NovelToon NovelToon

Kuasa Ganda Absolut

Introduksi

...Ada keajaiban di udara…...

...Tanah… ...

...Dan air…...

...Kekuatan kuno yang dilahirkan dari cahaya alam semesta....

...Karunia Dewa Cahaya!...

...Jian dan Jiyou....

...Mereka adalah manifestasi dari kuasa ganda paling absolut di alam semesta, lebih dikenal sebagai Si Kembar Libra karena terkait filsafat politik dan moral—hukum dan senjata....

...Liberal!...

Jian, berjubah labuh berwarna putih menyala berikat pinggang perak, sewarna dengan kasutnya yang setinggi lutut. Rambut panjangnya yang berwarna hitam mengkilat diikat kencang sebagian ke belakang dalam gaya hun dengan hiasan---apa lagi kalau bukan perak, wajahnya yang lancip berbibir tipis di bawah hidung mancungnya yang mendongak angkuh terlihat seolah ikut mengencang bersama ikat rambutnya. Sesuai dengan namanya, jian---pedang adalah senjata andalannya. Pedang Ilojim.

Bilah pedang itu menyala seperti bara api. Simbol poligon---bintang berekor delapan dari emas empat belas karat bertatahkan batu meteorit warna hitam menghiasi penahan batang bagian bawah. Penahan batang bagian atasnya dihiasi batu yang sama tanpa simbol poligon. Batu meteorit warna hitam itu dikenal dengan nama Lucifer, dipercaya sebagai batu energi alam semesta.

Jiyou, mengenakan jubah labuh yang sama berwarna putih menyala dengan ikat pinggang warna emas, begitu juga dengan kasutnya. Rambut panjangnya yang berwarna emas dibiarkan tergerai sampai ke pinggang, sebuah ikat kepala dari emas melingkar di dahinya seperti mahkota. Berbeda dari Jian, Jiyou tidak suka menggunakan pedang, baginya, "siapa menggunakan pedang akan binasa oleh pedang" itu adalah prinsipnya.

Pada dasarnya, Jiyou tidak suka berperang.

Tapi keserakahan Sang Ratu Surga mendatangkan petaka, ia menelan batu Lucifer untuk meningkatkan kultivasinya dan gelap gulita melanda alam semesta.

Timbullah peperangan di surga antara Ilojim—dewa-dewa cahaya melawan Legion—dewa-dewa kegelapan dan para malaikat yang berkhianat bersama Ratu Surga.

Jian dan Jiyou, dibantu para malaikatnya, berperang melawan seekor naga besar merah padam berkepala tujuh dan bertanduk sepuluh, dan di atas kepalanya ada tujuh mahkota.

Ketika Jian menghunus pedangnya, para malaikat di pihak sang Ratu Surga itu serta-merta merangsek ke tengah-tengah, menghadang energi dewa yang menggemuruh untuk melindungi penghulu malaikat mereka.

Suara gertakan para tentara langit yang saling menghardik, disusul suara benturan logam yang membahana, berbaur dengan suara-suara berdebum dan bergemuruh, menyebabkan gelegar halilintar di kaki langit.

Membuat seluruh alam berguncang dilanda badai cahaya dan dentuman besar yang lebih dikenal dalam istilah nova.

Si Kembar Libra melambung dan memantul-mantul di tengah pertempuran menarikan tarian Malaikat Jurang maut.

Setiap kali mata pedang Jian menyerampang ke samping, tendangan Jiyou melambung ke atas dengan kedua kaki merentang 180 derajat.

Saat pedang Jian menukik ke bawah, Jiyou melambung dengan tendangan memutar di udara. Saat pedang Jian membadai di udara, Tendangan maut Jiyou menyerampang dari bawah.

Bagaimana pun bentuk serangan yang menerjang ke arah mereka, kedua dewa kembar itu selalu menghadapinya bersama-sama. Gerakan mereka sudah terlatih untuk saling melindungi satu sama lain. Selain itu, keduanya juga tak dapat dipisahkan.

Melihat teknik pertempuran kedua dewa cahaya itu, penghulu malaikat Sang Ratu Surga mendadak mendapat gagasan. "Pisahkan kedua Ilojim itu!" Ia memerintahkan pada para malaikatnya. Lalu menyeringai ke arah Si Kembar dari tempat persembunyiannya di antara geliat para tentara langit yang sedang bertempur.

Tapi siapa yang bisa memisahkan Si Kembar?

Tidak satu pun tentara langit dari pihaknya berhasil memisahkan kedua Ilojim itu. Hal itu jelas membuat penghulu malaikat kegelapan itu menggeram. Isi kepalanya seperti ingin meledak. Membuatnya tak tahan hanya berdiam diri saja. Aku harus bergerak, pikirnya.

Jiyou melesat ke arah penghulu malaikat kegelapan itu sesaat setelah pria itu menghunus pedang langit dari punggung malaikatnya.

Akhirnya mereka terpisah, penghulu malaikat kegelapan itu bergumam puas di dalam hatinya. Masih berpikir bahwa jika kedua Ilojim itu dipisahkan kekuatan mereka sudah pasti pincang. Lagi pula pemilik sembilan karunia cahaya yang terkenal itu tidak mengerti cara menggunakan pedang, pikirnya meremehkan. Lalu menerjang ke arah Jiyou. Memangnya cahaya semesta berguna apa?

Peperangan tetap saja membutuhkan pedang!

Bukankah ini suatu penghinaan?

Pasukan malaikat kegelapan serentak terbagi dua tanpa aba-aba. Sebagian mengepung Jian. Sebagian mengepung Jiyou.

Jiyou masih mengenakan tangan kosong dan tetap bertahan dengan mengandalkan teknik kecepatan kakinya. Kakinya bahkan hanya dilapisi sepatu kain berwarna emas. Tubuh dewa cahaya itu memantul-mantul di tengah pertempuran yang semakin lama semakin tak seimbang, seperti burung gagak pemakan bangkai. Ia terbang dan menukik ke sana kemari tanpa kendali, menyebabkan keredap kilat meledak-ledak ke seluruh penjuru angin.

Jiyou melesat ke arah penghulu malaikat kegelapan itu dan menerkamnya dengan tendangan harimau.

Penghulu malaikat kegelapan itu mengayunkan pedangnya ke perut Jiyou, tapi di luar dugaannya, gerakan tendangan harimau yang dilakukan Jiyou hanya manipulasi.

Jiyou tidak melompat untuk menerkamnya secara langsung, tapi untuk melambung dan memutar tubuhnya di udara dalam posisi salto. Kemudian menyodokkan tendangan dari arah bawah.

Pedang langit di tangan penghulu malaikat kegelapan itu terpelanting ke udara, sementara tubuhnya terjerembab ke belakang. Tapi tak sampai jatuh.

Bersamaan dengan itu, Jian melesat ke udara mengayunkan pedangnya ke arah pedang langit yang terlontar dari tangan penghulu malaikat kegelapan itu dan membenturkan kedua pedang itu dengan teknik tertentu sehingga pedang langit itu memutar balik ke arah pemiliknya.

Detik berikutnya penghulu malaikat kegelapan yang terkenal dengan julukan putra fajar itu memekik dengan mata terbelalak. Kedua tangannya serentak memegangi pedang langit yang sudah menancap menembus ulu hatinya. Tak lama kemudian tubuh dewa kegelapan itu pun roboh, lalu meledak menyemburkan pecahan batu menyala yang jatuh ke bumi.

Seketika suasana berubah hening. Para Legion mendadak mematung terkesima.

Siapa yang mengira bahwa kedua Ilojim itu justru lebih mematikan ketika dipisahkan. Dalam hitungan detik kedua dewa cahaya itu sudah menghabisi lebih banyak legion dibanding ketika mereka bersama.

Jiyou memang tidak suka berperang, tapi bukan berarti dia tidak berani.

Jiyou mungkin tidak mengerti cara menggunakan pedang, tapi bukan berarti dia tidak mematikan.

Kemudian tampaklah suatu tanda yang lain di langit, seekor naga besar merah padam berkepala tujuh dan bertanduk sepuluh, dan di atas kepalanya ada tujuh mahkota.

Naga itu juga dibantu malaikat-malaikatnya, tetapi mereka tidak dapat bertahan. Mereka tidak mendapat tempat lagi di surga.

Dan naga besar itu dilemparkan ke bawah, dicampakkan ke bumi, bersama-sama dengan malaikat-malaikatnya. Ekornya menyeret sepertiga bintang di langit dan melemparkannya ke atas bumi.

"JIYOU!!!" teriakan menggelegar itu keluar dari mulut Jian tatkala ia melihat saudaranya terseret bersama sepertiga bintang, ia menukik dan melesat ke bawah dalam kecepatan komet, mencoba menyusul saudaranya.

Naga besar yang merupakan manifestasi dari Ratu Surga yang telah mencapai puncak kultivasinya itu tertawa terbahak-bahak, tawa kering yang jahat, tawa jahat yang mengejek.

Langit bergemuruh mengguncang seluruh alam, disusul suara ledakan mahadahsyat kedua yang kemudian dikenal dalam istilah gempa bumi tumbukan.

Seperempat bumi terkoyak dan luluh lantak.

Kabut gelap membumbung menutupi samudera raya…

Jian dan Jiyou tak pernah ditemukan.

...Kekuatan kuno itu sekarang telah dilupakan banyak orang di negeri ini....

...Rakyat Yuoji tak lagi berada di bawah perlindungannya....

...Pembantaian…...

...Perbudakan…...

...Semuanya hampir tak tertanggung oleh Youji....

...Hingga…...

...Bangsa Luoji akhirnya berhasil merebut wilayah dan menduduki provinsi Zhujia di bawah pimpinan Kaisar Tio Bing....

...Sayangnya tak hanya musuh yang menaklukkan mereka, pengkhianatan juga mengintai di jantung perlawanan mereka....

Verse-1

Tangisan seorang bayi membahana memecahkan keheningan malam. Disusul suara-suara perempuan yang menggumam tegang.

Zhu Lian Ze, pria paruh baya berambut abu-abu sebahu, mengenakan jubah longgar semata kaki dengan tudung kepala berwarna cokelat pudar, melangkah pelan ke dalam bilik kumuh berbau apak, tempat di mana putrinya yang hamil tanpa suami baru saja melahirkan seorang bayi laki-laki, disambut tatapan gelisah sejumlah wanita yang membantu proses kelahiran cucunya.

Apa yang terjadi? Ia bertanya-tanya dalam hatinya. Kenapa mereka terlihat cemas?

Matahari pagi menyelinap masuk dari jendela-jendela kecil, menyisipkan cahaya ke dalam ruangan.

Zhu Lian Ze mendekat ke pembaringan kayu tanpa alas tidur di dekat jendela, menatap bayi berbungkus kain lampin dalam pangkuan putrinya Zhu An Nio.

Para wanita menyisi dan menyelinap keluar satu per satu, ketika pria itu berdeham untuk membersihkan tenggorokannya.

Lian Ze melipat kedua tangannya di belakang tubuhnya, bertanya dengan suara rendah yang sedikit parau, "Apakah dia baik-baik saja?"

"Tidak kurang suatu apapun," jawab An Nio tanpa berani mengangkat wajahnya.

Lian Ze membungkuk dan menurunkan penutup kepala sang bayi untuk mengusap puncak kepalanya dan memberkati bayi laki-laki yang baru dilahirkan itu. Tapi lalu tersentak mendapati rambutnya berwarna emas. "Apa yang terjadi? Sebuah tanda dari Ilojim?" pekiknya terkejut.

Dalam kepercayaan mereka, para dewa cahaya memiliki rambut berwarna terang yang bukan hitam.

Setiap orang terlahir dengan rambut berwarna hitam kecuali mereka yang lahir dari perkawinan silang antara pria dari ras dewa yang jatuh ke bumi yang menikahi wanita dari ras manusia.

Lian Ze mencengkeram kedua bahu putrinya sambil menggeram, "Katakan siapa ayahnya?"

"Sudah kukatakan dia tidak diperanakkan dari daging atau hubungan intim, dia diperanakkan dari cahaya!"

"Masih bicara omong kosong apa?" Lian Ze mengguncang bahu putrinya.

Akhirnya An Nio mengangkat wajah. "Aku berani bersumpah atas nama Ilojim, aku tak pernah berhubungan dengan seorang pria!" tukasnya bersikeras. "Dia datang padaku seperti namanya… dalam mimpi yang penuh harapan! Ini adalah karunia dari mereka. Tidak lebih!"

Lian Ze melontarkan tatapan tajam pada putrinya, tapi tangisan bayi dalam gendongannya membuat ia mengerjap dan melepaskan cengkeramannya.

"Aku tak peduli orang lain menganggapku pembual, tapi kau ayahku!" desis An Nio sambil tertunduk menenangkan bayinya. "Kau yang mengajariku iman dan kebenaran tentang Ilojim."

Lian Ze menelan ludah dan tercenung dengan muram. Sebagai salah satu tetua bangsa Yuoji, Lian Ze masih memegang teguh keyakinan nenek moyang mereka meski bangsa penjajah telah menghancurkan kuil Jian dan Jiyou dan melarang penyembahan dewa cahaya. Itulah sebabnya ia berada di sini, di Liuwang, sebagai orang buangan.

Pulau Liuwang adalah kota suci bangsa Yuoji pada masa kejayaannya. Jauh waktu sebelum bangsa Luoji merebut wilayah Zhujia. Sekarang sudah menjadi tempat pembuangan untuk mengasingkan keturunan campuran yang dilahirkan para budak perempuan rampasan perang---perempuan bangsa Yuoji.

"Tapi hal ini akan menjadi… sangat berisiko," katanya parau.

"Aku tahu," tukas An Nio. "Tapi bukankah jika Ilojim sudah berkehendak, tidak satu pun dapat menghalanginya?"

Lian Ze langsung terdiam.

"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Ayah! Tugas kita hanya merawatnya dan Ilojim akan melindungi kita." An Nio menandaskan.

Lian Ze menghela napas berat dan mengembuskannya perlahan, "Siapa namanya?"

"Namanya adalah… Hua Zu!"

.

.

.

Enam tahun kemudian…

"Hua Zu! Hua Zu!" Lim Shin Wu, mengenakan changsan berwarna perak di atas celana putih dan sepatu bot berongga setinggi lutut berwarna hitam, berseru sambil menunjuk tanaman rambat berbunga kuning yang mati di jalan setapak akibat sering terinjak. "Ayo, lakukan lagi. Buat bunga ini tumbuh!" pintanya dengan bersemangat.

Hua Zu, mengenakan jubah labuh cokelat kusam di atas celana hitam dan sepatu kanvas selutut, menghampirinya dan membungkuk di atas tanaman rambat yang mati itu, lalu menangkup setangkai bunga yang kering dengan kedua tangannya. Ketika ia melepaskannya, bunga itu kembali hidup, mekar dan segar dalam sekejap.

"Whoa—" Lim Shin Wu terbelalak dengan ekspresi takjub. "Bagaimana kau melakukannya?"

"Aku tidak tahu," jawab Hua Zu. "Itu terjadi begitu saja."

"Kalau begitu lupakan!" Shin Wu melompat berdiri dan bergegas menjauhi tanaman rambat itu, rambut sebahunya yang disanggul sebagian di puncak kepala dengan hiasan perak, melecut-lecut di atas tengkuknya, "Bagaimana dengan binatang?" ia mengusulkan. "Apa kau juga bisa menghidupkan binatang yang mati?"

Hua Zu mengikutinya dengan langkah-langkah pelan, "Aku tidak tahu," katanya lagi. "Aku belum mencobanya."

"Kalau begitu lakukan!" desak Shin Wu sambil menyeringai. Lalu mengedar pandang ke sekeliling lapangan, mencoba mencari-cari bangkai binatang.

Hua Zu mendesah pendek dan tertunduk dengan raut wajah murung. "Dengar, Shin Wu! Ibuku bilang… ini adalah rahasia. Apakah kau mau bersumpah bahwa kau tidak akan menceritakannya pada siapa pun?"

Shin Wu berhenti mengedar pandang dan menoleh pada Hua Zu dengan mata terpicing. "Kenapa? Ini adalah bakat luar biasa!"

"Tidak, kumohon. Jangan katakan ini pada siapa pun. Bersumpahlah!" desak Hua Zu.

Shin Wu terlihat ragu, tapi lalu menyerah dan mengacungkan telapak tangannya di sisi wajahnya, "Aku bersumpah tidak akan mengatakannya pada siapa pun, bahkan ibuku!"

Hua Zu tersenyum lebar, kemudian mengikuti Shin Wu. "Sekarang giliranmu!" katanya. "Tunjukkan padaku teknik pedang yang sudah kau pelajari di Balai Pangeran!"

Balai Pangeran adalah tempat pelatihan khusus untuk tentara abadi kerajaan Luoji, khususnya untuk melatih para putra mahkota dan keluarga bangsawan seperti Shin Wu.

Shin Wu adalah putra seorang pejabat bangsa Luoji. Dan itu berarti, ia tidak seharusnya berada di Liuwang.

Liuwang adalah tempat pembuangan untuk mengasingkan keturunan campuran yang dilahirkan para budak perempuan rampasan perang---perempuan bangsa Yuoji.

Seperti Hua Zu!

Tapi baik Shin Wu maupun Hua Zu masih terlalu kecil untuk memahami hal itu. Hua Zu baru berusia enam tahun, sementara Shin Wu berumur delapan tahun.

Shin Wu mengedar pandang sekali lagi, kali ini bukan untuk mencari bangkai binatang, tapi mencari sesuatu yang lain, mungkin tongkat kayu, bambu—apa saja yang dapat dijadikan pengganti pedang untuk mendemonstrasikan apa yang telah dipelajarinya pada Hua Zu.

Hua Zu selalu tertarik untuk menonton orang bermain pedang. Tapi ia sendiri tidak tertarik untuk belajar pedang.

Shin Wu senang bisa memperlihatkan kemampuannya di depan Hua Zu. Ketertarikan Hua Zu pada kemampuannya terasa seperti pengakuan. Sesuatu yang jarang didapatkannya di area istana.

Bukan karena ia tak mahir. Tapi karena ia putra seorang selir.

Anak haram seorang pejabat!

"Ayo, Hua Zu! Belajarlah denganku!" Shin Wu menawarkan sambil melempar sebatang bambu seukuran lengannya ke arah Hua Zu, lalu mengangkat bambu di tangannya, memberikan isyarat tantangan.

Hua Zu tidak mengambil bambunya. "Aku tidak tertarik untuk belajar pedang, aku hanya suka melihat orang lain melakukannya."

"Ayolah!" desak Shin Wu. "Kita ini kan laki-laki, kelak kita harus turun ke medan perang."

Hua Zu mengangkat bahunya sekilas. "Aku tidak berencana turun ke medan perang," ia berkilah.

"Bagaimana kalau kau tak punya pilihan?" sanggah Lim Shin Wu.

"Aku akan berperang tanpa senjata," jawab Hua Zu.

"Omong kosong apa?" cemooh Shin Wu. "Mana ada orang berperang tanpa senjata!"

"Ibuku bilang, Jiyou pernah berperang tanpa senjata."

"Jiyou?" Shin Wu membelalakkan matanya, "Siapa Jiyou?"

Verse-2

Kabut tipis mengendap di kaki gunung, angin berembus menggetarkan ranting-ranting pohon perdu di tepi lapangan rumput yang masih basah oleh sisa embun.

Semak-semak bergetar ketika sepasang kaki berdebam di jalan setapak menuju lapangan, ranting-ranting kering berkeretak terinjak sepasang kaki itu.

"Hua Zu!" teriakan panik melengking dari ujung jalan setapak, hingga menyentakkan sepasang burung yang sedang bertengger di ranting pohon.

Hua Zu dan Shin Wu terperangah menatap wanita paruh baya dengan samfoo putih kumal bercorak bunga sakura yang sedang berlari ke arah mereka dengan tergopoh-gopoh.

Zhu An Nio—Ibu Hua Zu, napasnya tersengal-sengal, sepatu kanvasnya tersaruk-saruk di tanah becek. Keringat membanjir di pelipisnya. "Apa yang kalian lakukan di sini?" pekiknya terengah-engah.

Kedua anak laki-laki itu, sedang bermain di ujung lapangan di perbatasan hutan terlarang di lembah Jinzhi.

An Nio akhirnya sampai di tempat mereka dan langsung menyambar lengan keduanya dan menyeret mereka menjauh dari hutan. "Sudah kuperingatkan berkali-kali," semburnya dengan raut wajah gusar. "Jangan dekati hutan terlarang!"

"Kenapa hutan Jinzhi terlarang?" Shin Wu bertanya setelah mereka sampai di pekarangan samping pondok Hua Zu.

An Nio membungkuk menekuk perutnya dengan sebelah tangan, sementara tangan lainnya bertopang pada tiang penyangga atap teras belakang. "Karena dianggap keramat bagi keturunan sekte cahaya," jawabnya terengah-engah. "Tidak ada laki-laki yang diterima. Hutan Jinzhi tidak akan membiarkan mereka masuk atau keluar hidup-hidup."

Setelah napasnya pulih, An Nio bergegas ke pekarangan belakang.

Kedua anak laki-laki itu mengikutinya.

An Nio menumpuk potongan kayu bakar di sisi perapian dari tanah liat yang tampak usang dan retak di sana-sini. Sejumput rambutnya yang telah memutih terlepas dari sanggulnya dan terburai menutupi sebelah matanya saat ia membungkuk. Ia berusaha menyingkirkan rambut itu dari matanya dengan punggung tangannya. Tapi setiap kali ia kembali merunduk rambut itu pun kembali jatuh menutupi matanya.

"Ceritakan lebih banyak tentang Jiyou!" Shin Wu mendesak An Nio dengan menggebu-gebu.

An Nio menghela napas dan meluruskan tubuhnya. Ia menepuk-nepukkan kedua telapak tangannya untuk menyingkirkan debu yang menempel. Setelah itu ia bertolak pinggang seraya memandang kedua anak laki-laki di depannya secara bergantian. Lalu tersenyum dan bersedekap.

Kedua anak laki-laki itu berebut untuk mendekat pada An Nio.

"Dulu, terjadi peperangan di surga antara dewa-dewa cahaya melawan dewa-dewa kegelapan," An Nio memulai ceritanya. "Dewa-dewa cahaya itu disebut Ilojim, sementara dewa-dewa kegelapan disebut Legion."

"Lalu siapa Jiyou?" Shin Wu menyela tak sabar.

"Jiyou adalah dewa cahaya," jawab An Nio. "Dia memiliki saudara kembar bernama Jian. Mereka berdua adalah penghulu malaikat. Saat mereka berperang melawan naga, Jiyou berhasil menumpas penghulu malaikat kegelapan tanpa menggunakan senjata."

"Whoa…" Shin Wu tampak terkesan. "Bagaimana dia melakukannya?" Shin Wu semakin penasaran.

An Nio tersenyum, "Dia memiliki sembilan karunia cahaya yang bisa memusnahkan alam semesta sekaligus memulihkannya. Jiyou juga telah menyegel naga itu dengan sembilan karunia cahaya dalam dirinya dengan cara menghancurkan diri. Tapi tak ada yang tahu segel itu akan bertahan berapa lama."

Shin Wu ternganga antara takjub dan ngeri.

An Nio mendesah pendek dan tersenyum muram pada Hua Zu, lalu membungkuk dan menyentuh bahunya. "Dengar, Hua Zu! Perjuangan Jiyou belum berakhir, peperangan terang dan gelap masih berlangsung di dunia bawah hingga saat ini. Entah kapan naga itu akhirnya akan terbangun, tapi Jiyou sudah tak ada. Ia telah memusnahkan dirinya untuk menyelamatkan kita. Jadi kita tak boleh lupa betapa berharganya hidup kita. Terutama kau! Kau memiliki tanda milik Ilojim. Ini adalah tanggung jawab khususmu." Ia mengingatkan sambil mengusap rambut emas Hua Zu yang sudah sepanjang bahu dan diikat sebagian dalam gaya hun.

Shin Wu baru membuka mulut, bersiap untuk bertanya lagi, ketika sekonyong-konyong terdengar keributan.

Suara-suara!

Suara-suara itu terdengar semakin keras, terbawa angin.

Suara-suara gaduh yang tidak berirama.

Mereka memasang telinga, terpaku membeku dalam teriknya cahaya matahari. Mereka merasa seperti mendadak berubah jadi batu.

Suara-suara gaduh yang tidak berirama itu… ternyata tak datang dari dekat-dekat sini. Angin menerbangkannya dari alun-alun.

Serta-merta, para penduduk berhamburan keluar dari pondoknya masing-masing, kemudian bergegas berbondong-bondong menuju alun-alun itu.

"Apa yang terjadi?" An Nio bertanya pada seorang tetangganya yang sedang melintas dengan tergopoh-gopoh.

"Utusan kaisar!" tetangga itu memberitahu dengan terengah-engah. "Kaisar menjawab panggilan kita untuk meminta bantuan. Dia mengirim utusan untuk mendengar kita, dan… tetua dari balai roh pelindung."

An Nio tergagap, sementara tetangga itu sudah berlalu.

Balai roh pelindung semacam mahkamah agama yang sangat berwenang. Kekuasaan mereka setara dengan Partai Politik. Para tetua mereka mendominasi jajaran kursi Dewan Petinggi Wilayah setingkat di bawah negara. Dan balai roh pelindung memegang penuh kendali hukum.

Mereka tak pernah datang untuk mendengar, batin An Nio getir. Lalu menoleh pada Shin Wu. "Shin Wu, kau harus pulang ke balai pangeran!" perintahnya dengan raut wajah gusar, lalu beralih pada Hua Zu. "Kau juga," katanya. "Pulanglah!"

Shin Wu berbalik dan melambaikan tangan pada Hua Zu. Lalu bergegas meninggalkan pekarangan pondok Hua Zu.

Hua Zu masih terlihat ragu.

An Nio membungkuk sambil mencengkram kedua bahu putranya, "Dengar, Hua Zu!" ia memperingatkan dalam bisikan tajam. "Kau harus menunggu tanda selanjutnya. Tapi tidak sekarang. Sekarang tugasmu adalah menjaga diri. Ibu pastikan suatu saat kau akan mengerti. Sekarang pulanglah!"

Hua Zu mengangguk dan berbalik, lalu berjalan sembari tertunduk, melangkah dengan enggan. Setelah beberapa saat, ia menoleh sekilas ke belakang.

Ibunya sudah bergabung dengan para wanita lainnya, bergegas menuju alun-alun.

Lalu dengan diam-diam, Hua Zu menyelinap ke dalam kerumunan, berbaur dengan orang banyak menuju alun-alun.

An Nio tidak menyadarinya.

Sesampainya di alun-alun, ternyata Lim Shin Wu juga berada di sana, berbaur dengan pasukan kerajaan dari bangsanya.

Hua Zu meliriknya dengan ekspresi pura-pura tidak mengenal Shin Wu.

An Nio juga tidak menyadarinya.

Kehadiran seorang tetua dari Balai Roh Pelindung membuat tatapannya terfokus pada pria yang gemar mengenakan jubah labuh warna putih itu dengan waspada.

Sejumlah tentara Luoji berderet angkuh mengawal di belakangnya.

Siapa yang tidak tahu Ma Tuoli?

Tetua paling fanatik yang selalu bicara kebaikan dengan cara kekerasan.

Celakanya, Kaisar Tio Bing justru mengutus Ma Tuoli untuk berhadapan dengan mereka.

Ini pasti tak akan mudah, pikir An Nio. Sejak mendengar nama Balai Roh Pelindung disebutkan, firasatnya memang sudah tak enak. Ditambah Ma Tuoli, Balai Roh Pelindung tidak ubahnya seperti dongeng dunia bawah.

"Tanaman kalian gagal?" Ma Tuoli memulai penghakimannya.

Penghakiman adalah kata yang tepat untuk menggambarkan cara bicara tetua yang satu ini.

"Kalian memohon bantuan Kaisar, tapi kalian sendiri tak pernah membantu diri sendiri!"

Itulah yang dimaksud dengan penghakiman khas Ma Tuoli.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!