NovelToon NovelToon

Coach Kami, Mr. Drac

BAB 01 ~ Sounds Good ~

Tak sampai satu jam sejak Lita tinggalkan Stadion Losail, mobil bus dengan bagian atap terbuka melintasinya. Mobil bus itu memang disediakan khusus oleh panitia piala dunia Qatar 2022 untuk arak-arakan kemenangan timnas Argentina. 

Akhirnya bus kemenangan itu tiba tepat di depan hotel tempat Lita menginap. Walau telah saksikan seluruh partai final hingga sesi penyerahan piala tak membuat Lita harus sia-siakan kesempatan itu. Penuh sukacita Lita ingin sekali turut serta dalam iring-iringan pesta kemenangan Tim Tango. 

Lita ingin dekati tim juara, yang sejak awal kompetisi telah banyak dijagokan pecinta sepak bola. Terutama bintang utamanya, Lionel Messi. Lita ingin dapat menyentuh tangan salah satu dari tim juara. 

Namun, apa yang diinginkannya harus ia urungkan. Gelombang manusia yang terus berdatangan. Selain itu juga berusaha ikuti laju bus dari bagian samping bus. Akhirnya arus manusia itu tiba juga pada Lita. Sesuai dengan perkiraannya, Lita pun terpental dari posisi tunggunya semula..

"Aduh, duh, duh," Terdengar pekikan Lita saat dirinya ikut terdorong gelombang manusia itu.

"I hold you! .. I can hold you!" kata seorang  pria berbaju hitam sambil pegangi kedua bagian lengan atas Lita dari arah belakang tanpa kesulitan sedikitpun.

Kuatnya dorongan dari banyak manusia itu membuat Lita terhuyung ke belakang. Bahkan sampai-sampai kaki kanan Lita menginjak kaki kanan penolongnya itu. Injakan kaki tadi menjadi gerakan terhuyung terakhir bagi Lita. Bahkan pria itu kini telah membalikkan badan untuk melindungi Lita dari dorongan arus gelombang manusia yang sangat kuat itu.

"Maaf, maaf tidak sengaja!" Keluar ucapan dari Lita dengan cepat,  sejenak ia lupa bahwa tidak sedang berada di tanah air. 

"No problem Mam!" jawab pria bule itu sopan.

Lita bersyukur karena pria bertubuh tinggi kurus dapat menahan tubuhnya, maka ia dapat terhindar dari luka akibat jatuh. Trotoar hotel yang kasar sangat bisa sebabkan luka pada dirinya. Bahkan jika ia jatuh dengan dua telapak tangan sebagai tempat tumpuan. 

Bisa saja ada tambahan luka pada lutut jika tumpuan tangannya tidak kuat. Akan lebih bahaya jika sempat jatuh dan tersungkur. Bisa saja ia dapat terinjak-injak para oleh suporter lain yang relatif bertubuh besar dibandingkan dirinya. Tak sanggup Lita membayangkannya jika hal itu harus terjadi. 

Selain mengucap rasa syukur dalam hati berulang kali, Lita juga merasa heran pada pria itu. Bagaimana bule berwajah pucat itu bisa mengerti perkataannya tadi. Penuh keisengan Lita coba buat sebuah obrolan untuk pastikan dugaannya.

Lita ucapkan lagi rasa terima kasihnya pada bule yang terkesan kaku itu, "Terima kasih sudah menolong."

"It's okay Mam!" jawabnya, "bahasa?"

"Ya, Indonesia!" balas Lita semakin yakin bahwa bule itu memang mengerti ucapan yang ia katakan. Ia juga bersyukur bahwa penolong itu tak sekaku penampilannya.

"Ya, Indonesia, saya tahu Indonesia! Bahasa Indonesia rights?" ujar bule itu ramah sambil bergerak ke pinggir arah kaca lobi hotel guna hindari orang yang lalu lalang.

"Good!" jawab Lita dengan ceria seraya tunjukkan jempol kanan di depan wajah sembari ikuti arah bule itu bergerak.

"Lita!" ujar Lita sembari ulurkan tangan kanannya.

"Zhelev Hristov," jawab bule itu membalas uluran tangan Lita hingga mereka lakukan gerakan bersalaman.

"Jelep, who?" tanya Lita kurang yakin akan pendengarannya serta lidah yang kaku jika ucapkan huruf Z dan V.

"Zhelev Hristov!" ulang pria itu dengan nada lebih dipanjangkan, tapi tetap saja seperti suara iklan batuk berdahak bagi pendengaran Lita.

"May I call you with Levy," ujar Lita yang mendadak teringat nama kucing berjenis Persia peliharaannya ketika kecil, "just Levy!"

"Levy.. why not?" jawab Levy sambil buka senyuman yang lebar, "Lita Levy.. mmh.. sounds good!"

Merah mendadak pipi Lita. Kulit putih pada pipi itu memang jadi idaman bagi para gadis. Pipi Lita dapat mudah memerah karena kulitnya dapat dibilang sangat putih untuk ukuran manusia Indonesia. 

Lita pun sempat syok beberapa saat. Niat awalnya ia hanya ingin mempermudah dalam menyebut nama itu. Tak ada maksud yang lain.

Namun, Lita yakin tidak ada maksud pria itu tak bermaksud kurang ajar padanya. Apa yang diucapkan oleh Levy hanya spontanitas belaka. Untuk kesekian kali Lita terdiam tak berani menatap wajah pria itu. Ia hanya tundukkan kepala dan melihat ujung sepatu kets-nya.

Entah apa isi kepala Lita saat itu hingga tanpa ragu ia berkenalan dengan bule itu. Lita merasa tidak asing dengan Levy. Dari hasil perkenalan yang baru saja ia lakukan diketahui bahwa teman barunya itu asal negara Bulgaria.

"Great moment huh?" ujar Levy sambil menatap iring iringan yang mulai menjauhi mereka.

"I agree," jawab Lita singkat

"So what next!" tanya Levy, "minum kopi.. shisha?"

"Apa?" tanya Lita karena kurang mengerti akan tawaran kedua dari Levy.

"Coffee shop in front of us!" ujar Levy sambil jari telunjuknya menunjuk ke arah kafe yang ada di seberang jalan.

"Oh, oke!" jawab Lita tanpa sadar bahwa baru saja ia telah menerima tawaran orang asing yang baru saja dikenalnya.

Spontan jadwal pulang pesawat yang baru besok malam Lita jadikan sebagai alasan. Setidaknya hal itu cukup logis dijadikan sebagai pembenar untuk terima tawaran Levy. Harus diakui saat itu Lita memang butuh sesuatu yang segar atau hangat. Benda dengan sifat seperti itu yang dibutuhkan dalam proses relaksasi saluran napas bagian atas miliknya. 

Bayangkan, tenggorokan itu ia pakai untuk berteriak hampir tiga jam lamanya. Bahkan terkadang histeris. Mengingat keseruan partai final yang baru ia saksikan.

Mereka kini duduk pada sebuah meja kecil bundar beralaskan taplak meja warna merah. Sambil tunggu pesanan kopi hitam dan shisha rasa mint permintaan Lita, Levy membuat sebuah pengakuan. Bahwa ia bukanlah fans Argentina. Ia lebih pilih Kroasia untuk dijagokan. 

"Apa karena sesama negara Balkan?" tukas Lita.

"Benar itu!" jawab Levy spontan.

"Final, tidak jagokan French?" tanya Lita, "kan sama-sama Eropa."

"Perancis sudah pada piala dunia lalu," jawab Levy, "jadi sekarang lebih pantas Argentina kan!"

Untuk sesaat obrolan mereka terganggu, pesanan kopi dan alat shisha mereka tiba. Pelayan yang sepertinya berasal dari Filipina itu, juga bawakan paket roti manis dan manisan khas Arab. Sungguh penganan yang cocok menjelang tengah malam.

Mengganti kata French menjadi Perancis membuat Lita semakin yakin bahwa lawan bicaranya sangat paham bahasa yang ia gunakan. Lalu Lita buat keputusan hanya akan pakai bahasa Indonesia. Terkadang campuran bahasa akibatkan beberapa arti dan makna menjadi hilang dan kerap timbulkan persepsi yang berbeda. 

"Apa yang kamu lakukan Lita?" tanya Levy dengan bahasa yang sangat baku.

"Emh, saya dokter olahraga," jawab Lita setelah sempat sepersekian detik untuk renungkan pertanyaan itu, "juga dosen bidang olahraga."

"Di Indonesia?" tanya Levy.

"Ya, bahkan saya tidak pernah berniat bekerja di luar negeri," jawab Lita, "kalau kamu?"

"Saya petani Raspberry, teruskan usaha keluarga," ujar Levy merendah, "juga ada bisnis agensi pemain sepak bola."

"Ah, yang bener!" ujar Lita mendadak antusias pada profesi kedua Levy, "pelaku bisnis sepak bola juga rupanya ya?"

"Begitulah, kami mencari bakat muda dari negara negara Balkan."

"Bisakah kamu ceritakan bisnis sepak bola itu pada saya?"

Tanpa canggung Levy terangkan bisnis agensi pemain yang ia lakukan. Lita menyimak uraian Levy dengan serius. Lita berharap akan dapat suatu masukkan atau pencerahan dari penjelasan Levy. 

Harapan Lita, sebagian penjelasan Levy mengandung solusi atas problemnya saat itu. Sebelum berangkat ke Qatar, Lita telah menyanggupi menjadi penanggung jawab program sepak bola kampus. Suatu hal yang tidak ia kuasai.

"Selain sebagai pemilik, kamu lakukan hal apa di bisnis itu?" Lita merasa heran ada kaitan apa antara Raspberry dan agensi pemain bola. 

"Saya seorang psikiater atlet," jawab Levy kalem, "Saya terbitkan assessment terkait emosi dan proyeksi tumbuh kembang pemain untuk bermain di liga Eropa."

"Oh seperti itu, saya tadi sempat berpikir jika pekerjaan anda benar-benar ada hubungan dengan sepak bola," ujar Lita pelan seperti ada rasa kecewa disana.

"Ya memang, bahkan sebelumnya saya sempat sekolah pelatih sepak bola," jawab Levy dengan tenang sambil menghirup kopi hitamnya.

"Hebat ... hebat!" pekik Lita campur tertawa, lalu tepukan kedua telapak tangan hingga timbul bunyi lumayan keras, "terima kasih Tuhan sudah pertemukan orang yang tepat."

Melihat kelakuan Lita yang sedikit norak, Levy hanya tersenyum. Dengan gerakan tenang ia mengambil manisan dari piring kecil serta mengunyahnya dengan pelan. Lita sadar bahwa ia telah jadi perhatian orang-orang akibat bunyi tepuk tangannya tadi. Lita abaikan orang-orang itu dengan cara menghisap shisha rasa mint itu dalam-dalam.

"Jika kamu benar-benar pernah jadi pelatih tim sepak bola, apakah kamu mau berbagi pengalaman dengan saya?" Lita bertanya sesopan mungkin pada Levy, setelah mereka hanya diam untuk beberapa saat

"Ya ... tentu saja!" ucap Levy masih dengan wajah tersenyum walau terkesan dingin bagi orang yang belum mengenalnya, "tapi apa perlunya kamu tentang teknik melatih sepak bola."

Ditanya seperti itu terbersit dalam kepala Lita untuk memberi tahu masalah yang menderanya, "Serius mau dengar cerita saya?" 

"Silahkan," jawab Levy singkat.

Serasa dapat angin untuk lepaskan segala unek-uneknya, Lita pun berkata, "Saya memang pernah jadi bagian tim sepak bola, tapi hanya sebagai bagian medis. Saya sama sekali tidak tahu cara melatih sepak bola. Kemarin saya diminta oleh anak didik saya yang terancam ...."

"Whoa ... whoa ... whoa ... please take it slow miss, waktu kita masih panjang," ujar Levy khawatir tidak dapat mencerna perkataan Lita dengan baik, terdengar lebih mirip dengan omelan.

"Aish ... maaf ya," ucap Lita sambil menarik cangkir kopinya lagi.

"Oke Lita, silahkan dilanjut ceritanya," pinta Levy dengan sopan agar Lita dapat teruskan bercerita.

Begitulah pada malam itu Lita tumpahkan segala keluhannya pada Levy terkait sepak bola. Mulai dari awal hingga akhir. Namun, mereka tak hanya cerita tentang sepak bola. Ada kalanya tentang pribadi mereka yang bersifat umum. 

Tak terasa waktu telah mendekati sepertiga malam. Lita telah kenyang bercerita juga banyak terima masukan malam itu. Lita pikir sudah saatnya untuk akhiri percakapan mereka.

Lita tak lagi sanggup menahan kantuknya. Ia pun terpaksa undur diri tak lama berselang dari ia menguap untuk kali ketiga. Lita ucapkan terima kasih dan mohon undur diri.

Lita pun pergi tinggalkan Levy. Kembali ke hotel tempat ia menginap. Lita telah berada di hotel itu sejak partai ketiga babak penyisihan piala dunia Qatar 2022. Praktis tak sekalipun ia berpindah dari hotel itu selama pesta bola dunia Qatar berlangsung.

...☘️☘️☘️ ~ Bersambung ~ ☘️☘️☘️...

BAB 02 ~ Laib, Dimanakah Pengirimmu? ~

Lita hempaskan pantatnya pada kursi kayu itu. Lita baru saja selesai berikan materi kuliah tentang kram, cara pencegahan dan  penanganannya. Materi itu telah acap kali ia bawakan di perkuliahan, simposium ataupun pelatihan bagi para praktisi olahraga.

Tapi ada yang berbeda kali ini. Lita terlihat tidak begitu lepas saat sampaikan materi itu. Sepertinya tekanan Heru, wakil rektor tiga bidang kemahasiswaan semakin dirasakan Lita.

Tepatnya sejak Lita beri janji bahwa akan ada orang yang bersedia jadi asisten pelatih di klub sepak bola kampus. Sejak itu hampir setiap kali bertemu Heru kerap kali bertanya tentang kepastiannya. Lita merasa bosan jika terus ditanyakan.

"Bu Lita jadi menghadap ke Pak Heru lagi?" tanya Dito yang tiba-tiba telah berdiri di sisi samping meja saat Lita mulai terhanyut dalam lamunan.

"Eh kamu Dit, kok belum keluar?" tanya Lita seraya masukkan peralatan mengajar ke dalam tas selempang yang terbuat dari bahan kulit, "nggak punya kelas yang lain lagi apa?"

"Agak siangan Bu, Apa Ibu jadi mau temui Pak Heru lagi?"

"Ya jadilah Dit, masak iya harus mundur!"

Begitu keras hati Lita. Telah tiga kali ia temui Heru, wakil rektor bidang kemahasiswaan itu. Tiga kali pula ia ditolak dengan argumen yang terkesan tak masuk akal. Tapi bukan Lita namanya jika gampang menyerah. Jangankan menyerah, tanda-tandanya pun tak pernah ada terlihat. Lita tidak akan pernah terima jika klub sepak bola kampus harus bubar.

"Justru itu Bu, kalau memang berat ya.. nggak usah kesana lagi aja Bu," pinta Dito.

"Tanggung Dit, Kok kamu jadi lembek gini sih?"

"Maaf ya Bu, Tapi saya dengar-dengar dari orang tentang Pak Heru," Dito seperti ragu dalam mengutarakan gosip yang beredar.

"Emangnya kenapa dia!"

"Sebenarnya ini cerita tentang Ibu dengan Dia!"

Lita terdiam untuk sesaat. Memang ia sempat dengar gosip itu. Yang bikin heran mengapa bisa cerita yang beredar justru tidak sama dengan yang ia alami.

Heru sempat meminta agar dirinya bersedia untuk hubungan yang lebih dekat. Lebih dari sekedar hubungan rekan kerja. Setidaknya telah dua kali Heru memohon agar Lita bisa membuka hatinya bagi seorang duda yang ditinggal mati. 

Oh ... rupanya itu toh pandangan Dito dan anggota tim sepak bola yang lain. Cukup pantas jika ia berjuang untuk mereka pikir Lita dalam hati.

"Oh, kalau tentang itu mah biarin aja Dit, yang penting kan saya-nya, Kalau saya nggak mau bisa apa dia, ya kan?" Lita terkesan gede rasa.

"Masalahnya Bu yang kami dengar bukan seperti itu,"

"Maksudnya?"

"Malah kebalikannya Bu,"

Waduh apa lagi ini, salah tanggap artinya gua. sialan si Heru. Bisa aja dia ganti cerita, Lita membatin.

"Apa benar Bu Lita yang pernah ajak makan malam Pak Heru!"

"Apa alasan saya harus seperti itu?"

"Supaya tim kami tetap ada dalam agenda kemahasiswaan."

"Apa? Kamu percaya dengan cerita itu?"

"Nggak!"

"Lha terus?"

"Kalau memang berat kondisinya, nggak usah lagi Ibu bicara ke Pak Heru!"

"Gimana sih kamu!"

"Pokoknya saya pastikan anak-anak juga udah ikhlas kok kalau memang harus bubar," jawab Dito yang telah ikhlas bila Lita tak mampu pertahankan keberadaan klub sepak bola kampus.

Plak ... terdengar keras bunyi gerakan salam pendekar kung fu. Dimana tinju dan telapak tangan Lita diadu. Lita tunjukkan rasa gemas terhadap Heru dengan berkata,"Kurang ajar nih sih Heru!"

"Kok Bu Lita marah nyampe segitunya, Artinya kejadian itu nggak bener ya Bu," tukas Dito.

"Ya nggak lah,* potong Lita dengan cepat, "biar nanti saya tanyakan langsung sama Pak Heru."

"Lebih baik jangan Bu, jangan-jangan ada orang lain yang jadi kompor!'

"Bisa jadi sih?"

Lita lalu berpikir tentang kemungkinan itu. Dalam tempo singkat Lita telah berhasil mengetahui siapa yang hembuskan kabar bohong itu. Pikiran waras Lita dapat dengan mudah menduga orang itu adalah sekretaris Heru. 

Dugaannya pun semakin kuat. Ia pernah saksikan wajah tidak menyenangkan dari Rosa. Saat dirinya menemui wakil rektor bidang kemahasiswaan itu.

"Oke Dit, Saya harus ke ruangan dosen sekarang," ujar Lita, "apa masih ada lagi yang mau kita bicarakan?" 

"Nggak ada lagi Bu," jawab Dito, "cuma mau kasih gambaran aja, kalau memang harus gagal kami nggak akan nyalahin Ibu!"

"Oke, saya sudah paham itu, Terima kasih," jawab Lita. "tapi saya akan tetap mencoba sebisa saya."

"Terima kasih Bu," Terdengar ucapan Dito mengakhiri percakapan itu.

Lita segera berlalu tinggalkan ruang kelas. Pikirannya campur aduk antara geram dan kecewa atas gosip yang beredar. Namun, beruntung Lita masih dapat menahan emosinya. Tak ada untungnya jika ia melabrak sekretaris Heru itu. Hanya akan merendahkan derajat dirinya saja.

Lita berjalan menuju ruangan wakil rektor bidang kemahasiswaan. Tak terelakkan lagi bahwa hari ini ia harus kembali ke ruangan itu. Berita adanya anggaran yang tidak sesuai penggunaan di klub sepak bola, mewajibkan Lita untuk cari tahu kebenarannya.

"Oh, rupanya Bu Dokter Lita yang datang," ujar sekretaris Heru yang Lita sangkakan telah menyebar isu tentang dirinya.

"Iya, saya ada perlu dengan Pak Heru, Bisa ketemu?" tanya Lita tanpa basa-basi.

"Baik Bu dokter saya tanyakan dulu," ucap Rosa sambil mengangkat gagang telepon.

Gerakan Rosa dalam mengangkat telepon serta menekan tombol interkom membuat Lita ingin tertawa. Nyata sekali gerakan itu dibuat-buat. Agaknya Rosa ingin tunjukkan sikap wanita ayu dalam dirinya pada Lita.

"Silahkan Bu Dokter, Pak Heru-nya sudah menunggu di dalam!" ucap Rosa seraya bukakan pintu dan menahan laju pintu itu agar tidak tertutup kembali.

"Oh ya, terima kasih," ujar Lita yang tanpa ragu melangkah lewati Rosa yang berdiri di depan pintu. 

Pintu ruangan itu segera tertutup kembali ketika Rosa lepas pegangannya. Tanpa ragu Lita menuju kursi dihadapan Heru. Lita ingin menghindari duduk di kursi tamu yang disediakan. Bagi Lita duduk di sana hanya buat dirinya semakin lama berada diruangan itu.

"Silahkan Dokter Lita!" ucap Heru sambil  berdiri sebagai tanda menghormati Lita.

"Terima kasih Pak!" jawab Lita sekenanya.

Lita memang agak kesal pada sesuatu hal dengan informasi tidak secara lengkap, atau setengah-setengah. Termasuk dalam hal adanya dugaan penyelewengan dana keuangan klub sepak bola kampus yang tengah ia perjuangkan. Permasalahan pelatih belum selesai, tambah lagi dengan masalah laporan keuangan.

"Bagaimana, sehat saja Dokter Lita?" sapa Heru setelah persilakan Lita duduk.

"Baik saja Pak!  Saya kemari karena ada kabar bahwa ada masalah keuangan di klub bola kampus," Lita katakan maksud tujuannya secara langsung untuk bertemu Heru.

"Dokter Lita dengar dari mana?"

"Dari salah satu dosen yang tidak bisa saya sebutkan namanya," Lita tanpa basa-basi, "apa itu benar?"

"Benar sekali Dokter Lita, Mohon maaf saya juga baru tahu tadi pagi dari bagian keuangan," ujar Heru sambil coba dapatkan pengertian dari Lita.

"Pak Heru baru tahu juga rupanya,"

"Begitulah adanya Bu Dokter,"

"Oh begitu ya Pak, kalau begitu biar saya ke bagian keuangan saja,"

"Nanti dulu Dokter Lita! Ada baiknya kita sambung percakapan kita kemarin dulu!" Heru setengah memaksa agar Lita bisa tinggal lebih lama.

Lita tak percaya jika Heru tak mengetahui ada peristiwa audit pada klub sepak bola yang akan dibubarkan itu. Terlebih dengan jabatan yang Heru miliki. Lita sama sekali tidak ingin cari tahu dari Heru. Lebih baik ia lakukan konfirmasi pada pihak keuangan langsung.

Begitu juga Lita tidak sedang ingin bahas tentang Levy. Lita kesal karena Levy tak jua kunjung tiba. Levy adalah calon pelatih yang Lita pernah sampaikan pada Heru dan jajaran pejabat kampus lainnya. 

Pada hari keenam sejak mereka bertemu di Qatar, Levy pernah berkirim surat, sebagai tindak lanjut hubungan telepon yang mereka lakukan. Isi surat itu berupa  pernyataan siap menjadi pelatih tim sepak bola kampus. Surat itu terselip dalam paket bingkisan berupa cinderamata piala dunia Qatar 2022.

Bisa saja Lita bersikeras untuk tinggalkan tempat itu dengan dalih ada kepentingan mendadak. Namun, ia lebih tidak suka jika dianggap sebagai pembohong. Dengan berat hati Lita harus lebih lama berada di ruangan itu.

"Bagaimana Dokter Lita, apa sudah ada kepastian dari kandidat Ibu?" tanya Heru.

"Kalau tentang itu saya masih menunggu Pak," jawab Lita, "selama belum ada info lanjutan, saya masih menunggu Pak!"

"Saya beneran nggak nyangka lho, kalau Dokter Lita bisa sabar juga ternyata," ujar Heru coba.menyindir dan membandingkan sikap Lita terhadap dirinya.

"Ya mau gimana lagi Pak? Sekarang ini cuma dia yang bisa bantu saya dapatkan persetujuan kelangsungan klub Pak!" jawab Lita lantang.

"Padahal saya juga bisa lho, kalau memang diberi kesempatan," ujar Heru tersenyum kecut.

Terlihat sekali Heru coba menyindir Lita yang begitu sabar terhadap orang lain. Tapi bukan pada dirinya. Heru coba meminta Lita dapat mengerti perasaannya.

Lita dengan cepat mengerti akan kemana arah bicara Heru. Tidak akan jauh berbeda dengan pembicaraan sebelumnya. Heru seharusnya sadar jika perkataan itu takkan akan pernah bisa mengubah pendirian Lita. Seorang wanita dewasa yang pernah rasakan dikecewakan cinta. 

"Baik Pak Heru sebaiknya saya ke biro keuangan saja dulu untuk cari tahu hasilnya," ujar Lita.

"Lebih baik besok saja Dok, pasti butuh waktu lebih untuk laporan resminya," Heru berusaha coba membujuk Lita agar lebih lama berada di ruangannya.

"Kalau begitu terima kasih Pak Heru, Saya mau permisi dulu!"

"Baiklah Dokter Lita," Heru dengan berat hati izinkan Lita pergi.

Sesuai dugaan Heru, biro keuangan belum bisa terbitkan hasil akhir laporan. Lita pun segera tinggalkan area bangunan menuju parkiran. Lita pilih untuk segera pulang, karena memang tak ada lagi yang dapat ia lakukan di sana. 

Sesudah putuskan arah tujuan Lita pun menyalakan mesin mobilnya. Beberapa saat Lita hanya duduk termenung di belakang setir. Lalu tersenyum kecil saat melihat maskot berupa topi yang terpasang pada bagian penyangga kepala kursi di sisi kirinya.

Baru kali ini Lita rasakan ada desakan rasa kangen dari dalam dirinya. Sepertinya ia harus percaya lagi pada seorang pria. Levy yang dikenalnya hanya dalam hitungan jam. 

Sebenarnya bisa saja Lita segera lupakan dan hapus ingatannya saat berkenalan  dengan Levy. Namun, mimpi berkali-kali tentang kedatangan Levy terlalu nyata bagi Lita. Seolah-olah mimpi-mimpi itu memang dikirim oleh Levy untuknya.

Hai Laib! dimanakah pengirim-mu saat ini pekik Lita dalam hati penuh rasa kangen.

...☘️☘️☘️ ~ bersambung ~ ☘️☘️☘️...

BAB 03 ~ Akhirnya Datang Juga ~

Ponsel Lita berbunyi untuk kelima kalinya. Penelepon adalah klinik kesehatan jantung tempat ia bekerja hampir setahun ini. Lita pilih klinik itu sebagai tempat praktek lebih karena dekat rumah. Kelengkapan sarana dan alat-alat kesehatan yang cukup modern. Bagi Lita klinik tempat kerjanya telah dirasa memadai dalam lakukan tes kesehatan bagi para atlet.

Jika saja pasien yang meminta Lita datang bukanlah Alen, tentunya ia akan bergegas. Lita teringat peristiwa satu setengah tahun yang lalu  Alen putuskan untuk tinggalkan dirinya. Alen lebih memilih untuk menikahi Fiorentina, putri pemilik klub bola tempat mereka bernaung. 

Lita sendiri bergabung dengan klub sejak mahasiswa kedokteran tahun keempat. Ia diminta oleh Alen, pengumpan sekaligus penyerang lubang bagi klub. Kala itu Alen dianggap bintang muda yang sedang naik daun. Setiap permintaannya selalu dituruti oleh pihak manajemen klub.

"Dokter Lita kok lama sekali sih, Itu Pak Alen sudah dari tadi uring-uringan," protes Sari seorang petugas resepsionis klinik ketika Lita datang.

"Sar, saya tadi ke kampus dulu ada urusan penting," jawab Lita

"Tumben Dokter Lita akhir-akhir ini kok jadi rajin ke kampus," ujar Sari sembari berikan hasil tes ekg dan rekam jantung pasien.

"Terima kasih Sari," Lita berikan senyum dan ulurkan tangan kanannya untuk terima berkas pemeriksaan dari Sari, "Ini urusan penting! Masalah mahasiswa yang dituduh penggelapan dana!"

Sari langsung dapat menerima penjelasan Lita. Terbukti sari tidak ajukan pertanyaan lanjutan, dan kembali larut dalam aktivitas pekerjaannya. Agaknya penggelapan dana oleh oknum mahasiswa bagi Sari suatu hal yang tidak layak untuk dibahas. 

"Tadi siapa yang lakukan asistensi pada Pak Alen?" tanya Lita pada Sari.

"Mas Ratno Dok!"

"Bagus lah kalau gitu!" ujar Lita, "saya ke ruangan dulu ya Sari, kalau ada yang tanya!"

"Baik Dok," Sekilas Sari melihat kearah Lita, lalu melanjutkan kerjaan administrasi seperti biasanya.

Lita masuk ke area dalam bangunan klinik, tinggalkan meja resepsionis yang berada di depan bagian klinik. Pada area bagian dalam terdapat lima kamar periksa dan konsultasi pasien. Oleh pihak manajemen Lita diberi ruang praktik yang paling ujung. 

Tak lama kemudian Alen masuk ke dalam ruang praktik dengan ditemani Ratno. Alen tampak masih kenakan kimono khusus pasien yang ikuti program tes kesehatan. Ratno tinggalkan ruangan setelah berikan kelengkapan hasil tes lainnya.

"Kok lama betul datangnya!" protes Alen dengan nada yang dibuat sedikit manja. "habis waktu saya diladeni batangan!"

"Sorry, ada perlu dadakan tadi di kampus," ujar Lita meminta maaf pada Alen berikut berikan alasan terlambat, Lita tidak ingin tanggapi ungkapan terakhir Alen yang menurutnya tidak relevan.

"Kan saya saya sudah sampaikan agenda ini dari dua minggu lalu," Alen tunjukkan rasa kesalnya pada Lita.

"Maaf saya di Qatar waktu itu, jadi kurang koordinasi dengan pihak klinik," jawab Lita.

Sengaja Lita menjawab seperti itu. Ia ingin tegaskan bahwa hubungan mereka hanya tak lebih antara pasien dan dokter. Alen adalah pasien dan klien dari klinik. Lita posisikan dirinya sebagai profesional yang bekerja di klinik kesehatan itu. 

"Oke, tapi kamu kan seharusnya ngerti kalau saya datang dari jauh," jawab Alen, "ngatur jadwal ke sini tuh nggak mudah!"

"Yang nyuruh kamu jauh-jauh kesini itu siapa? Jangan-jangan Fio malah nggak tahu?" ujar Lita yang tidak mau disalahkan di belakang hari oleh Fiorentina, istri Alen.

"Tahulah dia, masak saya nggak kasih tahu," jawab Alen santai coba yakinkan pada Lita bahwa istrinya percaya penuh pada dirinya, "kan kamu sudah kami anggap kayak kakak sendiri."

Begitulah Alen, selalu jadikan faktor usia dan kedewasaan untuk menekan dirinya. Lita hapal betul akan gaya klasik dari Alen. Selalu menuntut kedewasaan Lita, dimana yang lebih tua sudah seharusnya mengerti pada orang yang lebih muda. Alasan yang sama juga Alen gunakan sebagai senjata pamungkas untuk tinggalkan Lita.

Layaknya gadis pintar dan berpandangan luas, Lita tak ingin larut dalam kesedihan. Saat ini Lita fokus untuk kembangkan tata kelola kebugaran atlet yang akan ia jual. Jika telah siap maka paket program atlet itu akan ia tawarkan pada mitra bisnisnya kelak. 

Tak ada rasa sesal di hatinya, walau harus diakui Lita telah banyak habiskan waktu untuk Alen. Pengorbanan Lita amat banyak, ia harus mengubah rencana dari spesialis kandungan hingga seperti saat ini. Hanya demi kukuhkan karir dan cita-cita pasangannya. Alen sempat punya rencana menjadi pelatih sepak bola setelah pensiun nanti. Setidaknya hal ini masih dapat ia perjuangkan bersama Levy kelak.

Kalau gua mau, gua juga bisa jadi pelatih bola juga kalau Levy datang. Langsung belajar dari pelatih standar FIFA, bisa jadi malah jadi presiden klub, ujar Lita sembari tersenyum sendiri dan tertawa dalam hati. 

"Lit, Lita kok malah bengong sih," goda Alen merasa menang karena ucapannya tadi dirasa telah berhasil sakiti hati Lita.

"Kenapa kamu nggak pakai dokter klub aja sih Len?" tanya Lita coba alihkan perhatian Alen. Lita khawatir jika Alen  sempat perhatikan dirinya menghayal tadi menjadi mitra Levy dalam kepelatihan. Tidak sedikitpun ia ambil hati pernyataan Alen tadi.

"Payah, nggak ada dokter yang bisa kasih resume yang jujur," tukas Alen tegaskan bahwa sebagai putra mahkota klub ia amat disegani dan sebagai pemegang kendali di klub sepak bola milik mertuanya.

"Tinggal diminta bicara yang benar saja masak sih nggak mau?"

"Payah dokter sekarang mah, Sama kayak kamu gini, nggak mau layani pasien dengan tulus!"

"Hei! Jangan sembarangan ya! Kalau saya menolak untuk bacakan hasil tes, baru kamu bisa bilang begitu! Asal kamu tahu kalau sekedar temani lakukan tes, saya memang tidak wajib! Dan memang sudah jadi tugas perawat," jawab Lita dengan suara meninggi, tak terima atas tuduhan Alen.

"Ya, Iya maaf?"

Walau keadaan telah memanas, Lita tetap bacakan report pemeriksaan Alen. Tak ada kendala berarti pada kesehatan Alen. Pada kesimpulan akhir Lita tuliskan bahwa Alen dapat bermain hingga umur 35 tahun bahkan lebih.

Selain Alen, Lita juga kedatangan pasien seorang eksekutif muda calon pimpinan cabang bank swasta. Praktis hanya dua pasien pada hari itu yang Lita hasilkan. Tidak banyak, namun secara nominal telah   berikan kontribusi bagi klinik, mengingat ia baru bergabung selama enam bulan.

Mobil yang dikendarai Lita baru saja keluar area rumah sakit umum milik pemerintah daerah. Lita memang ada temu janji untuk awal percakapan. Lita bermaksud lakukan penjajakan peluang kerja di sana. Ia merasa rugi jika izin praktiknya hanya digunakan di dua tempat. Lita berharap izin praktik ketiga miliknya di sebuah instansi milik pemerintah.

Beruntung Jam pulang kantor telah lewat. Lita memacu mobilnya lebih kencang dari biasanya. Baru saja ia terima pesan singkat dari Heru, jika pelatih yang Lita janjikan telah hadir di ruang kerjanya. Lita was-was jika Levy harus jalani proses perkenalan oleh Heru tanpa dirinya.

"Malam Pak Heru," sapa Lita ramah tidak.seperti biasanya, "maaf langsung masuk soalnya Rosa sudah tidak ada." 

"Tidak apa-apa Dokter Lita," jawab Heru, "silahkan Dokter Levy, untuk dokumennya agar bisa disiapkan!" 

Ada dua hal yang membuat Lita terkejut. Pertama panggilan akrab Heru terhadap Levy, artinya obrolan antara mereka telah cukup lama. Kedua, permintaan dokumen oleh Heru pada Levy. Lita bisa rasakan ada suatu hal yang tidak benar di sana. 

Lita menyaksikan Levy berdiri dan terlihat seperti meminta izin pada Heru. Kemudian Levy berbalik menghadap Lita. Wajah Lita yang tadinya tegang, tiba-tiba berubah penuh senyum. Orang yang selalu hadir dalam mimpinya kini nyata telah berada di hadapannya.

"Tenang Lita, Tolong keluarkan kotak dokumen Hello Kitty," Terdengar pelan suara Levy ketika posisi mereka telah berhadap-hadapan.

Lita buka tas selempang kulit miliknya lalu serahkan sebuah kotak plastik transparan bergambar Hello Kitty itu pada Levy, "Semua ada di dalam."

"Terima kasih!"

"Tidak masalah!" Lita tiba-tiba terlihat seperti mengantuk.

"Kamu duduk disana ya!"

"Baiklah Levy!"

Dari sofa panjang itu, Lita dapat saksikan Levy perlihatkan sebuah sertifikat warna hijau pupus pada Heru. Lita yakin benar sertifikat yang diperlihatkan Levy adalah ijazah program spesialis miliknya. Adapun Heru terlihat mengangguk-angguk sambil tersenyum.

Kejadian yang sama ketika Levy tunjukkan sertifikat kedua warna merah muda. Wajah Heru kembali tersenyum, bahkan terlihat sangat senang. Lita yang melihat kejadian itu mencubit paha kanannya sendiri. Lita ingin pastikan bahwa dirinya tidak sedang bermimpi. 

Lita beranikan diri maju mendekat ke arah dua pria itu. Sedangkan Levy kedapatan tengah masukkan kembali berkas milik Lita kedalam kotak dokumen. Ketika Lita tiba di sekitar mereka, keduanya telah berdiri tepat di depan kursi masing-masing.

"Oke Dokter Levy, kami berharap banyak anda dapat kembangkan klub sepak bola kami," ujar Heru

"Kalau saya sifatnya hanya membantu Pak Heru, Dokter Lita yang akan dominan di tim," jawab Levy seraya pulangkan kotak dokumen itu pada Lita.

"Pokoknya saya yakin kalau Dokter Lita dan Dokter Levy akan mampu bangkitkan tim sepak bola kampus," ujar Heru optimis.

"Terima kasih atas kepercayaannya Pak!" jawab Levy. "ayo Lita kita pamit!"

Lita berikan anggukan dan ikuti Levy keluar ruangan. Lita belum bisa percaya atas semua kejadian yang disaksikannya. Heru yang terkenal kritis, hanya mampu mengangguk sebagai tanda setuju dan mengiyakan atas segala perkataan Levy. Bahkan Heru seperti tak mampu bedakan dokumen. Sungguh mengherankan.

...☘️☘️☘️ ~ bersambung ~ ☘️☘️☘️...

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!