Lagian mana ada pembeli yang nggak bayar? Kamu nggak narik?" tanya Bu Nia yang tidak mengerti soal pembayaran melalui rekening.

"Aku jelaskan pada ibu pun percuma," jawab Arin sambil berlalu meninggalkan ibunya. Dia mengajak Flora duduk di luar rumahnya.

"Kita main di sini aja ya Flo. Di dalam rumah bikin ibu stres menghadapi nenekmu," ucapnya pada balita yang belum mengerti itu.

Arin kembali membalas pesan yang masuk. Ketika ada tetangga yang lewat mereka menegur Arin. "Enak ya Rin, kamu tinggal ngawasin anak suami kamu yang kerja. Bisa sambil main hp lagi," sindir ibu-ibu itu.

Arin tidak menganggap kalau itu sindiran. Dia hanya menganggap kalau itu sebagai sapaan ibu-ibu yang lewat. "Iya, Bu." Arin mengangguk membenarkan.

Tapi setelah ibu-ibu itu pergi mereka mencibirnya di belakang. "Jadi istri kok pemalas. Kalau saya mah ogah punya menantu seperti dia," ucapnya membicarakan Arin dari belakang.

Ketika sore menjelang petang, suaminya pulang ke rumah. Flora dan Arin menunggu Ikbal di teras rumah seperti biasanya. "Mas, mau aku buatkan teh hangat?" tanya Arin. Dia berharap suaminya tidak lagi merajuk.

"Hm," jawab Ikbal sekenanya.

"Aku ke belakang dulu ya, titip Flora sebentar," ucapnya sebelum berjalan ke dapur.

Entah apa yang dilakukan oleh Ikbal hingga Flora tiba-tiba jatuh. Suaranya terdengar lantang di telinga Arin. Arin pun berjalan dengan langkah cepat menuju ke teras rumahnya. "Mas, Flora jatuh ya? Kenapa bisa sampai jatuh begini sih? Ya ampun kasian sekali kamu nak. Lututmu sampai berdarah gini. Mas apa kamu tadi tidak mengawasi Flora dengan baik?" cecar Arin.

Taulah bagaimana seorang ibu yang khawatir kala melihat anaknya terluka. Begitu pula yang sedang dirasakan oleh Arin. Dia khawatir bukan main ketika melihat lutut anaknya berdarah.

"Dia yang jalan kurang hati-hati. Tadi mau turun dari tangga malah kakinya tidak sampai," terang Ikbal yang membela diri.

"Ya ampun, kok kamu biarin dia turun tangga sendiri sih Mas? Flora kan masih kecil. Dia juga baru bisa berjalan," protes Arin.

"Jangan terus menyalahkan aku. Aku ini baru pulang kerja capek. Kamu tidak ada pengertiannya sama sekali," balas Ikbal lalu menuju ke kamarnya.

"Ya Allah apa aku salah lagi kali ini?" gumam Arin di dalam hatinya seraya menggendong Flora yang masih menangis.

Pinjam nama

Arin masih merenungi kesalahannya. "Semoga besok-besok aku tidak salah bicara lagi di depan suamiku," gumamnya sambil menidurkan Flora.

Ikbal tiba-tiba memakai jaket seperti hendak keluar rumah. "Mas, mau ke mana malam-malam begini?" tanya Arin.

"Ibuku meminta datang ke rumah," jawab Ikbal dengan ketus.

"Aku tidak bisa ikut, Mas. Flora baru saja tidur," kata Arin.

"Tidak perlu. Kamu di rumah saja." Ikbal melangkahkan kaki keluar kamar.

Arin tidak tahu apa yang akan dibicarakan mertuanya pada sang suami sehingga malam-malam begini memintanya datang.

Ikbal sampai setelah tiga puluh menit menempuh jarak dari rumah orang tua Arin ke rumah orang tuanya. "Assalamualaikum, Bu."

Sang ibu keluar. "Waalaikumsalam. Ayo masuk, kakakmu dan istrinya sudah menunggu di dalam," ucap sang ibu memberi tahu.

"Ada apa ini sebenarnya, Bu?" tanya Ikbal yang tak mengerti situasinya.

"Duduk, Bal," perintah sang ayah. Ikbal pun duduk di sebelah kakaknya.

"Kami mau minta tolong sama kamu."

"Apa yang perlu Ikbal bantu, Yah?" tanya Ikbal penasaran. Mereka terlihat serius.

"Kami ingin meminjam namamu untuk meminjam uang di bank," sahut Arif, sang kakak.

Ikbal terkejut dengan apa yang diucapkan oleh kakaknya. "Lalu kenapa harus meminjam namaku?" tanya Ikbal tak mengerti.

"Aku ingin memulai usaha mandiri dengan istriku apalagi ini mendekati lebaran, istriku ingin membuat usaha kue jadi aku butuh modal yang besar untuk memulai usaha," terang Arif.

"Kenapa tidak memakai namamu sendiri?" tanya Ikbal heran.

"Namaku sudah kupakai untuk meminjam uang di bank untuk membayar cicilan rumah, kami akan menjadikan tanah atas nama Ayah untuk dijadikan jaminan. Tapi kami minta kamu yang meminjam uang di bank. Kamu jangan khawatir uang itu aku yang akan bayar tagihannya tiap bulan. Kamu hanya perlu meminjamkan namamu saja," terang Arif panjang lebar.

"Sebaiknya kamu tidak usah bilang sama istrimu, dia pasti menolak kalau namamu dijadikan jaminan untuk meminjam uang," tutur sang ibu.

Ikbal berpikir ulang. "Jadi kamu hanya akan meminjam namaku saja bukan?" tanya Ikbal memastikan.

"Iya, hanya meminjam nama. Uang itu aku yang ambil jadi kamu tidak perlu membayar cicilan tiap bulannya. Aku yang akan bayar itu semua sampai selesai," tegas Arif.

Ikbal pun tak ragu setelah mendengar ucapan kakaknya. Setelah urusan dengan keluarganya selesai, Ikbal kembali ke rumah mertuanya. Memang dia masih menumpang di sana. Gajinya yang tak seberapa tak mampu untuk membangun rumah.

"Assalamualaikum," ucap Ikbal yang telah sampai di rumah.

"Mas, kok malam banget baru pulang?" tanya Arin.

"Iya," jawab Ikbal pendek. Dia melepas jaket kemudian merebahkan diri.

"Mas, apa kamu capek? Mau aku pijitin?" tanya Arin.

"Nggak usah, aku cuma pengen istirahat. Besok biar nggak kesiangan bangunnya," jawab Ikbal. Arin merasa aneh dengan sikap suaminya.

Arin pun memutuskan untuk tidur di sebelah Flora. Anak itu mencari-cari sumber ASInya ketika dia terjaga.

Keesokan harinya saat Arin akan membawa anaknya ke puskesmas untuk imunisasi lanjutan, dia tak melihat KTPnya di dompet. "Lho perasaan aku taruh sini KTPku," gumamnya.

Dia pun mencari-cari KTPnya di tempat lain tak tak juga menemukannya. Arin pun menunda untuk mencarinya lagi sebab hari sudah mulai siang. Dia harus antri di puskesmas untuk mendapatkan imunisasi bagi buah hatinya.

Wanita itu pergi menggunakan sepeda motor miliknya. Flora ditaruh di bagian depan. Dia sengaja membeli boncengan khusus balita agar memudahkan dirinya untuk ke mana-mana saat mengajak Flo.

Ketika sampai di puskesmas, Arin ikut mengantri di ruangan ibu dan bayi. Sebelum diberi imunisasi anaknya ditimbang terlebih dulu. "Berat badannya kurang ya, Bu," kata Bidan tersebut mengingatkan.

"Iya, Bu. Padahal makannya banyak, apa gara-gara dia nggak mau minum susu formula ya?"

"Bukan begitu, Bu. Kalau ASI cukup dan makan makanan bergizi berat badan akan naik signifikan. Tinggi badan juga akan mengikuti perkembangan sesuai usia anak," terang Bu Bidan tersebut.

Setelah itu Bidan memberikan suntikan imunisasi. "Ini nanti panas nggak ya, Bu?" tanya Arin.

"Biasanya kalau imunisasi lanjutan nggak panas, Bu. Tapi misal anaknya panas jangan khawatir nanti akan saya kasih obat penurun panas untuk jaga-jaga."

"Baik, terima kasih, Bu."

Usai melakukan imunisasi, Arin membawa Flora pulang. Tapi dia mampir ke sebuah mini market untuk membeli popok sekali pakai untuk anaknya. "Healing emak-emak mah di sini aja ya Flo. Ngadem kita, nanti ibu beliin eskrim ya."

Benar saja setelah membayar di kasir, Arin mengajak anaknya duduk di depan minimarket tersebut. "Makan es krimnya di sini aja ya Flo. Tapi kita foto dulu nak," ajaknya pada bocah berusia kurang dari dua tahun itu.

Arin berfoto dengan Flora sambil memamerkan eskrim yang dia beli. "Siang-siang enaknya makan es krim," gumam Arin seraya menulis status di media sosialnya.

Sambil menunggu Flora yang makan es krim, Arin membaca beberapa status orang lain yang tersimpan di kontaknya. "Lihat teman-teman aku yang pada sukses udah bisa bangun rumah sendiri jadi iri. Kapan ya suamiku bisa bangun rumah sendiri. Mana orderan lagi sepi lagi," gumam Arin dengan wajah sendu.

Sesaat kemudian dia melirik Flora. Wajahnya sudah tak berbentuk. Arin tertawa melihat wajah anaknya yang penuh dengan sisa es krim. "Ya ampun anak ibu apa siapa ini kok cemong begini," ucap Arin sambil tertawa. Tangannya mengambil tisu basah yang selalu dia bawa ke manapun dia pergi.

Kebahagiaan seorang ibu itu sederhana. Ketika dia melihat anaknya tersenyum maka si ibu akan merasa dunianya bersinar. Namun, sebaliknya jika melihat anaknya menangis maka si ibu akan merasa dunianya suram. Maka tak jarang apapun dilakukan ibu untuk kebahagiaan anaknya.

Arin mengajak Flora pulang ketika selesai makan es krim. Jarak mini market ke rumah orang tuanya cukup dekat. "Kita turun ya, Dek." Arin menggendong anaknya hingga masuk ke dalam.

"Flora mau tidur?" tanya Arin. Flora menggeleng dia menunjuk televisi sebagai tanda agar ibunya menyalakan televisi itu.

"Ow, Flora pengen nonton si gundul ya?" Arin pun menyalakan televisi. Flora tertawa senang melihat tingkah gundul kembar yang dia sukai.

Lama menonton televisi Flora pun mulai mengantuk. Arin menggendong Flora yang mengantuk lalu membawanya ke kamar. Saat itu Arin lupa mematikan televisi Bu Nia pun marah-marah.

"Kamu ini kebiasaan ya Rin. Tagihan listrik jadi membengkak gara-gara kamu sering lupa matiin televisi," omelnya.

Arin tak menjawab dia pura-pura tak mendengar padahal dia mendengar suara ibunya yang lantang itu. "Ya Allah berilah hamba rejeki yang melimpah agar hamba segera pindah rumah," batin Arin berdoa dalam hati.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!