"Ayolah, Sayang ... hanya makan siang dan paling juga cuma sebentar. Masak kamu tidak bisa, sih!" rajuk seorang wanita berpenampilan seksi pada seorang pria yang memakai jas putih, di ruang praktek dokter obgyn.
"Masalahnya aku sudah janji sama putriku untuk menemaninya makan siang, Ta. Maafkan aku, ya. Aku janji, akan menggantinya dengan mengajak kamu makan malam di lain waktu," rayu pria tersebut.
Wanita itu mengerucutkan bibir. "Kamu selalu saja berjanji, Arman, tapi aku yang harus selalu kamu kalahkan!" ketusnya sambil beranjak hendak pergi.
"Ayolah, Ta, mengertilah posisiku. Asa butuh aku karena sampai saat ini, belum ada satu pengasuh pun yang bisa bertahan lama dan mampu mengambil hati anakku." Arman memeluk sang kekasih dari belakang, meminta pengertiannya.
"Huh ...." Renata membuang kasar napasnya. "Baiklah, tapi kamu harus segera mencari pengasuh baru untuk anakmu," pintanya sambil berbalik, menghadap Dokter Arman.
"Aku mencintaimu, Arman, sangat mencintaimu." Wanita seksi itu kemudian menyatukan wajahnya dengan sang kekasih tanpa rasa malu, meski di dalam ruangan tersebut masih ada seorang suster dan seorang pasien yang ditemani oleh putrinya, sedang menunggu resep obat.
Suara dering ponsel dari kantong jas Dokter Arman, mengurai kemesraan mereka berdua.
"Halo, Ma," sapa dokter obgyn tersebut pada mamanya yang berada di seberang telepon.
"Arman, cepat pulang! Asa histeris lagi dan kami semua tidak bisa mengatasinya," pinta sang mama, yang terdengar panik.
"Iya, Ma. Arman pulang sekarang," balas dokter berwajah tegas tersebut.
"Ta, aku harus pulang sekarang." Dokter Arman segera membereskan meja kerjanya.
"Kenapa buru-buru? Apa Asa ngamuk lagi?" tebak Renata bertanya yang terdengar tidak suka dengan putri kekasihnya itu.
"Bukan ngamuk, Ta. Biasalah anak kecil, paling cuma rewel," balas Dokter Arman yang tidak suka jika ada yang menjelek-jelekkan putri semata wayangnya. "Apa kamu mau ikut?" tawarnya kemudian. Bermaksud untuk mendekatkan sang kekasih dan putrinya.
Renata menggeleng tegas. "Tidak, Arman. Aku sibuk."
Dokter Arman yang sudah dapat menebak jawaban Renata, hanya mengedikkan bahu.
"Baiklah, Sayang. Jangan sampai telat makan siang, ya," pamitnya seraya mencium pipi sang kekasih.
Dokter yang memiliki postur tubuh tinggi tegap itu segera meninggalkan ruang prakteknya, tanpa diikuti oleh Renata yang biasanya selalu menempel kemanapun dokter obgyn terhebat di rumah sakit tersebut, pergi.
"Maria, apa kamu sudah mendapatkan pengasuh untuk anaknya Dokter Arman?" tanya Renata pada suster yang bekerja membantu Dokter Arman, setelah punggung sang kekasih menghilang di balik pintu.
"Maaf, Bu. Belum," balas suster tersebut, takut-takut.
"Kalau ada yang bersedia, katakan padanya bahwa kami akan memberi gaji dua kali lipat dari gaji pengasuh pada umumnya." Setelah mengatakan demikian, wanita seksi yang merupakan manager sekaligus putri pemilik rumah sakit besar tersebut segera berlalu meninggalkan ruang praktek Dokter Arman, dengan wajah angkuh.
Sementara putri pasien yang sedari tadi duduk terdiam sambil menunggu suster tersebut menuliskan resep dari Dokter Arman untuk ibunya, memberanikan diri membuka suara.
"Maaf, Sus. Apakah saya boleh ikut mendaftar menjadi pengasuh?" tanya gadis tersebut.
"Juli," panggil sang ibu dengan tatapan tidak setuju.
Gadis itu tersenyum pada ibunya. "Hanya satu semester, Bu. Juli janji, setelah uangnya terkumpul, Juli akan melanjutkan kuliah Juli," bujuk Julia pada sang ibu.
"Apa Mbak bersedia?" tanya suster dengan tersenyum senang. "Tapi anaknya suka rewel, Mbak. Sudah beberapa kali ganti pengasuh dan semuanya hanya mampu bertahan dalam hitungan minggu," lanjut suster berwajah chabi tersebut menjelaskan.
Julia mengangguk pasti. "Saya mau, Sus. InsyaAllah saya bisa mengatasi anak itu," ucapnya yakin.
"Baiklah, Mbak bisa datang ke alamat ini." Suster Maria memberikan sebuah kartu nama pada Julia.
*****
Keesokan harinya, Julia mendatangi alamat dalam kartu nama yang diberikan oleh Suster Maria.
"Pagi, Pak," sapa Julia dengan ramah pada satpam di kediaman megah milik Dokter Arman.
"Pagi, Mbak. Ada perlu apa, ya?" tanya satpam dengan tatapan menyelidik.
"Saya mau melamar menjadi pengasuh putri Dokter Arman, apakah Pak Dokternya ada?" Julia menatap satpam berwajah sangar itu, penuh harap.
"Ayah! Asa mau ikut Ayah kerja!" Terdengar jerit gadis kecil yang berada dalam gendongan wanita berusia senja, sambil menggapai-gapai sang ayah yang hendak masuk ke dalam mobil.
Julia menoleh ke arah sumber suara.
"Pak, boleh saya masuk ke sana?' ijin Julia pada satpam seraya menunjuk ke arah halaman.
Satpam tersebut mengerutkan dahi.
"Saya akan mencoba untuk menenangkan anak kecil itu, Pak," mohon gadis yang rambutnya dikucir kuda tersebut.
"Baiklah, Mbak." Satpam itu mengijinkan tetapi dia mengikuti langkah Julia karena khawatir, jika sang majikan tidak berkenan.
"Permisi Pak Dokter," sapa Julia dengan ramah.
Dokter Arman yang telah mengambil alih putrinya dari gendongan sang ibu, mengernyit. "Siapa, ya?"
"Saya Julia, Dok. Saya yang kemarin mengantar ibu periksa sama Dokter," jawab Julia mengingatkan.
"Oh, iya. Ada apa?" tanya dokter muda beranak satu tersebut.
"Saya dengar dari Suster Maria, kalau Dokter membutuhkan pengasuh untuk putri Dokter. Apa saya punya kesempatan untuk menjadi pengasuhnya, Dok?" tanya Julia.
"Tapi maaf sebelumnya, jujur saya belum memiliki pengalaman dalam hal pengasuhan anak," lanjutnya
Dokter Arman memindai wajah lugu di hadapannya. "Saya tidak membutuhkan pengalaman, cukup buktikan bahwa kamu bisa menenangkan putri saya ketika dia rewel. Itu saja," balas Dokter Arman.
"Apa kamu sanggup?" tanya dokter berambut ikal itu, dengan tatapan tak yakin.
Julia mengangguk, pasti. "Saya akan buktikan, Dok."
Sementara gadis kecil yang berada dalam gendongan sang ayah, asyik sendiri memainkan kancing baju bagian atas kemeja ayahnya.
"Saya harus buru-buru ke rumah sakit, ibu saya tidak bisa membujuk Asa agar tidak merengek untuk ikut pergi dengan saya. Silahkan buktikan, jika anak saya tidak menangis ketika saya tinggal pergi, maka kamu saya terima," tantang Dokter Arman.
Julia mengangguk, setuju.
"Cantik, ikut sama tante, yuk," bujuk Julia dengan tersenyum lembut. Gadis yang memiliki bola mata indah itu menatap putri Dokter Arman, dengan tulus.
Untuk beberapa saat, Asa hanya berani mencuri-curi pandang pada orang asing yang sedang membujuknya.
"Ayo, anak cantik! Turun dan main sama tante," bujuk Julia. "Em ... enaknya kita main apa, ya?" Julia mengetuk-ketuk kening dengan ibu jarinya, seolah sedang berpikir.
"Kita main 𝘣𝘢𝘳𝘣𝘪𝘦, Bunda," pinta gadis kecil itu sesaat kemudian. Asa langsung merosot minta turun.
"Ayo, Bunda! Kita main 𝘣𝘢𝘳𝘣𝘪𝘦 di kamar Asa," ajak Asa sambil menyeret tangan Julia yang masih bengong, mendengar panggilan Asa pada dirinya.
Dokter Arman dan juga sang ibu yang masih berada di sana, saling pandang.
🌹🌹🌹🌹🌹 bersambung ...
Kejutan pagi 😍
Novel ini slow update, yah 🥰
Halo, Best ... Assalamu'alaikum 🙏
Bertemu lagi kita 🤗
Moga enggak bosan yah, dengan kisah-kisah yang aku buat 🥰
Makasih hadirnya dengan memberi like 👍
Makasih hadiah bunga 🌹dan kopi tubruknya ☕
Makasih bintang ⭐ lima dan favoritnya 😍
Makasih untuk semuanya 😘
Happy reading, Bestie 😊
"Ayo, Bunda! Kita main 𝘣𝘢𝘳𝘣𝘪𝘦 di kamar Asa," ajak gadis kecil itu sambil menyeret tangan Julia yang masih bengong, mendengar panggilan Asa pada dirinya.
Dokter Arman dan juga sang ibu yang masih berada di sana, saling pandang.
Julia mengikuti langkah kecil putri Dokter Arman dengan perasaan tidak nyaman, khawatir jika bocah kecil itu menganggapnya lebih dari sekadar pengasuh.
Dia juga khawatir, jika ayah si bocah keberatan dan kemudian tidak jadi menerima dirinya bekerja sebagai pengasuh. Sedangkan saat ini, Julia sangat membutuhkan pekerjaan yang gajinya dijanjikan besar tersebut.
Putri kecil Dokter Arman membawa Julia menuju kamarnya yang luas dengan dekorasi kamar didominasi warna pink, kesukaan Asa.
"Kita main di sini saja ya, Bunda." Asa menuntun Julia agar duduk di lantai yang dialasi karpet bulu empuk, gadis kecil itu kemudian menurunkan koleksi barbie-nya dari almari penyimpanan mainan.
Julia hanya bisa menurut dan memperhatikan apa yang bocah kecil itu lakukan. Gadis berambut panjang bergelombang tersebut ingin mengenali, bagaimana kebiasaan calon anak asuhnya.
"Ayo, Bunda! Bunda yang cerita, ya?" pinta Asa, setelah semua koleksi barbie-nya diturunkan.
Julia yang paham maksud dari gadis kecil itu, langsung tanggap dan segera memainkan barbie sambil bercerita.
Gadis itu menceritakan tentang seorang putri kecil yang baik hati dari sebuah kerajaan, dia bercerita dengan sangat lancar sambil menirukan suara anak kecil, membuat Asa ikut larut dalam cerita Julia yang dipanggilnya Bunda.
Sesekali Asa mengerutkan dahi yang terlihat lucu dan menggemaskan sambil bertanya, terkadang gadis kecil itu tertawa terkikik sambil menutup mulutnya sendiri.
'Alhamdulillah, sepertinya anak kecil ini suka sama aku. Semoga saja Pak Dokter mau menerimaku,' bisik Julia dalam hati.
Tanpa Julia sadari, ada dua pasang mata yang terus memperhatikan interaksi Julia dan Asa dari balik pintu yang tidak tertutup rapat.
"Asa sepertinya sangat menyukai gadis itu, Arman. Apa kamu mau menerima dia menjadi pengasuhnya?" tanya wanita berusia senja, pada sang putra.
"Kita lihat nanti, Ma. Ini masih sangat awal untuk bisa menilai," balas Dokter Arman seraya melirik jam mahal di pergelangan tangan kanannya.
Dokter bertubuh atletis itu kemudian masuk ke dalam kamar sang putri, untuk berpamitan kembali. "Asa, Sayang. Ayah berangkat kerja dulu, ya," pamitnya seraya merentangkan kedua tangan, siap menyambut tubuh mungil sang putri.
Gadis kecil itu langsung menghambur ke dalam pelukan sang ayah dan tubuh mungil Asa tenggelam dalam dekapan ayahnya.
"Ayah hati-hati ya, di jalan. Yang semangat kerjanya, jangan lupa segera pulang kalau pekerjaan Ayah sudah selesai karena Asa pasti akan sangat merindukan Ayah," ucap Asa setelah melepaskan diri, menirukan apa yang diajarkan sang nenek jika Dokter Arman berpamitan.
Netra kelam dokter yang wajahnya dipenuhi bulu-bulu kasar yang dicukur rapi itu, berkaca-kaca mendengar ucapan sang putri yang selalu mengingatkan dirinya pada mendiang sang istri.
Ya, mendiang istrinya itu juga akan selalu mengingatkannya untuk segera pulang dan membelenggu hati Dokter Arman dengan kata-kata rindu, sehingga ayah satu anak itu tak pernah bisa lama berjauhan dengan almarhumah yang meninggal dua tahun lalu dalam sebuah kecelakaan tunggal.
Meskipun saat ini Dokter Arman telah memiliki kekasih, tepatnya kembali pada cinta pertamanya, tetapi cinta ayah satu anak itu pada mendiang bundanya Asa masih terpatri di hati.
"Jika hari ini Asa tidak rewel, maka kamu saya terima bekerja menjadi pengasuhnya," ucap Dokter Arman pada Julia dengan dingin, setelah putrinya kembali bermain.
Dokter spesialis kandungan itu segera berlalu hendak berangkat ke rumah sakit.
"Maaf, Dok," panggil Julia, menghentikan langkah Dokter Arman.
"Ada apa?" tanya ayah Asa tersebut, tanpa menoleh ke belakang.
"Maaf, ini mengenai gaji yang ditawarkan oleh ...."
"Itu benar, jika kamu berhasil membuktikan bahwa kamu bisa menjadi pengasuh putriku, maka aku akan memberimu gaji dua kali lipat," sergahnya yang dapat menebak arah pembicaraan gadis lugu tersebut.
Dokter Arman kembali meneruskan langkah, tanpa menoleh kembali.
Selama seharian menemani putri kecil Dokter Arman, Julia memperhatikan calon anak asuhnya itu dan mencoba memahami apa yang diinginkan Asa. Perhatian dan kasih sayang dari wanita dewasa yang dipanggilnya Bunda, begitulah kesimpulan Julia saat ini.
"Terimakasih ya, Nak Julia. Sepertinya, Asa nyaman bersama kamu," tutur Bu Ratna, neneknya Asa, ketika Julia baru saja selesai mendandani cucu kecilnya tersebut usai mandi sore.
"Sebentar lagi ayahnya Asa pulang, kita bisa membicarakan tentang kelanjutan tugasmu nantinya," sambungnya.
Tepat disaat Bu Ratna selesai berbicara, Dokter Arman muncul dari balik pintu.
"Selamat sore, Bu," sapa Dokter Arman yang baru saja pulang, sambil menyalami sang ibu dan mencium punggung tangan keriput ibunya.
"Duduklah dulu, Arman. Nak Julia mau pamit," titah sang ibu, seraya menepuk bangku kosong di sebelahnya.
"Arman lelah, Bu. Ibu saja yang bicara padanya dan menyampaikan apa yang kita bicarakan tadi di telepon," balas Dokter Arman tanpa melirik sedikitpun pada Julia.
"Hem, baiklah."
Bu Ratna kemudian menjelaskan apa saja tugas dan kewajiban Julia sebagai pengasuh Asa.
Gadis itu diwajibkan tinggal di kediaman dokter kandungan tersebut dan hanya diberi libur satu kali dalam sebulan.
*****
Waktu terus bergulir, hampir enam bulan Julia bekerja menjadi pengasuh Asa. Putri kecil Dokter Arman itu pun semakin lengket pada sang pengasuh.
Mamanya Dokter Arman pun sangat senang dengan kehadiran Julia yang santun dan ramah, pengasuh Asa itu juga memperlakukan sang cucu dengan penuh kasih.
"Arman, apa kamu belum berpikir untuk mencari ibu untuk putrimu?" tanya Bu Ratna ketika Dokter Arman baru saja dari kamar putrinya, untuk mengucapkan selamat tidur seperti kebiasaannya selama ini.
"Renata belum siap untuk menikah, Ma," balas Dokter Arman.
"Wanita itu lagi! Kamu benar-benar kembali menjalin hubungan dengan dia, Arman?" tanya Bu Ratna, terkejut.
Ayahnya Asa itu mengangguk ragu, dia tahu betul bahwa sang mama pasti akan menentang karena kekecewaan mamanya itu tujuh tahun silam pada Renata.
Bu Ratna menggeleng-gelengkan kepala, tak mengerti dengan jalan pikiran sang putra. "Apa yang kamu harapkan dari wanita seperti Renata itu, Arman?"
"Dia itu sama sekali tidak memiliki rasa kasih terhadap anak kecil. Sampai kapanpun, dia tidak akan pernah siap untuk menikah. Kalaupun dia menikah, pasti dia tidak akan mau direpotkan dengan urusan anak!"
"Apa kamu mau, menikah dengan wanita yang tidak menyayangi Asa?" Bu Ratna menatap tajam pada sang putra.
Dokter Arman menghela napas panjang.
Hening, sejenak menyapa ruang keluarga tersebut.
"Tidakkah kamu melihat bagaimana Julia, Arman?" tanya Bu Ratna mengurai keheningan.
"Maksud, Mama?" Dokter Arman mengerutkan dahi.
"Tidakkah kamu tertarik dengan gadis itu?" tegas Bu Ratna, bertanya. "Dia cantik Arman, Julia juga berpendidikan meski kuliahnya belum selesai."
Dokter Arman melengos karena memang selama ini dia tidak pernah melihat Julia, sikapnya bahkan selalu dingin pada pengasuh putrinya tersebut.
"Nikahi Julia, Arman. Dia gadis yang baik dan sangat menyayangi putrimu," titah sang ibu tanpa di duga, membuat dokter spesialis kandungan itu terkejut.
"Tidak, Bu! Arman sudah memiliki Renata, dia yang akan menjadi ibu sambung bagi Asa, bukan pengasuh itu!" tolak Arman dengan ketus.
Tiba-tiba saja Asa muncul ke ruangan tersebut. "Asa mau bunda Uli, Ayah, bukan aunty Tata!" jerit Asa yang langsung menangis histeris.
🌹🌹🌹🌹🌹 bersambung ...
Jangan lupa, subscribe dan kasih bintang ⭐ lima, di kotak warna orange, yah 🥰🙏
"Nikahi Julia, Arman," pinta sang ibu.
"Tidak, Bu! Arman sudah memiliki Renata, dia yang akan menjadi ibu sambung bagi Asa, bukan pengasuh itu!" tolak Arman dengan ketus.
Tiba-tiba saja Asa muncul ke ruangan tersebut. "Asa mau bunda Uli, Ayah, bukan aunty Tata!" jerit Asa yang langsung menangis histeris.
Raungan gadis kecil itu yang membahana ke seluruh penjuru ruangan, mengundang semua penghuni rumah besar tersebut untuk menuju ke sumber suara, termasuk Julia yang baru saja hendak memejamkan mata setelah seharian lelah mengasuh putri Dokter Arman.
Julia yang hendak mendekat, langsung mundur teratur ketika ayah dari anak yang saat ini menangis, memberikan isyarat dengan kibasan tangan serta tatapan dingin pada pengasuh Asa tersebut.
"Kembali ke kamarmu, sekarang!" titah Dokter Arman pelan, tetapi penuh penekanan.
Julia mengangguk patuh. Meskipun dengan langkah berat, gadis itu berlalu dari ruang keluarga untuk kembali ke dalam kamarnya.
'Kenapa tatapan Pak Dokter semarah itu padaku? Apa, aku berbuat kesalahan? Terus, kenapa Asa tiba-tiba nangis histeris? Padahal, sudah lama aku tidak mendengar dia menangis keras,' monolog Julia sambil berjalan gontai menuju kamarnya.
Sementara di ruang keluarga, Asa masih terus menjerit. Gadis kecil itu berontak ketika sang ayah memeluknya.
"Tenang, Sayang. Asa sudah sama ayah sekarang," bujuk sang ayah.
Jika biasanya, Asa akan segera berhenti menangis jika dipeluk oleh sang ayah, tapi kini, bocah kecil itu masih tetap histeris.
Bu Ratna yang juga ikut menenangkan Asa, sudah kewalahan. Begitu juga dengan dua asisten rumah tangga Dokter Arman, mereka tidak ada yang berhasil menenangkan gadis kecil yang jika memiliki keinginan harus segera dituruti tersebut.
Hampir tiga puluh menit berlalu, semua orang masih sibuk menenangkan Asa. Sementara sang bocah, seolah tiada lelah masih terus menangis dan menjerit.
"Arman, biarkan Julia yang menenangkan Asa. Kasihan putrimu, tenggorokannya bisa sakit karena terus-terusan menjerit," pinta Bu Ratna yang ikut menangis melihat keadaan sang cucu, sambil mendekati sang putra yang sedikit menjauh dari Asa.
Dokter Arman bergeming. Dia masih belum bisa terima dengan permintaan sang ibu dan juga putrinya.
"Pak Dokter, Asa kejang." Suara bibi asisten yang terdengar sangat khawatir, membuat Dokter Arman langsung berlari ke arah sang putri.
Dokter Arman segera membopong putri kecilnya menuju sofa dan membaringkan tubuh mungil itu di atas sofa empuk. "Ambilkan bantal itu, Bi!" titahnya pada bibi asisten.
Dokter kandungan itu merawat sendiri putrinya dengan sangat telaten dan penuh kasih, hingga tak berapa lama Asa mulai tenang dan kemudian tertidur.
Julia yang baru saja dipanggil oleh salah satu bibi asisten atas perintah Bu Ratna, mendekat.
"Maaf, Dok. Boleh saya tidurkan Asa di kamarnya," ijin Julia, takut-takut. Gadis itu masih teringat dengan tatapan tajam Dokter Arman kepadanya.
Nampak Bu Ratna memberikan isyarat pada sang putra, yang hendak melarang Julia.
"Tidurkan di kamarku saja, aku khawatir jika terbangun nanti dia akan kembali rewel," titahnya kemudian yang masih terdengar dingin di telinga Julia dan tanpa melihat ke arah pengasuh putrinya tersebut.
Pengasuh Asa itu mengangguk, patuh. Julia segera membopong tubuh mungil anak asuhnya dengan sangat hati-hati dan membawa Asa menuju kamar Dokter Arman.
Gadis itu nampak ragu ketika hendak masuk karena selama ini dia belum pernah sekalipun memasuki kamar yang berukuran sangat luas tersebut, kamar yang luasnya hampir sama dengan luas rumah sederhana orang tua Julia.
"Masuk saja." Suara Dokter Arman yang ada di belakangnya, membuat Julia terkejut. Ternyata ayah Asa tersebut, mengekori langkahnya.
"Baik, Dok," balas Julia, yang kemudian bergegas meneruskan langkah kembali.
Julia menidurkan Asa dengan hati-hati di atas ranjang berukuran jumbo yang memiliki kasur empuk. Gadis itu kemudian menyelimuti tubuh mungil anak asuhnya dengan selimut lembut, mencium kening Asa dengan penuh kasih dan kemudian segera berlalu tanpa berpamitan pada Dokter Arman yang terus mengawasi gerak-geriknya.
Baru saja kaki jenjang Julia sampai di ambang pintu, terdengar suara Asa yang kembali menjerit.
"Asa mau Bunda Uli!"
Reflek, Julia membalikkan badan dan kemudian memacu langkah kembali ke ranjang dan segera merengkuh tubuh Asa.
Bersamaan dengan Dokter Arman yang panik dan segera menuju ranjang dari sisi yang lain hendak menenangkan sang putri, hingga tangan kekar ayahnya Asa tersebut, melingkari tubuh putri dan pengasuhnya.
"Ma-maaf," ucap Julia, seraya beringsut melepaskan pelukannya pada tubuh mungil Asa.
Dokter Arman pun beringsut dan melepaskan pelukannya, tanpa sepatah kata pun. Aura dinginnya dapat dirasakan oleh Julia.
"Sa-saya pamit keluar," ijin Julia terbata. Bergegas, dia melangkah keluar dan mencoba tak menghiraukan anak asuhnya yang kembali menangis.
'Apa sebenarnya salahku?' batin Julia bertanya. Gadis itu mempercepat langkah, agar bisa segera sampai ke dalam kamar.
"Besok hari terakhirku kerja di sini, menjadi pengasuh Asa. Kemarin-kemarin, anak itu baik-baik saja dan sudah mulai bisa mengerti bahwa tidak semua yang dia inginkan bisa di dapatkan. Kenapa sekarang dia seperti itu, lagi?" gumam Julia sambil melihat kalender di dinding kamarnya.
'Sebaiknya, aku berkemas sekarang. Biar besok, aku bisa fokus membujuk anak itu agar mau aku tinggal. Semoga saja semuanya lancar karena dari kemarin-kemarin aku juga sudah memberitahu dia pelan-pelan,' monolog Julia sambil mengambil tas punggung dari atas almari pakaian.
Sementara di dalam kamar Dokter Arman. Dokter kandungan tersebut masih berusaha untuk menenangkan sang putri seorang diri karena Bu Ratna langsung istirahat tadi, begitu Asa dibawa Julia ke kamar ayahnya.
"Sayang, Asa 'kan sudah janji kemarin sama ayah, kalau Asa tidak akan rewel lagi," tagih sang ayah sambil menciumi kepala putrinya yang berada dalam dekapan.
"Tapi Asa enggak mau aunty Tata, Ayah. Asa maunya Bunda Uli," rengeknya sambil berusaha melepaskan diri.
"Bibi Julia 'kan sudah harus pulang, Nak. Dia harus melanjutkan sekolahnya," tutur Dokter Arman yang tetap mengajari putrinya untuk memanggil Julia dengan sebutan bibi.
Laki-laki beralis tebal itu mencoba memberi pengertian pada sang putri, seperti yang beberapa waktu terakhir sering dia dengar dari mulut Julia ketika memberitahukan pada Asa, secara pelan-pelan.
"Enggak apa-apa kalau Bunda Uli mau sekolah lagi, Ayah, tapi Bunda Uli harus tetap di sini. Asa juga mau sekolah, kan?" kekeuh gadis mungil itu, yang menginginkan pengasuhnya agar tetap tinggal bersamanya.
"Jangan biarkan Bunda Uli pulang ya, Yah? Suruh Bunda Uli agar tetap di sini," rajuk Asa.
Dokter Arman menghela napas panjang.
"Permintaan konyol apa itu, Arman! Apa kamu yang mengajarinya!" Mendengar suara wanita yang menggelegar tersebut, Asa langsung menutup telinganya.
"Ma-maaf, Dokter. Nona memaksa masuk kemari," ucap bibi asisten, takut-takut.
🌹🌹🌹🌹🌹 bersambung ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!