Wanita berusia sekitar 27 tahun tersebut, tengah berdiri di ruang tamu di salah satu rumah mewah.
Ia menatap nanar sebuah foto yang terpajang sempurna di tembok rumah.
Terlihat sangat jelas, jika di dalam foto tersebut keduanya tampak begitu bahagia.
Air mata yang hampir saja menetes, dengan segera ia mengusapnya dengan tangannya.
Niatnya sejak awal ke kota adalah, ingin mencari keberadaan suaminya yang sudah tujuh bulan tidak ada kabar sama sekali, sekaligus mencari pekerjaan yang cocok untuk menghidupi dirinya selama di kota.
Ia mendapatkan tawaran pekerjaan dari temannya, untuk menggantikan dirinya bekerja sebagai asisten rumah tangga, selama dirinya cuti menikah.
Mendengar itu, wanita 27 tahun itu menerima tawaran tersebut, sehingga di sela pekerjaannya ia bisa mencari keberadaan suaminya bermodal alamat yang di berikan oleh suaminya dulu sebelum hilang tanpa kabar.
Ia langsung tersadar di saat seseorang memegang punggungnya.
“Kamu siapa?” tanya wanita yang terlihat begitu cantik dan elegan, mata hitam legam, kulit putih mulus dengan rambut tergerai panjang, bahkan nyaris sempurna.
“Sa-saya ....” Lily tampak gugup, bahkan tidak bisa melanjutkan ucapannya.
“Maaf, Nyonya muda. Namanya Lily, pengganti adik sepupu saya yang menikah. Lily satu kampung dengan saya,” sahut wanita setengah baya tersebut.
Wanita itu mengangguk dan melenggang pergi meninggalkan mereka berdua yang masih berdiri di rumah tamu.
“Lily, kamu kenapa berdiri saja? Ayo masuk,” ajak wanita paruh baya itu, yang biasa di panggil Bibi oleh Lily walaupun mereka bukan bersaudara.
“Iya, Bi. Maaf,” ucap Lily lirih.
Lily mengikuti langkah Bibinya ke arah kamar belakang, bekas kamar adik sepupunya yang saat ini belum masuk kerja.
“Kamu tidur di sini dan istirahat dulu, besok kamu bisa mulai bekerja.”
Lily mengangguk, ia mengedarkan pandangannya melihat kamar tersebut. Walaupun di anggap kamar pembantu, tapi kamar tersebut cukup besar dan juga terkesan mewah bagi Lily.
“Bi, wanita yang tadi siapa?” tanya Lily pemasaran.
Walaupun ia sudah bisa menebak, jika wanita tersebut adalah istri dari pria yang sangat mirip dengan wajah suaminya yang ada di foto pernikahan tadi.
“Oh itu. Namanya, Jessica Drenda Wiyata dan suaminya Nova Anggara Wiyata. Dia Nyonya muda di rumah ini dan mereka baru saja menikah lima bulan yang lalu,” sahutnya.
Lily menghela napas lega, karena nama yang di sebutkan oleh Bibinya bukan nama suaminya. Ia mencoba berpikir positif, pria di foto tersebut hanyalah mirip saja.
Lily duduk di tepi kasur, setelah melihat Bibinya keluar dari kamar.
Setengah hari perjalanan dari kampung ke kota, cukup membuatnya lelah.
Ia mengingat jelas di benaknya, setelah pernikahan suaminya akan berjanji untuk kembali menjemputnya.
Namun, janji itu bagaikan isapan jempol belaka. Hingga tujuh bulan lamanya Lily menunggu sang suami, hingga saat ini tak kunjung datang.
Flashback on.
“Sah ....”
Suara menggema di rumah kediaman perempuan, pernikahan yang sangat sederhana. Hanya di hadiri oleh keluarga perempuan dan beberapa tetangga mereka.
Bahkan orang tua dari pihak laki-laki pun tidak terlihat sama sekali, hanya teman dari suaminya saja yang menjadi saksi pernikahan Lily dan suaminya.
Mereka memang sedang menjalin kasih sudah beberapa bulan, ayah dari Lily meminta kekasihnya untuk segera menikahinya. Karena saat ini kondisi kesehatan yang sudah menurun, ia ingin menikahkan putrinya di hadapannya sendiri.
Angga langsung menyetujui pernikahan itu, karena memang mereka saling mencintai. Walaupun orang tua Angga belum mengetahuinya, karena ia bertekad akan memberitahu kepada keluarganya setelah mereka menikah.
Namun, sudah tujuh bulan sejak kepergian suaminya ke kota. Karena memang Angga memeriksa pekerjaannya yang memang sedang beroperasi di kampung tersebut.
Lily tidak mengetahui apa perkerjaan sebenarnya sang suami, ia hanya mengetahui pekerjaannya adalah seorang pengawas saja.
Karena memang Angga tidak memberitahu Lily, pekerjaan yang sebenarnya.
Bulan pertama Angga sering kali menghubungi istrinya di kampung, terakhir menghubungi istrinya akan segera menjemputnya sebelum Angga benar-benar menghilang.
Flashback of.
“Mas, Angga,” gumam Lily lirih.
“Kamu dimana Mas? Hingga sekarang nomormu tidak aktif sama sekali!” Lily berulang kali mengusap foto pernikahan mereka di layar ponselnya.
Setelah puas bergumam, Lily beranjak segera ke kamar mandi untuk menyegarkan tubuhnya.
Keesokan paginya, Lily bangun pagi sekali. Ia memulai pekerjaannya di rumah itu sebagai asisten rumah tangga, karena pekerjaan memberi libur dua Minggu bekerja dua hari untuk libur.
Lily menggunakan waktu itu untuk mencari keberadaan suaminya, dengan berbekal alamat yang di berikan oleh Angga dulu.
Lily membantu Bibinya membuatkan sarapan pagi, lalu membersihkan ruangan tengah rumah yang sangat besar itu.
“Lily, kita sarapan dulu yuk. Nanti lagi lanjut kerjanya,” ujar Bibinya mengajak Lily untuk sarapan, karena sejak pagi Lily tidak berhenti bekerja.
Lily mengangguk.
Mereka makan di meja makan yang ada di dapur, meja tersebut memang di sediakan untuk para pekerja di rumah tersebut.
“Lily, memangnya kamu tahu alamat yang diberikan oleh suamimu?” tanya Bibinya di sela makan mereka.
Lily terdiam sejenak, lalu menggeleng kepala pelan.
“Kota ini besar, Li. Bibi akan coba bantu untuk mencari alamat itu. Semoga saja segera ketemu ya.”
Lily tersenyum mendengarnya, karena Bibinya mau membantunya.
“Tapi, kenapa suamimu tidak memberi kabar selama ini?”
“Lily kurang tahu, Bi. Lily sangat cemas, apakah Mas Angga baik-baik saja? Hingga sekarang nomornya tidak aktif sama sekali, Lily takut terjadi sesuatu dengannya,” sahutnya pelan, terlihat raut wajah cemas, sedih bercampur jadi satu.
“Apa kamu mempunyai foto suamimu? Saat kamu menikah, Bibi tidak datang. Karena pernikahan kalian begitu mendadak.”
Lily mengangguk, ia hendak mengeluarkan ponsel miliknya. Namun, terdengar suara majikannya memanggil Bibinya. Hingga mengurungkan niatnya untuk mengeluarkan ponselnya dari saku celananya.
“Bi,” panggil Jessica.
“Iya, Nyonya.”
“Oh lagi sarapan ya. Setelah selesai sarapan, Bibi tolong belanja ya untuk kebutuhan bulanan di dapur. Dua hari lagi suamiku akan pulang, tolong masak kesukaannya ya Bi,” ucap Jessica lembut.
“Iya, Nyonya.”
“Oh ya. Siapa namamu?” tanya Jessica pada Lily yang tengah duduk sarapan, Jessica menarik kursi lalu duduk di sebelahnya.
Walaupun sudah menjadi istri dari pemilik rumah ini, Jessica tidak pernah membedakan dirinya dengan orang yang bekerja di rumah itu.
Ia selalu sangat ramah dan sopan kepada orang yang ada di rumah itu.
“Nama saya Lily, Nyonya,” sahut Lily.
“Oh Lily. Selamat bekerja Lily di rumah ini,” ujarnya, lalu berpamitan dari dapur tersebut.
“Nyonya Jessica itu orangnya baik, Lily. Dia juga orang yang sangat sibuk jika suaminya tidak di rumah, ia mempunyai usaha butik yang cukup terkenal di kota ini. Tapi, jika ada suaminya, Nyonya malah jarang keluar kamar. Namanya juga pengantin baru,” ujar Bibinya terkekeh.
Lily tersenyum mendengar ocehan Bibinya tersebut, kini mereka kembali melanjutkan sarapannya.
***
Hari yang di tunggu-tunggu sudah tiba, Jessica berdandan secantik mungkin untuk menyambut kedatangan suaminya.
Suara deru mesin mobil berhenti di garasi, Jessica mengintip dari balik tirai jendelanya untuk memastikan bahwa mobil suaminya yang datang.
Namun, senyum yang semula terukir di bibir ranumnya langsung sirna, ketika melihat bukan mobil suaminya yang datang, melainkan mobil mertuanya.
Jessica segera menggantikan pakaiannya dengan pakaian yang sedikit tertutup, walaupun masih terkesan seksi. Namun, lebih layak dari sebelumnya hanya memakai lingeri.
“Jessica ...” panggil ibu mertuanya dari ruang tamu.
Jessi segera keluar kamar dengan langkah yang setengah berlari.
“Mama, kok datangnya mendadak?” tanya Jessi sembari menuruni anak tangga.
“Iya, Mama ingin memberikan kejutan untuk kalian. Dimana Nova?” tanya ibu mertuanya, karena tidak melihat mobil Nova di garasi.
“Belum datang, Ma. Mungkin sebentar lagi,” sahutnya.
Ibu mertuanya mengangguk.
“Bagaimana, apakah bulan ini sudah datang bulan?” pertanyaan tersebut berulang kali Jessi dengan dari mulut ibu mertuanya.
Jessica menggelengkan kepalanya.
“Bagaimana mau hamil, Nova sendiri sangat jarang menyentuhku! Bahkan ia tidur hanya beberapa kali di rumah, selama lima bulan pernikahan kami!” gumam Jessica dalam hati.
Memang benar adanya, Nova sangat jarang menyentuh istrinya. Jika mereka melakukan hubungan, itupun harus dengan paksaan oleh Jessica.
Tampak wanita setengah baya itu menghela napas berat.
“Ya sudah. Setelah Nova pulang, kalian harus periksa ke rumah sakit!” tegas ibunya.
Jessica hanya bisa mengangguk pasrah.
Pernikahan Jessica dan Nova, adalah hasil perjodohan di antara kedua orang tua mereka.
Karena harus menuruti kedua orang tua mereka, pernikahan itu terpaksa harus mereka lakukan.
Awalnya Nova menolak, hingga ibunya harus melakukan percobaan bunuh diri. Sehingga dengan terpaksa Nova menerimanya perjodohan tersebut.
“Kenapa kamu tidak ikut ke luar negeri? Untuk menemani suamimu. Apa hubungan kalian baik-baik saja?” tanya ibu mertuanya menatapnya dengan rasa penasaran.
Jessica tersenyum
“Hubungan kami baik-baik saja, Ma. Jessi harus ke butik Ma, pekerjaan Jessi sangat banyak. Mas Nova juga tidak mempermasalahkan jika Jessi tidak ikut,” sahut Jessi dengan nada lembut.
“Jaga kesehatan Sayang. Jangan terlalu cape, kamu harus segera hamil. Kedua orang tua kalian ini sangat ingin menimang cucu,” ujarnya mengusap rambut panjang Jessica yang sengaja di gerai.
Jessica hanya bisa memaksakan senyumnya mendengar ucapan mertuanya.
Sementara di dapur, Lily yang harus memasak makan siang. Karena, Bibi yang bisanya memasak untuk keluarga itu sedang sakit.
Bibinya meminta dirinya untuk memasak makan siang, karena ia sangat tahu. Jika, masakan Lily tidak kalah enaknya.
Dari dapur, sekilas Lily melihat Jessica majikannya dan seorang wanita paruh baya sedang berbincang hangat di ruang tamu.
“Mereka sangat akrab sekali, pasti itu Ibunya,” gumam Lily.
Lalu teringat pada ibunya yang sudah lama meninggalkan dunia.
Setelah selesai memasak, Lily Kembali mengerjakan pekerjaan yang lainnya. Setelah menyajikan makan siang di meja makan besar khusus untuk pemilik rumah tersebut.
Terdengar suara bel berbunyi. Lily berlari kecil hendak membuka pintu, akan tetap Jessi melarangnya. Karena dirinya sendiri yang ingin membukanya, karena ia tahu jika yang datang itu adalah suaminya.
Lily kembali melakukan pekerjaannya yang belum selesai, ia hanya melihat punggung pria itu menaiki tangga sembari bergandengan tangan dengan istrinya.
Sore hari, bel pintu kembali berbunyi. Karena tidak ada yang membuka pintu, Lily berlari kecil untuk segera membuka pintu.
Ceklek ...
Pintu terbuka dengan sempurna, wajah Lily tampak terkejut melihat pria yang ada di hadapannya.
Lily ingat betul wajah pria yang berdiri di hadapannya, pria yang bersaksi di pernikahannya dengan Angga.
“An-Andre ...” ucap Lily terbata.
Pria itu tampak tegang, bahkan ia sengaja membuang wajahnya ke arah lain.
“Maaf, saya permisi,” ucap pria tersebut melangkah masuk ke dalam rumah.
Lily tercengang, apakah dirinya tidak salah lihat? Wajah pria itu begitu mirip dengan wajah Andre teman dari suaminya.
Lily langsung tersadar, ia menoleh ke arah belakang.
Melihat punggung pria itu sudah masuk ke sebuah kamar, lalu menutup kamar tersebut.
“Aku tidak salah orang, Bukan? Aku sangat yakin, jika itu Andre,” gumam Lily dalam hati.
Sementara di kamar, Andre terduduk lemas. Ia sangat jelas melihat, jika wanita yang membuka pintu itu adalah Lily.
“Kenapa dia bisa ada di rumah ini?” gumamnya.
Berulang kali Andre menghela napas berat.
“Apa mereka sudah bertemu? Kenapa bisa kebetulan begini? Apa Nova sendiri yang membawa Lily ke rumah ini?” begitu banyak pertanyaan di kepala Andre.
“Arggh ... kacau ini!” seru Andre.
“Aku akan bicara pada Nova nanti,” ujarnya kembali mencari berkas yang ia simpan di ruangan tersebut.
Andre adalah asisten dari Nova, sekaligus temannya. Andre sudah menganggap rumah tersebut seperti rumah sendiri, dimana ia bisa bebas keluar masuk. Apalagi pekerjaan Nova, sering tangani olehnya sendiri jika sedang ada masalah.
Di kamar.
“Mas, kok lama sih pulangnya?” tanya Jessica memeluk suaminya dari arah belakang, karena Nova belum mengenakan pakaian setelah mandi, ia melepaskan dekapan tangan istrinya.
“Banyak pekerjaan,” sahut Nova dingin.
“Oh,” sahut Jessica singkat, lalu melangkah duduk di tepi kasur.
Nova ikut duduk di sebelah istrinya, sembari mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil.
“Mama baru saja pulang,” ujar Jessica sembari mengambil alih handuk di tangan suaminya.
Nova menatap Jessica sejenak, lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Jessica teringat akan ucapan ibu mertuanya tadi, jika mereka sangat menginginkan cucu segera.
Jessica segera mengunci pintu kamarnya, Nova mengernyit heran dengan melihat Jessica. Apalagi ia menatap Nova dengan tatapan menggoda.
“Mas,” panggil Jessica dengan suara mendayu, mulai meraba belakang leher suaminya
“Jess. Aku sedang tidak ingin!” tolak Nova.
Melihat tingkah istrinya tersebut, ia mengerti jika saat ini Jessica sedang menginginkannya.
Nova menepis pelan tangan Jessica yang menempel di bahunya, lalu beranjak dari tempat tidur dan melangkah ke luar kamar.
Jessica menatap kesal suaminya yang menolak dirinya, padahal mereka sudah lama tidak melakukannya.
Dengan napas yang naik turun, Jessica mengepalkan kedua tangannya. Matanya memerah menahan amarahnya, hingga air mata menetes keluar begitu saja.
Disisi lain, dirinya di tuntut oleh orang tua mereka untuk segera memberikan pewaris, tapi Nova selalu menolak jika mau melakukan hubungan suami istri.
Sejak lima bulan pernikahan, mereka melakukannya hanya beberapa kali saja.
Jessica melangkah sambil menghentakkan kakinya, menuju ke ruang kerja suaminya.
Bruakk!
Pintu di buka paksa oleh Jessica, Andre dan Nova terkejut lalu menoleh ke belakang. Nova melihat istrinya dengan wajah yang terlihat sangat marah.
“Ada apa ini Jess? Apa kamu tidak melihat, jika aku ....”
Belum sempat melanjutkan kata-katanya, ucapan Nova langsung di sela oleh istrinya.
“Aku minta cerai!” teriak Jessica histeris.
Nova yang mendengarnya langsung membulatkan matanya.
“Kamu ini bicara apa?!” kesal Nova lalu melangkah menarik istrinya untuk kembali ke kamar.
“Lepas!” teriak Jessica memberontak meminta Nova melepaskan genggaman tangan Nova.
“Diam!” bentak Nova.
Jessica langsung terdiam.
Untuk pertama kalinya, suaminya membentak dirinya.
Nova kembali menarik istrinya, untuk masuk ke kamar mereka.
Setibanya di kamar, Nova langsung melepas kasar tangan istrinya.
Ia mulai menanggalkan semua pakaiannya, hingga menyisakan boxernya saja.
“Ka-kamu mau apa?” tanya Jessica dengan gugup, ia perlahan mundur hingga tubuhnya terbentur tembok.
“Ini yang kamu mau, Bukan?” menarik tangan istrinya, lalu mendorong tubuh istrinya ke tempat tidur.
***
Lily yang sedang membersihkan area di dapur, sangat jelas mendengar teriakan tersebut. Dirinya berusaha untuk tidak mendengar suara keributan itu, dengan menutup kedua telinganya menggunakan tangannya.
“Lily,” panggil wanita paruh baya yang biasa di panggil Bibi olehnya.
“Iya, Bi.” Refleks Lily menoleh ke arah belakang, karena terkejut.
“Tolong antarkan dua kopi ke ruangan kerja, Tuan. Entahlah, kepalaku terasa masih pusing,” keluh Bibinya memegang kepalanya yang terasa masih pusing, wajahnya pun terlihat begitu pucat.
“Istirahat saja, Bi. Bibi beritahu aku ruangan kerjanya, biar aku yang mengantarnya,” ujar Lily.
Tangan lihainya mulai meracik kopi tersebut.
Setelah itu, ia melangkah pelan dengan nampan di tangnya. Perlahan menaiki tangga, menuju ruang kerja yang ada di lantai atas, sebelumnya bibi sudah memberitahunya dimana letak ruangan tersebut.
Tok ... Tok ...
Berulang kali Lily mengetuk pintu, akan tetapi tidak ada sahutan sama sekali.
Lily memutar pelan kenop pintu, lalu membuka pintu ruangan tersebut.
Lily mengedarkan pandangannya, memang tidak ada siapapun disana. Namun, Lily melihat salah satu laptop yang sedang menyala, lalu terdengar suara gemercik air dari kamar mandi.
Lily meletakkan nampan berisi kopi dan camilan tersebut di meja, lalu kembali melangkah keluar.
Saat hendak menuruni anak tangga, Lily samar-samar mendengar suara tangisan perempuan.
Sebelumnya ia mendengar keributan, ia berpikir jika terjadi sesuatu pada Jessica.
“Apa jangan-jangan Nyonya ....” menggantungkan ucapannya.
Tanpa pikir panjang, Lily melangkah mendekati kamar yang pintunya sedikit terbuka tersebut. Karena suara tersebut berasal dari sana, semakin dekat suara itu semakin jelas.
Namun, langkah Lily langsung terhenti ketika sudah di depan pintu. Tangannya mulai bersiap hendak membuka pintu kamar tersebut.
Suara tangisan yang ia dengar samar-samar tadi, kini berubah menjadi desa*an.
Tanpa sengaja, Lily melihat Nyonya Jessica dan suaminya sedang memadu kasih.
Beruntung keduanya saat itu memakai selimut, dengan posisi pria itu dia atas tubuhnya. Hanya punggungnya saja yang terlihat dan kaki jenjang Jessica di atas bahu suaminya.
Lily membulatkan matanya, Lalu segera pergi dari depan kamar tersebut dengan berlari kecil.
“Astaga! Aku tadi sangat jelas mendengar Nyonya Jessica menangis, tapi setelah dekat kenapa suara itu berubah!” gumam Lily kesal dengan dirinya sendiri.
***
Di kamar.
Nova dan Jessica baru saja menyelesaikan urusannya, Jessica menarik selimut untuk menutupi tubuh polosnya.
Jessica meringis merasakan sakit di bawah sana, kali ini Nova melakukannya dengan sangat kasar. Hingga dirinya tidak bisa menahan tangisnya, meskipun begitu Nova tidak peduli dengan tangis itu, ia tetap melakukannya.
Jessica membelakangi suaminya, sembari mengusap air matanya.
“Maafkan aku,” ucap Nova Lirih memeluk Jessica dari belakang.
“Jika kamu terpaksa menikah denganku! Kenapa kamu tidak menolak dulu?!” ujar Jessica dengan suara yang bergetar menahan tangis.
“Aku cape! Setiap bulan, Mama selalu menerorku dan selalu bertanya kapan aku mengandung! Aku cape!” keluh Jessica.
“Aku minta maaf. Aku hanya butuh waktu, hingga aku benar-benar menerima pernikahan ini. Aku ingin kita mulai dari awal lagi,” ujar Nova.
Nova terlihat merasa bersalah, atas apa yang telah ia lakukan pada Jessica saat ini.
Ia tahu, jika saat ini Jessica juga pasti tertekan dengan permintaan kedua orang tua mereka.
“Apa kamu yakin? Aku sudah siap, jika kamu ingin menceraikan aku!”
“Iya,” sahut Nova pelan sembari memejamkan matanya.
Walaupun tidak yakin dengan keputusan yang dia ambil saat ini, ia akan berusaha.
Mendengar itu, Jessica membalikkan tubuhnya lalu memeluk suaminya dengan wajah yang terlihat bahagia.
Setelah cukup lama berpelukan, mereka membersihkan tubuh mereka di kamar mandi.
Walaupun Nova masih tetap dingin pada istrinya, Jessica masih bisa tersenyum. Begitupun di depan orang tuanya, Jessica sering memperlihatkan kemesraan walaupun faktanya tidak seperti itu saat di belakang mereka.
“Mas, kita makan malam dulu. Bibi sudah memasak untuk kita, eh ... bukan Bibi yang memasak. Tapi, orang baru yang menggantikan adik sepupu Bibi untuk sementara. Masakannya tidak kalah enak,” ujar Jessica menggandeng tangan suaminya sembari menuruni tangga.
“Hm ...” deham Nova, karena tidak tertarik dengan ocehan istrinya.
Sesampainya di meja makan, Jessica mulia menyiapkan makanan untuk suaminya yang sudah di siapkan oleh Lily.
“Apa perlu saya bantu, Nyonya?” tanya Lily.
“Tidak. Kamu pasti leleh, istirahat saja.” Jessica menolak, karena melihat Lily sudah bekerja seharian untuk membersihkan rumah sebesar itu.
Mendengar suara Lily, Nova langsung terdiam bahkan mengernyit heran. Suara tersebut mengingatkannya pada seseorang.
Nova langsung menoleh, akan tetapi ia hanya melihat punggung Lily yang sudah masuk ke kamar mereka.
“Ada apa, Mas?” tanya Jessica melihat suami seperti sedang mencari seseorang.
Nova langsung menggelengkan kepalanya.
Nova melihat satu persatu makanan di meja makan yang tersusun rapi, semua makanan di meja tersebut adalah makanan kesukaannya.
Ia mulai memasukkan makanan tersebut ke dalam mulutnya, satu suapan sudah habis.
Nova langsung terdiam, setelah merasakan makanan tersebut, membuat Nova sukses menghentikan makannya.
Makanan yang mengingatkannya pada seseorang, makanan yang selalu ia makan setiap harinya dulu.
“Ada apa, Mas? Apa makanannya tidak enak?” tanya Jessica karena melihat suaminya berhenti makan.
“Tidak. Sepertinya aku tidak selera makan, aku kembali ke kamar.” Tanpa menunggu persetujuan dari Jessica, Nova beranjak dari tempat duduknya.
Jessica hanya bisa menghela napas kasar.
“Apa ada yang salah dengan makanan ini?” tanyanya dalam hati.
Jessica mengambil satu persatu lauk di atas meja tersebut, lalu mencicipinya.
“Makanannya enak kok.” Jessica Kembali bergumam, memuji masakan Lily.
Nova mengurungkan niatnya ingin ke kamar, ia malah melangkahkan kakinya ke ruang kerja menemui asisten sekaligus sahabatnya tersebut.
“Andre,” panggil Nova melihat sahabatnya tersenyum tengah fokus dengan layar laptopnya.
“Iya. Ada apa?” tanya Andre tanpa mengalihkan pandangannya.
“Oh ya, sebelum kamu berbicara, ada yang ingin aku tanyakan padamu.”
Sebelum melanjutkan percakapannya, Andre melirik pintu yang terbuka lebar. Lalu beranjak dari duduknya, melangkah untuk menutupi pintu dan menguncinya.
Dirinya hanya menghindari pertengkaran Nova dan Jessica, karena hampir setiap hari mereka selalu ribut hingga membuatnya sudah terbiasa mendengarnya selama lima bulan ini.
“Apa kamu tidak pernah memberi kabar pada Lily?” tanya Andre tanpa basa basi lagi.
Deg ...
Perkataan Andre membuatnya terdiam, selama tujuh bulan Nova tidak pernah mendengar suara Lily.
Nova menggeleng pelan.
“Sialan! Apa yang kamu inginkan sebenarnya? Kamu menikahi Lily, tapi kamu juga menikahi Jessica! Lalu kamu tinggalkan Lily begitu saja, tanpa memberi kabar padanya!” kesal Andre.
“Aku tidak meninggalkannya, aku juga masih sah suaminya. Tanpa aku harus menjelaskannya, kamu sudah pasti tahu alasannya! Kenapa aku harus menikah lagi? Aku juga selalu memberinya nafkah setiap bulannya,” sembari memijit pelipisnya.
“Dengan menggantungkan dirinya, janda bukan! Istri juga bukan. Dia bukan istri simpananmu, yang sesuka hatimu datang dan pergi! Atau sekedar memberi uang padanya, apa kamu merasa bersalah sedikitpun?”
“Bagaimana jika Lily menyusulmu ke kota dan mendapati kamu sudah menikah kembali?”
“Tidak mungkin. Aku memberikannya alamat yang salah,” pungkas Nova.
“Lepaskan Lily, jika kamu ingin hidup dengan Jessica. Kamu tidak bisa memilih keduanya, apalagi seluruh keluargamu belum mengetahui ini. Jangan menggantungkan statusnya,” usul Andre.
“Tidak! Aku tidak akan pernah menceraikannya!” tegas Nova.
Andre mengangguk kepalanya yang tidak gatal, harus bagaimana lagi menghadapi sahabatnya yang keras kepala.
Apalagi, dia sangat yakin. Wanita yang membukakan pintu untuknya tadi sore, itulah adalah Lily.
“Bagaimana jika seandainya Lily berada di rumah ini? Apa yang kamu lakukan?” tanya Andre lagi.
“Jangan menambah masalah! Lily tidak mungkin ke kota!” kesal Nova pada sahabatnya tersebut, bukannya membantunya. Malah membuatnya semakin tertekan, hingga menambah rasa bersalahnya pada Lily.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!