NovelToon NovelToon

Pria Pilihan Ibu

PNS

Pria Pilihan Ibu BAB 1

oleh Sept

Di sebuah ruangan, terlihat seorang perempuan yang sedang fokus dengan laptop miliknya. Sesekali dia menerima telpon dan menjawab secara formal. Seorang wanita karir yang sukses di tanah perantauan.

Lia Hapsari, di usianya yang sudah matang, dia sudah mendapatkan segalanya. Semua cita-citanya tercapai. Memiliki aset sendiri, membahagiakan orang tuanya, semuanya sudah dia lakukan.

Akan tetapi, di balik kesuksesan yang bisa ia raih, ada sesuatu yang mengganjal. Tidak ada yang sempurna, seperti hidup seorang Lia. Kelihatan sukses dan wah, nyatanya dia punya kelemahan.

Lebih tepatnya bukan kelemahan atau kekurangan, akan tetap dalam hal jodoh, Lia ketinggalan jauh dengan teman-teman sebayanya. Banyak teman Lia yang sudah menikah selepas kuliah. Atau sambil kerja. Akan tetapi, Lia sampai sejauh ini masih single. Masih betah sendiri di tanah perantauan seorang diri.

Ada apa dengan Lia? Apa dia terlalu pilih-pilih? Terlalu selektif dalam memilih calon pendamping? entahlah.

***

Lia menguap berkali-kali, ia menutup mulutnya yang terbuka. Kelihatan lelah karena terlalu lama di depan laptop.

Beberapa saat kemudian, perempuan yang tidak lagi muda itu kemudian melemaskan semua otot-otot tubuhnya. Capek seharian duduk bekerja di depan layar.

Apalagi dia juga sedang kepikiran ucapan ibunya. Yang terus memintanya menikah dan menikah.

Seharusnya gampang, tinggal menikah. Hanya saja sampai sekarang, calon saja tidak ada. Alhasil perempuan bernama Lia tersebut harus gigit jari dulu.

Walau banyak sletingan miring tentang dirinya, gak laku lah, perawan tua lah, pilih-pilih lah, banyak tuduhan negatif yang diarahkan padanya karena telat nikah. Belum lagi teror dari orang tuanya, rasanya Lia lama-lama lelah juga.

***

Di sebuah Bandara, Lia sedang menarik koper miliknya. Langkahnya terlalu berat saat akan balik kampung. Pertanyaan kapan nikah seperti sebuah teror. Apalagi pertanyaan itu muncul dari bibir ibunya sendiri.

Sepanjang perjalanan dari Bandara sampai rumah, Lia kelihatan melamun. Memikirkan jawaban apa yang akan ia berikan nanti pada sang ibu. Karena sampai sekarang, Lia masih belum ada calon yang bisa dia kenalkan dengan ibunya.

Dengan langkah gontai, Lia pun turun dari taxi.

Ibunya sangat senang Lia pulang lagi, tapi begitu pulang dia langsung mencecar banyak pertanyaan untuk putrinya itu. Siang dan malam, bukannya temu kangen, sang ibu malah kembali membahas perjodohan. Dan Lia kok merasa tidak laku saja.

“Bagaimana sama si Arman? Dia sudah PNS loh, anaknya pak lurah. Kamu mau tunggu apa lagi Lia?” gerutu bu Damri, ibu dari Lia Hapsari tersebut. Wanita paruh baya itu galau, karena anak gadis satu-satunya tak kunjung menikah. Lia sukses merantau di Kalimantan, kerja di perusahaan tambang yang besar di pulau itu, tapi belum juga menemukan jodoh. Membuatnya merasa tidak nyaman kalau para tetangga bertanya, kapan punya mantu dan cucu?

Bu Damri ini jelas sangat khawatir, karena usia Lia tahun depan memasuki kepala tiga. Sebagai seorang ibu, wanita itu merasa gelisah dan juga takut kalau anaknya jadi perawan tua dan digunjing tetangga. Seusia Lia di kampung, bahkan teman SD Lia, rata-rata sudah memiliki lebih dari satu anak, bahkan ada yang sudah memiliki buntut tiga. Ini Lia jangankan anak, sepertinya pacar saja Lia tidak punya. Itulah yang membuat bu Damri ketar-ketir memikirkan jodoh anaknya.

Kebetulan, pak lurah habis sowan. Suami bu Darmi dulu juga seorang lurah, tapi diganti karena meninggal akibat sakit waktu Lia masih kecil. Pak lurah yang sekarang, datang diantar putranya yang merupakan PNS, dan kebetulan juga sedang mencari jodoh. Kalau dilihat dari umur, sangat masok. Lia 29, Arman 30 pas. PNS, keluarga terpandang, keturunan jelas, rupa juga lumayan tampan, belum apa-apa bu Damri sudah sangat cocok. Hingga menjodohkan Lia dengan anak pak lurah tersebut.

“Li ... Lia!” panggil bu Damri yang melihat Lia sedang mencuci beras. Gadis itu seolah mengalihkan perhatian kalau diajak membahas pernikahan. Kebetulan Lia sekarang sedang mengambil cuti, pulang karena lebaran. Kesempatan bagi bu Damri untuk menjajakan putrinya bagai jajan di pasar. Sudah pasti laku keras, siapa yang tidak mau mendapat pasangan hidup seperti Lia Hapsari? S2, pekerjaan mapan, sudah memiliki perumahan di Kalimantan, sudah memiliki kendaraan roda empat, pokoknya dapat sepaket, sudah cantik dan ramah pula. Bu Damri yakin, banyak pria antri jadi pendamping Lia. Namun, harapan tak seindah kenyataan.

Bu Damri kan jadi gemas sendiri, ini kenapa putrinya gak nikah-nikah? Anak sesempurna gitu kok jodohnya sulit sekali. Apa ada yang salah? Apa putrinya diguna-guna orang? Agar tidak laku! Sampai dalam kepala bu Damri memikirkan hal yang macam-macam seperti itu. Karena kebanyakan nonton Tv, pikiran bu Damri sampai ikut ke hal yang mistis.

“Kamu ini kalau diajak bahas laki-laki buat jadi calon suami kok mesti begitu, kenapa sih? Arman juga ganteng, gagah, PNS, Lia!” ujar bu Damri gemas. Karena Lia seolah acuh, sama sekali tidak tertarik.

‘Mengapa ibuk makin hari selalu nyodorin PNS terus? Senang sekali dapat mantu PNS. Padahal pengusaha juga gajinya jauh lebih gede!’ gerutu Lia dalam hati, sebagai anak ia memang tidak pernah membantah, hanya inggah inggeh saja, biar ibunya kalau marah tidak jadi marah. Lia memilih diam dan mendengar semua gerutuan sang ibu.

“Mau ya, Li? Kamu kan masih beberapa hari di sini, nanti biar Arman ke sini lagi.” Bu Damri terus saja memaksakan kehendaknya, agar Lia mau diketemukan dengan pria berprofesi sebagai PNS tersebut.

“Ngapain, Buk?” tanya Lia sambil memutar bola matanya, ia tahu maksud ibunya, hanya saja ia tidak mau berkenalan lagi, gagal lagi, biarlah nanti kalau jodoh, gak usah dikejar bakal datang lagi, itu prinsip Lia saat ini. Karena bosan dijodohkan, pasti akhirnya gagal. Entah dikenalkan teman atau keluarganya sendiri, semuanya tidak ada yang berhasil sampai sekarang.

Saat memasuki angka 25, dia sebenarnya mulai panik dan memikirkan untuk menikah. Namun, tidak jarang karyawan satu perusahaan dengannya juga belum menikah. Mereka sibuk mengejar karir seperti dirinya. Di sana Lia mulai merasakan zona nyaman. Apalagi tinggal jauh dari rumah, luar pulau lagi. Paling apesnya cuma pas cuti, ia akan diteror pagi, siang, malam, dengan tema yang sama, kapan nikah?

“Ibu pokoknya akan WA Arman, ibu sudah dikasih nomor WA nya kok.”

Lia langsung menatap heran pada ibunya itu. Bisa-bisanya sang ibu minta nomornya pria tersebut.

“Astagfirullah, Ibuk!” Lia hanya bisa mengelus dadaa, menghela napas panjang. Ia tidak menyangka, keinginan sang ibu begitu bulat sampai niat banget minta nomor WA nya mas Arman.

Mau tidak mau, agenda pertemuan Lia dan Arman pun langsung diatur oleh bu Damri. Apalagi bu Damri kenal baik dengan keluarga lurah tersebut. Arman sendiri sudah 5 tahun ini menjadi PNS di sebuah puskesmas di kota itu. Gateng, tinggi hampir 180 cm, wajah bersih, anaknya sopan, pokoknya cocok kalau jadi mantu bu Damri. Benar-benar menantu idaman dan menantu idola, pas di hati.

***

Sore hari, Lia sedang membetulkan kran air, ia memasang selang untuk menyirami bunga-bunga kolesi milik ibunya. Banyak sekali pot di halaman rumah peninggalan ayahnya tersebut. Ibunya ini kalau dikasih uang, bukannya beli tas mahal seperti ibu-ibu kebanyakan, atau beli pakaian dan baju yang bagus, atau yang lainnya, tapi malah membeli bunga, bunga yang isinya hanya daun saja tersebut. Meskipun hanya terdiri dari daun tanpa bunga, Lia merasa harganya cukup lumayan. Karena sering melihatnya di Tv.

“Ini kan harganya jutaan,” dahi Lia mengkerut saat mengamati salah satu daun yang ada di pot. Sambil geleng-geleng, Lia kembali menyirami koleksi tanaman milik ibunya. Ibunya sendiri sedang di dapur, sejak tadi berkutat di dapur. Entah, sudah sore bu Damri masih membuat makanan di dapur. Padahal mereka hanya bertiga. Kalau Lia balik ke Kalimantan, ibunya hanya berdua saja dengan Asih, saudara jauh yang ikut bu Darmi sejak kecil.

Lia yang sedang asik menyiram sambil sesekali bersenandung, tiba-tiba dikagertkan oleh kehadiran sebuah mobil yang perlahan masuk ke halaman. Masih posisi menyiram pot sampai airnya tumpah-tumpah karena fokus menatap ke mobil.

‘Ada tamu?Astaga ... sampai amber!’ batin Lia kemudian pergi ke tempat kran air, ia matikan dulu agar airnya berhenti mengalir yang membuat halaman becek. Lia kemudian kembali menatap tamu yang belum ia ketahui siapa tersebut.

Seorang pria memakai kemeja pendek, dengan celana kain turun dari mobil. Wajahnya lumayan, bersih dengan kumis tipis. Lia semakin tertegun saat sosok pria itu menyapanya dengan melempar senyum ramah ke arahnya. Belum pernah ketemu sebelumnya, tapi sudah sksd, membuat Lia langsung ilfil.

‘Siapa ini? Senyum-senyum tak jelas.’

“Siram-siram, Lia?” tanya pria itu dengan sopan. Jelas Lia tertegun, mengapa tahu namanya. Padahal perasaan mereka baru pertemu untuk pertama kalinya. Dari mana pria itu tahu namanya?

‘Eh, kok tahu namaku?’ gumam Lia dalam hati sembari menatap sosok pria yang berdiri di depannya dengan tegap.

Bersambung

Fb sept September

Ig Sept_September2020

Siap Lahir Batin

Telat Nikah BAB 2

oleh Sept

“Maaf, cari siapa ya, Mas?” tanya Lia ragu, karena ia bahkan tidak mengenal sosok pria yang tiba-tiba sok akrab dengannya itu. Begitu turun dari mobil, pri itu langsung mengumbar senyum padanya. Sepertinya bukan pria baik-baik, eh Lia malah jadi suudzon pada tamunya.

“Ibu, ada?” Pria itu malah bertanya balik, tentunya senyum tak luntur dari parasnya yang tampan. Matanya berbinar saat menatap Lia Hapsari, katanya usianya kepala tiga, tapi kalau jadi anak SMA, sepertinya masih cocok. Cantik! Rupanya dia adalah Arman, dan sepertinya sudah melihat foto Lia sebelumnya, siapa lagi pelakunya kalau bukan bu Damri, ibunya Lia sendiri.

“Sebentar, saya panggil ibu dulu,” pamit Lia kemudian masuk ke dalam rumah, tentunya dengan perasaan penuh tanya. Siapa gerangan pria tersebut, lalu mengapa mencari ibunya? Ada kepentingan apa sebenarnya, sampai ibunya dicari-cari pria yang mungkin masih muda setengah matang tersebut. Sambil jalan dan mencari ibunya, ia menggeleng sendiri.

“Mikir apa sih kamu, Lia?” gerutunya pada diri sendiri.

...

“Buk ... Ibuk.”

Lia berjalan ke dapur, aroma harum langsung menusuk hidung. Dilihatnya bu Damri sama Asih sedang mengoreng donat. Bu Darmi bagian yang mengoreng, sedang Asih bagian menghias, dikasih ceres, choco cip, atau dibalut coklat yang meleleh kemudian diberikan taburan keju, benar-benar nyummy. Lia malah memperhatikan Asih, lupa sama tujuannya ke dapur. Gara-gara memperhatikan si Asih, Asih  ini sudah seperti adiknya, sekarang sedang kuliah semester akhir. Makanya ibunya ketar ketir, nanti kebalap sama Asih.

“Eh sampai lupa. Buk, ada tamu.” Lia kemudian ganti menghampiri ibunya.

“Nah ... pasti itu dia sudah datang.” Bu Darmi berbinar-binar, ia seolah tahu siapa yang bertamu itu.

“Memangnya siapa, Buk? Orang bank?” tanya Lia tapi dengan nada meledek.

“Ish ... sana, ganti baju. Nak Arman sudah datang!” kata bu Darmi kemudian bergegas keluar. Sebelumnya ia setengah berteriak pada Asih. “Asih, siapkan minuman.”

“Iya, Buk.” Asih lantas pergi ke kulkas, sedangkan Lia, ia menghela napas panjang.

‘Apalagi ini Tuhan? Macam Siti Nurbaya!’ gerutunya, tapi tetap melakukan perintah ibunya, yaitu ganti pakain.

***

Tap tap tap

Lia muncul dari dalam rumah.

“Nah ini Lia, anak ibuk!” Dengan bangga, bu Darmi memperkenalkan putri kebanggaannya yang cantik, yang sukses itu, pada pria yang sedang menyesap kopi. Sikap ibu tersebut, sedikit membuat Lia tidak enak dan merasa tidak nyaman di sana.

Pria itu mendongak sebentar, Arman kemudian meletakkan cangkir kopinya, ia lalu berdiri dan mengulurkan tangannya.

“Arman,” ucap sosok tersebut sambil mengulurkan tangan diikuti seulas senyum yang khas dan ramah.

“Lia,” Lia menyambut jabatan tangan tersebut. Tentunya tanpa senyum sedikitpun. Wajahnya biasa saja, tidak ada senyum yang terlihat. Padahal, Lia ini kesehariannya humble, ramah pada siapa saja, bahkan pada Ob di tempatnya bekerja pun, dia sangat murah senyum. Entah mengapa, belum apa-apa Lia sudah ilfil. Senyumnya mendadak mahal saat di depan Arman, pria pilihan ibunya.

“Ya sudah, kalian ngobrol di sini dulu, ibu mau ke dalam.” Bu Damri sepertinya sengaja meninggalkan keduanya agar bisa ngobrol empat mata dan lebih leluasa.

‘Lah ... Buk! Main pergi saja!’ teriak Lia dalam hati saat ibunya beranjak dan masuk ke dalam meninggalkan dia dan Arman hanya berduaan saja. Saat bu Damri sudah masuk ke dalam, suasana jadi hening. Arman yang pertama membuka pembicaraan, pria itu lebih aktif dari pada Lia yang hanya diam saja.

“Ngomong-ngomong, kamu sudah tahu kan tujuan saja kemari?” tanya Arman tanpa basa-basi. Pri itu sangat terus terang langsung to the point.

Lia mendongak, menatap mata pria di depannya. Untuk sesaat ia hampir terlena, Arman memang tampan. Apalagi, duduk satu meter dari Arman, sudah pasti mabuk. Ya, wanginya super harum. Baju rapi, wangi, ganteng, tidak bisa ditepis, kalau Arman memang calon suami good looking.

“Memang tujuan Mas Arman ke sini apa ya? Saya kok gak paham,” kata Lia, dia langsung berakting, padahal sudah tahu dari ibunya. Sepertinya Lia mau mengerjai sosok anak pak lurah tersebut.

“Apa bu Damri belum cerita?” tanya Arman sambil mengerutkan dahi serta alis. Masak sih bu Drami gak cerita pada putrinya?

“Cerita apa?” sela Lia yang keterusan mengerjai Arman. Membuat Arman terlihat sedikit bingung dan kikuk.

“Masalah perjodohan.” Akhirnya Arman mengatakan tujuannya ke rumah itu. Yaitu perjodohan antara mereka yang sudah diatur oleh kedua orang tua mereka.

“Oh!” Lia tetap bersikap datar. Seakan tidak terpengaruh oleh jawaban pria tersebut. Ia masih stay cool, hingga membuat Arman bingung sendiri.

“Bisahkan kita mengenal lebih dekat?” tanya Arman lagi. Ia mungkin sudah kepincut dengan paras cantik Lia. Ditambah lagi background Lia yang sangat cocok dijadikan istri idaman. Gelar S2, serta gadis mandiri dan matang, awet muda pula, laki-laki mana yang menolak dijodohkan dengan Lia Hapsari. Hanya pria bodoh yang menolak menikahi gadis cantik seperti Lia tersebut.

‘Baru ketemu pertama, pria ini langsung terus terang tanpa basa basi,’ batin Lia sembari memperhatikan wajah Arman.

“Bisa minta nomer WA nya?” tanya Arman karena Lia malah diam seperti ragu.

“Oh, iya.” Tidak mungkin menolak, bisa-bisa ibunya mengomel sepanjang tahun. Lia pun memberikan nomor WA nya pada Arman.

Dengan semangat, Arman memasukkan nomer ponsel Lia. Lalu mencoba mengubungi, setelah tersambung, ia simpan nomor dengan nama Lia tersebut.

“Terima kasih,” kata Arman masih dengan senyumnya yang rama dan khas.

“Sama-sama.” Sedangkan Lia, ia sama sekali tidak membalas senyuaman tersebut.

Suasana kembali mendadak hening, sampai bu Damri masuk membawa sepiring donat yang membuat suana kembali mencair.

“Ayo dicoba, ibuk yang bikin sama Asih,” kata bu Damri kemudian meletakkan donat itu di atas meja.

Arman mengangguk, kemudian mengambil kue donat bertabur keju tersebut. Rasanya lumayan enak, terlihat dari ekpresi Arman yang manggut-manggut.

“Ibu jago bikin kue ya?” komentar Arman.

“Bukan jago, ya cuma bisa saja,” bu Damri merendah. Padahal beliau memang jago bikin kue. Kadang melayani pesanan kalau ada yang order. Tapi setelah gaji Lia sangat besar, ia melarang ibunya capek. Alhasil, membuat kue atau masak-masak kini tinggal hobby bu Damri.

“Kalau Lia bisa masak?” tanya Arman setelah selesai menggigit donat terakhirnya.

“Lisa ini jago apa saja, masak, dandan, cari uang, bisa semua anak ibuk ini!” jawab bu Damri dengan bangga yang berlebihan, membuat Lia malu.

“Pokoknya sudah siap lahir batin,” tambah bu Darmi yang membuat pipi Lia seperti kepiting rebus karena malu. Sedangkan Arman, ia menahan senyum.

“Sama, Bu. Saya juga sudah siap lahir batin,” sela Arman. Seketika Lia ingin menghilang dari tempat itu.

BERSAMBUNG

FB SEPT SEPTEMBER

IG SEPT_SEPTEMBER2020

Trauma

Telat Nikah BAB 3

Sore itu Lia Hapsari merasa sangat malu, hingga ingin menghilang saja. Obrolan antara ibunya dan Arman, membuat Lia harus menahan malu. Apanya yang siap lahir batin? Ketemu saja baru sekali, mengapa mereka berdua terlalu terburu-buru? Mau protes pada ibunya, tapi di depannya ada orang lain. Alhasil, Lia hanya bisa menahan rasa tak nyamannya itu. Sambil mengerutu di dalam hati tentunya.

‘Mimpi apa aku semalam, kenapa jadi malu begini?’ batin Lia sembari melirik Arman yang malah senyum-senyum ke arahnya. Membuat Lia langsung memalingkan wajah secara perlaha, agar tidak kentara. Kan gak enak, takutnya dikira sombong.

Mereka pun melanjutkan obrolan, sekarang Arman bertanya mengenai pekerjaan Lia di pulau Kalimantan. Dan bu Damri sengaja meninggalkan keduanya. Alsannya gerah, belum mandi, ia mau mandi dulu karena hari sudah sore.

“Saya dengar kamu sudah lama di Kalimantan?” Arman mulai mancing Lia yang cenderung pendiam dan irit bicara. Padahal aslinya ceriwis, ceria dan super duper cerewet juga.

Lia hanya mengangguk, kemudian menjelaskan sudah berapa lama ia berada di pulau dengan julukan pulau seribu sungai tersebut.

“Cukup lama, setelah kuliah selesai langsung kerja di sana, ya sampai sekarang ini,” ucap Lia menjelaskan dengan singkat.

“Hebat ya kamu, Lia.” Arman menatap kagum pada sosok gadis yang duduk di depannya.

Lia menggeleng, “Biasa saja.”

“Menurut saya sih hebat, oh ya ... rencana kapan balik lagi?” tanya Arman lagi, yang jelas menduga pasti Lia akan kembali ke Kalimantan lagi.

“Semingguan mungkin.”

“Tetep komunikasi ya, kalau sudah kembali. Boleh kan saya telpon atau hubungi kamu? Gak ada yang marah kan?”

‘Agresive juga orang ini!’ batin Lia.

“Boleh saja, tapi mungkin di jam-jam tertentu. Karena kalau sudah kerja, panggilan ibuk saja kadang gak sempat Lia angkat,” ucap Lia seolah memberi tanda, bukan berarti ia akan senang hati mengangkat telpon dari pria tersebut. Ganteng sih, keluarga terpandang, pekerjaan mapan, tapi makin ke sini kok Lia merasa kurang sreg saja dengan pria itu.

“Sekali lagi terima kasih, seneng bisa kenal wanita seperti kamu.” Arman lagi-lagi mulai mengeluarkan jurus gombal. Ia mungkin belum sadar, ada beberapa wanita yang justru enek jika digombali, jika diberikan manis-manis yang banyak, tapi ada juga yang suka bila diberikan gombalan, sekedar pemanis.

“Sama-sama,” kata Lia sambil menatap ponselnya. Sudah sore, hari makin gelap, tamunya tidak kunjung pulang. Mau ia usir nanti ibunya bisa ceramah lagi.

“Gak terasa sudah sore saja,” ucap Lia kemudian sambil menatap langit yang mendung dan gelap, sebenarnya ia lagi menyidir tamunya untuk segera pulang.

“Oh, iya!” Arman spontan menatap jam tangan di pergelangan tangannya. Sudah jam lima sore lebih, sebentar lagi mau magrib. Pria itu pun hendak pamit pergi, tapi mau mencari bu Damri terlebih dulu. Calon mantu harus sopan, agar dapat nilai tambahan plus dari camer. Sebelum pargi mau pamit dulu.

“Bu Damri mana, ya? Mau pamitan sekalian.” Arman menatap ke dalam rumah seolah mencari sosok ibu dari Lia tersebut.

‘Nah, bagus kalau dia ngerasa,’ batin Lia.

“Sebentar, Lia masuk ke dalam, tak pangilin ibuk dulu,” pamit Lia kemudian masuk mencari ibunya.

Sesaat kemudian, bu Damri muncul dengan menenteng kotak besar, dari wanginya pasti donat. Oh, rupanya donat itu untuk  Arman, pikir Lia.

“Loh, apa ini, Bu?” tanya Arman saat bu Darmi mengulurkan kotak besar itu padanya.

“Sudah, bawa saja. Buat ibu di rumah.” Bu Damri terlihat tulus memberikan oleh-oleh yang ia buat sendiri tadi seharian bersama Asih.

“Ya Allah, Bu. Malah ngerepotin, Arman gak bawa apa-apa tadi.” Arman terlihat gak enak, karena tadi datang buru-buru pulang kerja jadi gak sempet mampir tokoh buah.

“Gak apa-apa, wong ibu memang sengaja bikin ini. Salam ya, sama bapak ibuk.”

“Makasih banyak loh, Bu.” Arman masih terlihan sungkan.

Keduanya terlalu lama basa-basi, membuat Lia jenuh. Lia juga heran, kenapa ibunya terlihat sangat suka dengan Arman. Apa karena pria itu seorang PNS? Atau karena anak bapak lurah? Atau karena yang lain? Entah lah, Lia tidak tahu.

“Saya permisi ... Lia, terima kasih atas waktunya. Assalamualaikum.” Pria itu pamit dengan ramah, membuat bu Darmi semakin srek. Arman menenteng sekotak donat yang diberikan oleh bu Damri.

“Waalikumsalam,” jawan Lia dan bu Darmi secara bersamaan.

***

Baru juga mobil itu meninggalkan halaman rumah, bu Darmi langsung wawancara tentang tangapan Lia. Tanggapan Lia tentang pria tersebut. Tanpa basa-basi, bu Damri langsung saja bertanya ini itu tentang kedatangan Arman barusan ke rumah mereka.

“Bagaimana? Ganteng kan? Sopan, PNS lagi. Kamu gak akan nyesel kalau manut sama ibuk.” Lagi-lagi bu Damri mendesak Lia agar menerima Arman.

“Ya Allah Ibuk, baru juga ketemu sekali, mana bisa Lia menilai orang. Apalagi ini untuk menikah yang sekali seumur hidup, Lia harus hati-hati.” Lia menggeleng kepala, yang belum nikah siapa, kenapa ibunya ngebet banget. Lia sampai heran, apa ibunya saja yang duluan nikah?

“Mau sampai kapan kamu pilih-pilih? Apa kamu masih belum bisa melupakan laki-laki itu?” tanya bu Damri curiga. Kata-kata ibunya langsung membuat Lia terdiam lesu, ia memilih meninggalkan ibunya. Tidak mau berdebat lagi, apalagi kalau sudah membahas pria yang hampir menikahinya dulu.

‘Lia ... Lia ... kenapa nasibmu begini?’ gumam bu Damri kemudian menghela napas panjang.

Sementara itu, di dalam kamarnya. Lia menatap jendela dengan tatapan kosong. Ia masih ingat betul, bagaiaman hatinya terasa sakit ketika pria yang ia cintai pergi begitu saja. Ya, mungkin itu adalah awalnya yang membuat Lia menjadi tidak kunjung menikah. Bukan karena ia pipih-pilih, bukan juga karena suka jual mahal, hanya saja hatinya seolah tidak bisa bertaut lagi ke lain hati. Pada sosok pria yang menjadi cinta pertama Lia Hapsari.

Namanya Andis Hermansyah. Wakil ketua OSIS semasa Lia SMA. Dia adalah pria pertama yang mengenalkan Lia pada cinta. Meskipun hanya cinta monyet. Namun, asmara keduanya belanjut sampai mereka masuk jenjang universitas. Beda kota tidak menjadikan keduanya putus. Lia yang kala itu kuliah di Jogya, sedangkan Andis diterima di Malang. Jarak benar-benar bukan jadi penghalang bagi keduanya.

LDR menjadi pilihan keduanya, tahun pertama semuanya berjalan lancar. Salin percaya dan sama-sama menghargai pasangan. Namun, tidak dengan tahun kedua dan berikutnya. Lia merasakan perubahan yang besar pada kekasihnya itu. Mereka mulai ribut, hingga damai kembali saat akan di adakannya lamaran. Meskipun masih kuliah, Andis dengan gentle datang untuk melamar. Ia membawa keluarganya kala itu, tapi kadang rencana tidak sesuai harapan.

Pertunangan harus dibatalkan secara sepihak oleh pihak pria. Hal inilah yang membuat Lia Hapsari sampai sekarang mengalami ketidak percayaan pada pria. Banyak yang mendekat, tapi ia meragu duluan. Seperti Arman, pria yang dicarikan oleh ibunya. Lia tidak yakin, apa pria itu yang nantinya akan menjadi pendamping hidupnya.

Bersambung

Fb Sept September

Ig Sept_September2020

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!