"Astaga!! Matilah aku kalau telat!" Gumam Elena yang nampak gusar sembari terus melangkah cepat di trotoar jalanan untuk menuju kampusnya yang tidak terlalu jauh dari kostannya.
Ya, ini hari pertama Elena masuk kuliah, bisa masuk ke universitas negeri terbaik di kota itu merupakan sebuah kebanggaan tersendiri baginya, apalagi ia bisa masuk ke kampus bergengsi itu lewat jalur prestasi dan mendapatkan beasiswa.
Dan benar saja, begitu tiba di kampus, Elena sudah harus mendapati sekumpulan mahasiswa baru yang sudah berbaris rapi di tengah lapangan.
"Haih kan bener aku telat, duh gimana ini??" Gumam Elena yang merasa semakin panik sembari terus melangkah cepat menuju barisan itu.
Takut mendapat hukuman, Elena pun berniat menyelinap dan ingin masuk begitu saja ke dalam barisan, namun malang, aksi itu dengan cepat ketangkap basah oleh seorang kakak tingkat yang kala itu tengah mengospek mereka.
"Heh kamu!!" Seru wanita yang kala itu tengah melotot menatap Elena.
Hal itu pun sontak membuat wanita polos berambut ikal itu seketika terkejut hingga langsung menghentikan langkahnya.
"Duhh ketauan, mati aku!" Gumam Elena dalam hati dengan perasaan yang begitu tegang.
Disaat yang sama, seluruh orang-orang yang ada disana pun nampak serentak menoleh ke arah Elena dengan tatapan bermacam ragam, mulai dari sinis hingga menatapnya aneh.
"Sini!!" Seru wanita yang dikenal bernama Febby, yang cukup populer di kampus.
Elena pun semakin gemetaran.
"Sa,, saya kak??" Tanyanya sembari menunjuk dirinya sendiri.
"Ya iyalah!! Menurutmu siapa lagi??" Jawab Febby jutek.
Dengan langkah ragu-ragu, mau tidak mau Elena harus melangkah menghampiri Febby yang kala itu berdiri angkuh di depan barisan. Elena pun berdiri di hadapan Febby dengan kepala yang terus menunduk karena malu, juga takut.
"Baru juga masuk udah berani mau ngibulin kakak tingkat!!" Ketus Febby sembari mulai memandang sinis ke arah Elena dari ujung kaki hingga rambut.
"Memangnya dia kenapa sih Feb?" Tanya salah satu kakak tingkat, dia seorang lelaki, bernama Bram.
"Anak ini telat!! dan mau nyobak masuk ke dalam barisan diem-diem!" Jawab Febby meninggikan suaranya.
Bram pun terdiam sesaat sembari terus memandangi Elena.
"Heh, siapa namamu?" Tanya Bram kemudian.
"El,, Elena kak." Jawab Elena yang kala itu masih terus menundukkan kepalanya.
"Woi!! kalau di ajak ngomong tu, liat muka orang yang ngajak lo ngomong!!" Tegas Bram yang juga mulai merasa kesal.
Dengan ragu-ragu, Elena pun akhirnya mulai menegakkan kepalanya dan menatap Bram dengan tatapan sendu. Hal itu membuat matanya yang bulat, hidungnya yang bangir, serta bulu mata yang begitu tebal juga lentik jadi begitu jelas terlihat.
Melihat bagaimana keindahan wajah Elena yang cantiknya begitu natural, sontak membuat Bram terperangah.
"Wah, anaknya ternyata cantik banget." Celetuk Bram dalam hati.
"Kenapa mukamu Bram? Gitu banget liatnya!" Ketus Febby.
"Ah eng,,, enggak kok, biasa aja!" Jawab Bram yang seketika langsung tersentak.
"Hmm cantik sih cantik, tapi attitude minus!" Celetuk salah satu kakak tingkat yang lain, ia dikenal bernama Ame.
"Maaf kak," Ucap Alena dengan mulut bergetar.
"Maaf, maaf!! Simpan aja maaf lo!!" Ketus Febby sembari mulai melipat kedua tangannya di dada.
"Gak ada kata maaf! Lo harus di hukum!!" Tambah Febby lagi.
Mendengar hal itu, kedua mata Elena nampak semakin membulat sempurna.
"Di,, di hukum kak?" Elena pun nampak semakin gemetaran.
"Ya iyalah! Satu, karena lo udah telat, dua karena lo udah nyobak ngecoh kita semua!" Jelas Febby.
"Kayaknya lo belum sadar satu hal lagi Feb." Ucap Ame.
"Apa itu?" Febby pun melirik ke arah Ame.
"Liat aja tuh anak, dia bener-bener gak pake atribut ospek kayak yang lain!!"
Febby pun seketika kembali menoleh ke arah Elena, dan benar, ia baru menyadari jika Elena kala itu memiliki penampilan paling normal di antara mahasiswa baru yang lainnya yang sudah memakai banyak atribut, mulai dari memakai kalung yang terbuat dari petai, jengkol, hingga memakai topi yang terbuat dari kertas karton berbentuk macam-macam.
"Oh iya, aku baru nyadar!" Celetuk Febby yang kembali memandangi penampilan Elena yang tidak memakai satu atribut ospek pun.
Elena pun terdiam sembari menelan ludahnya sendiri, disaat yang sama Elena pun menyadari jika saat itu ia benar-benar sedang dalam masalah besar.
"Duh, habislah aku!!" Gumamnya dalam hati.
"Wahh, ternyata ada yang mencoba melawan aturan main kita nih." Ujar Febby sembari mulai melangkah untuk semakin mendekati Elena.
"Mana atribut ospek lo ha? Kenapa gak lo pakek? Mau sok cantik lo disini? Iya?!!"
"Maaf kak, saya kesiangan banget hari ini, ja,, jadi lupa bawa."
"What??!! Lupa katamu?!!"
Elena pun mengangguk pelan.
"Wah wah, bener-bener harus dihukum ni anak!!" Febby yang merasa semakin kesal akhirnya merasa tidak bisa mentoleransi hal itu.
"Me, ada sisa atribut gak?"
"Ada dong." Jawab Ame sembari tersenyum.
"Bawa kesini dan suruh anak ini pakek sebelum dia kita hukum!"
"Ok!"
Dua menit kemudian, Ame pun kembali dengan sudah membawa sebuah topi dari kertas karton berbentuk kerucut, kalung yang terbuat dari jengkol, juga sebuah tulisan yang bertuliskan "Saya kodok dungu"
"Nih, lo pakek sekarang!!" Ucap Ame sembari menyerahkan atribut itu pada Elena.
Elena pun terdiam sesaat saat memandangi tulisan itu.
"Haish!! Lama lo ya!!" Gerutu Ame yang seolah tidak sabar sembari langsung memakaikan topi serta kalung jengkol itu pada Elena. Juga tak ketinggalan pula ia mengalungkan tulisan "saya kodok dungu" itu ke leher Elena hingga semua orang yang membacanya pun mulai terkekeh.
"Nah sekarang, lo harus jalan sambil jongkok keliling lapangan, sambil bilang sesuai apa yang di tulis di gelar lo itu!!" Ucap Febby yang kembali melotot.
"Se,, sekarang kak??"
"Ya sekarang dong!! Masa tahun depan?!!"
Elena pun terdiam, ia benar-benar malu dan juga merasa sangat sedih kala itu.
"Cepetan!!" Ketus Febby yang langsung menekan kedua pundak Elena hingga membuatnya seketika terjongkok.
"Ayo mulai!! Kelilingi lapangan ini sebanyak 50 putaran!" Ucap Febby dengan begitu santai, seolah tanpa belas kasih.
Hal itu cukup mengundang rasa kejut bagi banyak orang terutama para mahasiswa baru.
"Hah?! 50 putaran?? Apa gak kelewatan itu?" Celetuk seorang mahasiswa.
"Feb, lo serius nyuruh dia keliling lapangan 50 putaran?? Gila lo ya!" Ucap Bram seketika yang sedikit merasa tidak tega.
"Biarin! Itu pantes untuk dia!" Jawab Febby.
Febby pun kembali memusatkan pandangannya ke arah barisan para mahasiswa baru.
"Kalian lihat kan, ini yang bakal terjadi sama kalian juga kalau kalian datang telat, berani mengecoh kakak tingkat, juga bersikap sok cantik karena gak mau pake atribut ospek! Ngerti??!!"
"Ngerti kak!" Jawab mahasiswa itu secara serentak.
"Good!" Febby pun tersenyum puas.
...Bersambung......
Dengan kedua mata yang mulai berkaca-kaca, akhirnya Elena pun mulai melangkah, ia memutari lapangan dengan cara berjongkok sembari mengatakan "Saya kodok dungu."
"Saya kodok dungu." Ucap Elena dengan bibir yang terus bergetar.
"Ngomong yang keras!!" Pekik Febby yang kala itu terus memantau pergerakan Elena.
"Saya kodok dungu!" Ucap Elena lagi yang mulai semakin mengeraskan suaranya.
Febby pun kembali tersenyum puas.
"Me, Bram, lo lanjut deh ngospek anak-anak ini, gue mau ngitungin putaran tuh anak sok cantik!" Ucap Febby.
"Ok." Ame pun mengangguk singkat.
"Woi, lo kodok atau siput?? Lambat bener jalannya!!" Ketus Febby lagi.
"Saya kodok dungu." Ucap Elena secara terus menerus.
"Hahaha astaga, ternyata seru juga ya bisa ngerjain anak sok cantik ini, hmm kayaknya aku memang butuh deh hiburan kayak gini deh setiap hari." Celetuk Febby yang terus tertawa puas kala melihat Elena tertindas.
Baru sepuluh putaran, nafas Elena mulai terasa ngos-ngosan, langkahnya pun perlahan kian melambat, bahkan perlahan ia merasakan jika oksigen yang masuk ke pernafasannya seolah mulai berkurang.
"Huh,, huh,, sa,, saya kodok dungu." Ucap Elena dengan suara semakin terdengar lirih.
"Ayo semangat dong!! Baru juga sepuluh putaran, masih ada 40 lagi, semangat-semangat!!" Ucap Febby seolah menyemangati, namun faktanya ia bahkan mengejek wanita malang itu.
Elena tidak menyahut, ia hanya terus berusaha sekuat tenaga untuk terus bisa melangkah, dan tak lama, akhirnya Elena menghentikan sejenak langkahnya.
"Kak, saya udah gak kuat." Ucap Elena lirih sembari menatap Febby dengan sendu.
"Gak bisa! Baru 12 putaran, masih ada 38 putaran lagi!!"
"Ta,, tapi kak saya beneran,.."
"Lo berani nolak aturan kakak tingkat yang lagi ngospek? Itu berarti lo udah siap kalau selama lo kuliah disini, lo akan dapat masalah setiap hari!" Ancam Febby.
Hal itu pun seketika membuat nyali Elena ciut dan mau tidak mau, ia pun dengan terpaksa melanjutkan langkahnya.
"Saya kodok dungu." Ucapnya lagi dengan lirih.
Sudah 20 putaran, Keringat Elena pun nampak sudah bercucuran melalui dahinya, bahkan perlahan ia mulai merasakan jika pandangannya kala itu perlahan mulai terasa gelap.
Dan disaat yang sama, seseorang yang begitu di nantikan Febby sejak tadi akhirnya muncul juga, dengan langkah yang sangat tenang seorang lelaki nampak terus melangkah menuju lapangan.
"Akhirnya pujaan hatiku muncul juga." Celetuk Febby dalam hati sembari terus memandangi lelaki bermata coklat terang itu yang terus melangkah menuju ke arahnya dengan penuh kagum.
"Hai Biru, morning." Sapa Febby sembari menampilkan senyuman terbaiknya,
Ya, dialah Sabiru Dirgantara, lelaki bertubuh tinggi atletis, mata berwarna coklat terang yang tajam, juga memiliki hidung yang begitu tegak juga lancip, dan satu hal yang terpenting, saat ini ia begitu populer di kampus karena bukan hanya tampan, ia juga jago bermain basket, dan satu lagi, ia anak dari seorang Dekan di kampus itu.
"Morning." Jawabnya dengan tenang.
"Lama banget sih kamu datangnya."
"Biasa, kesiangan!" Jawab Biru lagi dengan santainya.
Namun tentu saja respon Febby tidak sama seperti saat dia merespon Elena yang juga kesiangan. Selain mereka berada di tingkat yang sama, Febby juga sangat mengagumi bahkan menyukai Biru, tentu saja ia tidak mungkin bisa menghukum lelaki itu.
"Hais, kapan cobak kamu bisa bangun lebih pagi ha?" Tanya Febby namun sembari terus tersenyum.
"Mungkin saat matahari terbit dari barat!"
"Hmm, dengan kata lain itu adalah suatu hal yang mustahil."
"Kayaknya sih gitu, gak ada yang bisa bikin aku bangun lebih pagi, hal apapun itu!"
"Hmm ya ya ya." Febby pun hanya bisa terus tersenyum.
Dan disaat yang sama, kedua mata tajam Biru tak sengaja menatap ke arah Elena yang nampak sudah begitu ngos-ngosan.
"Itu kenapa?" Tanya Biru dengan tenang sembari menunjuk ke arah Elena dengan menggunakan wajahnya,
"Oh, dia telat! Bayangin aja ya, udah telat, terus nyoba masuk diem-diem lagi ke dalam barisan, dan parahnya lagi, dia gak pake atribut ospek yang udah dikasi kemaren! Parah kan?" Ungkap Febby yang kembali nampak kesal saat mengutarakan hal itu.
"Emm, Jadi lo hukum dia?" Tanya Biru lagi masih dengan nada santai.
"Ya jelas lah, anak sok cantik gitu wajib di hukum!"
"Hmm ada-ada aja." Biru pun mendengus pelan sembari tersenyum tipis.
"Emang udah berapa putaran?" Tanyanya kemudian.
"Hmm berapa ya? Baru 21 putaran kayaknya." Jawab Febby santai.
Mendengar hal itu, Biru pun sontak menatap Febby dengan kedua matanya yang nampak membesar karena terkejut.
"Hah?! 21 putaran??"
"He'eh." Jawab Febby sembari mengangguk tenang dan terus tersenyum pada Biru.
"Memangnya lo ngehukum dia berapa putaran??"
"50 putaran." Jawab Febby tanpa beban.
"Apa??!! Udah gila lo ya!" Biru pun terlihat semakin terkejut kala mendengar pengakuan Febby yang membuatnya jadi terlihat tidak manusiawi.
"Apanya yang gila sih Biruuu?? Itu hukuman yang pantes untuk dia karena hari pertama masuk udah banyak tingkah!" Jelas Febby membela diri dengan terus memojokkan Elena.
"Sakit jiwa lo ya! ngasi hukuman sebanyak itu, bisa mati anak orang!!" Ketus Biru yang kemudian langsung melangkah cepat ke arah Elena.
Febby pun seketika dibuat tercengang saat memandangi Biru yang langsung menuju Elena.
"Hei," panggil Biru yang kala itu sudah berdiri di sisi Elena.
Langkah Elena pun seketika terhenti,
"Hukumanmu udah selesai, sekarang kamu boleh berdiri!" Ucap Biru datar.
Elena dengan keringat yang bercucuran dan nafas yang sudah tak lagi beraturan, perlahan mulai menoleh ke arah biru yang kebetulan wajahnya sejajar dengan sinar matahari pagi yang begitu menyilaukan, hingga membuat pandangan mata Elena semakin gelap.
Kedua mata Biru pun kembali membesar kala melihat ada banyak butiran keringat di wajah wanita yang kala itu sudah terlihat begitu lemah tak bertenaga itu.
"Udah, gak perlu diterusin, ayo berdiri!" Ucap Biru lagi yang merasa tidak tega.
Elena pun kembali mengumpulkan tenaganya saat ingin berdiri, namun begitu ia berhasil berdiri, tubuhnya mendadak oleng hingga ia merasa akan segera ambruk saat itu juga. Beruntung, kala itu Biru dengan gerakan cepat langsung meraih tubuhnya hingga membuat wanita lemah itu tidak harus menyentuh permukaan semen lapangan.
"Eh, kamu kenapa?" Tanya Biru yang dibuat kaget.
Hal yang sama juga terjadi pada Febby dan orang-orang yang melihatnya.
"Loh, loh! Ke,, kenapa tuh anak?" Tanya Ame pada Bram yang juga melihat hal itu.
"Mana gue tau." Jawab Bram sembari mengangkat singkat kedua pundaknya.
"Hah?!! Kenapa lagi anak sok cantik itu? Apa dia lagi akting biar bisa caper ke Biru?!" Gumam Febby dalam hati yang nampak tak senang.
Dengan setengah sadar, Elena terus menatap sayu ke arah lelaki yang kala itu ada di hadapannya dan masih memegangi tubuhnya agar tidak jatuh.
"Hei, sadar! tolong jangan pingsan disini!" Ucap Biru sembari terus menepuk-nepuk pelan pipi Elena yang terasa lembab akibat keringat.
"Makasi banyak kak," Ucap Elena lirih, sebelum akhirnya ia pun benar-benar tidak sadarkan diri.
Febby yang merasa tak senang pun akhirnya melajukan langkahnya untuk menghampiri mereka.
"Heh!! Bangun lo!! Jangan akting didepan Biru!!" Ketus Febby sembari menepuk-nepuk pipi Elena dengan sedikit keras.
Namun sayangnya Elena seolah mematung tak merespon dengan kedua matanya yg tertutup, dan justru hal itu membuat Biru jadi semakin murka pada Febby.
"Stop, stop!! Bener-bener udah gila lo ya!!" Ketus Biru yang nampak tak senang hingga kemudian langsung menggendong tubuh Elena begitu saja tanpa ragu di hadapan Febby.
...Bersambung......
Mata Elena akhirnya perlahan mulai terbuka dan langsung mendapati langit-langit di ruangan bernuansa putih yang menjadi hal pertama yang ia lihat kala membuka mata.
"Hah?! Aku dimana?" Gumamnya yang seketika langsung bangkit dari tidurnya sembari terus memandangi sekeliling ruangan yang nampak sepi, benar-benar hanya ada dia sendiri.
Disaat yang sama, ponsel Elena berdering, ia pun segera meraih tasnya yang sudah terletak di atas nakas yang berada di disisinya kala itu. Elena menatap singkat layar ponselnya yang kala itu tengah menampilkan nama "Tama"
"Halo." Sahutnya kemudian dengan suara yang masih terdengar lemas.
"El, gimana hari pertama masuk kuliah? Seru?" Tanya Tama begitu mendengar suara Elena menjawab panggilannya.
Tama adalah teman Elena sejak kecil saat didesa, Tama memiliki usia terpaut satu tahun lebih muda dari Elena namun tetap saja ia tidak berniat untuk memanggilnya dengan sebutan kakak. Saking dekatnya, keduanya pun akhirnya dijodohkan oleh kedua orang tua mereka yang juga berteman, Elena yang merupakan anak berbakti pada orang tua, tentu saja menuruti hal itu, mengingat ia juga sangat dekat dengan Tama meskipun ia sendiri tidak yakin bila dia mencintai Tama.
"Ak,, aku baik-baik aja kok." Jawabnya dengan suara pelan.
"Hah?! Kenapa kamu malah ngomong gitu? Aku bahkan nanya hal lain. Ada apa El?"
"Oh, ak,, aku gak papa."
"Suaramu kenapa? Kok kedengeran lemas sekali?" Tanya Tama lagi yang nampak mulai cemas.
"Aku gak papa." Jawab Elena lagi.
Tak lama, seorang lelaki pun terlihat muncul dengan sudah membawa minuman serta makanan ke dalam ruangan itu. Lelaki yang menjadi lelaki terakhir yang di tatap Elena sebelum akhirnya dia pingsan itu pun terus melangkah dengan tenang mendekati tempat tidur dimana kala itu Elena nampak duduk bersandar dengan kedua kaki yang berselonjor.
Mendapati kedatangan lelaki itu membuat Elena cukup terkejut.
"Eh ak,, aku tutup dulu telponnya ya, nanti aku kabari lagi." Ucap Elena yang mendadak jadi gelagapan dan langsung mengakhiri panggilannya begitu saja.
Ia pun terdiam sembari terus memandangi kedatangan Biru dengan raut wajah yang sedikit kikuk.
"Udah sadar?" Tanya Biru datar ketika ia sudah berada di sisi tempat tidur ala rumah sakit itu.
Elena pun mengangguk pelan.
"Kakak yang tadi bantu aku waktu dilapangan kan?" Tanya Elena dengan sedikit ragu.
"Anggap aja kegitu." Jawab Biru dengan tenang.
"Ini, ayo makan! Aku yakin kamu pasti belum sarapan kan?" Ucap Biru kemudian, sembari menyerahkan sebuah piring yang berisikan nasi goreng dengan telur mata sapi setengah matang di atasnya.
"Tau dari mana?"
"Febby bilang kamu telat dateng ke kampus karena kesiangan, kalau bener kegitu, berarti 1000 persen kupastikan kalau kamu juga gak sempet sarapan dirumah." Jawab Biru dengan tenang.
Elena pun akhirnya mulai tersenyum tipis,
"Yaudah, buruan makan!" Tawar Biru lagi yang semakin mendekatkan piring itu pada Elena.
Elena pun meraihnya dengan sedikit ragu.
"Ini nasi goreng aku beli dari kantin yang paling rame di kampus ini, jadi jangan ragu soal rasanya." Celetuk Biru yang mulai duduk dengan santai di kursi yang berada di sisi tempat tidur.
"Makasih banyak kak." Ucap Elena dengan lembut.
Elena pun mulai memakan nasi goreng itu dengan lahap, karena faktanya dugaan Biru memanglah benar adanya. Benar jika Elena memang tidak sempat memakan apapun sebelum berangkat ke kampus, hal itu jugalah yang membuatnya pingsan saat dihukum.
"Ini, minum juga susunya, biar tenagamu bisa balik lagi." Biru pun menyerahkan segelas susu coklat hangat pada Elena.
Elena pun terdiam sejenak memandangi gelas susu yang sudah ada di hadapannya, hingga di detik berikutnya, akhirnya ia meraih segelas susu itu untuk kemudian ia minum dengan perlahan.
"Makasih sekali lagi kak."
"Hmm." Jawab Biru yang terus memandanginya dengan sorot mata yang tak terbaca.
"Besok-besok jangan telat lagi ya! Kamu punya alarm kan di hpmu?"
"Iya kak, maaf." Jawab Elena yang merasa tak enak hati.
Piring yang awalnya berisi nasi goreng, kini sudah terlihat licin tak berbekas, Elena nampaknya benar-benar lapar kala itu hingga membuatnya begitu lahap memakan makanannya.
"Udah abis aja? Hmm cepet juga ya kamu makannya." Celetuk Biru yang mendengus pelan sembari tersenyum tipis.
Elena pun hanya bisa tersenyum malu.
"Ya udah, kalau gitu bayar sekarang! 15 ribu untuk seporsi nasi goreng, 7 ribu untuk segelas susu." Ucap Biru sembari mengulurkan tangannya.
Elena pun terdiam sejenak memandangi Biru, namun tanpa berpikir lebih lama lagi, ia pun mulai meraih tas untuk mengambil dompetnya. Hal itu pun seketika membuat Biru terkekeh geli hingga membuat dahi Elena mulai mengkerut.
"Hahaha enggak, enggak! Aku cuma bercanda." Ucap Biru kemudian.
Elena pun lagi-lagi tercengang.
"Udah aku bayar kok, jadi jangan cemas hehehe." Tambah Biru lagi,
"Gak papa kak, aku ganti aja uang kakak, lagian kakak udah banyak bantu aku hari ini." Elena nampaknya masih ingin meraih dompetnya.
Namun nampaknya Biru benar-benar tidak menginginkan hal itu, karena memang ia bukanlah seseorang yang kekurangan materi.
"Gak perlu! Simpen aja uangmu untuk jajan yang lain!" Tegas Biru.
"Kakak yakin gak mau di ganti uangnya?" Tanya Elena memastikan.
"Yakin lah!" Jawab Biru tanpa ragu.
Elena pun akhirnya patuh.
"Hmm ya udah, aku mau balikin piring dan gelas ini ke kantin, karena ibu kantinnya lumayan galak. Kamu lanjutin aja dulu istirahatnya kalau masih lemes." Biru pun bersiap ingin segera pergi.
"Kak, tunggu!" Ucap Elena yang membuat langkah Biru seketika terhenti.
"Boleh aku tau nama kakak?"
"Hmm menurut kamu, di antara warna Merah, kuning, hijau, biru, mana yang paling cocok untukku?" Tanya Biru yang kembali menatap Elena.
Elena lagi-lagi terdiam sejenak seolah tengah berpikir.
"Jawaban kamu harus bener, kalau gak mau di hukum lagi." Tambah Biru yang seolah ingin menakut-nakuti Elena.
"Bii,,, ru, mungkin." Jawab Elena dengan ragu-ragu."
Mendengar hal itu, sebuah senyuman tipis pun seketika kembali terlihat jelas menghiasi wajah Biru yang tampan.
"Ya udah, mulai sekarang kamu bisa panggil aku Biru." Ucap Biru yang kemudian langsung berlalu pergi membawa senyumannya yang khas.
Elena pun akhirnya kembali ikut tersenyum, ia benar-benar menyukai bagaimana sikap Biru yang begitu tenang, menurutnya sikap Biru benar-benar membuatnya terlihat cool.
Keesokan harinya...
Pagi ini Elena tidak lagi terlambat, pengalaman menyeramkan di hari pertama masuk kuliah sudah cukup membuatnya sangat jera dan benar-benar tidak ingin kejadian serupa terjadi lagi padanya. Elena yang sudah bergabung dalam barisan terus diam memperhatikan Bram yang kala itu tengah memberikan tantangan untuk mereka dan menjelaskan cara mainnya.
"Tantangannya adalah, kalian harus menulis surat cinta untuk salah satu kakak tingkat yang mengospek kalian, hanya untuk satu orang yang kalian paling sukai. Bagi yang laki-laki, tentunya harus menulis untuk kakak tingkat perempuan, dan begitu sebaliknya." Jelas Bram dengan menggunakan toa.
"Dan setelah selesai, kalian harus membacakan surat itu di hadapan orang yang kalian kirimi surat cinta itu. Dan nantinya hanya akan ada satu orang yang surat cintanya di terima oleh setiap sasaran kalian, baik perempuan maupun laki-laki, dan yang suratnya mendapat tanda tangan penerima, itulah yang diterima dan berhak lolos dari tantangan ospek berikutnya." Tambah Ame yang kala itu mendampingi Bram untuk menjelaskan setiap tantangan yang mereka berikan.
...Bersambung......
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!