Jika cinta hanya untuk mereka yang berpenampilan cantik dan menarik. Lalu kemana aku, si gadis kuno yang fakir akan cinta melabuhkan hati. Akankah ada si dermawan cinta yang rela berbagi denganku?
.
.
.
Isabell Geonandes. Penampakannya terlihat seperti reinkarnasi Betty La Fea. Yang kenal Betty La Fea, ketahuan jika masa kecilnya sangat penuh warna. Betty La Fea identik dengan kacamata tebal juga giginya yang berkawat. Pun Isabell persis seperti itu. Yang membedakan keduanya, Isabell tidak memiliki poni tebal di dahi yang menyempurnakan keculunannya.
Jika Betty La Fea bekerja sebagai sekretaris di perusahaan pria yang ia sukai, Isabell tidak memiliki keinginan seperti itu. Suasana kantor bukan dunianya. Isabell memiliki mimpi, mimpi yang sama persis seperti kebanyakan wanita pada umumnya. Menjalani hidup layaknya Cinderella. Menemukan pangeran tampan baik hati yang bisa mencintainya dengan sepenuh hati.
Isabell pernah menjadi putri yang sesungguhnya. Putri yang hidup di dalam istana raja yang penuh dengan kemewahan juga aturan. Namun, suatu kenyataannya pahit harus ia terima dengan lapang dada. Kenyataan bahwa dia bukan putri kandung Philip Geonandes. Kerajaan hanya bermurah hati menampung dan membesarkannya. Pantas saja permaisuri tidak pernah bersikap baik kepadanya. Misteri itu akhirnya berhasil dipecahkan.
Fakta bahwa dia bukan seorang putri tidak lantas membuatnya berhenti untuk bermimpi memiliki alur cerita bak Cinderella. Idolanya adalah Georgina Rodriquez, Cinderella yang hidup di dunia nyata. See, tidak ada yang mustahil, bukan?
Siapa yang tidak mengenal Georgina, model cantik yang sekarang menjadi kekasih pesebakbola tersohor, Ronaldo. Dulu, wanita itu hanya wanita biasa yang bekerja di salah satu toko yang kebetulan dikunjungi Ronaldo. Hidupnya berubah drastis setelah itu. Isabell berharap ia juga akan mengalami kisah seperti Georgina.
Isabell memiliki pria idaman yang begitu dipujanya. Pria tampan yang cukup terkenal walau tidak se-femes Ronaldo. Isabell ingin suatu saat nanti pria pujaan hatinya itu menoleh ke arahnya dan bersedia mengenalkannya kepada dunia dengan bangga.
Saat usia 17 tahun, satu bulan sebelum Isabell tahu bahwa dirinya bukan putri kandung raja Philip Geonandes. Pertunangannya sudah diatur dengan Austin Ryder Willson. Pria yang merupakan cinta pertamanya. Sejak saat itu, di matanya hanya Austin satu-satunya pria yang menawan di hatinya. Dari hari ke hari, minggu ke bulan, dan bahkan setelah hitungan tahun, ia menemukan dirinya semakin jatuh cinta pada pria itu. Sayang, tidak seperti dirinya, Austin hanya memandangnya sebelah mata.
Dari berita yang sering ia saksikan, Austin memiliki gaya hidup yang bebas. Tunangannya tersebut mempunyai segudang teman wanita dalam berbagai versi dan kategori. Mulai dari wanita berkelas, anggun, elegan, hingga ke wanita murahan. Tunangannya itu memiliki koleksi, kecuali tipe wanita sepertinya. Berkacamata tebal juga berpagar gigi.
Masih tanda tanya di benaknya, jika Austin tidak menyukainya, mengapa pria itu dulu bersedia bertunangan dengannya. Untuk bertanya langsung kepada Austin, jangankan bertemu, pria itu bahkan sangat jarang bersedia membalas pesannya.
Status mereka memang sudah bertunangan, tetapi mereka tidak pernah sama sekali benar-benar menghabiskan waktu bersama. Hubungan macam apa ini? Jujur, Isabell juga tidak mengerti. Hanya saja, ia sempat mendengar perbincangan antara keluarga bahwa dirinya dan Austin akan dinikahkan setelah usia Isabell berusia 23 tahun. Dan empat bulan lagi, ia akan genap berusia 23 tahun!
"Oh Tuhan, aku iri dengan wanita pirang itu. Lihatlah tangannya melingkar manja di lengan Austin!"
Isabell langsung menoleh begitu mendengar nama tunangannya disebut. Rekan kerjanya sedang menonton infotainment yang menayangkan berita tentang Austin bersama teman kencannya yang baru.
"Ini wanita ketiga sejak satu minggu terakhir," ia bergumam disusul helaan napas panjang menahan rasa cemburu.
"Kau benar! Mereka beruntung sekali."
Isabell menganggukkan kepala tanda setuju dengan pernyataan rekannya tersebut. Bagaimana tidak beruntung, dirinya yang sudah resmi menyandang status sebagai tunangan Austin selama hampir enam tahun belum pernah merasakan bagaimana rasanya digenggam dan digandeng oleh Austin.
"Ya, sangat beruntung," Isabell kembali mendesah malas.
"Austin sering memanjakan wanitanya dengan membawa mereka shopping hingga kelelahan. Tapi mengapa Austin tidak pernah membawa para wanitanya kemari?"
Ya, Isabell bekerja sebagai karyawan toko barang-barang branded. Para artis papan atas sering mengunjungi toko mereka, begitu juga dengan para konglomerat beserta jajarannya.
Ini tahun kedua Isabell bekerja di sana. Bagaimana bisa? Bukankah karyawan toko barang berkelas biasanya harus berpenampilan menarik. Syarat utama dalam arti cantik dan sempurna. Isabell jelas jauh dari dua kata tersebut. Inilah yang dikatakan kekuatan kekuasaan. Ayahnya yang membantunya bisa bekerja di sana.
Meski sudah memutuskan keluar dari rumah keluarga Geonandes, ayah angkatnya tersebut tidak lantas lepas tangan. Isabell masih dalam pantauan mereka.
"Aku penasaran seperti apa wajah Austin jika dipandang secara langsung. Apakah setampan yang terlihat di televisi."
"Dia tidak mungkin datang kemari,"
"Kenapa?"
Karena pria itu pasti menghindariku, Isabell membatin.
"Entahlah, aku merasa dia tidak akan mungkin bersedia datang kemari. Ada pelanggan, aku pergi dulu." Isabell segera berlalu untuk menghindar. Membahas Austin hanya akan membuatnya semakin merindukan pria itu.
"Isabell."
Isabell menoleh ke arah pintu masuk. Wanita setengah baya yang baru melewati pintu kaca, tersenyum hangat sambil merentangkan kedua tangan. Calon ibu mertuanya.
Cinta bertepuk sebelah tangan adalah pengalaman terbaik untuk memberikan ketulusan cintamu pada orang yang tepat
.
.
.
"Aku harus tinggal di sana? Di rumah Willson?"
Ajakan seperti ini tidak pernah ada dalam mimpinya sekali pun. Meski menjadi tunangan Austin, ia tidak pernah berani datang mengunjungi kediaman Willson tanpa undangan dari tetua Willson. Lima tahun menjadi tunangan seorang Austin, Isabell baru dua kali mendaratkan kaki di sana. Terakhir kali ia mengunjungi keluarga Willson adalah saat saudari Austin menikah dengan saudaranya, tepatnya saudara angkatnya. Isabell mengira jika di hari pernikahan tersebut adalah hari kematiannya karena pada saat itu terjadi kericuhan. Suara tembakan terdengar di mana-mana.
"Ya, harus." Alena Willson menyahut dengan tegas, tapi dengan nada juga tatapan lembut.
"Empat bulan lagi pernikahanmu dan Austin. Jangan katakan jika kau lupa hari itu, Sayang."
Tidak mungkin Isabell melupakan hari penting tersebut. Hari yang selalu ia nantikan setiap hari. Bersanding dengan Austin adalah keinginan terbesarnya. Memangnya siapa yang tidak ingin bersatu di pelaminan dengan sang kekasih pujaan hati? Terlebih pria pujaanmu itu juga merupakan pria pujaan sejuta umat wanita di dunia.
Meski menikah dengan Austin adalah mimpi terbesarnya, tapi tetap saja akal sehatnya berbisik. Bagaimana bisa ia dan Austin menikah sementara mereka jarang bertemu. Isabell yakin bahwa Austin bahkan tidak ingat seperti apa rupanya walau dirinya dengan sengaja memasang foto profilnya di setiap akun media sosialnya dengan harapan Austin melihat wajahnya yang tidak seberapa. Isabell memasang foto yang menurutnya paling manis.
Dalam seminggu, Isabell akan dengan sengaja mengirim pesan kepada Austin guna mengumumkan kepada tunanganya tersebut bahwa ia masih hidup dan sehat. Terkadang akan dijawab dan lebih sering diabaikan. Isabell sudah kebal.
"Ba-bagaimana dengan Austin, Mom?" Harapannya yang besar untuk menikah dengan Austin belum tentu sama dengan harapan pria itu. Kesadarannya tersebut sering kali membuatnya berkecil hati.
"Berandalan itu masih saja suka keluyuran. Kedatanganmu ke sana akan membuatnya berhenti mengembara."
Isabell jelas tidak yakin dengan pernyataan calon ibu mertuanya itu. Austin seorang petualang, pergaulannya bebas juga dikelilingi oleh gadis-gadis cantik. Terlalu naif jika ia menganggap dirinya sebagai pawang bagi Austin. Tentunya ia akan dengan senang hati jika kenyataannya demikian. Menjadi pawang bagi Austin.
"Mom..."
"Ya, Sayang?" Alena tersenyum hangat seraya mengulurkan tangan mengusap keringat di dahi Isabell. Selain jatuh cinta pada Austin, Isabell sudah terlebih dahulu jatuh cinta pada wanita yang ada di hadapannya, wanita yang masih terlihat cantik di usia yang sudah tidak bisa dikatakan muda lagi. Wanita yang bersedia memberikan pelukan kepadanya sehingga ia tidak penasaran seperti apa rasanya dipeluk oleh seorang ibu.
"Boleh aku bertanya?"
"Tentu saja. Omong-omong jam berapa kau pulang bekerja?"
Isabell melihat jam tangan mahal yang melingkar di tangannya, hadiah ulang tahun pemberian saudara angkatnya tahun lalu. "30 menit lagi. Kenapa Mom?"
"Mom tidak ingin kehadiran Mom mengganggu pekerjaanmu. Apa sebaiknya Mom menunggumu di luar?"
"Tidak, kau tinggal belanja banyak di sini, mereka akan menganggap perbincangan kita sebagai layanan service yang kuberikan," Isabell mengerling jenaka. Sempat-sempatnya dia meminta Alena berbelanja. Ya, dia dan calon ibu mertuanya itu memang sedekat itu. Isabell tidak akan merasa sungkan kepadanya.
"Oh, kau benar juga. Jadi, apa yang ingin kau tanyakan?"
Terbersit keraguan di wajahnya. Haruskah ia menanyakan hal yang mengganjal di hatinya kepada Ibu pria yang ia cintai.
"Jangan membuat Mom mati penasaran. Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?"
Isabell menganggukkan kepala, "Ini mengenai Austin."
"Ada apa dengan Austin? Apakah dia mengatakan sesuatu yang buruk?"
Isabell menggeleng dengan segera. Bagaimana Austin mengatakan sesuatu yang buruk kepadanya, berbicara saja mereka tidak pernah. Isabell berani bersumpah bahwa Austin tidak akan sudi mengangkat panggilannya dan ia memang tidak memiliki cukup keberanian untuk menelepon Austin. Jawaban pesan Austin yang hanya sekedar iya dan oke sudah membuat jantungnya bermasalah.
"Tidak, Mom. Austin tidak mengatakan apa-apa."
"Mommy kira dia mengatakan sesuatu yang buruk saat kalian bertemu kemarin."
Hah? Bertemu? Kapan? Isabell terang saja bingung.
"Bertemu?"
"Ya," Alena Willson mengerutkan kening melihat wajah Isabell yang mendadak bingung. "Apa dia berbohong? Dia mengatakan bahwa dia baru saja menemuimu."
Ya, pria itu berbohong! Untuk apa dia berbohong?!
"Oh, ya, kami memang bertemu. Astaga, aku melupakannya. Itulah yang ingin kutanyakan Mom. Austin tidak mengatakan apa-apa tentang aku yang harus pindah ke mansion. Apa dia tahu soal ini?"
Alena tergelak, "Dia tidak tahu dan memang tidak diberitahu. Ini akan menjadi kejutan. Kau dan Austin harus lebih sering bertemu mulai sekarang."
"Aku yakin dia tidak akan terkejut," Isabell bergumam lirih.
"Hmm? Kau mengatakan sesuatu, Sayang?"
Isabell kembali menggelengkan kepala.
Alasan mengapa Isabell dan Austin jarang bertemu, semua mengatakan itu demi kebaikan Isabell. Para orang tua khawatir jika Austin dan Isabell dibiarkan sering bertemu, Austin akan mencemari kepolosan dan keluguan Isabell. Pria berandalan itu akan melangkah di luar batas. Andai mereka tahu bahwa Isabell tidak keberatan tentang hal apa pun yang akan dilakukan Austin terhadapnya. Baginya, dirinya sudah sepenuhnya milik pria itu.
Oh Tuhan, terdengar murahan. Tapi mau bagaimana lagi, aku begitu memujanya! Batin Isabell.
"Empat bulan sebelum pernikahan, kau dan dia harus lebih sering bersama. Berdiskusi tentang pernikahan yang kalian inginkan. Katakan, berapa cucu yang akan kau dan Austin berikan kepada Mom dan Dad?"
"Cu-cucu?" Wajah Isabell bersemu merah. Otaknya langsung membayangkan proses pembuatan bayi. Isabell menggelengkan kepala, malu dengan fantasinya sendiri.
"Jangan menundanya, oke?" Calon ibu mertuanya itu menyenggol lengannya seraya melemparkan tatapan menggoda.
Gila! Benarkah ia dan Austin akan mencetak anak?
Cara paling mudah supaya tidak sakit hati adalah jangan terlalu berharap kepada sesuatu yang tak pasti.
.
.
.
Melihat pagar mansion, jantung Isabell mulai berulah, meletup-letup tidak karuan. Sebentar lagi, hanya dalam hitungan menit, ia akan bertemu dengan Austin. Pria yang selalu ia sebut namanya sebelum ia memejamkan mata setiap malam. Tangannya mulai berkeringat, sungguh ia merasa sangat gugup. Berulang kali ia merapikan rambut yang sudah sejak awal disanggul rapi. Tidak sehelai pun anak rambut yang keluar dari ikatannya. Menyadari gerakan unfaedahnya tersebut, Isabell beralih ke gagang kacamatanya.
"Kita sudah sampai," Alena Willson mengumumkan seraya menyentuh pundaknya. Isabell menelan saliva sebelum menganggukkan kepala. Pintu pagar bergerak terbuka. Tidak ada yang berubah sejak satu tahun yang lalu. Ya, tahun lalu terakhir kali ia datang ke sana dan tidak bertemu dengan Austin sama sekali. Pria itu tidak terlihat di pernikahan saudarinya. Sebuah tanda tanya di benaknya, tapi ia tidak memiliki keberanian untuk bertanya.
Isabell memperhatikan penampilannya, sedikit menyesal kenapa ia tidak mengganti seragam bekerjanya. Seragam yang terdiri dari rok juga kemeja. Bagi rekannya, seragam itu terlihat indah juga sangat cocok saat mereka kenakan, tapi terlihat berbeda saat ia yang mengenakannya.
Rok yang harusnya digunakan sedikit di atas lutut dan dipadukan dengan stoking, ia kenakan dengan cara berbeda. Ia bahkan tidak mengenakan stoking sama sekali. Roknya tidak memamerkan paha juga bokongnya. Rok itu hampir menutupi seluruh kakinya. Tidak bisa bisa dikatakan rok panjang juga karena ujungnya berhenti dia pertengahan betis.
"Silakan, Nona."
Isabell tersentak kaget saat pintunya dibuka oleh sopir dan mempersilakannya dengan sopan untuk turun.
Ada dua mobil sport yang parkir di halaman. Melihat hal itu, jantungnya yang tadinya sudah normal berulah lagi. Ia menebak jika salah satu mobil sport itu pastilah milik Austin.
"Ayo, Sayang." Alena Willson menggandeng tangannya untuk masuk ke dalam rumah. Para pelayan langsung menyambut kedatangan mereka. Kopernya langsung diambil alih dan dibawa ke lantai tiga sesuai perintah calon ibu mertuanya.
"Aku tidak melihat Daddy," juga Austin, imbuhnya dalam hati.
"Mungkin Daddy belum menyadari kedatangan kita. Mom akan memanggilnya. Mungkin kau juga sebaiknya membersihkan diri sebelum kita bertemu di meja makan untuk makan malam."
Apa yang dikatakan calon ibu mertuanya itu benar juga. Ia akan terlihat lebih segar saat bertemu Austin nanti.
"Baiklah, Mom. Aku juga merasa sangat gerah."
"Kopermu sudah diantar ke kamarmu. Kau tentu masih ingat kamar yang kau tempati, bukan?"
Isabell menganggukkan kepala. Kamarnya ada di lantai tiga. Ia tinggal mencarinya nanti.
"Setengah jam lagi kita akan bertemu kembali."
Isabell menaiki anak tangga. Memperhatikan setiap figura yang ada di sana. Austin memiliki dua orang kakak. Darren dan Lexi. Dengan Lexi, ia berteman dekat. Sementara Darren, mereka tidak sering bertemu, tidak pernah berkomunikasi. Terakhir kali ia melihat calon iparnya itu satu tahu lalu dalam keadaan terluka. Kakinya tertembak.
"Apakah dia juga ada di sini?" ia bergumam seraya melanjutkan langkah. Kemudian ia berhenti di depan figura lainnya. Foto pernikahan Lexi bersama suaminya. Suami kedua yang juga merupakan temannya. Steven Percy. Pria yang pertama kali dikenalkan kepadanya sebelum keluarga Willson. Ayah angkatnya pernah secara khusus melamar Steven untuk menikahinya. Dan sekarang mereka berteman baik. Ia memuja pasangan itu. Pasangan yang saling mencintai satu sama lain.
Isabell sampai di ujung tangga. Keningnya berkerut bingung. Ke arah mana ia harus pergi. Kanan atau kiri. Ia lupa.
"Kanan biasanya jalan yang lurus," pun ia melenggang santai. Ada empat pintu di lantai tiga. Ia ingat jika kamar yang ia tempati bukan pintu paling ujung. Tapi ia meragu untuk masuk begitu ia berdiri di depan pintu ke dua.
Isabell memindai sekitar, berharap jika ada salah satu pelayan yang lewat untuk bertanya dimana tepatnya kopernya di bawa. Tapi sepertinya semuanya sedang sibuk dengan tugas masing-masing mengingat jam makan malam akan segera tiba.
"Sepertinya tidak ada orang. Aku tinggal memeriksanya." Perasaan Isabell tidak nyaman saat tangannya menggenggam handle pintu. Perasaan tidak nyaman itu ia definisikan sebagai kegugupan karena akan bertemu dengan Austin.
Isabell mendorong pintu kamar. Hal pertama yang ia lihat adalah ranjang dengan ukuran besar yang dibalut dengan seprei dark grey yang senada dengan warna yang mendominasi ruangan tersebut. Tidak banyak pernak pernik yang terlihat sehingga ruangan itu terlihat sangat luas.
Perlahan, kakinya melangkah masuk. Tidak ada foto yang dipajang di sana sehingga ia tidak yakin siapa pemilik kamar tersebut. Pun ia segera melintasi ruangan untuk mencari kopernya yang entah berada di mana.
Berkeliling sebanyak dua kali, ia tidak melihat keberadaan koper pinknya sama sekali. Di mana benda itu?
"Mungkin dilemari." Isabell melangkah lebar menuju lemari pakaian. Dengan semangat, ia menggeser pintu lemari. Dahinya seketika mengernyit ketika menemukan isi lemari yang dipenuhi dengan pakaian pria.
"Harus kuakui pijatanmu sangat enak."
Tubuh Isabell mendadak kaku begitu mendengar suara berat seseorang. Siapa itu? Apakah Austin?
"Jangan ragukan kemampuanku," suara bariton lainnya menyusul.
Ada dua pria! Batinnya menjerit.
"Aku melihat tanda lahir di selangkaanganmu." Kelakar pria itu diiringi tawa renyah.
"Pengintip!" Sahut pria lainnya dengan nada tidak acuh.
"Apakah masih ada tanda lahir yang belum kulihat? Ah, atau mungkin itu bukan tanda lahir melainkan tanda keliaran. Aku harus memastikannya!"
"Stop! Singkirkan tanganmu!"
"Aku penasaran."
"Enyahlah!"
"Kenapa kau mendadak pemalu begini? Kita sudah melakukan banyak hal di dalam toilet."
Seketika Isabell terbatuk-batuk membuat kedua pria itu terkejut dan menyadari kehadirannya.
"Lexi?"
Panggil salah satu pria tersebut.
"Lexi tidak akan masuk ke kamarku tanpa permisi dan Steven tidak akan membiarkan istrinya menyanggul rambut indahnya, juga Lexi tidak akan mengenakan pakaian buruk seperti itu. Hei, penyusup! Siapa kau?"
Isabell tidak sanggup untuk berbalik. Kata-kata pria itu sedikit melukainya. Pakaian buruk. Ia tidak akan sanggup menahan tangis jika pria yang mengatakan hal blak-blakan tersebut adalah tunangannya dan ia tidak memiliki keberanian untuk menatap wajah Austin.
Sebuah tangan kekar menyentuh bahunya membuat sekujur tubuhnya gemetar. Kemudian dengan gerakan memaksa, pria itu memutar tubuh Isabell.
"Ka-kau?" Sakit hati yang ia rasakan tadi berubah menjadi kemarahan. Beraninya pria itu mengejek caranya berpakaian.
Darren menukik alisnya, kemudian bergumam malas. "Ya, aku."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!