NovelToon NovelToon

Menikahlah Denganku

Aku Tak Sanggup Lagi

Dinginnya angin malam yang menyatu dengan deburan ombak. Tak membuat Venita menghentikan aksi nekatnya untuk mengakhiri hidupnya.

Rasanya sudah tak sanggup lagi. Hidupnya terasa begitu melelahkan. Semua seperti terjebak dalam labirin yang tak berujung.

Sudah Venita usahakan untuk bekerja lebih dari satu tempat, tapi hutang-hutang itu tak juga terbayar. Bahkan untuk menyicil bunganya saja dia tak mampu.

Kenapa dia harus mengalami hal ini? Kenapa ibunya harus pergi secepat ini dan meninggalkan tumpukan hutang yang menggunung?

Mengingat bagaimana para penagih itu begitu gigih mencari kemana dia berada. Bahkan pagi tadi sudah ada 3 kelompok preman yang berbeda datang ke mini market tempatnya bekerja.

Apa mereka tak tahu kalau perbuatan itu sangat mengganggu para pembeli? Bahkan sekarang Venita sudah dipecat karena ulah mereka. Jika begini bukannya mereka yang sulit jika Venita tak memiliki tempat yang memberikannya pemasukan?

Untuk makan saja begitu sulit, apalagi harus membayar hutang. Bahkan saking sulitnya, nasi sudah seperti makanan mewah baginya. Walaupun tanpa lauk apapun, dia sudah sangat bersyukur.

Sekarang Venita merasa sudah sangat lelah. Dia lebih baik mengakhiri semuanya seperti ini daripada harus kembali dibawa ke klub malam lagi untuk dijual. Meskipun hidupnya menyedihkan, setidaknya dia masih bisa menjaga kehormatannya.

"Hiks... Hiks..."

Wir mata mulai menetes. Perlahan Venita terisak sambil terus melangkah ke tengah laut. Dia memejamkan matanya, meminta maaf pada Tuhan dan juga pada dirinya sendiri. Berharap Tuhan memaafkan perbuatan yang tengah dia lakukan sekarang..

Tinggi air sudah sebatas pinggangnya. Dia terpeleset saat di depannya laut sudah jauh lebih dalam.

Saat dia mulai pasrah dan berpikir tubuhnya akan langsung tersapu ombak. Tiba-tiba dia merasakan tubuhnya ditarik kebelakang oleh seseorang.

"Apa yang kamu lakukan?! Kamu mau mati, hah?!!"

Venita masih bisa mendengar suara pria dengan nada marah itu kepadanya. Dia tak tahu siapa pria ini dan darimana dia datang. Yang dia tahu pria itu telah menolongnya.

Selama pikirannya diselimuti oleh beberapa pertanyaan. Dia tak menyangka bahwa kakinya sudah menampak ke daratan. Dia selamat, Venita tak jadi tenggelam.

Sebenarnya sedari tadi pria itu terus berbicara, tapi Venita tak begitu memperhatikannya. Dia melihat sekeliling. Banyak pria berbadan besar berada tak jauh dari pria yang menariknya keluar dari air tadi.

Pandangan Venita terhenti saat melihat sosok yang tak asing. Pria itu.. pria berbadan besar yang menagih utang padanya tadi pagi.

Tunggu dulu. Apa ini? Apa mereka mencoba menjual Venita lagi? Tidak. Ini tidak bisa dibiarkan. Venita tak akan membiarkan orang-orang ini membawanya pergi.

Sekuat tenaga dia berlari menjauh dari mereka. Susah payah dia berlari namun kecepatannya tak bisa di paksakan. Kakinya terasa kebas setelah berada di air terlalu lama. Sadar akan hal itu tak membuat Venita menyerah. Dia terus berusaha berlari walaupun pada akhirnya kesadarannya menurun dan mereka berhasil menyusulnya.

#

"Hah!!!" Venita terbangun dari tidurnya. Nafasnya tersengal dan keringat bercucuran di pelipisnya. Itu semua hanya mimpi? Pikirnya, tapi tunggu. Ini bukan kamarnya. Kamar siapa ini? Apa ini kamar hotel? Bagaimana bisa dia berada disini?

"Itu bukan mimpi?" Tanya Venita pada dirinya sendiri.

Tok.. tok.. tok..

Ketukan pintu semakin membuat Venita tercekat. Siapa itu?

Karena tak mendengar jawaban dari dalam. Seorang yang berada di balik pintu memutuskan untuk membukanya. "Of maaf, saya kira Anda masih tidur." Sesal seorang wanita dengan pakaian seorang pelayan.

"Maaf, ada dimana aku?" Tanya Venita akhirnya. Melihat dari cara wanita yang sepertinya berumur beberapa tahun diatasnya itu begitu sopan, Venita merasa dia tidak sedang dalam bahaya. Namun bagaimanapun juga Venita harus tetap waspada.

"Anda sedang berada di kediaman Tuan Ergo Bagaskara."

"Siapa itu?" Tanya Venita bingung. Seingatnya Venita tak pernah memiliki kerabat bernama Ergo Bagaskara.

"Itu aku." Ucap seorang pria yang baru saja masuk ke dalam kamar.

"Tuan." Ucap si pelayan menepikan dirinya.

"Taruh saja disana. Kamu bisa pergi."

"Baik, Tuan." Pelayanan itu menaruh sebuah keranjang kecil di meja dekat tempat tidur Venita kemudian permisi untuk pergi.

Venita menatap pria yang kini berjalan perlahan ke arahnya. Dia masih mencoba mengingat siapa pria ini.

"Sebaiknya kamu segera bersiap. Sebentar lagi kita akan sarapan di lantai bawah. 10 menit lagi kita akan sarapan bersama." Ucap pria itu.

"Di dalam ada beberapa barang yang kamu perlukan. Gunakan sesukamu." Lanjut pria itu menunjuk keranjang yang diletakkan pelayan tadi sebelum akhirnya pergi meninggalkan Venita masih dalam pikirannya sendiri.

Entah kenapa bukannya wajah, tapi Venita merasa sangat familiar dengan suara pria itu. Dimana dia mendengarnya?

"Ah benar!" Pekik Venita saat mengingat dimana dia mendengar suara Ergo. Itu suara pria yang menariknya keluar dari laut kemarin. Apa yang dia lakukan disini? Oh benar, ini rumahnya. Tentu saja dia berada disini.

Tapi kenapa pria itu membawanya pulang? Apa Venita berada disini untuk dijual?

Venita melihat isi keranjang itu. Isinya adalah pakaian ganti dan juga perlengkapan mandi. Tidak salah lagi. Pasti Venita dibawa kesini untuk dijual. Dia harus kabur sesegera mungkin. Venita ingat bahwa pria tadi mengatakan bahwa waktunya 10 menit. Jadi dia masih memiliki waktu sekitar 8 menit lagi.

Berlari ke arah jendela. Ternyata dirinya sedang berada di lantai dua. Venita terkejut saat melihat hamparan hijau luas di depannya. Apa ini? Apa dia sedang berada di peternakan atau sejenisnya?

Masa bodoh. Venita mencari apapun yang dapat dia gunakan sebagai tali untuk kabur. Dia mengambil selimut dan juga baju, handuk dan lainnya untuk diikat memanjang sebagai tali.

Setelah semuanya siap akhirnya Venita melempar tali itu ke bawah. Walaupun tali masih lumayan menggantung tinggi, tapi Venita percaya bahwa itu cukup baginya untuk melompat. Daripada dia harus melompat dari lantai dua.

Saat mulai menuruni tali. Sayangnya baju ganti yang mereka berikan memiliki bahan mudah robek. Jadi kain itu tak bisa menahan bobot tubuhnya dan membuatnya jatuh sebelum sampai pada ujung tali.

"Agghh!!!"

Beruntung Venita jatuh di semak-semak. Hal itu menolongnya untuk tak mendapatkan luka yang cukup serius. Namun teriakannya tadi berhasil mengundang beberapa penjaga datang untuk mengecek.

Derap langkah semakin mendekat ke arahnya. Venita berusaha untuk bangun tapi sepertinya ada beberapa tulangnya yang bermasalah. Dia tak sanggup berdiri.

Akhirnya dia gagal kabur. Semua penjaga sudah berdiri di depannya sekarang. Tak lama kemudian pria tadi juga sudah berdiri di depannya dengan raut wajah heran.

"Tuan." Ucap para penjaga itu menepi agar tak menghalangi pandangan si pria pada Venita.

"Apa lagi yang coba kamu lakukan, huh?!" Tanyanya.

"Mama." Ucap seorang bocah laki-laki menatap ke arah Venita. Bocah yang sebelumnya sembunyi di belakang kaki si pria itu berlari ke arah Venita dan memeluknya erat. Membuat Venita bingung untuk bereaksi seperti apa.

#

Menikahlah Denganku

"Papa.. Stevan mau masuk juga. Stevan mau ngobrol sama mama juga..." Teriak bocah laki-laki itu di luar kamar.

Ergo tampak menghembuskan nafas panjang. Saat ini dokter keluarga mereka tengah mengobati luka-luka Venita. Ternyata benar dugaannya. Bahunya patah dan harus dirawat sampai beberapa hari ke depan. Venita juga disarankan untuk tidak banyak bergerak agar cideranya tidak bertambah parah.

Selain itu tidak ada luka serius lainnya. Hanya sedikit lecet di bagian lengan dan dahi.

"Papa..." Bocah itu masih saja berteriak dan membuat Dokter Ferdi tersenyum kecil.

"Maaf, Dok." Sesal Ergo.

"Tuan muda selalu bersemangat." Ucap Dokter Ferdi sambil tertawa kecil.

"Benar. Energinya luar biasa tak terkendali."

"Kalau begitu semuanya sudah selesai. Jika ada keluhan lainnya Tuan bisa menghubungi saya."

Ergo mengangguk mengerti dan kemudian Dokter Ferdi permisi untuk pergi. Hal itu digunakan Stevan untuk mencoba masuk, tapi penjaga berhasil menghalanginya. Karena Ergo sudah melarang mereka untuk membiarkan Stevan masuk.

"Apa maumu sebenarnya?" Tanya Venita pada Ergo bingung.

Kemarin pria ini sudah menolongnya dan sekarang dia sampai memanggil seorang dokter untuk mengobati luka-lukanya. Atau jangan-jangan ini salah satu taktik agar hutangnya bertambah dan dia mau menuruti kemauan pria untuk menjual diri?

"Menikahlah denganku."

Tentu saja pasti... Hah?! Apa?

"Apa?!" Tanya Venita coba mengoreksi apa yang baru saja dia dengar.

"Dengar baik-baik karena aku tidak akan mengulanginya lagi. Aku memintamu untuk menikah denganku."

"Kenapa? Kenapa aku harus menikah denganmu?"

"Karena kamu tidak memiliki pilihan lain selain menikah denganku. Anggap hal ini sebagai tawaran yang bagus."

"Kamu ingin menjadikanku sebagai simpanan? Tidak. Aku menolak."

"Apa kamu tuli atau bagaimana? Aku memintamu menikah dengangku. Bukankah sudah jelas aku akan menjadikanmu seorang istri?"

"Tapi kamu sudah memiliki anak."

"Ya, tapi belum tentu aku juga memiliki seorang istri."

Venita terdiam. Jadi pria ini duda beranak satu? Dia ingin memukul mulutnya sekarang juga. Dia tak tahu akan hal itu. Beruntung sepertinya pria ini tidak marah dengan ucapannya tadi.

"Jadi kamu ingin menikahiku secara resmi?"

"Sangat resmi."

"Semua keluargamu akan tahu saat kita akan menikah?"

"Tentu saja. Bahkan akan ada pesta pernikahan juga."

Astaga. Mimpi apa Venita semalam? Bagaimana bisa dia dilamar dengan cara aneh seperti ini?

"Tapi kenapa harus aku?"

"Bukannya aku sudah bilang, karena kamu tidak memiliki pilihan lain selain menikah denganku."

"Tidak bisa. Aku sedang dikejar banyak rentenir. Kamu akan kesulitan jika memilih menikah denganku "

"Aku tahu. Aku akan melunasi dan membayar hutang-hutangmu jika kamu bersedia untuk menikah denganku."

"Kamu serius? Kamu bahkan belum bertanya berapa nominalnya."

"Aku sudah tahu berapa jumlah hutangmu dan di tempat mana saja hutang itu berasal. Bahkan aku juga tahu tempat lain dimana orang-orang mereka belum mulai mengejarmu."

"Bagaimana kamu bisa tahu? Apa kamu mengecek latar belakangku?"

"Tentu saja. Aku tak mungkin asal memilih calon mama untuk Stevan."

Venita mengangguk mengerti. Sepertinya apa yang pria ini tawarkan cukup membuatnya tertarik. Dia tak harus berlari dan bersembunyi untuk menghindari para rentenir itu.

"Apa syaratnya? Tidak mungkin kan kamu hanya ingin menjadikanku seorang istri setelah membayar miliyaran uang."

"Kamu pintar." Ergo mengambil sebuah amplop coklat dari laci meja nakas. Dia mengeluarkan sebuah kertas dari dalam amplop. "Baca baik-baik dan tanda tangani setelahnya."

Venita membaca beberapa baris kalimat yang ada di kertas itu. "Hanya ini?" Tanyanya tak percaya.

Ergo mengangguk yakin. "Kamu bisa menolaknya, aku tidak akan memaksa."

Venita terdiam sejenak. Sebenarnya hanya ada satu syarat dan hal itu sangat mudah. Venita hanya tak mengerti apa yang sedang pria kaya ini lakukan. Apa dia hanya sedang kelebihan uang dan bingung untuk menghabiskannya kemana?

"Mana bolpoinnya?"

Ergo menunjuk pada laci meja nakas. Venita membuka dan menemukan sebuah bolpoin di dalamnya. Tanpa ragu dia menandatangani surat perjanjian itu. "Sudah."

Ergo menerima surat yang telah Venita tanda tangani "Baik. Pertama kita sembuhkan dulu lukamu. Sebelum kita memperkenalkanmu pada keluargaku."

Venita masih tak percaya mendengar kalimat yang Ergo ucapkan. Astaga dia akan benar-benar menikah. Bahkan pernikahan ini akan sangat resmi. Bukan sebagai istri siri atau simpanan. Dia benar-benar akan menikah secara resmi.

Saat Ergo keluar Stevan langsung melesat masuk ke dalam kamar. Anak itu menyelinap begitu gesit.

"Mama masih butuh istirahat." Ucap Ergo pada putranya.

"Iya Stevan tahu. Stevan hanya mau menyapa mama." Ucah bocah kecil itu menghampiri tempat tidur Venita.

"Apa Mama baik-baik saja? Apa kata dokter?" Tanya bocah itu pada Venita.

Venita masih bingung saat kembali dipanggil mama oleh anak ini. Rasanya masih sangat canggung. Dia bahkan masih berusia 20 tahun dan sekarang sudah memiliki anak sebesar ini?

"Mama baik-baik saja. Walaupun bahu mama cidera, tapi semuanya akan baik-baik saja setelah beberapa hari." Ucapnya kemudian mengikuti peran yang bocah itu berikan padanya.

Wajah bocah itu terlihat sendu. Namun beberapa saat kemudian kembali tersenyum bahagia. "Apa Mama mengingatku?" Tanya bocah itu antusias.

Sebenarnya memang ada rasa familiar saat Venita menatap Stevan. Bukan karena Stevan mirip dengan Ergo, tapi rasanya mereka seperti pernah bertemu.

"Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" Tanya Venita tak yakin.

Mendengar pertanyaan Venita membuat Stevan mengangguk semangat. Dia tersenyum senang saat mengetahui Venita dapat mengingatnya.

"Tapi dimana?" Tanya Venita pada dirinya sendiri.

"Di taman. Saat itu Mama memberikanku roti cokelat."

"Ah..." Akhirnya Venita ingat siapa bocah ini. Dia anak yang bermain ayunan sendirian di depan taman mini market tempatnya bekerja.

Saat itu Venita mendapat shift siang dan akan berangkat kerja. Namun dia dihentikan oleh anak kecil yang sedang menangis sambil menghampirinya. Padahal sebelumnya anak itu baik-baik saja saat bermain ayunan sendirian.

Merasa bingung dan tak tahu harus berbuat apa. Akhirnya Venita memberikan roti ditangannya pada anak itu. Padahal roti itu makanan satu-satunya yang dia miliki. Dia bahkan belum makan dari semalam. Roti itu harusnya menjadi makan siang sekaligus pengganjal perutnya dihari itu.

"Jadi kamu anak itu." Tambahnya lagi.

Awalnya Venita pikir Stevan hanya anak kecil yang mungkin rumahnya tak jauh dari mini market. Dia berpikir anak itu sedang bertengkar dengan temannya atau bagaimana. Namun siapa sangka bahwa anak yang dia ajak bicara merupakan anak dari duda muda kaya raya.

"Aku senang Mama yang akan menjadi mamaku." Ucap Stevan gembira. Venita hanya bisa menanggapi ucapan Stevan dengan senyuman.

"Kalau begitu sebaiknya Stevan pergi. Mama harus beristirahat. Dadah Mama..." Stevan mencium pipi Venita sebelum melambai riang pergi keluar kamar.

Tepat setelah Stevan pergi seorang pelayan datang untuk mengantarkan sarapan untuk Venita. Ah, Venita sampai lupa kalau dia belum makan apapun dari kemarin.

#

Mama Untuk Stevan

"Kamu harus segera menikah." Ucap Tuan Bagaskara pada putra satu-satunya yang hampir kepala tiga ini.

Ergo memijit pangkal hidungnya sebentar. Bekerja terlalu lama di depan komputer membuat matanya lelah.

"Sampai kapan Papa terus mengulang kalimat yang sama?"

"Sampai kamu mau untuk menikah."

"Kak Inggit juga belum menikah, tapi kenapa aku yang selalu Papa desak untuk menikah? Lagipula aku sudah punya Stevan. Apa lagi yang kurang?"

"Nantinya kamu akan menjadi penerus perusahaan ini. Bagaimana bisa seorang pemimpin perusahaan besar tidak memiliki seorang pendamping?"

"Tentu saja bisa."

"Tidak bisa. Kamu memiliki banyak mitra bisnis. Mereka tidak akan membuat keputusan untuk bekerja sama dengan mudah jika kamu dinilai tak mampu memimpin sebuah keluarga."

Ergo hanya tak habis pikir darimana ide penilaian itu bermula. Apa hubungannya tak memiliki istri dengan gagalnya menjalin mitra bisnis?

"Papa tidak mau tahu. Papa akan mengenalkanmu dengan beberapa anak kenalan Papa. Kamu harus bertemu dengan salah satu dari mereka."

"Aku menolak."

"Papa tidak menerima penolakan." Setelah itu Tuan Bagaskara meninggalkan ruangan kantor Ergo.

Ergo hanya bisa memijat pelipisnya mendengar ide gila papanya. Terserah apa yang akan papanya lakukan. Mungkin Ergo hanya akan membuat beberapa wanita sakit hati lagi.

#

Ergo melajukan kemudinya menuju rumah utama kediaman Keluarga Bagaskara. Hari ini ulang tahun Stevan, anak semata wayangnya yang ke 5 tahun. Mamanya bersikeras untuk membuat sebuah pesta meskipun hanya akan dihadiri oleh beberapa kerabat dekat.

Tentu saja Ergo tak keberatan selama dia masih bisa bekerja dan selama Stevan merasa senang dengan ide omanya untuk membuat pesta ulang tahun untuknya.

Saat masuk ke dalam ruang utama tempat pesta. Di dekat kue sudah ada bertingkat-tingkat hadiah dari kerabat untuk Stevan. Biasanya beberapa dari mereka bahkan ada yang membelikan hadiah lebih dari satu.

Berbeda dengan Ergo yang tak pernah memberikan hadiah pada putranya. Dia lebih suka memberikan anaknya tabungan. Setelah Stevan bisa berbicara dan mengerti tentang rasa ingin tahu. Disitulah Ergo mulai bertanya langsung apa yang anaknya inginkan sebagai hadiah.

Ergo ingin memberikan apa yang diinginkan Stevan. Lagipula semua mainan sudah didapatnya dari kerabat yang lain.

#

Acara berlangsung begitu meriah walaupun hanya diperuntukkan untuk para keluarga dekat. Stevan sendiri juga terlihat tampak senang dengan pesta yang dipersiapkan oleh omanya. Ergo jadi ikut senang melihat anaknya tertawa gembira bersama para keluarga besar. Ergo bersyukur Stevan selalu disayangi oleh banyak orang.

"Hai sayang, sudah mau buka kado? Mau Papa bantu buka?" Tawar Ergo melihat Stevan yang berdiri di tengah tumpukan kado setelah selesai acara.

Beberapa kerabat terlihat masih berkumpul di ruang tengah. Sedangkan para anak sudah tidur di kamar masing-masing. Ergo yang ingin mengecek putranya di tempat tidur memergoki putranya yang terbangun di tengah tumpukan kado.

Stevan menggeleng sambil tersenyum. Dia berjalan riang menghampiri papanya. "Bagaimana dengan kado dari Papa untuk Stevan?"

"Kamu mau sekarang? Baik. Apa yang Stevan mau dari Papa?" Ergo menggendong Stevan agar wajah mereka bisa berhadapan dan keduanya dapat berbicara dengan lebih baik.

"Ehmm.." Stevan tampak berpikir sambil menaruh jari telunjuknya di dagu. Ergo menahan gemas melihat tingkah anaknya sendiri.

"Emm.. bagaimana kalau mama. Stevan ingin punya mama, Pa."

Ergo tertegun sejenak mendengar permintaan putranya. Lalu kemudian dia tersenyum. Sepertinya memang sudah waktunya dia menikah.

"Stevan yakin ingin punya mama? Memangnya Stevan ingin punya mama seperti apa?"

"Emm.. terserah. Pokoknya mama nanti harus sayang sama Papa dan juga Stevan. Yang baik juga, samaaa.. apa ya.. pokoknya terserah."

Ergo tertawa mendengar jawaban anaknya. "Yang baik menurut Stevan itu yang bagaimana?"

"Pokoknya yang baik sama Stevan. Stevan takut dimarahi, Pa."

"Kalau Stevan salah, tentu saja harus dimarahi."

Stevan tertunduk. Wajah riangnya berubah sendu. "Tapi kakak itu baik sama Stevan. Padahal Stevan nakal."

"Kakak itu siapa?" Tanya ayahnya penasaran.

"Kakak itu, yang tadi jaga Stevan ditaman. Stevan juga dikasih roti." Jawab Stevan gembira.

Ergo mengangguk mengerti. Sepertinya Stevan ingin wanita yang dia temui di taman tadi untuk menjadi mamanya.

"Oke. Permintaan diterima. Kamu akan punya mama."

"Horeeee.. Stevan akhirnya punya mama." Teriak Stevan gembira. "Makasih, Papa." Stevan memeluk leher papanya yang masih menggendongnya.

"Iya sama-sama, sayang. Apa yang kamu mau pasti Papa berikan."

#

Keesokan paginya Ergo langsung bertanya pada sopir tentang wanita yang dimaksud Stevan. Sopir pun mengatakan apa yang dia tahu, bahwa wanita itu bekerja di kasir minimarket seberang jalan. Setelah mendapatkan sedikit info tentang siapa wanita itu, Ergo langsung menyuruh orang-orangnya mencari lebih dalam tentang wanita yang ingin Stevan jadikan sebagai mamany.

Tak sampai lebih dari sehari informasi mengenai wanita itu dikantongi oleh Ergo. Siapa sangka ternyata dia salah orang yang berhutang kepadanya. Sebenarnya bukan wanita itu yang berhutang secara langsung, melainkan ibu tirinya yang sudah meninggal.

Keadaan Venita membuat Ergo merasa sem akin mudah untuk membujuknya. Dia bisa menggunakan apa yang dia punya sekarang agar wanita itu mau menjadi mama dari Stevan. Ergo akan membuat Venita tak lbisa menolak penawarannya.

Setelah semua dipersiapkan Ergo akhirnya meminta orang-orangnya untuk membawanya menjemput Venita. Namun tak lama kemudian tiba-tiba saja Venita seperti menghilang. Wanita itu tak berada di manapun yang seharusnya dia berada.

Merasa aneh Ergo langsung mengomando orang-orangnya untuk mencari Venita sampai ketemu. Bahkan dia juga menambahkan orang lagi hanya untuk mencari dimana keberadaan seorang wanita yang sudah dewasa.

Hingga akhirnya ada dari mereka yang melaporkan keberadaan Venita. Ergo langsung menuju ke lokasi dan melihat sendiri bagaimana wanita itu seperti ingin menenggelamkan dirinya di tengah laut.

Dia yang tak ingin semua rencananya sia-sia. Berlari menerjang deburan ombak yang pada malam itu cukup kencang. Bersyukur Ergo bisa menarik Venita ke daratan tepat waktu sebelum ombak membawanya cukup jauh.

Dia bahkan sempat memarahi Venita akan sikapnya. Tapi pada akhirnya Ergo mencoba menahan emosinya saat melihat wanita itu hanya linglung dan tak mendengar ucapannya sama sekali.

Semuanya semakin menyusahkan saat Ergo akan meminta Venita untuk ikut dengannya, tiba-tiba saja wanita itu berlari sekuat tenaga. Membuat semua orang-orangnya mulai mengejarnya bahkan tanpa dia perintahkan.

Entah Ergo merasa beruntung atau sial saat Venita jatuh pingsan ditengah pengejaran. Akhirnya Ergo meminta salah seorang untuk membawanya masuk ke dalam mobil dan dirawat di rumah. Dia bahkan sudah menelepon dokter keluarga mereka untuk datang bahkan sebelum mereka sampai di rumah.

"Apa pilihanku ini sudah tepat?" Tanya Ergo pada dirinya sendiri di sepanjang jalan.

Melihat bagaimana tingkah Venita hari ini, Ergo jadi merasa khawatir kalau wanita ini tidak akan bisa menjadi ibu yang baik bagi Stevan. Bahkan Ergo sempat memiliki pikiran untuk meninggalkan wanita ini di jalanan saja. Namun dia urungkan niatnya saat mengingat bagaimana Stevan sangat ingin menjadikan Venita sebagai mamanya.

Terserah. Jika nanti wanita ini berulah dan membuat dampak buruk bagi putranya, Ergo hanya perlu melakukan apa yang oerlu dilakukan.

#

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!