"Cepat serahkan uangnya!" rambut Andah tengah ditarik oleh Inggrid, sang ibu tiri yang selalu memperlakukan Andah dengan kasar.
Andah baru saja pulang dari tempat kerja, langsung disambut dengan bentakan oleh istri kedua ayahnya. Andah mengeluarkan beberapa lembar uang merah hasil kerjanya sebagai penari malam di sebuah klub khusus pria dewasa.
"Hanya segini?" Inggrid membelalakan mata menarik pakaian Andah.
"I-iya, Bu. Hanya segitu."
"Bohong!" Inggrid mengguncang tubuh Andah. "Cepat serahkan sisanya!"
Dengan kasar, sang ibu tiri meraba sesuatu di dalam bra Andah. Akhirnya, ia menemukan beberapa lembar lagi uang yang tersembunyi lalu mendorong Andah, dan beranjak.
"Bu, itu buat biaya kuliah aku."
"Kamu bisa mencarinya lagi esok! Biaya perawatan ayahmu sangat mahal tau nggak?" Inggrid masuk ke kamar dan langsung mengunci pintu. Sementara Andah hanya bisa termangu sendirian menatap depan pintu itu.
*
*
*
"Aah, gak bisa diakses!" rutuk Andah mencoba membuka akun pendidikannya mencoba mendaftar ulang secara online. Lalu sebuah notifikasi muncul pada akun akademik perkuliahannya.
Anda belum membayar uang SPP semester kedelapan. Silakan lakukan pembayaran!
"Huuuuufffttt." Andah hanya bisa menghela nafas panjang. Dia tengah duduk di halaman kampus di gazebo luas yang ada di halaman kampus.
Seseorang tiba-tiba duduk di sampingnya, duduk sembari menaruh tangannya di pangkal paha Andah. Secara refleks Andah menginjak kaki pria yang tidak sopan itu. Tidak hanya itu, suara tamparan membuat semua mata memandang ke arah mereka. Andah masih belum puas, sebelum tangannya mencicip pipi lelaki itu.
"Dasar kurang ajar!" desisnya dengan wajah marah.
Pria yang tak lain adalah teman kuliahnya, mengusap pipi yang terasa sedikit panas usai mendapat sentuhan kasar ala Andah. Laki-laki itu bernama Tama. Dia anak dari seorang manajer di sebuah perusahaan properti yang ternama. Tentunya memiliki uang yang jauh lebih banyak dibanding keluarga Andah.
"Sudah lah Ndah, kamu jangan sok jual mahal begitu! Aku rela membayarmu berapa pun asal kamu mau menemaniku malam ini!"
Ucapan Tama tersebut membuat Andah geram. Dia memilih mengangkat laptop, memasukannya ke dalam ransel, dan pergi.
"Kamu jangan sok jual mahal! Kamu butuh uang yang banyak buat kuliah kan? Atau, kamu menikah saja denganku! Aku akan menjaminmu dengan uang orang tuaku!"
Andah terus berjalan sembari menggerutu di dalam hati. 'Dikira nikah itu mudah apa? Dia pikir aku ini apa? Hah ... Dibiayai dengan uang bapaknya? Emangnya aku ini istri bapaknya?'
Saat malam datang, Andah sedang menyiapkan diri demi penampilan sebagai penari bagi para pria dewasa. Pakaian yang digunakan Andah sungguh sangat berbeda dengan tampilan sehari-harinya.
Di sini Andah terpaksa mengekspos tubuh yang selalu ia tutupi. Andah menambah bantalan di bagian dada agar membuat para pria dewasa yang menyaksikan tariannya jadi semakin terpesona.
"Gimana, Ndah? Udah jadi bayar SPP?" tanya Kak Yana, seseorang yang selalu melindunginya di tempat itu. Setiap ada yang ingin booking Andah untuk tampil secara pribadi, maka Yana lah yang akan menggantikan posisi itu.
Yana sudah terbiasa akan pekerjaan yang dilakoni ini semenjak sepuluh tahun terakhir. Dia sudah terjun pada pekerjaan ini semenjak tamat SMA. Sementara Andah, baru beberapa bulan bekerja seperti ini. Di mana dia sebagai atlet wushu, telah dilupakan dan tidak digunakan lagi. Ditambah lagi, ayahnya tidak bisa menafkahi karena mengalami stroke.
Sebagai atlet wushu yang terlupakan, tak ada lagi job yang memberikannya uang. Namun tuntutan sang ibu tiri membuat Andah terpaksa memindahkan keahliannya dalam keindahan bela diri wushu menjadi penari yang berputar pada sebuah tiang besi.
"Waah, lalu rencana selanjutnya bagaimana? Batas pendaftarannya sampai kapan?"
Andah kembali menghela nafas. "Itu lah, Kak. Tinggal dua hari lagi sih, tapi aku tidak memiliki uang sama sekali. Ibu tiriku selalu saja mengambil uang hasil kerja kerasku."
Yana terlihat prihatin dengan keadaan Andah. Beberapa waktu ini, dia lah yang mengajak Andah bergabung bekerja di sini. Kala itu dia menemukan Andah yang berputus asa dengan keadaan.
"Kamu pakai uangku saja, Ndah? Lagian aku banjir job karena kamu juga." tawar Yana.
"Aku takut berhutang, Kak. Aku khawatir jika tidak bisa membayarnya."
Saat asik ngobrol, terdengar sebuah tepukan dari seorang wanita paruh baya dengan dandanan menor. "Kalian belum siap juga? Sudah waktunya kalian tampil!" ucap garang wanita yang biasa dipanggil Mamih Lova.
"Andah! Make up-mu tak terlihat! Cepat ditambah lagi! Yana, kamu bantu dia dandan!"
"Baik, Mih!" Yana mengambil perkakas kecantikannya segera menambah ketebalan bedak dan pewarna pada wajah Andah.
Beberapa waktu kemudian, tepat pukul 22.00 WIB, musik DJ mengalun diiringi tarian erotis para penari-penari seksi yang keluar dari peraduannya.
Tubuh para penari-penari seksi itu meliuk di sepanjang tempat yang tersedia. Ada beberapa penari yang sengaja berjalan di hadapan para tamu. Mereka beratraksi lebih dekat dengan para pria yang haus akan kemolekan tubuh wanita-wanita cantik itu.
Namun, para pria itu, dilarang untuk menyentuh penari tersebut. Kecuali, jika mereka berani booking penari secara eksklusif di ruangan VIP maupun VVIP.
Penampilan yang paling dinantikan oleh kaum pria yang kelaparan itu adalah aksi sang primadona yang selalu menghindar bila ingin di-booking secara eksklusif. Aksi dari penari yang satu-satunya perawan di antara yang lainnya. Orang itu adalah Suny. Suny merupakan nama panggung Andah sebagai penari malam ini.

Tubuh Andah yang ramping dan indah, dada yang penuh dan berisi (meskipun mereka tidak tahu itu hanya lah sumpalan berlaka) tengah asik meliuk-liuk berputar berpegangan pada tiang.
Kaki Andah menjepit tiang lalu tangannya dilepaskan, kemudian tubuh indahnya meliuk beratraksi pada tiang tersebut, meliuk-liukan tangan merebahkan diri lalu naik lagi.
"Suny ... I love you!" teriak salah satu pria melemparkan uang ke arah panggung tersebut. Lalu beberapa orang yang lain turut melemparkan uang kepada Suny, alias Andah.
Seseorang pada sebuah posisi tertentu menyaksikan penampilan Suny. Dia merasakan sesuatu terpendam tengah menegang di bawah sana. Dia berhalusinasi tengah mengecap indahnya tubuh itu.
"Andah, hmmmfff ...."
Beberapa waktu kemudian usai tampilan bersama, Mamih Lova menarik Andah. Andah tergopoh mengikuti langkah kaki Mamih Lova.
"Ada apa, Mih?" tanya Andah heran.
"Saya dengar, kamu lagi membutuhkan uang untuk biaya kuliah semester terakhirmu kan?"
Andah mengangguk sedikit ragu. Dia seakan membaca keinginan Mamih Lova yang selalu saja membujuknya untuk menerima penampilan ekslusif terhadap pelanggan VIP. Karena sang mucikari ini telah dijanjikan akan mendapat uang yang besar jika berhasil membujuk Andah.
"Mih, aku mau menari secara ekslusif, asal tidak sampai anu. Kalau dia minta itu, aku serahkan sama Kak Yana boleh?"
Mamih Lova terlihat berpikir sejenak. "Nanti pinter-pinter kamu aja!"
Lalu Andah berjalan ke ruang VIP nomor satu seperti yang dikatakan Mamih Lova tadi. Dengan perasaan ragu, dia menarik kenop dan membuka pintu. Netra Andah langsung membulat mendapati sang penyewa dirinya adalah Tama, teman kuliahnya sendiri.
"Halo, Sayang. Akhirnya kamu datang juga." Tama langsung menyambut Andah, mengecup pipi meraba bagian sensitif milik Andah tanpa permisi.
Andah langsung mendorong Tama dan memutar tangan pria itu langsung menguncinya ke belakang. "Kurang ajar! Kau pikir kau ini siapa?"
"Hahaha, aku adalah pria kaya yang akan membayarmu, Sayang! Ayo kita habiskan malam ini berdua! Aku akan memberimu bayaran tinggi!"
Sebuah kepalan mendarat di ulu hati Tama. "Gue ini penari! Bukan pelacur! Cam kan itu!" Andah beranjak membuka pintu dan keluar.
"Heh, wanita sialan! Awas kau! Kau akan di-DO dari pihak kampus! Aku udah rekam aksimu tadi!" teriaknya.
Namun Andah tidak memedulikan teriakan Tama. Dia bergerak masuk dan duduk di ruang ganti, menghitung uang yang didapat hasil saweran pria hidung belang saat aksinya di panggung tadi.
Mendengar Andah kembali menganiaya pelanggan, Mamih Lova memarahi Andah menyuruh gadis itu pulang.
"Tapi, Mih? Uangku masih dikit," rajuknya.
"Saya tak mau tahu! Kamu membuat saya rugi karena harus membayar biaya pengobatan pelanggan-"
"Tapi Mih, Aku lagi butuh banyak uang?" bujuknya.
Mamih Lova hanya mengibaskan tangannya mengusir Andah. Andah segera mengganti pakaian. Dengan sedikit mendengkus kesal, dia meninggalkan klub pria dewasa tersebut.
Uang yang didapat tidak seberapa. Dengan menghela napas panjang, Andah memilih untuk pulang berjalan kaki karena lokasi tempat kerjanya tidak terlalu jauh dari rumah. Saat melewati jalan yang cukup gelap, kaki Andah tersandung benda besar yang biasanya tidak ada di sana.
Andah jatuh menimpa benda tersebut. Terdengar lenguhan suara pria membuat Andah cepat-cepat bangkit. Dia mengeluarkan ponsel dan menyalakan senter, langsung menyigi mencari tahu apa yang baru saja ditimpanya.
"Aaaagghhh!!!" Andah berteriak melihat sebuah tubuh yang penuh dilumuri darah tergeletak begitu saja.
***
"Aaaagghhh!" Andah berteriak melihat sebuah tubuh yang penuh dilumuri darah tergeletak begitu saja.
Andah segera melakukan panggilan darurat dan mengikuti pria yang tidak dikenal tersebut ke rumah sakit. Beberapa waktu pria tersebut diperiksa. Tiba lah masanya di saat dokter yang tadi memeriksa keluar dari ruang pemeriksaan tersebut.
"Siapa yang bertanggung jawab terhadap pasien ini?"
Andah pun mendekati sang dokter. Tak satu pun ditemukan tanda pengenal pria yang terluka itu. Sehingga membuat Andah merasa bertanggung jawab karena dia lah yang menemukan pria tersebut.
"Bagaimana keadaannya, Dok?"
"Apa kamu mengenalinya?" tanya Dokter.
Andah menggelengkan kepala. "Tadi saya menemukannya dalam keadaan pingsan di semak-semak, Dok. Karena kasihan, saya bawa saja ia ke rumah sakit ini."
Dokter sedikit menelengkan kepalanya. "Sebenarnya keadaannya cukup buruk. Dia mendapat cidera di sekujur tubuh. Bagian yang paling buruk adalah kepalanya. Tidak hanya itu, tulang kakinya dan tulang lengan bagian atas mengalami sedikit pergeseraan." Dokter tersebut menggelengkan kepala prihatin.
"Seburuk itu kah, Dok?"
"Kakinya harus segera dioperasi, tulang di bagian bahu pun harus segera mendapat perawatan intensif. Namun, jika tak ada yang bisa menjamin biaya untuk pria tersebut, maka pihak rumah sakit belum bisa melakukan tindakan apa pun." Setelah menjelaskan keadaan pria yang tidak dikenal itu, dokter kembali masuk ke dalam.
Andah terduduk lemas, mencoba mengeluarkan uang-uang yang tak seberapa. Uang ini akan digunakannya untuk membayar SPP semester ini. Namun, sepertinya uang tersebut akan beralih fungsi tak seperti harapan. Malam ini adalah malam yang paling buruk baginya.
Andah menggaruk kepala gusar. "Ini gara-gara si Tama sialan itu. Kalau tidak ada dia, aku tak akan bertemu dengan pria yang tergeletak itu." rutuknya bermonolog dengan rasa kesal yang luar biasa.
*
*
*
Beberapa hari kemudian setelah mendapat perawatan intensif, pria yang tidak dikenali tersebut akhirnya mulai sadar juga. Kebetulan sekali saat itu Andah tepat berada di sisinya.
Perlahan matanya mulai terbuka. "Hmmmf." dari mulutnya terdengar mengeluarkan ******* halus sehingga Andah segera mengecek keadaannya.
"Hmmmfff." Dia kembali mencoba mengucapkan sesuatu.
"Anda mau mengatakan apa, Tuan?"
"Hmmm, a-a-ah-" ucapnya terbata.
Setelah itu Andah kembali memanggil dokter dan di saat itu juga lah Andah harus mengurus biaya administrasi.
"Ini sisa terakhir hasil pinjaman dari Mamih Lova. Tapi perawatan untuk pria itu belum usai juga. Tiap dia mendapat tindakan penanganan, setiap itu pula kocek harus dikeluarkan. Bagaimana ini? Apa aku tinggal saja, seolah tak mengenal dia?"
Andah tak berhenti merutuki nasib yang tengah menimpanya. Uang kuliah yang belum sempat dibayar, beralih fungsi sebagai biaya pengobatan dan perawatan pria yang tidak dikenal.
Skripsi yang harusnya dirampungkan semester ini, terpaksa ditunda karena masih terkendala masalah biaya. Akan tetapi, akhirnya Andah membatalkan rencana perkuliahan semester ini memutuskan mengambil cuti untuk sementara.
Andah mengalami kehabisan uang dan hutang mulai menumpuk. Dia berharap, saat pria itu sadar, pria yang ditolong bisa mengganti semua uangnya yang telah dikeluarkan. Andah sudah berjanji untuk segera mengembalikan uang yang dipinjam kepada Mami Lova.
Ponsel di dalam kantong Andah bergetar, di sana tertulis label nama 'Nenek Sihir' yang artinya ibu tirinya lah, yang menghubunginya. Dengan sedikit malas, Andah menggeser tanda hijau. Dia seakan sudah tahu apa yang diinginkan oleh sang ibu tiri.
"Halo?" jawabnya malas.
"Mana uang yang kamu janjikan? Biaya perawatan ayah kamu yang menyusahkan itu sangat mahal tau gak? Jika tidak kamu berikan, aku akan pergi meninggalkan ayahmu!" ancam Inggrid di seberang sana.
"Ya udah lah, Bu! Silakan pergi! Aku benar-benar tidak memiliki uang lagi. Biar aku sendiri yang merawat ayah!"
"Dasar anak kurang ajar!!!"
Andah menjauhkan ponsel dari telinga, karena suara sang ibu tiri membuat telinganya sakit. Akhirnya, dia menekan tanda merah meskipun orang di seberang belum berhenti berkoar. Ia merasa malas mendengar kicauan, Inggrid, sang ibu tiri.
Setelah itu, dia melihat ke arah ponsel yang ada di tangannya. Dia tampak berpikir sejenak. Ia memutuskan langsung menuju kios ponsel dan menjualnya.
*
*
*
Setelah memegang sejumlah uang yang tidak banyak, Andah pulang hendak mengecek keadaan ayah yang tak bisa ke mana-mana.
Semenjak satu tahun terakhir, ayahnya yang bernama Yanto, mengalami struk. Semenjak itu, Yanto tidak bisa memberi nafkah kepada Inggrid dan Andah. Memaksa putrinya pontang-panting menggantikan posisi tulang punggung keluarga.
Ternyata, Inggrid sang ibu tiri masih berada di rumah itu. "Nggak jadi pergi, Bu?" tanyanya cuek.
"Aah ..." mata Inggrid sedikit liar berputar mencoba mencari alasan.
"Aku tak bisa tinggalkan ayahmu!" ucapnya membuang muka.
'Bilang aja gak punya keluarga lain untuk dituju.' sungut Andah di dalam hati.
Tiba-tiba, Inggrid merebut tas yang ada di punggung Andah. Dia membongkar isi yang ada di dalamnya, tak memedulikan telah membuat keadaan menjadi berantakan. Andah ingin menghentikan, tetapi dia selalu teringat pesan sang ibu sesaat sebelum pergi meninggalkan dunia ini.
"Andah, jika ayahmu ingin menikah lagi, biar kan lah ... Kamu harus memenuhinya, jika tidak ayahmu akan tersiksa, memilih wanita-wanita yang ada di jalanan."
"Setelah memiliki ibu sambung, kamu harus menyayanginya setulus hatimu. Karena surga ibumu, telah berpindah pada kakinya."
Andah masih mengingat jelas pesan dari almarhum ibunya. Oleh karena itu, Andah selalu berusaha untuk tidak membangkang. Tadinya Andah merasa lega, bila sang ibu tiri menginginkan untuk melepaskan diri. Akan tetapi, itu semua hanya lah sekedar ancaman belaka.
Akhirnya, Inggrid menemukan uang. Dengan seringai di wajahnya tanpa memedulikan keadaan Andah, semua uang hasil penjualan ponsel diambil tak bersisa.
"Bu, aku membutuhkan uang itu." rengeknya.
Namun, Inggrid sang ibu tiri tidak memedulikan dan masuk ke kamar, mengunci pintu.
Menjelang berangkat kerja, Andah menyempatkan diri untuk menengok pria yang ditolongnya. Dia merasa kasihan pada pria tersebut karena tidak memiliki siapa pun untuk menemaninya. Saat diintip, pria dengan perban di kepala itu terlihat merenung memikirkan sesuatu.
Andah pun masuk secara perlahan. "Hai," ucapnya sedikit ragu.
"Ka-kamu si-siapa?" tanyanya terbata.
"Seharusnya saya yang bertanya, Tuan ini siapa? Kenapa bisa terluka seperti ini?"
Pria itu terlihat berpikir. Saking kerasnya dia berpikir, dia meringis mengernyitkan wajah. "Aahh, aku siapa? Aku siapa? Tolong katakan, aku siapa?!"
Mendengar ucapan tersebut, membuat Andah merasa sedikit panik dan mencari perawat atau pun dokter yang merawatnya. Setelah mendengar penjelasan sang dokter, Andah berjalan dengan kepala tertunduk.
"Lalu bagaimana uangku? Siapa yang akan mengganti semuanya? Oh tidak."
Andah berjalan tertunduk kembali menuju ruang rawat pria tadi. Saat dia masuk, pria yang mengalami amnesia tersebut tengah memandangi segala hal yang ada di ruangan ini.
"Baik lah, Tuan. Saya harus bekerja keras untuk malam ini. Karena biaya pengobatan Anda sungguh sangat luar biasa." Andah bergerak keluar dari ruangan tersebut.
Pria itu merentangkan tangannya, meski terlihat masih gemetar. "Tu-tunggu! Apa kamu tahu aku ini siapa?"
Andah memiringkan kepala menatap plafon sejenak. "Ojan, namamu Ojan!"
...
...
*
*
*
Demi biaya rumah sakit, Andah berusaha semaksimal mungkin. Dia menampilkan tarian dengan maksimal, hingga mendapat uang yang cukup banyak.
Beberapa hari kemudian, tiba lah masanya Ojan harus keluar dari perawatan rumah sakit. Andah bingung harus melapor kepada siapa. Ujung-ujungnya Andah membawa Ojan pulang ke rumahnya.
Inggrid sang ibu tiri tentu tak setuju saat anak sambungnya membawa pria asing yang tak dikenal. Hingga melaporkan pada Pak RT bahwa Andah kumpul kebo dengan pria tak dikenal bernama Ojan.
Masyarakat berbondong-bondong ke rumah, mendapati pria asing itu tengah tidur di kamar Andah.
Masyarakat berbondong-bondong ke rumah, mendapati pria asing itu tengah tidur di kamar Andah. Akan tetapi, Andah tidak ada di rumah karena sedang pergi bekerja.
"Kamu siapa? Kenapa tidur di sini?" tanya Pak RT di antara masyarakat yang mendatangi rumah itu.
"A-aku Ojan, Pak." ucap pria itu masih dalam keadaan bingung. "Aku-aku-aku dibawa Andah. Aku tidak tahu harus pulang ke mana."
"Apa hubunganmu dengan Andah?"
Pria yang mengaku sebagai Ojan menggelengkan kepala. "Dia orang yang menolongku."
"Bohong! Kamu pasti pasangan mesum anak tak tahu diri itu!" sela Inggrid dengan nafas memburu. "Jadi, kamu lah yang menghabiskan uangnya?"
Ojan bangkit perlahan duduk berlutut di hadapan Inggrid. "Dia tidak salah Bu, Pak. Andah telah menyelamatkan nyawaku. Jika tidak ada dia, mungkin aku sudah mati."
Pak RT mendengarkan keterangan dari pria asing tersebut. "Bagaimana pun juga, dia sudah salah karena telah membawa orang asing tanpa melapor terlebih dahulu."
Ojan hanya bisa tertunduk karena tidak tahu harus berbuat apa. Hingga diputuskan bahwa malam ini adalah malam terakhir bagi Ojan untuk menginap di rumah tersebut. Akan tetapi, ia dilarang tidur di dalam kamar Andah. Dia hanya diperbolehkan tidur di kursi panjang yang ada di ruang tamu.
Ketika Andah pulang, secara perlahan dia membuka pintu takut menimbukan kegaduhan. Ia tersentak menemukan Ojan meringkuk kedinginan di kursi panjang yang ada di rumahnya. Pintu kamar orang tuanya pun terbuka, Inggrid seperti biasa ikut datang menyambut kehadiran Andah.
"Hei, Bung? Kenapa tidur di sini?" Andah membangunkan Ojan. Ia masih berdiri di depan pintu.
Ojan membuka mata langsung duduk mengucek mata. "Sepertinya, Ojan harus pergi dari rumah ini."
"Heh, gadis murahan, apa kamu tidak malu membawa kekasihmu ke rumah ini? Cukup pekerjaanmu saja yang seperti itu! Tapi jangan bawa-bawa dosamu ke rumah ini!" Inggrid berkacak pinggang.
Andah bangkit berdiri dekat sang ibu tiri. "Jadi begitu, Bu?"
Andah pun menengadahkan tangannya tepat di hadapan Inggrid. "Kalau begitu kembalikan semua uang haram itu!"
Inggrid terkejut akan reaksi yang diberikan oleh Andah. Padahal Inggrid berpikir Andah akan memohon kepadanya supaya mereka berdua tidak diusir di rumah ini. Sehingga, Inggrid bisa memanfaatkan rasa takut yang dimiliki oleh Andah untuk memeras semua uang yang dimilikinya.
Namun, kenyataan yang didapatkannya sangat berbeda. Andah seakan tidak memedulikan ancaman yang ingin dia berikan kepada sang anak tiri. Malah berani menantangnya seperti ini.
"Cepat! Kembalikan semua uang haramku yang ibu gunakan untuk beli perhiasan, skincare, peralatan kecantikan, sepatu, pakaian, dan lainnya. Alasan saja mengatakan untuk perawatan ayah, padahal itu uang buat kebutuhan Ibu sendiri."
Andah menggeser Inggrid agar berpindah tempat dari posisinya yang berdiri di depan pintu. Andah masuk ke dalam kamar memeriksa keadaan ayahnya yang tidak bisa bergerak sama sekali.
"Padahal, dengan segala uang yang Ibu ambil, Ayah bisa diterapi hingga kondisinya membaik." Andah duduk di samping ranjang menggenggam tangan sang ayah.
"Ayah, sebelumnya maafkan aku. Maafkan juga aku, oh Ibu yang sudah ada di alam sana. Sepertinya, aku tidak bisa memenuhi janjiku pada Ibu."
Sejenak Andah memandang wajah ayahnya. Bibir ayahnya tidak dalam posisi normal, kaku di sisi kanan. Posisi tangan kanan pun menegang dengan jemari yang tidah bisa dikendurkan lagi.
Dokter mengatakan, jika ayahnya dibawa terapi dengan rutin, serta menjalani rangkaian perawatan lainnya, maka kemungkinan besar kondisi sang ayah bisa lebih baik lagi.
Namun, Inggrid yang serakah malah menggunakan jerih payah Andah untuk kepentingannya sendiri. Andah pun bangkit, membongkar lemari yang ada di dalam kamar itu.
"Apa yang kau lakukan anak sialan?"
Andah terus mencari-cari sesuatu, dan akhirnya, dia menemukan sebuah kotak dan dibukanya. Di sana terdapat beberapa cincin, gelang, anting, dan kalung yang terbuat dari emas.
Dengan senyuman tipis terhias di bibir Andah, kota itu dibawa dengan paksa. "Aku ingin menjual ini semua."
Inggrid mencoba merebut benda itu. "Kembalikan! Ini semua punyaku! Jangan coba-coba mengambil milikku!"
"Milik Ibu? Pernah beli dengan uang sendiri?" tanya Andah, dingin. Inggrid terdiam, masih melirik kotak perhiasan yang direbut Andah barusan.
Inggrid mencoba merebutnya, tetapi Andah berhasil menghindar. Setelah itu Andah menurunkan sebuah tas yang cukup besar, membuka lemari dan mengeluarkan pakaian milik Inggrid asal.
"Nah, silakan masukan sendiri ke dalam tas. Selagi saya masih waras, Ibu boleh pergi dari rumah ini."
Andah teringat saat perjalanan pulang tadi, warga sekitar rumahnya menghalangi dan menginterogasi Andah. Dari sana lah Andah tahu, Ojan kena grebek warga dan Pak RT. Semua karena pengaduan Inggrid, sang ibu tiri.
Andah kembali melihat Inggrid yang tengah tertegun melihat pakaiannya yang berserakan, lalu netranya beralih pada travel bag yang diturunkan oleh Andah, dan beralih menatap anak tirinya dengan napas memburu.
Dengan geram dia bergerak hendak mencakar Andah. "Berani sekali kau anak durhaka!"
Dengan gesit Andah menghindar dan menepis tangan sang ibu tiri. "Seperti yang aku katakan, Bu ... Selagi aku masih waras, lebih baik Ibu tinggalkan rumah ini secara baik-baik!"
"Kau salah! Yang harus pergi adalah kamu! Aku adalah istri sah ayahmu. Kedudukanku lebih tinggi!"
Dengan senyum tipis Andah tersenyum tipis. "Jadi begitu?"
Andah pun mengeluarkan pakaian ayahnya. Menyiapkan kursi roda, mengambil berkas surat-surat kepemilikian rumah dan tanah dimasukan ke dalam tas. Melihat berkas kepemilikian rumah ikut masuk, Inggrid mencoba merebutnya. Dengan gesit Andah kembali mengelak.
"Kenapa, Bu? Mau ikut kami juga?"
Andah melanjutkan menyusun barang-barang masuk ke travel bag. Lalu membantu ayahnya bangkit dan dipindahkan ke kursi roda. Namun, fisik sang ayah terlalu lemah, benar-benar tidak kuat menopang diri sendiri untuk duduk di sana.
Andah pun mengikat tubuh ayahnya pada kursi roda agar bisa menopang tubuh sang ayah agar tidak rebah lagi.
"Yah, sekarang kita tinggalkan tempat ini."
Andah menggantungkan tas pada gagang kursi roda lalu mendorong keluar kamar bersama harta benda yang ditimbun oleh Inggrid.
"Sebelum rumah ini aku jual, silakan mencari rumah yang baru!"
Inggrid segera memeluk kaki Andah. "Andah, kamu jangan begini pada ibumu. Bagaimana pun, aku adalah istri sah ayahmu. Kami ini belum bercerai! Ibu mohon, kamu jangan tinggalkan Ibu sendirian!"
Belum sempat Andah menjawab ucapan Inggrid, dari arah luar terdengar keributan. Ojan yang masih dalam bingungnya mencoba membuka pintu melihat keadaan di luar sana.
"Keluarkan pria asing itu! Kalian jangan kotori wilayah ini dengan melegalkan zina dalam rumah kalian!" teriak warga yang tengah malam mendatangi rumah Andah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!