NovelToon NovelToon

Mahligai Impian

BAB 01 - Biar Waktu Yang Menjawab

Menjadi pasangan seorang Azkayra Zavia Qirany adalah impian seorang Renaga Anderson. Namun di sisi lain, sepasang mata yang selalu menatapnya penuh cinta justru menjadikan Renaga sebagai cita-cita, Giska Anamary.

Mampukah mereka merajut benang kusut itu? Hati mana yang harus berkorban? Dongeng siapa yang akan menjadi kenyataan? Giska yang terang-terangan atau Zavia yang mencintai dalam diam.

...****************...

"Seiman, aku ingin seperti Mama yang cium tangan Papa di sepertiga malam sambil pakai mukena ... belajar ngaji selepas Isya dan berdiri berdampingan di Jabal Rahmah."

Sesederhana itu keinginan Azkayra Zavia Qirany. Namun, akan teramat sulit bahkan mustahil untuk seorang Renaga Anderson. Sementara di sisi lain pemilik mata indah yang selalu menatapnya penuh cinta, justru menjadikan Renaga sebagai cita-cita.

"Renaga, are you okay?"

"Hm? Fine ... sampai mana tadi?"

Renaga tidak bisa fokus sama sekali, seperti biasa kencan buta semacam ini hanya sia-sia. Sudah berulang kali dia coba, tapi entah kenapa hatinya tidak memiliki ketertarikan sedikitpun.

"Aku pergi."

Sama seperti beberapa wanita yang sempat dia temui, mereka menyerah di pertemuan pertama. Sikap dingin Renaga jelas aja menjadi alasannya, dia tidak bisa sekalipun mencoba bersikap hangat.

Waktunya ada di negara ini menyisakan beberapa hari lagi. Justin mulai mengusiknya lantaran tidak pulang-pulang juga padahal Renaga sudah menyelesaikan pendidikannya di sana.

"Aga ... apa maumu sebenarnya?"

Pria itu kesal sendiri, tujuh tahun menata diri sama sekali tidak membuahkan hasil. padahal, jika melihat teman-temannya, menjalin hubungan dengan wanita bukanlah hal sulit.

Malam itu dia habiskan dengan menatap langit-langit kamar, seakan ada sesuatu yang dia rindukan. Pikirannya melayang jauh, semakin dia selami lukanya kian menganga.

Gelak tawa Zavia, jeritan Fabian dan air mata Giska. Semua tergambar jelas dalam benak Renaga, hanya demi mengubur perasaan Renaga meninggalkan semua itu.

"Aku ingin jadi istri kak Aga."

Uhuk

Sial, kenapa suara gadis itu terngiang teramat jelas. Renaga sadar sesadar-sadarnya kala mengingat Giska Anamary, gadis tengil yang menjadi sebab Renaga darah tinggi di usia muda.

Dia yang merengek minta diantar pulang masih terbayang jelas di otak Renaga. Setiap malam Renaga selalu begini, bayangan masa lalu selalu menghantui. Padahal, dia pergi baik-baik dan sama sekali bukan melarikan diri.

Pria itu membasuh wajahnya, sejenak mencari ketenangan karena memang dunianya teramat menyulitkan. Terlalu kasar dia menggosok tangannya, hingga tanpa sengaja jemari Renaga membentur kran air.

Tidak berselang lama, ponselnya berdering beberapa kali. Sudah pasti Justin akan kembali mendesaknya untuk pulang. Demi Tuhan, Renaga enggan meski kerinduan juga membelenggunya.

"Cia?"

Senyumnya mengembang, dia masih punya Cia yang menjadi alasan untuk segera pulang. Bidadari kecilnya yang kini sudah beranjak dewasa, semakin hari semakin cantik dan Renaga lupa dengan janjinya sewaktu Cia lahir ke dunia.

"Kapan pulang?"

"Lusa," jawab Renaga seraya menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur.

"Lama ... Daddy mau adopsi kakak baru untuk Cia."

"Hahaha mana bisa, Daddy mana?"

Paham betul kenapa wajah adiknya muram seperti itu. Jelas saja dia marah lantaran Renaga benar-benar betah di negeri orang, egois dan mereka tidak akan bertemu jika Justin tidak membawa istri dan anaknya mengunjungi Renaga.

"Ada, nih kalau mau lihat."

Cia memperlihatkan kegiatan mereka di ruang tamu, kedua orang tuanya tampak bahagia menata dekorasi ulang tahun adiknya. Panggilan video itu termasuk undangan ulang tahun secara tidak langsung dari Cia, beberapa kali dia menunjukkan beberapa sisi.

Hingga, beberapa detik kemudian mata Renaga terpaku pada wanita dengan rambut yang tergerai indah itu. Pria itu sontak terbangun dan menatapnya lekat-lekat, sekian lama tidak berjumpa, bahkan saling menyapa saja tidak.

Sayangnya, Cia hanya menunjukkannya sebentar. Setelah itu, kembali wajah Cia memenuhi layar ponsel renaga, adiknya memang menyebalkan di beberapa keadaan.

"Hahaha Kakak kenapa?"

"Cia, yang tadi siapa?"

Renaga berpura-pura tidak mengetahui, padahal dari jauh saja dia bisa mengenali. Terlebih lagi, wajahnya teramat jelas di mata Renaga.

"Yang mana?"

"Di depanmu."

"Ah bentar, kak Giska!!"

Kepala Renaga mendadak berasap mendengar nama gadis itu. Apa mungkin Renaga salah lihat? Tidak, seingat dia bukan Giska yang tadi dia lihat.

Lebih menyebalkannya lagi, Cia memberikan ponsel itu pada Giska hingga sejenak keduanya sama-sama diam. Butuh waktu untuk Giska bisa menyesuaikan diri, matanya tidak berkedip hingga Renaga berdehem baru Giska bisa bicara.

"Ap-apa kabar, Giska?"

Kaku sekali, padahal dalam bayangan Renaga gadis ini masih kerap membuatnya sakit kepala. Akan tetapi, saat ini Giska terlihat berbeda. Apa mungkin belum kumat saja, pikir Renaga.

"Giska?"

"Ganteng banget," gumamnya pelan, tapi terdengar jelas oleh Renaga.

Sudah Renaga duga, gadis ini tidak berubah. Salah besar jika dia berpikir Giska sedikit berbeda. Yah, penampilan memang tidak lagi sama, dia semakin cantik dan tumbuh sebagai wanita yang dewasa pada umumnya.

"Kak Aga kapan pulang? Aku sudah dewasa loh."

"Hahaha, lalu kenapa?" Renaga tertawa sumbang, terlalu lucu dan dia tidak bisa menahan tawanya.

"Mama umur 20 sudah melahirkan aku, Kakak tidak punya rencana apa gitu?"

"Ada, lanjut S3," jawab Renaga kemudian tersenyum simpul kala Giska berdecak sebal.

"Yang lain?"

Renaga hanya diam, tapi dia sendiri bahkan tidak yakin dengan dengan kata hatinya. "Biarkan waktu yang menjawab, Giska."

.

.

- To Be Contine -

Hallo semua❣️ Yang agak berat baca season satu boleh langsung loncat ke season dua-nya di Bab 75 ya.

BAB 02 - Kilas Balik

Sementara di sisi lain, Giska yang masih tidak percaya bisa berbicara secara langsung bersama Renaga, berteriak kencang dang memeluk Zavia begitu erat.

"Zavia ... kamu harus tahu satu hal."

"Apa?" tanya Zavia mengerutkan dahi karena mmang Giska kerap kali tak tertebak.

"Kak Aga pulang lusa."

Senyum Giska mengembang, tapi tidak dengan Zavia. Dia hanya mengeratkan pelukan pada Giska karena sahabatnya tampak bahagia sekali.

"Bahagia banget ya? Kamu lupa dia galak, Giska?"

"Dulu mungkin galak, sekarang beda ... ganteng banget sumpah, aku hampir mati rasanya," ucap Giska seraya mengelus dadanya beberapa kali.

Dapat Zavia tatap, Giska memang sebahagia itu. Melihat Giska yang seceria ini, pikiran Zavia berlayar pada kenangan tujuh tahun lalu, saat dimana Giska berteriak dengan jelas dan memproklamirkan Renaga adalah miliknya.

.

.

"Kak Aga!! Aku padamu!! Sarangbeo!!"

Pertandingan belum dimulai, tapi suara Giska sudah terdengar memecah suasana dalam keheningan. Renaga menoleh sekilas, bukan karena ingin membalasnya, melainkan meminta Giska untuk berhenti.

Giska yang ditatap, tapi yang berteriak justru hampir seluruh anak yang duduk di sisi Giska. Siapa yang bisa menampik pesona seorang Renaga Anderson.

Tampan, pintar dan berbakat baik akademik maupun non akademik. Susah payah Giska berusaha hingga bisa masuk ke SMA Garuda, meski ini hanya menyisakan tahun terakhir Renaga, dia tidak masalah.

"Via, kamu lihat sendiri, 'kan?"

"Iya, Giska ... aku lihat."

Zavia tersenyum simpul, melihat Giska sebahagia itu hanya karena tatapan sinis renaga. Entah sampai kapan sahabatnya ini bertahan dengan sikap Renaga.

Demi Giska, Zavia rela menyaksikan mereka yang memperutkan bola demi masuk ke ring itu. Membosankan, bagi Zavia permainan seperti itu melelahkan. Sementara di sisi lain, Fabian yang juga ada di sana adalah alasan dia rela duduk di tempat ini.

Selama permainan berlangsung, teriakan Giska yang membuat telinganya sakit puluhan kali Zavia dengar. Dia tidak bisa menghentikan fans fanatik Renaga ini, mau disadarkan dengan cara apapun Giska akan tetap sama.

Hingga permainan berakhir, Zavia mengikuti langkah Giska menghampiri Renaga. Tanpa terduga, Giska mengelap keringat di wajah Renaga hingga Zavia mengalihkan pandangan. Hal semacam itu biasanya dilakukan oleh pasangan masing-masing, Zavia sejenak berpikir apa mungkin ada hal yang Giska sembunyikan tentang hubungan mereka.

"Mereka jadian?"

"Mungkin, Giska nggak cerita."

Zavia mengedikkan bahu kemudian menatap bingung Fabian yang menyerahkan tisue padanya. Kedua alisnya naik dan secebis emosi mulai merasuk dalam diri Zavia.

"Mau apa?"

"Nggak sweet banget sih, romantis dikit kek."

"Uweek ... sinting!!"

Zavia berlalu pergi dan meninggalkan Fabian yang terbahak di sana. Bahagia sekali, tiada hari tanpa memancing emosi. Jika disimpulkan, Fabian adalah Giska dengan versi yang lain.

Sementara Giska yang kini terlena melihat Renaga diam ketika dia melakukan hal semacam ini jelas saja salah tingkah. Dia tidak menyadari jika diamnya Renaga hanya karena khawatir dia malu karena kini masih banyak yang melihat mereka.

Tanpa mengucapkan apapun, Renaga ikut berlalu hingga tangan Giska bergetar. Apa yang sudah dia lakukan? Tidakkah dia berlebihan? Padahal, sejak dulu dia ketahui Renaga pantang disentuh sekalipun berhasil didekati.

"Sabar, Giska ... bawaan lahir."

Fabian benar, dia sampai lupa jika memang pemarah sejak dahulu. Bahkan, Zavia menjulukinya Granat karena memang meledak-ledak.

"Kapan hatinya luluh ya, Ga?"

"Kamu nggak capek? Dia nyebelin, Ka."

"Iya sih memang, tapi aku suka."

Sama seperti Zavia yang sudah menyerah dengan pendirian Giska, Fabian hanya berharap sabahatnya ini tidak sakit. Dia sangat paham bagaimana risihnya Renaga dengan kehadiran Giska yang terang-terangan memperlihatkan rasa suka.

.

.

- To Be Continue -

BAB 03 - Akhiri

Sementara di sisi lain, jauh dari pandangan Giska dan Fabian, Renaga berlari mencari keberadaan Zavia. Sulit sekali untuk bisa bertemu gadis itu secara langsung, bahkan ketika Renaga datang ke rumahnya, Zavia tetap enggan ditemui.

Senyum di bibir Renaga terbit kala punggung Zavia kian dekat. Sengaja memelankan langkah, hingga kala Zavia menoleh dan sadar Renaga di belakangnya, Zavia sontak berlari seakan sengaja menghindarinya.

"Zav ... Zavia tunggu!!"

Berhasil, tangannya mungilnya Renaga genggam saat ini. Napasnya terengah-engah, bahkan keringat yang sempat Giska keringkan beberapa saat lalu kembali bercucuran kini.

"Kenapa selalu menghindariku? Kamu marah? Atau kita ada masalah, katakan, Via salahku dimana?"

Zavia menggeleng, dia meghindari tatapan Renaga seraya sesekali berusaha melepaskan genggaman tangan Renaga. Semakin berusaha, semakin kuat pula dia mencengkramnya.

"Lepas, Kak!! Sakit!!"

"Tidak akan sebelum kamu jelaskan, apa salahku sampai kamu begini? Jika hanya soal Giska, kami tidak ada hubungan apapun ... dia datang tiba-tiba dan kalau aku tahu niatnya seperti tadi aku pasti melarangnya."

Renaga menjelaskan panjang lebar, padahal sama sekali Zavia tidak meminta penjelasan. Dia juga tidak mengerti, kenapa dia berlalu pergi.

"Jangan pernah permainkan Giska."

"Permainkan apa, Zavia? Aku tidak melakukan apapun padanya."

Karena sikap Giska, semua yang mengenal mereka memang menduga Giska sebagai kekasih Renaga. Padahal, kehadiran wanita itu dalam hidup Renaga tidak lebih dari bencana.

"Menurut Kakak tidak, tapi aku yang melihat bagaimana dia menangis dan tertawa bergantian setiap harinya karena perlakuan Kakak yang gila itu!!"

Tidak pernah bicara setelah cukup lama, tanpa diduga Zavia meledak-ledak hingga Renaga tidak mengenalinya lagi.

"Hargai dia, Kak. Apa tidak kasihan, gunakan hatimu sedikit saja."

"Lalu bagaimana denganku, Zavia? Apa kamu tidak kasihan.

.

.

Renaga hendak pulang lebih dulu usai pertemuannya dengan Zavia. Sialnya, kontak motor ada di tas Giska hingga dia terpaksa menunggu gadis itu muncul. Mata Renaga masih menatap sendu Zavia yang dengan setia menunggu Fabian, andai saja kontak motor itu ada padanya mungkin Renaga sudah membawa Zavia secara paksa.

Selang beberapa lama, Giska dan Fabian muncul bersamaan. Ingin dia bentak, tapi tertahan lantaran mengingat kehadiran Zavia di sini. Ucapan Zavia sejenak membuatnya tersadar jika memang terlalu kejam pada Giska, akan tetapi percayalah memang Giska penyebab Renaga naik darah.

"Wow mukanya, lagi berantem ya?"

"Udah cepetan, kebelet."

Selalu saja ada alasan Zavia menghindar jika sudah bersama Fabian. Dua orang itu sedikit menyebalkan jika sudah bersatu menurut Renaga. Hingga keduanya benar-benar berlalu dan hanya Fabian yang mengucapkan kata pamit.

"Kak Aga marah ya?"

Pertanyaan template yang sudah sangat Renaga hapal. Selalu saja, sudah jelas sekali Renaga marah masih dia tanya. Renaga bingung hatinya terbuat dari apa hingga sama sekali tidak memahami situasi.

"Maaf, Giska kebablasan."

Renaga hanya mengangguk pelan, sebenarnya dia ingin marah. Akan tetapi, ucapan Zavia benar-benar dia pikirkan. Renaga mengulurkan telapak tangannya, meminta kontak motornya segera.

Akan tetapi, yang terjadi justru berbeda dan Giska justru memberikan telapak tangannya. Lihat, bagaimana seorang Renaga tidak akan marah.

"Kontak motorku."

"Oho kirain mau pegangan."

Renaga menghela napas panjang, bayangkan jika seumur hidup dia akan bersama gadis ini. Bisa dipastikan Renaga terkena serangan jantung secepat mungkin.

Renaga melaju dengan kecepatan sedang, karena jika begini maka Giska tidak akan memeluknya. Tidak lama berselang, Giska menepuk pundak Renaga sebagai isyarat dia ingin berhenti.

"Apa?"

"Makan, ada bakso di sana enak."

Meski menyebalkan, pada akhirnya dia ikuti juga. Renaga menepi dan dia menemukan pemandangan yang sangat mengganggu matanya. Motor Fabian ada di sana, Giska sudah terlanjur turun dan tidak mungkin Renaga tinggalkan.

"Ck, kenapa juga mereka harus di sini?"

Renaga bukan tidak suka dengan kehadiran Zavia. Akan tetapi, yang membuatnya tidak suka adalah Fabian yang persis perangko bersama Zavia. Teriakan Giska membuatnya mendengkus kesal dan kini melangkah masuk.

Kedatangannya disambut baik oleh mulut Fabian yang memintanya untuk duduk di satu meja. Wajah datar Zavia dapat Renaga saksikan, tapi itu bukan masalah selagi bisa berdekatan.

Sempat kesal sebelumnya, tapi kini semua terganti dengan dia yang mampu melihat wajah cantik Zavia lebih dekat. Selama menikmati makan siangnya, Renaga tidak fokus ke makanan.

Hal semacam ini terulang lagi, makan di meja yang sama dengan gelak tawa yang diciptakan Fabian sebagai penghidup suasana. Mereka membahas banyak hal, hingga semua terdiam ketika Renaga mengatakan dia akan ke luar negeri dalam waktu dekat.

"Kenapa mendadak?"

"Tidak, Daddy yang merencanakannya sejak lama ... mau bagaimana lagi."

Semua terdiam mendengar ucapan Renaga, termasuk Zavia yang tiba-tiba merasa bersalah padanya. Giska yang hampir setiap hari bersamanya jelas saja bingung kenapa sama sekali tidak tahu masalah ini.

Renaga tidak ingin terlalu lama, dia tersiksa. Permintaan pindah itu dia utarakan pertemuan mereka malam itu. Hatinya akan selalu sakit jika menatap Zavia lebih lama yang selamanya tidak akan pernah berhasil dia gapai.

.

.

- To Be Continue -

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!