Di sebuah rumah besar sekaligus berfungsi sebagai penginapan berlantai dua yang megah dan indah. Berada sangat dekat di kawasan Kepulauan Seribu, Jakarta, Indonesia...
Tiga orang perempuan dengan memakai baju sama yang seragam, telah selesai mengusung beberapa koper ke garasi. Kini mereka telah berkumpul di meja makan, menunggui satu keluarga yang sedang makan dengan wajah yang bertekuk.
"Jadi sudah fix jika kalian memilih tetap bekerja di sini ya? Jika ada apa-apa masalah dengan boss baru kalian, bilang saja pada kami. Apa kalian mengerti, Murniati , Vinola dan Oqtissa?" ucap bos lelaki mereka, Arzaki Azril. Pria dewasa tampan, berkulit putih dan baik.
"Mungkin adik lelakiku nanti akan membuka kembali penginapan kita ini. Harap kalian rela membantu untuk memajukan penginapan kembali," ucap pak Arzaki dengan suara yang serak.
Pak Arzaki nampak berat berkata. Bagaimanapun, tiga orang pembantu rumah dan penginapannya itu sudah seperti keluarga sendiri. Telah bertahun-tahun lamanya mereka bekerja dan tinggal bersama.
"Iya, pak. Kami akan tetap bekerja sebaik mungkin dengan boss penggantinya bapak. Tapi kami tetap berharap, keluarga bapak akan segera kembali ke sini. Menjadi bos kami lagi," sahut salah seorang dari mereka, Oqtissa dengan khidmat.
"Baiklah. Terimakasih. Selama kalian dengan boss baru, meski dia adalah adikku sendiri, jika ada perilakunya yang kalian tidak berkenan, jangan ragu, katakan saja pada kami. Nomor hand phone serta medsos kami tidak akan berubah." Pak Arzaki mengatakan hal penting itu kepada ketiga pembantu rumah.
Ketiga perempuan yang akan ditinggalkan itu tengah mengangguk dengan kompak. Wajah mereka juga tak kalah mendung dari ekspresi sang majikan. Makhlum, Murniati dan Vinola sudah hampir enam tahun lamanya bekerja bersama. Sedang Oqtissa, masih jalan dua tahun. Tapi sudah merasa sangat nyaman bekerja pada keluarga pak Arzaki. Menjadi satu keluarga antara bawahan dan atasan.
Sekarang mereka sedang menghadapi ancaman perpisahan. Keluarga pak Arzaki sedang ada urusan keluarga mendadak dari pihak sang istri yang berasal dari negara Brunei Darussalam.
Jadi untuk sementara, mereka akan berada di negara Brunei Darussalam guna menyelesaikan urusan keluarganya yang mendadak. Dan adik lelaki pak Arzaki sendirilah yang akan datang menggantikan.
🕸🕸🕸
Malam sehabis waktu isya'..
Tiga perempuan beda usia serta beda status, tengan berkumpul ceria di halaman belakang yang lengang. Keluarga pak Arzaki beserta istri, dengan tiga anak yang masih kecil di bawah lima tahun, telah bertolak dari bandara Soekarno-Hatta menuju ke negara Brunei Darussalam.
Ketiga asisten yang sedang nampak ceria itu masing-masing adalah :
Oqtissa, 23 tahun. Gadis lajang muda yang nampak sederhana, dengan rambut panjang dan diikat jadi satu berserabut yang jauh dari kata rapi. Berkulit kuning cerah dan bersih. Namun tertutup dengan penampilan ala kadarnya yang berseragam kebesaran di tubuhnya. Dengan warna seragam abu-abu gelap, membuat penampilannya nampak berantakan. Namun tidak menutupi fisik cantiknya dengan tampilan suram itu.
Rajin bekerja, tangguh dan tidak mengenal lelah. Memiliki dua orang adik kembar perempuan, dan masih bersekolah di taman kanak-kanak. Bukan gadis pemarah dan bukan juga seorang pendendam. Berasal dari keluarga sederhana di pesisir pantai Rembang.
Vinola, berusia 26 tahun dan diam-diam sedang mengandung. Cantik dan berambut cukup panjang. Seorang janda, sehingga tidak diketahui siapakah bapak dari bayi yang tengah dikandungnya.
Dan asisten ketiga adalah Murniati, 36 tahun. Cukup berumur dan sebagai ibu rumah tangga dari seorang suami. Sekaligus pemilik dari dua anak yang bersekolah di SD dan SMP. Sebagai ketua geng pembantu. Jarang marah dan akan berusaha memberi solusi jika ada masalah pekerjaan di antara mereka bertiga.
Sedang satu pembantu rumah yang lain baru saja mengundurkan diri. Lebih memilih pulang kampung dan mendapat pesangon dari pak Arzaki. Tidak ingin meneruskan kerja dengan boss pengganti di penginapan.
"Lihat nih, pak Arzaki sangat baik sekali. Mau ke mana kita dengan uang sebanyak ini?" tanya Murni sambil mengibas-ngibaskan uang yang baru dikeluarkannya dari amplop.
"Berapa, mak?! Yuk hitung,,, mana tahu lebih dari apa yang kita pikir." Vinola sambil mengeluarkan seluruh isi dari amplop coklat pemberian terakhir pak Arzaki, si boss yang lama.
"Habis ini belanja yuk, nak..! Kita harus merasa bebas sesaat dulu, kita seneng-seneng, sebelum bos baru datang untuk menjadi boss penggantinya pak Arzaki," usul Murniati, sebagai ketua geng pembantu.
"Jika boss pengganti galak, kita harus bagaimana, maakk?!" Oqtissa yang nampak amburadul penampilannya, sedang berandai-andai hal negatif. Tidak ada semangat untuk merapikan diri saat tak ada boss yang mengawasi.
"Tenang, nak. Dia itu sendirian. Cuma seorang... Tapi sekali lagi, apalah daya kita sebagai buruh rumahan, dibanding kuasa boss besar sekaya dia, kaaan. Jadi meski satu lawan tiga, kita harus keok saja, nak,," ucap Murniati dengan tertawa.
"Huuu,,huuu,,huuu..Huuu,,hu...!!" Vinola dan Oqtissa spontan meledek menyoraki.
Mereka sedang penasaran bagaimana wujud dari adik lelaki pak Arzaki yang katanya akan datang mengganti. Berharap manusia baik dan bukan dari golongan serigala berbulu wool. Yang pasti akan semena-mena pada pekerja wanita seperti mereka.
🕸🕸🕸🕸🕸
Kriiing...!! Kriiing...!! Kriiing...!! Kriiing...!!
Tiga orang pembantu yang merasa sebagai penguasa dunia untuk sesaat, sedang bersantai dalam tidur mereka pagi itu. Sangat terkejut dengan dering telepon rumah yang beruntun dan bising.
Murniati yang selalu sadar jika dirinyalah ketua geng pembantu, merasa wajib bersiaga setiap waktu. Dikibasnya kaki Oqtissa yang menumpang di paha, serta tangan Vinola yang menjulur di dadanya. Mereka berdua benar-benar bertingkah semena-mena saat tidur. Murniati menggelengkan kepala dengan keliaran tidur Ossa dan Nola.
"Hellooo,, selamat pagiij,, assalamu'alaikum,,,!" sapa Murni pada orang di seberang. Terdiam, menyimak, mendengarkan. Dan terkaget..
"Apa, boss,,???!!" mata Murni sangat melebar dan nampak seperti akan terloncat.
"Iya, siap. Akan saya buka sekarang juga, pak. Mohon maaf,," ucap Murni terlihat salah tingkah. Menyimak sebentar dan meletak kembali gagang telepon ke sandaran. Telepon rumah itu berada di meja teras luar kamar.
Murni tergesa menuju rumah utama dan menerobos pintu rumah. Keluar di teras dan tergesa berjalan ke pagar. Membuka cepat lebar-lebar daun pagar. Telah menunggu sebuah mobil sedan yang berhenti tepat di depan pagar. Murni membungkuk dalam-dalam pada mobil merah yang tak nampak wujud sopirnya. Kaca sedan itu sangat gelap.
Sedan merah berlalu meninggalkan murni yang sedang termangu. Seketika sadar dengan bahaya yang sedang mengancam.
"Gawat, dua krocoku masih ngorok,,!" seru Murni berbicara sendiri. Dengan cepat menutup pintu pagar dan kembali meluncur masuk ke dalam rumah. Menembusi ruang tamu, ruang keluarga, ruang makan dan dapur. Membelok keluar menuju deretan kamar-kamar yang dibuat khusus untuk para pembantu di rumah pak Arzaki.
"Ossa,,,!! Nollaaa!!" seru Murni dengan mengguncang keras kaki- kaki mulus mereka yang berserakan di kasur busa.
"Duh, makk!! Bisiiing,,!! Masih ngantuk laaah," sahut Vinola dengan sebal. Mengambil bantal dan ditutupkan ke wajahnya.
"Kenapa, maak!?! Hebohnyaa,,," keluh Oqtissa. Perlahan bangun dengan malas. Menatap Murniati dengan mata yang sebagian menutup.
"Kalian cepat rapikan diri. Boss pengganti sudah datang. Dorurot,,! Siaga satu untuk kita!! Lekas, nak,,!" Murniati berseru. Menyambar sebuah bra dengan kaki dan diulurkan ke tangan Vinola. Perempuan itu sudah terduduk dengan mata yang terasa menempel. Kepalanya sangat pening sekali.
"Betulkah, mbak,,!!" seru Oqtissa ke mode normalnya. Segera berdiri dan menggenggam erat bra tanpa busa di tangannya. Keluar tergesa dari kamar Murni, dan berniat akan menuju kamar mandi di luar.
Blak,,!!!
Oqtissa kembali masuk ke kamar Murni dengan wajah pucat pasi, dengan masih mencengkeram bra yang menggantung di tangan.
"Ada apa, Os,,?" tanya Murni dengan dada berdegub. Menduga ada apa di luar sana hingga Oqtissa memilih kembali ke dalam kamarnya.
"Ada orang, mak,,! Dia akan menghampiriku, aku lari!" jawab Oqtissa agak gugup.
Dok,,! Dok,,! Dok,,!
Tak perlu dijabarkan lagi. Suara gedor di pintu ini membuat Oqtissa dan Vinola bergerak aktif dan laju. Memakai bra pengaman dada mereka di dalam kamar mbak Murni. Tingkah keduanya sudah seperti kurcaci dipanggang saja cepatnya. Murniati menggelengkan kepala.
"Kalian sudah siap?" tanya Murni. Bersiap membuka pintu dengan tangan yang mencengkeram kusen pintu dengan erat.
"Bentar, mak. Celanaku kayak gini,," keluh Vinola. Menunjuk celana pendeknya yang sebatas pangkal paha.
"Kamu harus belajar berbaju sopan, Nol. Emang mau anak gadismu kelak niruin gaya kamu?! Sembarangan kamu ini, Nol,," protes Murniati pada kevulgaran baju kegemaran Vinola. Dengan cepat menyambar celana selutut miliknya dari almari dan melemparkan pada Vinola.
"Cepat, Noll ??!?" seru Murniati. Merasa geram dengan tingkah kedua kroconya.
Beberapa detik berlalu. Murni kembali memantau kesiagaan anggotanya.
Ossa dan Nola justru sedang bersantai ria menyisir rambut menggunakan jari-jarinya. Tidak merasa jika mereka sedang terkejar oleh seseorang yang sedang memerinci kehidupan mereka di luar.
Kamar itu tidak kedap suara, sebab memang dicipta khusus untuk pembantu. Yang segala percakapan jelas terdengar dari luar. Mereka tidak menyadarinya.
Ceklerk,,!
Sudah seperti yang dibayangkan, percakapan itu menggambarkan bagaimana penampilan mereka. Tiga makhluk berantakan nampak menyembul satu persatu dari dalam kamar yang dipastikan sangat sempit dan,, amburadul...
"Kalian siapa,,?" tanya seorang lelaki yang berdiri menjulang di teras. Memicing tajam seperti sedang ingin menguliti jijik pada mereka.
"Kami pekerja di sini," jawab Murniati yang sekali lagi merasa sebagai ketua geng pembantu.
"Kerja? Kerja apa saja?" tanya lelaki itu lagi dengan nada yang dingin.
"Bersih-bersih,," jawab Murniati lagi. Kini wajahnya menunduk, tidak berani menatap lurus pada orang di depannya. Mulai sadar dengan kesalahan jawaban yang diucapakn.
"Masak,,?" tanya datar lelaki itu.
"Iiiiyya,, masak juga,," jawab Murniati terbata.
"Mulai pukul berapa kerja kalian?" sambung lelaki itu menyelidik.
"Pagi-pagi,," Murniati kembali memberi jawaban dengan tetap menunduk, bahkan semakin dalam saja kepala itu ia tekuk. Tak ubahnya dengan Vinola dan Oqtisaa yang sedari awal sudah menekuk dalam kepalanya. Seolah mereka adalah pembantu paling beradap sejagad raya.
"Pukul berapa pagi itu,, bukankah sekarang sudah pagi? Apa yang sedang kalian lakukan? Kenapa kalian tidur bersama dalam kamar yang sempit itu?"
"Empat kamar tidur di sebelah itu, tidak kalian pakai?" tanya lelaki itu dengan datar. Suaranya tidak marah atau membentak. Hanya picing mata sadisnya saja yang tidak melunak.
Murniati tidak lagi menjawab. Pertanyaan beruntun yang banyak sekali itu seperti tidak membutuhkan jawaban. Hanya ingin menambah daftar kesalahan untuk mereka bertiga saja.
Mereka bertiga seperti anak bebek, berlenggok mengikuti bapak bebek yang berjalan terburu di depannya. Murniati mencubit kecil pinggang Oqtissa dan Vinola di kanan kirinya. Melampiaskan rasa yang tidak menentu seperti saat sedang disidang.
Ossa dan Nola menggeliat sambil terus berjalan, tidak berani bersuara sekecil pun. Membalas cubitan Murni dengan menarik pelan rambutnya yang dikuncir asal-asalan. Murni berjalan sempoyongan berusaha mengibas tangan-tangan dari memegangi rambutnya. Mereka benar-benar sangat sibuk tanpa menimbulkan sedikit pun suara.
"Lihat,,!!" seru lelaki itu. Suara yang senantiasa datar, kini seperti teguran yang keras. Masih bagus juga bukan bentakan.
Mereka bertiga cepat-cepat bersikap siaga, memandangi wastafel yang penuh piring dan panci kotor, bahkan hingga menggunung. Ini seperti cubitan keras bagi mereka.
Lelaki itu kembali berjalan, mereka bertiga saling berpandangan. Murni menunjuk lelaki itu dengan dagunya. Mereka paham dan bergegas menyusul mengikuti di belakang.
"Lihat!!" serunya lagi dengan arti nada yang sama. Menunjuk pada meja makan dengan kursi berantakan. Belum lagi di atas meja makan. Semua makanan kemarin sore itu masih memenuhi meja makan, dan tentu saja dalam kondisi yang sudah membusuk. Ini seperti sebuah pukulan keras bagi mereka.
Lelaki itu berjalan lagi meninggalkan mereka. Dan kembali diikuti ketiga pembantu di belakangnya.
"Lihat,,!" seru lelaki itu kembali. Menunjuk ruang tivi sekaligus ruang keluarga yang penuh dengan mainan berserakan. Snack-snack yang masih berisi dan yang kosong pun bertebaran memenuhi karpet dan sofa. Dan ini serupa tendangan bebas bagi mereka bertiga.
Lelaki itu duduk di sofa yang terpilih. Tidak ada mainan atau bungkus snack di sana. Sempat mengibas sofa dengan tangan sebelum duduk menghentak di atasnya. Seolah sangat takut jika ada sebutir debu pun yang menempel di pantatnya yang seksi.
"Maju giliran ke sini,," ucap lelaki itu. Menatap ketiga pembantu dengan matanya yang semakin tajam saja terasa. Meski ada kacamata super tebal berbingkai gelap hitam yang dikenakan di matanya.
Sekali lagi Murniati yang merasa jika di dahinya sudah tertempel logo ketua geng kroco dengan yakin maju ke depan. Memandang sebentar dan buru-buru menunduk dalam kembali.
"Siapa nama kamu?" suara berat lelaki itu terdengar. Suara manusia lelaki yang seksi, bukan suara datar yang justru terdengar menakutkan.
"Murni, Murniati, pak,," jawab Murni dengan cepat. Rasa tegar kembali merasuki jiwanya.
"Kenapa rumah berantakan?" tanya lelaki itu dengan pelan.
"Maaf, pak. Kami lambat bangun," jawab Murni.
"Kenapa lambat bangun?" tanya lelaki itu kembali. Sambil mengangkat sebelah kaki dan dinaikkan ke sebelah pahanya. Khas duduk para lelaki.
"Semalam kami lambat tidur," jawab Murni. Yang sekarang sudah berani memandang lurus ke wajah lelaki yang duduk tenang di sofa. Tampan...
"Bagaimana bisa lambat tidur?" tanya lelaki itu dengan datar. Sabar sekali..
"Kami bergadang, pak," jawab Murni.
"Asalku dari kota Semarang,," ucap lelaki itu tanpa disangka. Dan sangat tidak berhubungan dengan isi tanya jawab pembahasan.
"Iya, pak. Saya tahu,," ucap Murni dengan cepat. Sangat ingat jika bos lama mereka, pak Arzaki, berasal dari kota Semarang. Sedang sudah dikatakan jika boss penggantinya adalah sang adik.
Lelaki itu pun terdiam. Memandang Murni seksama.
"Pergilah, bersihkan rumah seperti biasanya," ucap lelaki itu kemudian. Menurunkan kembali kakinya. Menyandarkan punggung ke sofa dengan santai.
"Next,," lanjut ucapnya. Memandang datar pada Ossa dan Nola.
Nola yang lebih tua dari Ossa pun merasa wajib memberi contoh yang baik pada Ossa. Dan telah maju ke depan mendekati si lelaki yang kemungkinan besar memang boss baru mereka.
Bos baru kembali melempar pertanyaan yang sama persis dengan apa yang telah ditanyakannya pada Murni barusan. Yang dijawab oleh Nola satu persatu juga dengan cepat. Dengan jawaban sama persis seperti yang dilemparkan oleh Murni. Hanya menambahkan dengan menonton drama korea semalaman di kamar Murniati.
"Aku lahir di Semarang,," kata lelaki itu lagi pada Nola.
"Iya, pak. Kita satu propinsi. Saya dari Sragen," jawab Nola bersemangat. Boss baru menaikkan sebelah alisnya.
"Pergilah,," ucapnya datar pada Nola.
Pandangannya bergeser pada Ossa. Rambut berserabut yang diikat asal jadi satu itu sama sekali tidak rapi, benar-benar membuatnya sangat risih. Untung saja rambut Ossa sangat lurus dan tebal. Jika tidak, penampilannya pasti lebih berantakan.
"Siapa nama kamu?" tanya bos baru dengan pelan.
"Oqtissa, pak."
"Pak, saya dan teman-teman sekali lagi minta. Sangat lancang membiarkan rumah ini tetap berantakan. Jujur, kami mengira jika bapak lama lagi akan datang. Jadi kami berfikir untuk istirahat sejenak, dua puluh empat jam saja. Kami tidak ke mana-mana. Hanya di kamar, menonton drama Thailand yang kebetulan sedang viral. Minta maaf. Kami akan bersih-bersih seperti biasa kembali, pak," ucap Ossa dengan panjang tanpa diminta.
Bos baru nampak terkejut. Menegakkan duduk dan menunduk sebentar.
"Kamu nonton drama Korea apa Thailand?" terheran dia bertanya.
"Saya suka drama Thailand. Teman yang tadi suka drama Korea. Kami melihatnya di ponsel masing-masing, pak. Hanya di kamar yang sama saja," jelas Ossa bersemangat. Boss baru sepertinya seorang yang humble.
"Yang satu tadi, siapa? Marni? Ngapain?" tanya boss baru kembali.
"Oh, Murni,,, Murniati, pak. Dia nonton film horor Thailand," ralat Ossa membenarkan. Boss itu mengangguk sekali.
"Aku lahir dan besar di Semarang," ucap lelaki itu kembali, mengulang keterangan yang sama pada Ossa. Gadis itu berkernyit sebentar.
"Saya dari Rembang, pak," sahut Ossa. Juga menyebut tempat kelahirannya.
"Bapak masih muda, lebih suka disebut mas, atau pak saja?" tanya Ossa dengan berani. Menebak apa maksud dari pemberitaan berulang yang diucapkan lelaki itu.
"Aku memang tidak suka dipanggil pak. Kamu boleh pergi," ucap bos baru ambigu. Ossa mengangguk dan tersenyum.
"Permisi, mas." Ossa menyebut bos baru dengan sebutan barunya. Telinganya meradar tegak, tidak ada hardik dan teguran. Bisa jadi bos baru memang berharap dipanggil mas. Ah,, mas,, massalah...
🕸🕸🕸
Memang sudah jadi makanan sehari-hari. Pekerjaan yang nampak sangat berat telah selesai dan beres dalam waktu dua jam saja. Apalagi tanpa adanya tiga anak kecil yang harus diasuh seperti biasa. Jadi sangat mudah sekali bagi mereka.
"Nol, sudah beres kamu?" tanya Murni. Nola bertugas membersihkan bagian depan rumah di luar. Juga menyapu serta mengepel dalam rumah sekalian.
"Beres, mak!" jawab Nola sambil mencuci tangan di wastafel.
"Os,,?" tanya Murni memandang pada Ossa. Yang dipandang pun mengangguk.
"Siap juga, mbak. Lapor saja pada, mas boss,," ucap Ossa tersenyum. Dirinya bertugas merapikan rumah, membuang sampah dan mencuci perabotan busuk di wastafel.
"Heishh, mass boss?? Ossa, jangan genit. Memalukan. Jaga harga diri kita sebagai kroco bermartabat. Panggil pak, Ossa,," tugur Murni dengan tegas. Ossa pun mengangguk-angguk banyak kali.
"Baik, makk,,!" sahut Ossa sadar diri. Benar juga ucapan sang ketua geng kali ini. Ossa mendadak jadi merasa malu sendiri.
Plek,,! Plek,,! Plek,,!
"Ehemm,,!!" Suara langkah dengan bersandal jepit dalam rumah itu berakhir dengan sebuah deheman yang berat dan empuk. Siapa lagi peluncur dehem jika bukan boss pengganti.
Ketiganya berbalik dan menatap dengan khidmat.
"Pak, jika anda ingin makan, makanan baru sudah siap. Serba panas dan segar," ucap Murniati promosi. Mencipta berbagai makanan lezat di atas meja makan adalah tugas utamanya.
"Hemm. Kalian pergilah ke kamar masing-masing. Mandi dan bersihkan diri kalian sebersih-bersihnya. Kembalilah ke sini. Kuberi waktu dua puluh menit," tegas si boss pada mereka. Ketiganya saling pandang dengan resah.
"Siap, pak boss,,,!" jawab kompak mereka bertiga. Dan berundur dengan jalan mereka yang gontai. Bertanya-tanya apa lagi yang akan dibincangkan oleh boss baru mereka nantinya.
"Ossa,,!" seru boss mengejutkan.
Ossa mengerem cakram kakinya. Berbalik dan menatap heran pada bossnya. Begitu pun dengan Nola dan Murni. Meski sadar nama tak diseru, tapi susah senang harus ditanggung bersama.
"Rambutmu, ikat yang rapi. Kalian tiga orang jangan menemuiku jika masih berantakan seperti itu!" tegur si boss dengan keras. Memandang Ossa lekat dan bergeser pandang juga pada Murni dan Nola.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!