Linda semakin menundukkan kepalanya karena takut melihat kemarahan Erik, suaminya. Hampir saja satu bulir bening lolos dari sudut matanya. Tetapi Linda berhasil menahannya karena dia sadar air matanya tidak akan membuat amarah Erik reda, justru sebaliknya.
"Tinggal minta saja susah banget sih?!" bentak Erik. "Kamu datang ke rumah ibu, lalu bilang kalau kamu datang untuk minta uang. Nanti pasti dikasih sama bapak ibumu!" lanjut Erik tanpa berpikir sebelum bicara.
"Tapi Mas, aku malu kalau setiap mau bayar cicilan mobil harus pinjam uang sama bapak ibu," balas Linda dengan wajah yang terus menunduk.
"Alaaahhh ... Baru beberapa kali saja. Sebelumnya kamu tidak malu kenapa sekarang harus malu?! Mereka kan orang tuamu?!!"
"Tapi uang yang kita pinjam sebelum-sebelumnya belum ada yang kita kembalikan, masa sudah mau pinjam lagi?"
"Aku bilang minta, bukan pinjam!!!" Erik menekankan kata-katanya. "Masa pinjam uang sama orang tua sendiri harus dikembalikan?! Seperti sama orang lain saja?!!"
Linda tidak bisa berkata-kata lagi. Hampir setiap bulan dia datang ke rumah orangtuanya untuk meminjam uang, tetapi Erik tidak mau menganggap itu sebagai pinjaman. Dia menganggap uang dari orang tua Linda adalah pemberian jadi tidak perlu dikembalikan.
Setahun yang lalu Erik bersikeras ingin mengajukan kredit mobil dengan alasan dia akan menjadi sopir taksi online. Awalnya Linda tidak menyetujuinya. Dia tahu karakter Erik yang pemalas dan tidak mau bekerja keras. Ditambah lagi kondisi ekonomi mereka yang pas-pasan, Linda tidak yakin bisa membayar cicilan setiap bulannya. Tetapi dengan bujuk rayu dari Erik akhirnya Linda pun menyetujuinya.
Hari ini seharusnya Erik membayar cicilan mobil. Tetapi uang Erik tidak cukup, bahkan belum ada setengah dari yang seharusnya. Lalu dia menyuruh Linda untuk meminta kepada orangtuanya seperti bulan-bulan sebelumnya.
"Sana ...!!! Cepat berangkat!!!" Erik melotot melihat Linda masih duduk di tempatnya. "Ngapain masih melamun di sini?!!"
Linda tersentak mendengar teriakan Erik. Segera dia berdiri lalu meraih tas dan kunci motornya.
"Aku pergi dulu Mas," pamit Linda dengan gugup.
Erik tidak membalas, bahkan menengok ke arah Linda saja tidak.
Dengan mengendarai sepeda motor butut pemberian orang tuanya, Linda berangkat. Air matanya tidak berhenti menetes sepanjang perjalanan. Sejak tadi dia hanya bisa menahannya karena takut Erik akan semakin marah jika melihat dia menangis.
Tidak terasa Linda sudah hampir sampai di rumah orang tuanya. Linda menghentikan motornya. Dia menghapus air matanya lalu melihat ke kaca spion. Linda tidak bisa menyembunyikan matanya yang masih merah. Tetapi dia tidak punya pilihan, mau tidak mau dia mau dia harus menemui orang tuanya.
Kalau Linda tidak mendapatkan uang dari orang tuanya, Erik pasti akan menyuruhnya mencari pinjaman. Entah kepada siapa yang penting Linda harus mendapatkan uang hari ini juga.
"Tinggal ini uang yang ibu punya." Bu Yanto, ibunya Linda menyerahkan uang ke tangan Linda. "Jangan sampai kakakmu tahu, nanti dia bisa marah karena menganggap Ibu pilih kasih."
Linda hanya menganggukkan kepalanya. Meskipun sebenarnya uang itu belum cukup tetapi Linda sangat menghargainya. Dia hampir tidak bisa bersuara karena takut nanti menangis di depan ibunya. Dia sudah berusaha keras menyembunyikan yang terjadi di dalam rumah tangganya tetapi ibunya selalu bisa mengetahuinya.
"Apa Erik memukulmu?"
Linda menggeleng.
"Kalau bapakmu tahu bagaimana sikap Erik kepadamu pasti dia pasti menyesal menerima pinangan Erik waktu itu," ucap Bu Yanto disertai ******* putus asa. Dia ingat waktu itu orang tua Erik datang untuk melamar Linda yang masih belia. Tanpa berpikir panjang Pak Yanto langsung menerimanya karena Erik berasal dari keluarga terpandang.
"Seharusnya dulu bapakmu mencari tahu bagiamana kepribadiannya tidak asal terima saja karena dia kaya."
"Aku mencintai Mas Erik Bu, ini bukan salah bapak." Linda menyanggah. Erik adalah laki-laki pertama di dalam hidup Linda. Parasnya yang rupawan membuat Linda langsung jatuh cinta saat pertama kali melihatnya. Dan setelah itu dia seperti sudah cinta mati kepada Erik. Tidak peduli bagaimana sikap Erik kepadanya, Linda akan tetap membela suaminya itu.
"Sudah ... Sana pulang! Nanti bapakmu keburu pulang dari sawah." Sudah beberapa kali Linda datang untuk meminjam uang, kadang dengan sepengetahuan bapaknya kadang secara diam-diam.
"Nanti aku kembalikan jika aku sudah ada uang," ucap Linda sambil menunduk. Linda merasa tidak enak karena terus-terusan merepotkan ibunya. Padahal orang tuanya hanya bekerja di sawah, uang itu seharusnya menjadi simpanan untuk hari tua mereka tetapi Linda justru memakainya.
*
*
Linda kembali dari rumah orang tuanya. Jantungnya berdebar-debar karena tidak berhasil membawa uang sejumlah yang Erik minta.
Dengan takut-takut Linda mengambil uang dari dalam tasnya lalu memberikan uang itu kepada Erik. "Ini Mas uangnya."
"Terimakasih ya sayang, kamu memang istri yang bisa diandalkan," jawab Erik dengan wajah berseri. Erik lalu menghitung uang pemberian Linda.
"Satu juta?!" Raut wajah Erik berubah drastis.
"Hanya itu uang yang ibu punya," jawab Linda dengan wajah ketakutan.
"Heh ... bodoh!!!" Erik mendorong kepala Linda dengan telunjuknya. "Kamu tahu kan angsuran mobil sebulan tiga juta?!! Aku cuma punya satu juta, berarti kurang dua juta!!! Ini kamu bawa uang satu juta buat apa?!!" Erik melemparkan uang itu sembarang. Dia terus melotot kepada Linda. Nada bicaranya yang ditekan membuat Linda sangat ketakutan.
"Sini, berikan tasmu!!!" Erik lalu merebut tas dari tangan Linda dengan kasar. "Jangan-jangan kamu menyembunyikan sisanya di dalam tasmu!!!"
"Mas, aku tidak menyembunyikan apa-apa." Suara Linda terbata.
Erik tidak menghiraukan Linda yang gemetar ketakutan. Dia mengobrak-abrik isi tas Linda bahkan sampai menjatuhkan semua isinya ke atas meja. Tetapi Erik tidak menemukan uang sepeser pun di sana. Erik terlihat sangat kesal dan melemparkan tas itu tepat ke wajah Risma.
Linda tidak bisa lagi membendung air matanya. Dia sudah berusaha mendapatkan uang untuk Erik tetapi Erik sama sekali tidak menghargainya.
"Kamu pikir dengan menangis masalahnya selesai?! Sana cepat cari pinjaman untuk menutup kekurangannya!" bentak Erik lagi. Linda cepat-cepat menghapus air matanya.
"Pinjam kemana lagi Mas? Pinjaman ke mbak Sari dua bulan lalu belum kita kembalikan. Aku tidak berani kalau harus pinjam lagi," balas Linda lirih.
"Ya siapalah, terserah kamu! Yang penting kamu dapat uang satu juta! Pokoknya hari ini harus dapat!!!"
Erik memakai sepatunya dan merapikan pakaiannya. "Aku mau narik penumpang. Nanti saat aku pulang uangnya harus sudah ada!" titah Erik dengan entengnya.
Linda kembali menangis setelah kepergian Erik. Dia tidak tahu harus bagaimana lagi. Rumah tangganya dengan Erik saat ini membuatnya tersiksa tetapi dia juga tidak ingin berpisah karena dia sangat mencintainya.
Setelah kepergian Erik, Linda bangkit lalu berjalan ke kamarnya. Dia membuka lemari pakaiannya kemudian mengambil salah satu pakaian yang terlipat rapi di dalamnya. Linda mengambil dompet kecil dari dalam saku pakaian itu lalu mengeluarkan semua uang yang ada di dalamnya.
"Satu juta," gumam Linda setelah selesai menghitung uang di tangannya. Sebenarnya Linda ragu untuk memberikan uang ini kepada Erik. Tinggal ini simpanannya satu-satunya. Tabungannya dari hasil menjahit yang dia sisihkan sedikit demi sedikit.
Linda sempat berfikir untuk meminjam dari kakaknya, Sari. Tetapi dia ingat dia dua bulan sebelumnya dia sudah meminjam kepadanya dan sampai saat ini belum bisa dia kembalikan. Jadi terpaksa Linda menggunakan uang simpanannya ini agar Erik tidak marah kepadanya.
Selang dua jam kemudian Erik kembali ke rumah.
"Gimana? Kamu sudah dapat uangnya?" tanya Erik tanpa basa-basi. Linda hanya mengangguk pasrah.
"Mana?" Erik menodongkan tangannya.
Dengan berat hati Linda memberikan uang tadi kepada Erik.
Erik menghitung kembali uang pemberian Linda. Matanya langsung membulat begitu selesai menghitung dan mengetahui jumlahnya genap satu juta.
"Makasih ya sayang ... Kamu benar-benar bisa diandalkan," ucap Erik sambil mengecup kening Risma. Sikapnya kepada Linda pun langsung berubah. "Ternyata aku tidak salah memilih kamu menjadi istriku," ucap Erik sambil mencolek dagu Risma.
Linda menyunggingkan senyum di bibirnya. Hanya diperlakukan seperti ini saja hati Linda langsung berbunga-bunga dan dalam sekejap dia lupa bagaimana sikap Erik kepadanya sebelumnya.
Erik bahkan tidak menanyakan darimana Linda mendapatkan uang itu. Dia tidak peduli. Yang dia tahu sekarang uang itu ada di depan matanya.
Erik lalu menyimpan uang itu ke dalam dompetnya.
"Tapi Mas ... Aku tidak punya uang untuk membeli lauk dan sayuran."
Wajah Erik langsung berubah masam mendengar kata-kata Linda. Dengan kesal dia membuka lagi dompetnya dan mengeluarkan satu lembar uang seratus ribuan.
"Ini ... !" Erik memberikan uang itu kepada Linda dengan wajah masam. "Bukankah waktu itu aku sudah memberimu seratus ribu?!" gerutu Erik.
"Itu sudah seminggu yang lalu Mas."
Erik hanya memberi jatah seratus ribu untuk seminggu. Dia tidak peduli uang itu cukup atau tidak, Erik tidak mau tahu. Dia hanya tahu setiap pulang ke rumah harus ada makanan di meja makan.
"Ini juga sudah waktunya bayar uang sekolah Aruna," imbuh Linda. Tetapi Erik sama sekali tidak menghiraukannya.
"Bayar pakai uangmu bisa kan? Uang hasil dari menjahit itu kamu gunakan buat apa? Masa dari dulu sampai sekarang menjahit nggak ada hasilnya?!" Erik benar-benar tidak mau tahu urusan keuangan rumah tangganya.
Selama ini uang hasil menjahit Linda dia gunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari karena uang seratus ribu dari Erik tidak cukup untuk seminggu. Jangankan seminggu, cukup untuk tiga hari saja sudah luar biasa.
"Biasanya juga pakai uangku kan Mas? Sekarang aku sudah tidak punya uang lagi." Risma memberanikan diri menjawab.
"Nanti aku carikan. Aku harus pergi sekarang!" Erik pamit kepada Linda. Tetapi bukannya keluar rumah, Erik justru masuk ke dalam kamar.
Beberapa saat kemudian Erik keluar dari kamar dan sudah mengganti pakaiannya. Erik terlihat sangat rapi dan tampan. Dia lebih terlihat seperti anak muda yang akan nongkrong dibanding sopir taksi online.
"Kamu mau kemana Mas?" tanya Linda dengan sedikit takut.
"Mau setor cicilan setelah itu cari orderan. Kenapa?!" ketus Erik.
Linda tidak berani bertanya lebih jauh lagi. Dia hanya memandangi Erik yang akhir-akhir ini sering membeli baju baru. Bagaimana Erik bisa membeli baju-baju itu jika dia tidak pernah punya cukup uang untuk membayar angsuran mobil?
Sedangkan jika Linda menginginkan baju baru, dia akan membeli kain yang paling murah di pasar lalu menjahitnya sendiri, itupun tidak mesti satu tahun sekali.
Demikian juga Aruna, putri semata wayangnya dengan Erik. Jarang sekali Linda membelikan baju baru untuk anaknya itu. Linda sering membuatkan baju dari sisa kain jahitan yang sengaja ditinggalkan oleh pelanggannya. Beruntungnya Aruna adalah anak yang penurut seperti dirinya. Dia tidak pernah protes dengan baju buatan Linda yang seadanya.
Pukul sebelas malam Erik baru pulang ke rumah. Linda belum tidur karena masih harus menyelesaikan jahitan.
"Kamu sudah pulang Mas?" sambut Linda. Erik hanya mengangguk dan berjalan melewatinya.
"Kamu mau makan dulu?"
"Aku sudah makan tadi," jawab Erik acuh.
"Mas, apa kamu sudah mendapatkan uang untuk membayar uang sekolah Aruna?"
Erik menghentikan langkahnya. Dia berbalik dan menatap Linda sinis. Begitu saja sudah membuat Linda ketakutan.
"Aku benar-benar sudah tidak punya uang Mas," ucap Linda lirih tanpa berani menatap balik Erik.
"Kamu bisa lihat tidak aku baru pulang?! Aku ingin istirahat, bukan malah di suruh mikir bagaimana caranya mendapatkan uang?!"
"Tapi Mas ... bukankah seharian tadi kamu bekerja? Apa kamu tidak dapat penumpang sama sekali?" Linda memberanikan dirinya. Dia benar-benar terdesak. Seandainya saja dia masih mempunyai uang simpanan, dia tidak akan berani bertanya seperti ini. Dia lebih memilih menggunakan uangnya sendiri daripada harus mendapatkan kemarahan Erik.
"Aku kan sudah bilang, pakai uangmu dulu?! Kamu punya uang kan?!"
"Uangku sudah aku gunakan untuk menutupi kekurangan cicilan mobil tadi siang. Itu uang tabunganku Mas." Erik tidak jadi marah mendengar penjelasan Risma.
"Ya sudah ... " Erik mengeluarkan dompetnya. "Berapa?"
Linda dapat melihat uang di dalam dompet Erik. Sebenarnya Erik mempunyai uang, tetapi dia hanya mau menggunakan uangnya untuk dirinya sendiri.
"Seratus ribu," jawab Risma sambil terus melihat isi dompet Erik.
Erik memberikan uang seratus ribu kepada Risma. "Kamu sudah menghabiskan dua ratus ribu seharian ini saja!" gerutu Erik sambil berlalu meninggalkan Linda.
Linda hanya terdiam. Kata-kata Erik cukup menyinggung perasaannya, seolah uang dua ratus ribu itu Linda gunakan untuk keperluannya sendiri. Kenapa Erik seperti tidak rela mengeluarkan uang seratus ribu untuk anaknya sedangkan Linda rela memberikan satu juta untuk cicilan mobilnya?
Linda kembali duduk di depan mesin jahitnya. Matanya berkaca-kaca karena memikirkan sikap Erik kepadanya.
Dulu ketika orang tua Erik masih hidup semuanya terasa mudah. Meskipun Erik sudah berkeluarga, mereka selalu memberi apa yang Erik butuhkan termasuk uang. Mereka sangat memanjakan Erik dan tidak pernah menyuruhnya untuk bekerja. Kebutuhan Erik dan Linda mereka penuhi semuanya.
Keadaan menjadi sulit setelah usaha keluarga Erik mengalami kebangkrutan dan ayah Erik meninggal. Erik harus menerima kenyataan jika ayahnya meninggalkan banyak hutang dan membuat dia harus menjual harta peninggalan sang ayah untuk melunasi hutang. Ibunya pun meninggal tidak lama kemudian karena tidak bisa menerima kenyataan lalu sakit-sakitan.
Sejak itulah sikap Erik berubah. Dia menjadi gampang marah dan uring-uringan. Erik tidak pernah bekerja seumur hidupnya. Dia tidak terbiasa hidup susah, dia tidak siap jika harus membanting tulang untuk menghidupi anak istrinya. Dia tidak rela jika uang yang dia hasilkan harus dia gunakan untuk memenuhi kebutuhan orang lain, meskipun itu anak dan istrinya.
Linda menemani Aruna, anaknya yang sedang sarapan.
"Runa berangkat dulu Bu," ucap anak itu setelah menghabiskan sarapannya.
"Yakin tidak perlu ibu antar?" Linda berjongkok untuk menyamakan posisinya dengan Aruna. Dia tampak ragu melepas anaknya berangkat sekolah berjalan kaki.
"Kalau diantar pakai mobil ayah, Runa baru mau," jawab Aruna sambil tersenyum menunjukkan giginya yang kecil-kecil dan putih.
Hati Linda perih mendengar kata-kata anaknya. Bagi anak-anak kampung seperti Aruna, naik mobil adalah sesuatu yang istimewa. Terlebih hanya ayahnya saja yang memiliki mobil di kampung mereka.
"Kan cuma dekat sekolahnya? Masa harus diantar pakai mobil?" jawab Linda disertai senyum. Betapa miris nasib Aruna dan Linda. Setelah satu tahun memiliki mobil, Erik belum pernah sekalipun mengajak mereka jalan-jalan menaiki mobilnya.
"Ya sudah, Runa jalan kaki saja kalau begitu."
"Anak pintar." Linda tersenyum.
Setelah berjalan beberapa langkah Aruna berhenti lalu berbalik kepada ibunya.
"Apa tadi malam ayah pulang larut?"
Linda mengangguk. "Kenapa memangnya?" tanyanya penasaran.
"Karena tadi malam Runa tidak mendengar suara ayah marah-marah."
Linda tidak bisa berkata-kata mendengar jawaban anaknya. Meskipun baru berusia tujuh tahun, dia sudah bisa mengerti apa yang terjadi antara ibu dan ayahnya. Hampir setiap hari ada saja masalah yang membuat Erik marah-marah, hingga Aruna hafal tabiat sang ayah.
"Sana berangkat, nanti terlambat," usir Linda secara halus. Dia tidak ingin Aruna terus membicarakan ayahnya.
Aruna pun mengangguk. Linda mengantarkan Aruna sampai di halaman rumah mereka. Tidak lupa Linda memberikan uang saku juga uang untuk membayar iuran sekolah yang semalam Erik berikan.
Di luar rumah tampak beberapa anak tetangga mereka yang juga akan berangkat sekolah berjalan kaki.
"Tante, Aruna berangkat bareng kami saja," sapa Sella, anak tetangga Linda yang sudah kelas empat.
"Titip Runa ya," balas Risma.
"Siap Tante ... Ayo Runa kita berangkat sekarang." Aruna melambaikan tangan kepada ibunya lalu bergabung bersama anak-anak itu.
Linda tinggal di sebuah desa kecil. Latar belakang orang tua Erik yang dikenal kaya membuat mereka cukup dihormati oleh tetangga-tetangga mereka.
Rumah Erik terlihat paling bagus diantara tetangga yang lain karena itu adalah rumah peninggalan orang tuanya. Ditambah sekarang mereka punya mobil, barang mewah yang hanya dimiliki Erik seorang.
Linda masuk kembali ke dalam rumah. Dia melanjutkan pekerjaan rumahnya setelah itu lanjut menjahit. Erik masih belum bangun dan Linda membiarkannya. Dia tidak pernah berani membangunkan Erik ketika dia sedang tertidur.
Sejak dulu seperti itu. Bahkan ketika Aruna masih bayi dan menangis karena sedang ditinggal Linda mandi atau memasak pun Erik tidak pernah mau membantu. Dia justru uring-uringan karena suara tangis Aruna mengganggu tidurnya. Dan akibatnya Linda akan mendapatkan amukan dari Erik.
Linda fokus menjahit ketika dia mendengar suara berbisik di ruang makan. Itu pasti Erik sedang sarapan. Linda menoleh ke jam dinding di samping tempatnya menjahit. Sudah hampir jam sepuluh dan Erik baru bangun.
Erik membawa sarapannya ke ruangan tempat Linda menjahit lalu duduk di kursi yang ada di ruangan itu. Erik makan masakan Linda dengan lahap tanpa protes meskipun Linda hanya masak tumis kangkung dan tempe goreng.
"Sekali-kali kamu masak ayam atau daging bisa kan? Aku sudah memberimu uang untuk belanja," ucap Erik disela mengunyah makanannya. Tidak lupa dia memainkan ponsel di tangan kirinya.
Linda hampir mengelus dadanya mendengar kata-kata Erik. Uang belanja seratus ribu untuk seminggu dan Erik minta dimasakkan daging?
"Besok kalau sempat aku akan ke pasar membeli daging," jawab Linda. Entah bagaimana dia tidak pernah berani menolak keinginan suaminya.
Linda mungkin marah dan terkadang menangis di belakang Erik atas sikap kasar Erik kepadanya. Tetapi itu tidak akan lama. Erik tersenyum kepadanya saja hati Linda luluh dan dia langsung lupa semuanya. Linda menganggap itu karena dia mencintainya.
Bahkan setelah orang tua Erik bangkrut dan Erik tidak mau kerja pun Linda masih berusaha untuk mengerti keadaan Erik. Mungkin Erik belum terbiasa, pikirnya waktu itu.
Dulunya, Erik adalah anak orang kaya di kampungnya. Dia tidak pernah bekerja seumur hidupnya. Orang tuanya selalu memanjakan dia karena dia anak satu-satunya. Apapun yang Erik inginkan selalu di turuti. Erik memiliki semuanya tanpa harus bersusah payah.
Dan hasilnya sekarang Erik tidak bisa apa-apa. Dia tidak punya kemampuan apapun untuk menghasilkan uang. Entah dia malas atau karena memang dia tidak bisa apa-apa.
Akhirnya dengan terpaksa dia mau menjadi tukang ojek, hanya itu yang dia bisa. Itupun kalau cuaca sedang hujan atau panas terik dia tidak mau keluar dan melakukan pekerjaannya karena takut sakit. Karena hal itu pula Erik ngotot ingin kredit mobil dan beralih profesi menjadi sopir taksi online.
Linda melirik jam untuk yang kesekian kalinya. Sudah jam sebelas dan Erik belum beranjak dari tempatnya sejak tadi. Piring bekas makannya pun masih tergeletak di sampingnya. Dia belum melakukan apa-apa selain makan sejak bangun tidur dan sibuk dengan ponselnya. Dia bahkan belum bersiap-siap untuk pergi bekerja.
"Kamu tidak mencari orderan Mas?" tanya Linda sambil terus fokus di depan mesin jahitnya.
"Sebentar lagi, ini aku sedang menunggu ada orderan," jawab Erik tanpa mengalihkan perhatiannya dari ponsel.
"Bukankah semakin pagi kamu siap, semakin banyak kamu bisa mendapatkan penumpang?"
"Lebih baik kamu diam kalau tidak tahu apa-apa!" seloroh Erik. Lalu dia pergi dari ruang menjahit Linda dan meninggalkan piring bekas sarapannya di sana.
Linda memang tidak tahu menahu soal pekerjaan Erik menjadi pengemudi taksi online. Yang dia tahu jam kerja Erik tidak menentu. Apalagi soal penghasilan Erik, Linda sama sekali tidak tahu.
Linda tidak habis pikir kenapa setiap bulan Erik tidak pernah pernah bisa membayar cicilan mobil menggunakan uangnya secara utuh. Padahal setiap hari dia pergi keluar untuk menarik penumpang. Dan herannya, Erik masih bisa membeli sepatu dan pakaian baru meski tidak bisa membayar cicilan mobil.
Hanya di bulan pertama dan kedua saja Erik bisa lancar membayar cicilan. Setelah itu, Linda harus mengambil dari tabungannya atau meminta bantuan kepada orang tuanya. Meskipun Linda bukan berasal dari keluarga berada, tetapi orang tua Linda selalu memberikan bantuan jika Linda memintanya, termasuk uang. Mereka akan mengusahakan semampunya.
Pernah juga sekali meminjam kepada Mbak Sari, kakak Linda satu-satunya. Dan sampai sekarang pun uang itu belum bisa dia kembalikan.
Linda tidak tahu lagi bagaimana jika bulan depan Erik tidak bisa mengumpulkan uang untuk membayar cicilan seperti bulan-bulan sebelumnya. Darimana lagi dia akan mendapatkan uang sementara Erik pasti akan menyuruhnya mendapatkan uang itu tidak peduli darimana asalnya.
Mana mungkin dia mengharapkan uang sebanyak itu dari hasil menjahit sementara dia juga memerlukan uang untuk belanja kebutuhan sehari-hari dan juga kebutuhan lainnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!