Bab 1
Kehadirannya membuat Marie terbangun dari tidur nyenyak yang selalu dirasakan di kasur empuknya. Marie berguling di tempat tidur dan melihat jam di meja dengan mata setengah terpejam.
“Jam berapa sekarang?” Marie berkata dengan suara parau yang tidak jelas. Angka samar mulai kelihatan. Menunjukkan pukul 02.30 WIB.
“02.30 dini hari? Memangnya lo gak tidur, ya?”
Dia bukannya menjawab, malah lenggak -lenggok di depan cermin yang ada di kamar Marie.
Marie menegakkan bantal dan mengubah posisi tidur menjadi duduk bersandar di headboard bed, melihat apa yang sedang terjadi di dalam kamarnya itu. “Lo lagi ngapain, sih?” tanya Marie.
“Suka, gak?” Masih dengan gaya lenggak-lenggoknya di depan cermin. Pinggiran berlapis dari gaun yang dikenakannya berayun-ayun dengan gemulai.
“Ini gaun yang gue temui di salah satu butik yang cukup tua di tengah kota,” jelasnya.
Dengan kakinya yang masih memakai stocking panjang, dia menarik sedikit untuk memperlihatkannya kepada Marie.
“Lo tahu, ini Vintage yang bergaya retro. Iya gak, sih? Gue akan pakai ini buat ke pesta prom night.”
Marie mendengus mendengarnya. Seketika matanya memandang Marie dari cermin dan langsung membuat Marie sadar, pasti dia gak akan serius dengan kata-katanya.
Sambil memeriksa penampilan, dia menyelipkan rambut panjangnya ke balik telinga dan kembali mengayunkan pinggulnya. Dia memilih wig pirang malam ini. Sebenarnya itu bukan favoritnya, karena dia selalu menganggap wig itu membuatnya kelihatan aneh. Seperti ban*ci kaleng. Tapi sebenarnya cocok juga sih dengaan gaun merah yang dikenakannya saat ini. Dia menangkap pandangan Marie lalu tersenyum.
“Gue juga mengincar ratu prom night.”
Marie tergelak, kemudian menutup mulut dengan satu tangan agar suaranya tidak kedengaran. Jangan sampai orang tuanya yang berada di lantai atas terbangun dengan suara bising dirinya.
Bukannya ikut tertawa, dia malah diam saja memperhatikan Marie.
Marie bergumam di hati, ‘Lo lagi bercanda, kan?’
Matanya tak lepas dari mata Marie dengan tatapan yang dalam. Mungkin untuk melihat reaksi Marie terhadap dirinya yang sudah mengubah namanya. Mencari persetujuan dari Marie. Sebetulnya pendapat dari Marie tidaklah penting.
Marie menguap.
“Lo tahu kan, semua orang menghujat gue.” Dia menjelaskan itu sambil melintasi kamar tidur Marie, melewati tumpukan pakaian dan barang-barang lain di lantai. Saat melewati jendela, dia berhenti dan berputar. Bulan memancarkan sinarnya yang misterius lewat jendela kamar Marie. Cahaya terang dan garis-garis sinar yang memancar.
Tiba-tiba Marie dilanda kelelahan. “Ok. Udah sana, lo tidur.” Marie mengusirnya, lalu menyelinap masuk ke dalam selimut dan meninju bantalnya untuk ingin kembali tidur. Butuh waktu lama agar Marie bisa kembali terlelap, apalagi kalau dia tetap tinggal hanya untuk berdandan. Dan dia bisa melakukan itu.
Marie mengamatinya dengan mata setengah terpejam. Ada yang berbeda dari dirinya. Ada yang berubah dari dirinya. Bukan sesuatu yang bersifat fisik. Lebih seperti perubahan dalam dunianya atau mungkin....
“Tali br* lo kelihatan, tuh,” Marie memberi tahu kepada Luna. “Lo harus beli yang strapless.”
“Oh ya?” Dia memutar kepalanya untuk mengintip pundaknya. “Lo punya gak?”
“Heh, sekalinya gue punya juga, lo gak boleh memakai pakaian dalam gue.”
“Paling juga gak pas sama gue. Ukuran cup gue kan paling gak C.”
Marie mengembuskan napasnya. “Suka lo deh.” Sambil berguling, Marie bergumam, ‘Dasar kang pamer.’
Rambutnya terurai di bantal dan menggelitik wajah Marie. “Gue tahu, tapi lo sayang sama gue, kan?” bisiknya tepat di telinga Marie dan bibirnya menyentuh ringan pipi Marie.
Marie dengan cepat menepisnya. Sementara itu, ia mendengar langkah beratnya menuju meja rias dan dia akan membongkar peralatan dandannya dengan penuh sukacita. ******* berat lolos dari bibir Marie. Yah, tidak bisa dipungkiri, Marie sayang dengannya. Tidak akan bisa tidak. Dia kakaknya.
...****************...
Flash Back.
“Jangan bilang sama Mami kalau dia pulang nanti, ya,” kata Ayah berpesan. “Ayah ingin ini menjadi kejutan.”
Ayah tersenyum kepada Marie dan Luna. Luna berumur enam tahun dan Marie sendiri berumur empat tahun. Mereka duduk di sofa sambil menonton Ayah memotong kardus pembungkus mesin pencuci dan pengering Mami yang baru. Dia berhenti sejenak untuk melonggarkan dasi dan menggulung lengan kemejanya yang turun.
“Ayah sudah bilang belum kalau Ayah dapat promosi? Kalian sedang menatap manajer peralatan rumah tangga yang baru untuk Mami,” beritahunya sambil mengedipkan sebelah matanya ke arah Marie.
“Hore...,Ayah,” Marie kecil bertepuk tangan.
Ayah melihat ke arah Lia, dan mengernyitkan matanya sedikit. Luna menemukan buklet intruksi mesin cuci dan sedang asyik membacanya. Dia membaca semuanya.
“Luna!”
Luna langsung mendongakkan kepalanya tegak.
“Ini, bawa kotak-kotak ini ke belakang,” perintah Ayah sambil memotong bagian kardus lainnya. “Kamu dan Marie bisa main benteng-bentengan.”
Luna segera meluncur turun dari sofa. Begitu pula dengan Marie. Mereka berdua menyeret kotak kardus itu melewati pintu kaca geser ke halaman. Mereka meletakannya di samping kolam renang anak-anak yang sudah tidak terpakai. Marie bisa berdiri di dalam kotak itu, tapi Luna sudah terlalu tinggi.
“Ambil boneka Lo, Marie,” dia menyuruh Marie. “Bawa semua pakaiannya juga, semuanya dibawa kemari. Okay.”
“Bantu dong...” Marie kecil meminta bantuan.
“Gak.” Matanya memandangi ruangan dalam kotak. “Gue harus beresin ini.”
Saat Marie kembali, Luna sudah memnyambung kedua kotak itu menjadi satu dan menyeret meja mainannya ke dalamnya. Dia meletakkan dapur mainan milik Marie di sudut dan sedang merapikan meja itu. “Taruh tempat tidurnya di sana.”
Waktu Marie berjalan melewatinya, dia mengambil boneka Marie dan menggendongnya. Sambil tersenyum masih kepada boneka itu. Dan mereka berdua menikmati permainan itu.
Flash back off.
Alarm yang dimiliki Marie berbunyi dengan nyaring memenuhi ruangan kamarnya. Bergegas Marie teduduk tegak. Ia mengulurkan tangan ke meja dan mematikan tombolnya. Itu tadi mimpi atau kenangan? Terlalu jelas untuk dibayangkan dan terlalu nyata.
Marie terhunyung-hunyung masuk ke kamar mandi. Kamar mandi masih beruap, artinya Luna, sang kakak sudah bangun lebuh dulu dan sudah berpakaian. Marie membiarkan kehangatan meresap ke dalam tubuhnya, sementara Marie melepaskan pakaiannya untuk segera mandi. Kemudian, Marie menyalakan keran air dingin dan menyodorkan wajah ke bawah shower.
Saat Marie menuruni anak tangga, ia melihat Ayah yang tertawa kecil sambil membaca komik. Marie melintasinya, lalu masuk ke bagian dapur. Di sebelahnya, di meja makan, Marie melihat sang Kakak menyuapi roti selai kacang sambil membaca buku pelajaran dan menyerapnya. Penerapan Fisika Lanjutan, Marie membaca judulnya dengan lebih dari sekadar iri. Apa dia tidak bisa membagi beberapa poin IQ terhadap adiknya ini. Tampilan Luna sungguh berbeda dari cewek lainnya. Terlihat cupu. Memakai celana yang lusuh ala tukang kayu dan kaos yang tidak disetrika.
Marie memandangnya aneh.
BAB 2
Tampilan Luna sungguh berbeda dari cewek lainnya. Terlihat cupu. Memakai celana yang lusuh ala tukang kayu dan kaos yang tidak disetrika.
Marie memandangnya aneh.
“Pagi,” Mami menyapa Marie yang ada di depan kulkas sambil mengambil kotak kartin jus jeruk dari mulut Marie.
“Marie, apa yang terjadi dengan mu? Kamu terlihat seperti zombie,” katanya sambil mengembalikan jus jeruk itu ke rak. “Apa kamu sakit?” lanjutnya lagi.
“Gak kok, Mi. Kayanya kecapekan gegara kurang tidur.” Marie melotot ke arah kakaknya sambil menarik kursi dan duduk di seberangnya. Dia membalikkan halaman bukunya, mencerna fisika kuantum dengan kecepatan pentium.
“Ada apa? Kenapa kamu tidak tidur?” tanya Ayah sambil melirik dari atas korannya.
“Tidak ada apa-apa, Ayah,” gumam Marie.
Mami duduk di ujung meja. Ia memencet tombol ponsel dan menempelkannya di telinga sementara Ayah berkata kepadaku, “Kamu harus tidur. Cewek-cewek harus istirahat untuk menjaga kecantikannya.”
Luna melirikan matanya terhadap Marie, memelototi pandangan Marie. Ayah hanya bercanda saja, jangan sampai kejadian malam itu Luna yang suka berdandan tengah malam untuk merubah dirinya menjadi ratu jagat malam akan mengadukan dirinya terhadap Ayah.
“Halo, Hi, David,” Mami berbicara terhadap telepon genggamnya. “Ini aku. Apakah kita sudah dapat konfirmasi reservasi di Gedung H untuk pernikahan keluarga Ferguso? Sepertinya aku tidak bisa menemukan surat-suratnya.” Mami mengaduk kopinya.
Marie menangkap basah Ayah yang memutar bola matanya. Dia tidak begitu senang dengan pekerjaan Mami. Secara spesifik, naiknya status Mami dari istri dan ibu menjadi sesuatu yang lebih penting. Bukan Ayah seksis atau apa, dia hanya membosankan dan kolot. Bagaimana mungkin dia mencemburui pekerjaan Mami? Sejak ada pengurangan karyawan di kantor ayah, dia harus mengambil pekerjaan rendahan di bagian rumah tangga. Intinya harus ada yang menghasilkan uang makan siang di keluarga mereka.
Mami menyesap kopinya.
“Mungkin aku akan menelepon lagi untuk memastikan. Kamu sudah dengar anak perempuan keluarga Wilson bertanya apa dia bisa memesan cake hitam? Hitam. Di cake pernikahan.”
“.......”
“Oh, David, aku bisa apa tanpamu?” Mami menjawab panggilan itu sambil tergelak.
Marie langsung melirik Ayah yang wajahnya sudah kaku melihat Mami yang sangat senang.
Sebagai upaya melarikan diri dari ketegangan yang tiba-tiba terasa, Marie mengeluarkan buku kimia dari dalam tas ransel dan meletakkannya di meja. Pikiran tentang apa yang akan mereka lakukan hari ini di kelas membuat Marie mual, jadi Marie memasukkan kembali buku itu. Jauh dari penglihatan dan jauh dari pikiran, filososfi hidup Marie berada dalam tabung uji.
Marie menyambar sepotong roti dari atas meja dan mengoleskannya dengan krim keju storberi di atasnya.
Sedangkan Mami melanjutkan bertelepon ria dengan rekan kerjanya, David.
“Aku mencatat pesanan cake nya, tapi mungkin ku tunggu sampai bicara dengan ibunya dulu. Aku yakin dia pasti sangat malu. Aku tidak sabar melihat gaun pengantinnya.
“,,,,,,,”
“Apa?”
Mami mendengarkan, kemudian kembali tertawa bersama David.
“David, sebelum aku lupa, aku harus menebus resep dalam perjalananku, jadi aku mungkin agak terlambat,” ucap Mami diujung teleponnya.
Entah kenapa, hal itu menarik perhatian Luna dan Marie. Mami mematikan teleponnya dan bangkit berdiri. Dia meletakkan ponsel dan agendanya di atas meja dan berjalan dengan berbisik ke koridor belakang. Pasti meminum obat penenang lagi.
“Aku bicara dengan Coach Horras kemarin sore,” cetus Ayah.
Seketika bulu kuduk Marie di seluruh lengannya berdiri. Begitu pun dengan Luna. Dia disuruh untuk mengikuti ekstrakulikuler cabang olahraga bulutangkis.”
Ayah melanjutkan perkataannya, “Dia menyuruhmu menemuinya minggu ini tentang kemungkinan masuk tim. Sejak keluarga Diaz kembali ke kota X, ada beberapa posisi kosong. Dia tidak bisa menjamin kamu bisa masuk tim universitas, tapi setidaknya tim yang berada di juniornya. Tryout hari Rabu. Dan tolong, jangan bertanya apa posisimu, aku sudah bilang, kamu akan jadi pemain tunggal.”
“Mampirlah ke kantornya sepulang sekolah hari ini.” Lanjut Ayah kepada Luna.
Sungguh Luna tidak suka dengan usulan Ayahnya.
“Aku tidak mau menjadi atlet bulutangkis, Ayah.”
Marie menarik napasnya dalam-dalam, lalu mengeluarkannya dengan perlahan. Dia kemudian menatap Ayahnya. Luna tidak pernah mengatakan terang-terangan tentang ia memang tidak menyukai olahraga itu. Entah hanya sang Ayah ingin menjadikan dia pemain tunggal putri yang handal.
Ayah berekspresi datar, tapi suaranya berubah,”Kamu tahu kenapa kamu harus ikut olahraga itu? Agar nilai di transkripsimu bagus di akhir tahun.”
Itu membuat Marie mendengus kesal.
Ayah beralih tatapan dengan menghujamkannya ke arah Marie. Marie merasakan ketajaman tatapan sang Ayah.
“Yang kamu lakukan hanya duduk di kamar dan bermain games di komputer. Dan itu membuatmu tidak berkembang. Tidak heran kamu terlihat pucat. Kalian berdua!”
Marie berusaha mengirimkan pesan kepada kakaknya untuk membiarkan saja apa yang diucapkan sang Ayah. Tapi saat ini dia seperti terkunci di dunia luar. Dia memandangi mangkuk sereal dengan lekat-lekat.
Ayah melipat korannya menjadi setengah, lalu seperempat. Perlahan dan sengaja.
“Aku tidak berbakat di dunia olahraga, Ayah. Apalagi di bulutangkis. Lari ke sana ke mari mengejar bola yang tidak jelas jatuhnya arah bola.” Luna menjelaskan apa yang ia rasakan saat ini.
“Aku tahu kamu punya bakat itu, Luna. Ayo lah. Jangan kecewakan Ayah. Kamu hanya kurang berlatih,” ujar Ayah. “Kamu hanya tidak rutin melatih dirimu untuk melakukan itu. Kamu punya tinggi yang pas dan kecepatan yang dibutuhkan. Kamu bisa membangun kekuatan lagi.”
Luna bergeming. Ia malas dengan ocehan ayahnya.
Ayah bangkit dari tempat duduknya dengan kasar sehingga membuat piring dan peralatan makan yang ada di atas meja bergoyang. Dia menerobos masuk ke dalam dapur. Luna dan Marie saling berpandangan. Sebelum Marie sempat berkata-kata, Mami masuk kembali dan meraih ponselnya dan memasukkannya ke dalam hand bag, lalu membuka agendanya.
“Aku mungkin akan telat pulang lagi untuk malam ini.” Dia membalik-balikkan selembaran agendanya. “Aku punya janji ke salon jam empat sore ini. Marie, memasaklah malam ini untuk makan malam kalian. Sup tomat dan omelate. Aku yakin, kamu pasti bisa memasaknya,” lanjut Mami kepada Marie.
“Dan karena kamu sudah masuk ke kelas keterampilan, ini pasti bagus untuk latihanmu, Marie.” Tak berhenti disitu saja, Mami melanjutkan ucapannya.
“Aku tidak bisa, Mami. Aku hari ini ada jadwal mengasuh anak,” kata Marie sedikit senang.
Mami sudah seperti dosen yang selalu menguliahi Marie agar lebih sering membantu pekerjaan rumah, lebih patuh terhadap Mami. Karena Mami berpikir Marie adalah anak perempuan yang harus bisa melakukan pekerjaan rumah. Salah satunya memasak.
Luna langsung menyerobot untuk mengurangi rasa bersalahnya untuk tidak melakukan olahraga bulutangkis yang diinginkan sang Ayah.
“Biar aku saja yang memasak untuk makan malam kita.”
“Tidak! Kamu tidak perlu melakukan itu. Yang perlu kamu lakukan adalah berlatih.” Ayah langsung menyanggah perkataan dari Luna. Dia berdiri di ambang pintu antara dapur dan ruang makan dengan lengan yang dilipat di depan dadanya.
“Jadi kenapa itu harus aku yang melakukannya?” tanya Marie heran. “Kalian semua tahu kalau aku tidak suka memasak. Biarkan Luna yang memasak untuk kita malam ini. Dia lebih pintar mema...-” Belum sempat melanjutkan perkataan, Ayah sudah memotongnya lebih dulu.
“Marie!” Ayah mengangkat sebelah tangannya untuk membuat Marie diam. “Mami memintamu untuk melakukannya. Kalian tidak akan kehilangan napas apabila membantu pekerjaan rumah.”
“Bisa saja,” bisik Marie. “Kami bisa tersedak debu sampai mati.”
Mami langsung melempar tatapan tajam kepada Marie yang baru saja berkata seperti itu.
Tetapi berbeda dengan Luna.
BAB 3
“Aku akan memasak untuk malam ini, Mami.” Luna meloncat menyelamatkan Marie.
Mami mendesah letih. “Mami tidak mau berdebat atas hal ini. Mami akan jadwalkan ulang untuk acara salon itu.”
“Siapa yang berdebat?” tukas Marie. “Kalau Luna bersedia....”
“Tak perlu mengatur jadwal ulang. Marie lebih dari senang untuk membantumu, Sayang.” Perintah Ayah pada Mami dan mengabaikan Marie.
“Yah, aku sudah bilang, kalau aku harus kerja. Apa yang kau inginkan dariku, berhenti bekerja dan aku bisa tinggal di rumah dan memasak makan malammu? Membersihkan rumahmu? Sampai mencuci seluruh pakaianmu?”
Marie berhenti mengoceh. Dia terlihat ngos-ngosan untuk mengucapkan hal itu. Mami dan Ayah memberengut menatap ke arah Marie, menghindari kontak mata satu sama lain.
Mami memasukkan agenda ke tasnya. “Rambut Mami tidak harus ditata hari ini. Mami bisa menjadwalkan ulang.”
Terlihat kilatan dari mata ayah seakan ingin membakar wajah Marie.
Saat melewati Marie untuk mengambil mapnya dari konter dapur, Mami meletakkan sebelah tangannya dipundak Marie. Marie tersentak kaget. “Ada apa dengan mu, Marie? Mami lihat kamu sangat tegang, tidak tidur. Apa kamu butuh sesuatu untuk membantumu agar bisa tidur?”
“Tidak. Aku baik-baik saja.” Marie segera memutarkan tubuhnya dan melepaskan cengkraman tangan Mami. Lemari obat yang dimiliki sang Mami penuh dengan obat penenang, obat tidur dan obat penyeimbang mood. Marie pikir, Mami nya sedang melalui perubahan masa, dan Marie berharap Mami mengunci lemarinya itu.
Mami belum beranjak dari tempatnya berdiri, tepat di belakang Marie, menangkap pandangan Marie di pintu kaca ke teras belakang. Kelihatan benar-benar cemas.
“Aku baik-baik saja,” ulang Marie menoleh ke arah Mami. “Hanya ada beberapa ujian minggu ini,” Lanjutnya lagi. Sebenarnya Marie tidak mencemaskan ujian-ujian itu.
Mami meneruskan misinya, menyambar map dan berjalan menuju pintu sambil memutar-mutar kunci. “Semoga harimu menyenangkan,” kata Mami pada udara.
Luna membalasnya, “Mami juga.”
Ayah bangkit berdiri untuk ke kamar kecil sebelum pergi ke tempat pekerjaannya. Tempat dia akan melakukan pekerjaannya dan membagi kebahagiaan mendempul.
Marie dan Luna menghabiskan sisa sarapan yang tersedia di atas meja dalam keadaan sunyi.
Ayah yang keluar dari toilet menandakan Marie dan Luna harus bergegas untuk mengemasi barang-barang mereka. Ayah berhenti di lorong, dan menarik resleting pada jaketnya. “Jangan minum pil, sayang,” katanya kepada Marie. “Tidur saja lebih awal.” Dia pun menunjuk Luna. “Temui Indri sepulang sekolah.”
Luna hanya mengangguk mengiyakan.
Pintu terbuka dan tertutup kembali dengan cepat. Marie menjulingkan matanya ke arah Luna, yang tidak melihat karena sedang berjalan dengan cepat ke arah luar.
Marie menyambar tas ransel dan jaketnya, berjalan cepat menyusul Luna. Tapi begitu Marie selesai mengunci pintu depan, Luna sudah memundurkan mobil ke jalan. “Luna, tunggu!” Marie seaakn terbang melintasi halaman rumahnya.
Luna menginjak gas dan dengan kasar mengarahkan mobil ke jalan. Marie pun menarik pegangan pintu. Perlahan Luna menoleh dengan tatapan kuat di wajahnya yang membuatku memundurkan langkah dengan tangan terkulai.
Flash back
Mereka sedang berada di pekarangan rumah keluarga Mayer. Saat itu acara ulang tahun Luna yang ke sembilan. Hari itu cukup hangat untuk mengadakan pesta di luar ruangan.
Mereka sedang merayakan ulang tahun Luna dan Alyson bersama. Alyson adalah sahabat baiknya Luna sejak TK. Orangtua mereka dan orangtua Alyson sudah berteman selama bertahun-tahun. Mereka melakukan banyak kegiatan bersama, seperti bersama-sama merayakan ulang tahun.
Tapi itu adalah tahun terakhir bagi mereka merayakan pesta ulang tahun bersama. Luna dan Alyson meloncat-loncat berkeliling, kegirangan karena akan membuka kado bersama. Mereka mengundang sekumpulan teman sekolah mereka ke pesta ini. Mami membawa cake ulang tahun ke depan dan menusukkan lilin di atas cake itu. Ayah menggesek korek api dan mulai menyalakan lilin. Marie kecil masih menghitung dalam hati berapa jumlah lilin itu.
“Ayah, aku boleh mematikannya, gak?” ucap Marie kecil.
Ayah tersentak, sepertinya terkejut melihat kehadiran Marie di sana. “Hei, Marie kecilku, ayo ke sini dan matikan apinya.” Dia tersenyum dan mengulurkan korek api kepada Marie.
Marie meloncat turun dari bangku tinggi yang dinaikinya, dan berlari mendekat, membasahi jari dengan ludah seperti yang diajarkan Ayah. Dan menjepit batang korek api. Marie menjerit ketika korek api itu mendesis, meskipun sebenarnya tidak sakit.
Ayah langsung menciumi jari Marie. Kemudian dia memeluk Marie kecil dengan tangannya yang besar dan mengangkat Marie ke atas kepalanya. Sambil menjaga keseimbangan dengan menempelkan perut Marie ke kepalanya. Ayah memutar-mutar Marie sampai berteriak kesenangan sampai Ayah pusing.
Marie melihat Luna berdiri di depan pintu. Dia menatap Marie dan ayah, memandangi Marie yang berputar. Akhirnya Ayah menurunkan Marie. Mereka tertawa bersama dan berjalan sempoyongan. Marie sekali lagi melihat Luna menatapnya dan dia memberikan pandangan itu.
Flash back off
Kebencian.
Ya, itulah pandangan itu. Dia membenci Marie.
Kenapa? Karena cara Ayah dulu memperlakukan Marie yang berbeda dengannya. Ayah tidak pernah pilih kasih. Luna merayakan ulang tahun di bulan Maret dan ulang tahun Marie seminggu setelah Natal. Luna selalu mendapatkan lebih banyak kado daripada Marie. Apa yang diinginkan Luna, main putar-putar di pundak ayah?
Kenyataan itulah yang menghantam kepala Marie seperti palu. Tentu saja, itu yang diinginkan Luna. Karena Luna tidak pernah melakukan permainan itu sejak dia kecil. Dia merasa dikucilkan dalam keluarga sendiri. Begitu melihat perlakuan Ayah terhadap Marie.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!