"Mas Yoga," lirihku saat membuka pintu kamar tamu.
Aku terdiam melihat kelakuan suamiku dengan wanita yang kusebut sebagai seorang sahabat. Aku yang ingin memberikan susu hangat untuk sahabatku sebelum tidur, disuguhkan dengan perbuatan yang tidak seharusnya dilakukan oleh seorang sahabat dengan suami sahabatnya.
Tanpa kusadari, nampan di tanganku jatuh begitu saja ke lantai, hingga membuat kegaduhan dalam kesunyian malam yang semakin larut.
Kegiatan mereka terhenti saat menyadari keberadaanku tepat di depan pintu kamar tamu.
"Yoga!" Suara ibu mertuaku menggema di seluruh sudut rumah.
Aku kaget mendengar teriakannya. Ibu mertuaku tak sengaja melihat apa yang tengah kulihat, saat dia melintasi kamar tamu.
Dengan langkah geram, ibu mertuaku menghampiri putra sulungnya yang berada di dalam kamar. Suamiku dan wanita yang telah kuanggap sebagai seorang kakak itu menutupi tubuh mereka yang terbuka dengan selimut.
"Kau!" bentak ibu mertuaku pada sahabatku sambil meruncingkan telunjuknya penuh emosi.
"Tinggalkan rumah ini sekarang juga!" perintah ibuku padanya.
Saat itu aku hanya diam terpaku, aku sendiri tidak tahu harus berbuat apa. Seluruh tubuhku terasa lemas, seakan nyawaku telah melayang entah ke mana. Seketika hidupku yang bahagia menjadi hampa.
****
Malam semakin larut, kesunyian malam berganti gaduh ulah suamiku. Anggota keluarga keluar dari kamar mereka, karena merasa terganggu dengan suara gaduh yang berasal dari ruang keluarga. Terdengar suara tamparan keras yang dilayangkan ibu mertuaku tepat di pipi putra sulungnya.
"Apa yang kau lakukan?" bentak wanita paruh baya yang telah melahirkan suamiku.
"Kau pria bodoh!" ibu mertuaku masih saja memaki suamiku.
Suasana menegangkan itu membuat seisi rumah hanya bisa diam, tak ada seorang pun yang bisa angkat bicara. Mereka tengah berusaha mencerna situasi.
Sementara itu, aku hanya sanggup berdiri diam mematung di dekat mereka. Ibu mertuaku mulai memukul-mukul dada bidang suamiku.
"Dasar anak bodoh!" ibu mertuaku mulai lelah, dia terisak menyesali perbuatan yang telah dilakukan oleh pria yang baru satu tahun menjadi pendamping hidupku.
Suamiku hanya diam, dia tidak dapat berbicara sepatah kata pun, mungkin saat ini dia juga mulai menyesal atas perbuatan yang telah dilakukannya.
Aku menyambut tubuh ibu mertuaku yang hampir roboh, bersamaan dengan itu suamiku yang tidak tega mellihat kondisi wanita yang paling berharga dalam hidupnya ikut membantuku menopang tubuh renta ibu mertuaku.
"Jangan sentuh aku!" bentak ibu mertuaku lagi tak ingin putra sulungnya menyentuh dirinya.
"Jangan pernah kau sentuh aku dengan tangan kotormu!" teriak sang ibu mertua menolak bantuan dari putranya.
Aku masih saja diam, dengan susah payah aku membawa ibu mertuaku duduk di sofa.
"Lihatlah wanita malang ini! Dia datang ke rumah ini meninggalkan keluarganya demi sebuah pernikahan. Tapi apa yang dilakukan putraku terhadap wanita ini. Hiks!" Ibu mertuaku kembali berbicara dengan nada pilu sambil menangkup wajahku.
Ibu mertuaku menatapku penuh dengan rasa iba dan kasihan. Malang sekali nasibku yang telah dikhianati oleh suamiku.
"Sudahlah, Bu!" ujar Rania adik iparku.
Dia menghampiri ibu mertuaku, dia memeluk erat ibunya. Dia mengelus pundak ibunya, mencoba memberi ketenangan pada ibu mertuaku yang masih terbalut api emosi.
Aku hanya menunduk menahan air mataku agar tak jatuh. Dalam hati yang terluka, aku tidak sanggup berkata-kata di hadapan semua anggota keluarga yang ikut menyaksikan amarah ibu mertuaku.
Aku sendiri, saat ini merasakan kehancuran. Pria yang berstatus sebagai suamiku, memberikan hadiah terpahit dalam hidupku di hari pesta anniversary pernikahan kami.
Pesta anniversary pernikahan kami yang dirayakan dengan meriah, sebagai wujud rasa syukur keharmonisan yang kami lalui selama satu tahun menjalani kehidupan rumah tangga. Dalam pernikahan kami, tidak pernah terjadi masalah sedikitpun.
"Alisya," lirih ibu mertuaku.
"Iya, Bu." Aku mendongakkan daguku melihat wanita yang sudah aku anggap sebagai ibu kandungku.
"Masuklah ke kamarmu! Ibu yakin, kamu pasti lelah," perintah ibu mertuaku sambil mengelus lembut puncak kepalaku.
Aku hanya mengangguk, lalu berdiri dan melangkah. Aku menatap kecewa ke arah suamiku, dan berlalu meninggalkan kegaduhan malam itu.
Di kamar ku hempaskan tubuhku ke atas tempat tidur, ku ambil guling lalu mencurahkan rasa sakit yang sedari tadi ku pendam.
"Kenapa, Mas? Kenapa kamu tega melakukan hal ini padaku?" gumamku dalam isak tangisku.
Aku pun tertidur dengan membawa luka yang dalam. Baru saja mataku terpejam, aku mendengar langkah seseorang masuk ke dalam kamarku.
Aku enggan untuk membalikkan tubuhku, karena aku tahu yang memasuki kamarku adalah suamiku. Dia ikut berbaring bersamaku di atas tempat tidur.
Dapat kurasakan tangannya mengelus lembut kepalaku, lalu dia meraih tubuhku memeluk erat tubuhku dari belakang.
"Maafkan aku!" samar-samar aku mendengar dia meminta maaf padaku.
****
Aku terbangun dari tidurku, ku lihat jam di dinding kamarku. Jarum jam menunjukkan pukul 03.05 pagi. Kulihat Mas Yoga masih tertidur di sampingku.
Aku beranjak melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhku.
Amarah dan emosi masih kupendam, aku tak ingin membuang energi di pagi buta ini.
Setelah mandi, aku langsung menunaikan ibadah shalat sunat yaitu shalat tahajud. Aku meluapkan rasa luka dan kecewaku pada sang Pemilik hati. Aku berdo'a dan melantunkan ayat suci al-qur'an sambil menunggu waktu subuh masuk.
Aku langsung menunaikan ibadah shalat subuh setelah azan mulai berkumandang. Ku tunaikan kewajibanku sebagai seorang muslimah.
Setelah shalat, aku mengenakan hijabku, lalu mengambil koper milikku.
Ku keluarkan semua pakaian milikku dari lemari dan kumasukkan ke dalam koperku.
"Alisya!" panggil suamiku yang terbangun dari tidurnya.
Seketika aku menghentikan kegiatanku. Aku menoleh padanya.
"Apa yang kau lakukan?" tanya suamiku, dia menghampiriku.
"Kamu tahu apa yang aku lakukan ,Mas," jawabku.
"Untuk apa semua ini?" tanyanya lagi.
"Kamu mengerti dan paham sekali dengan apa yang aku lakukan, Mas." Suaraku mulai bergetar menahan tangis.
Mas Yoga mendekatiku lalu menggenggam tanganku.
"Lepaskan aku!" pintaku tegas, ku hempaskan tangannya.
"Aku bisa jelaskan semuanya," ujar Mas Yoga.
"Tidak ada lagi yang harus kamu jelaskan, Mas. Semua yang aku lihat cukup membuatku mengerti tanpa penjelasan sedikitpun darimu." Bergegas aku memasukkan pakaianku ke dalam koper milikku.
Aku melangkah keluar dari kamar sambil menyeret koperku.
Dia mengejarku, dia menarik lenganku.
"Maafkan aku," gumamnya pelan yang masih dapat terdengar oleh inderaku
"Katakan, sejak kapan kamu menjalin hubungan dengannya?" tanyaku yang tiba-tiba berani mengungkap isi hatiku yang semalaman ini bergejolak ingin mengetahui perihal perselingkuhannya.
"Aku," dia masih belum bisa menjawab pertanyaanku.
"Apakah kau sadar siapa wanita itu, Mas!" bentakku seketika amarahku mulai tak terkendali.
"Kau tak perlu meminta maaf padaku, akan kubiarkan kau hidup bersama dia," jariku menahan sesak di dada
Dia bergeming, mas Yoga hanya menatapku. Saat itu syaitan menguasai diriku, aku menampar pipinya dengan keras.
"Aku benci padamu, Mas!" teriakku.
"Aku benci!"
Aku mulai memaki-maki suamiku, meluapkan amarahku padanya.
Tanpa kusadari, air mataku mengucur deras di pipiku, air mata yang semalam ini kutahan akhirnya tumpah juga.
"Hiks," aku menangis mengingat pebuatan yang dilakukan suamiku di kamar sahabatku usai acara pesta anniversary pernikahanku.
Bayangan pria yang sangat ku cintai tengah bercumbu dengan sahabat terdekatku menari-nari di dalam benakku.
Kini di dalam kamarku hanya terdengar isakkan tangisku, setelah puas aku menangis di hadapannya. Aku berdiri, dan melangkah mengambil koperku.
"Alisya, Jangan tinggalkan aku!" pinta Mas Yoga padaku panik.
"Lebih baik aku pergi dari kehidupanmu, Mas. Agar kamu puas berhubungan dengannya," ujarku.
Aku melangkah keluar kamar sambil mendorong koperku.
"Alisya, kita bisa bicarakan masalah ini baik-baik," pinta suamiku berusaha menghalangi kepergianku.
"Tidak ada lagi yang harus kita bicarakan, semua sudah jelas!" ucapku tegas.
Langkahku belum sampai di depan pintu kamar.
"Alisya!" Terdengar samar teriakan suamiku, dan aku pun tak tahu apa-apa setelah itu.
Bersambung...
Yoga Pov
Ku berlari mengejar istriku yang tiba-tiba ambruk saat dia membuka pintu kamar kami. Ku angkat kepalanya dan kudekap dia dalam pelukkanku.
"Sya, bangun!" seruku berusaha membangunkan istriku yang tak sadarkan diri.
"Alisya!" pekik ibuku histeris melihat menantu kesayangannya.
"Yoga! Apa yang kamu lakukan pada Alisya?" bentak Ibuku penuh emosi.
Sejak kemarin malam, ibuku benar-benar sangat marah dan benci padaku. Mungkin saat ini dia sangat membenciku karena kesalahanku. Entah masih dianggapnya aku sebagai putranya atau tidak aku pun juga tidak tahu.
"A-aku tidak tahu, Bu." Aku menggelengkan kepalaku.
"Kamu apakan dia? Hah?" Sekali lagi Ibuku membentakku penuh amarah.
"Aku tidak me-" Belum usai aku membela diri, Ibuku memotong ucapanku.
"Sudahlah, pergi kamu dari sini!" Lagi dan lagi ibu kandungku membentakku.
Bahkan kali ini dia telah mengusirku.
"Bu," lirihku memohon.
"Minggir, pergi dari hadapanku!" bentak wanita yang telah melahirkanku itu.
Dia mendorong tubuhku, dan membawa Alisya ke pangkuannya.
"Ujang! Lastri!" teriaknya memanggil pelayan di rumah kami.
Tak berapa lama, terlihat Lastri dan Ujang tergopoh-gopoh menghampiri ibuku dan Alisya.
Sedangkan aku melangkah pelan menjauh dari mereka. Tak ingin ibuku semakin marah terhadapku.
"Ujang, tolong angkat Alisya ke atas tempat tidur!" perintah ibuku pada Ujang.
Ujang pun langsung mengangkat Alisya masuk ke dalam kamar, dan membaringkannya di atas kasur. Diikuti oleh ibuku dari belakang.
"Lastri, kamu hubungi dokter Mira sekarang juga!" perintahnya pada Lastri.
"Baik, Nyonya!" sahut Lastri lalu dia pun melangkah tergesa-gesa mengambil onselnya yang tertinggal di kamar.
"Tutup pintunya, Jang!" perintah ibuku saat dia menangkap diriku di sela pintu yang sedikit terbuka.
Tatapan ibuku penuh kebencian terhadapku, akankah aku akan kehilangan semua keluargaku. Aku tahu ini semua salahku, tapi rasa cintaku pada sahabat istriku hadir begitu saja. Dan aku tak sanggup mengendalikan perasaanku padanya.
Aku melangkah keluar rumah, mungkin saat ini pergi dari rumah untuk sementara waktu akan lebih baik bagiku. Aku akan menyelesaikan masalah ini setelah situasi mulai aman.
Aku memasuki mobilku lalu melajukannya meninggalkan kediaman keluarga besarku. Seketika aku teringat pada Tania. Ku ambil ponselku dari dalam saku celana, ku tekan kontak Tania.
"Halo," ujar Tania saat panggilan telah tersambung.
"Tania, di mana kau saat ini?" tanyaku khawatir padanya.
"Mas Yoga, aku-" Dia tak menyelesaikan ucapannya.
"Siapa yang menghubungimu?" terdengar suara seorang pria berbicara padanya.
"Ti-tidak siapa-siapa," lirih Tania takut.
"Tania, Apa kau baik-baik saja?" tanyaku panik.
"Ti-tidak, ma-maafkan a-aku," Tania terbata-bata menjawab pertanyaan pria itu.
Aku mulai mengkhawatirkannya, panggilan terputus. Aku langsung menyambungkan GPS ponsel Tania ke ponselku untuk mengetahui keberadaannya saat ini, bersyukur aku sempat menyetel GPS ponselnya pada ponselku waktu itu.
Aku langsung melajukan mobilku menuju lokasi keberadaan Tania saat ini, sesaat aku lupa akan masalah di rumah dan kondisi istriku. Hatiku hanya mengkhawatirkan wanita yang jelas-jelas bukan muhrimku.
Aku sampai di sebuah rumah sederhana, tidak kecil dan juga tidak terlalu besar. Rumah yang memiliki halaman dan pekarangan yang luas. Sesuai petunjuk GPS, Tania berada di dalam rumah itu. Aku memarkirkan mobilku tak jauh dari rumah tersebut.
Aku turun dari mobilku, dan melangkah mendekati pagar rumah itu. Aku masuk ke dalam kebetulan pagarnya tidak terkunci.
"Mas, Tolong jangan lakukan ini padaku!" terdengar jelas suara Tania tengah memohon dari dalam rumah.
Ku percepat langkahku masuk ke dalam rumah itu. Sepertinya tengah terjadi perdebatan di antara mereka.
"Apa kau pikir aku akan membiarkanmu bebas begitu saja setelah menghilang berbulan-bulan tanpa kabar? Hah?" bentak seorang pria padanya.
"Kau pergi tanpa izin dariku, kali ini aku takkan melepaskanmu. Aku akan mengurungmu di rumah ini." Pria itu berbicara kasar pada Tania.
"Mas, aku tak mau mengikuti keinginanmu! Aku ini istrimu!" jelas terdengar suara Tania.
Mendengar percakapan mereka, aku yakin pria itu adalah suami Tania. Aku tak dapat melihat wajah pria itu karena posisinya tengah membelakangiku.
Entah masalah apa yang kini mereka perdebatkan, yang aku cerna dengan otakku saat ini adalah suami Tania tengah memaksa Tania untuk melakukan sesuatu yang Tidak diinginkan oleh Tania.
Aku terus mengamati sepasang suami istri itu berdebat, perdebatan mereka semakin tegang. Aku ragu untuk menghentikan mereka, karena saat ini aku berada dalam posisi yang salah. Aku akan hancur jika berbuat gegabah.
Akhirnya aku memilih untuk keluar dari rumah itu, lebih baik aku menunggu di luar dan memantau keadaan Tania dari luar. Aku akan menghubunginya nanti setelah situasi mereka sudah tenang.
Kini aku sudah duduk di dalam mobilku, ku kirimkan pesan pada Tania.
[Tania.]
[Apakah kau baik-baik saja?]
Pesanku terkirim, tapi belum terlihat centang dua berwarna biru. Mungkin Tania masih berdebat dengan suaminya itu. Aku masih setia menunggu kabar dari Tania.
Satu jam berlalu, aku masih berada di depan rumah Tania. Aku menunggu kabar darinya. Aku hanya ingin memastikan keadaannya.
[Iya, Mas Yoga.]
[Aku baik-baik saja.]
[Kamu di mana?]
Ponselku berdering menandakan pesan masuk, segera kubuka ponselku. Ku baca pesan dari Tania. Aku bersyukur lega saat mengetahui keadaannya baik-baik saja.
[Aku di depan rumahmu.]
[Ada masalah apa dengan suamimu?]
Aku mempertanyakan perihal perdebatan yang terjadi di antara dia dan suaminya.
[Kamu tahu dari mana, Mas?]
Dia tidak menjawab pertanyaanku, malahan dia bertanya balik padaku.
[Aku sempat masuk ke dalam rumahmu, dan melihat perdebatan yang terjadi di antara kamu dan suamimu.]
Aku jujur padanya dengan apa yang baru saja aku lakukan.
[Mas Yoga dengar apa aja?]
Aku megernyitkan dahiku heran.
[Nggak banyak, suara kalian tak terdengar begitu jelas.]
[Ada masalah apa?]
Tanyaku padanya penasaran, karena saat aku melihat mereka berdebat tak banyak yang dapat di tangkap oleh pendengaranku. Aku hanya menyaksikan Tania memelas dan memohon pada suaminya.
[Suamiku ingin menjualku pada temannya, Mas.]
Aku kaget mengetahui niat jahat suami Tania.
[Kamu harus keluar dari rumah tu sekarang juga!]
Pintaku mengkhawatirkan keadaan Tania.
[Iya, Mas. Tapi, saat ini aku belum bisa kabur.]
[Mas Yoga mau, kan bantuin aku?]
[Aku akan cari waktu yang tepat, nanti aku hubungi kamu lagi.]
Aku tak lagi membalas pesan dari Tania, aku melajukan mobilku meinggalkan rumah Tania dan suaminya karena saat ini aku merasa yakin Tania baik-baik saja. Dan dia pasti dalam pengawasan ketat oleh suaminya.
Sepanjang perjalanan aku memikirkan Tania. Namun tak sedikitpun aku teringat pada istriku yang tadi kutinggalkan dalam keadaan tidak baik-baik saja.
Sejak Tania masuk ke dalam rumah kami, aku mulai merasakan seuatu yang aneh dan tak dapat kukendalikan. Banyak hal yang terjadi di antara diriku dan dirinya yang membuat kami semakin hari semakin dekat sehingga aku melupakan bahwa aku adalah seorang suami dari wanita yang di panggil sahabat oleh Tania.
Hari semakin petang, perlahan langit jingga berganti gelap. Aku memilih untuk menginap di hotel. Dalam situasi rumah yang masih panas, meninggalkan rumah sementara adalah keputusan yang tepat untukku. Aku yakin, Alisya akan dijaga oleh Ibu dan keluargaku karena dia adalah satu-satunya menantu yang sangat disayangi oleh keluarga besarku.
Dan aku juga yakin, keluargaku tak akan mengizinkan Alisya keluar dari rumah.
Setelah chek-in, aku langsung melangkah menuju kamar yang sudah ku pesan. Di kamar hotel aku langsung masuk ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhku, bersyukur aku membawa pakaian ganti yang selalu adai di dalam mobilku.
Setelah tubuhku terasa segar, Aku mengambil posisi berbaring di atas tempat tidur sambil membuka ponsel. Kulihat Rania sedang aktif, cepat aku mengirimi dia pesan.
[Dek,]
Pesan ku kirimkan.
[Mas Yoga.]
[Kamu di mana?]
Aku bingung harus menjawab apa.
[Gimana kabar di rumah, Dek?]
Ku abaikan pertanyaannya.
[Di rumah, saat ini .... ]
Rania tak lagi melanjutka tulisannya.
Apa sebenarnya yang tengah terjadi di rumah? Rasa penasaran mulai menghantuiku. Bagaimana keadaan Alisya sekarang?
Bersambung...
[Dek, ada apa di rumah?]
[Kasih tahu aku. Dong!]
Rania tak lagi membalas pesanku, dia hanya membaca pesan dariku tanpa menjawab pertanyaan yang kuberikan.
Rasa penasaranku memaksaku untuk menelponnya, berkali-kali aku menghubunginya. Namun, satu panggilan dariku tak kunjung diangkatnya.
Entah apa alasannya, aku sendiri tak tahu. Padahal dia masih aktif di sosial media ya.
Aku pun mecoba menghubungi Buk Lastri dan Pak Ujang pelayan setia di rumah kami, tapi mereka juga tidak mengangkat panggilan dariku. Akhirnya aku tak tahu apa yang terjadi di rumah saat ini.
Sepanjang malam, ku lalui dengan rasa penasaran. Sehingga aku pun tak dapat tidur dengan nyenyak.
****
Pagi ini aku bangun dengan kepala yang berat, rasa kantuk masih menyerangku akibat semalaman tak bisa tidur memikirkan apa yang kini terjadi di rumah.
Aku bangkit dari tempat tidur, lalu ku melangkah menuju kamar mandi untuk menyegarkan tubuhku yang terasa sangat lemas.
Setelah merasa lebih segar, aku keluar dari kamar hotel. Pikiranku saat ini tertuju ke rumah, hingga aku lupa untuk sarapan sekedar mengisi perutku yang kosong.
Sesampai di parkiran aku langsung melajukan mobilku menuju kediaman keluarga besarku. Di rumah yang besar itu kami tinggal bersama. Mulai dari Kakek dan Nenek, Paman dan Bibi, serta keluargaku di minta oleh kakek untuk tetap tinggal di rumah besar milik keluarga Herlambang.
Kakek sengaja menyuruh anak-anak dan cucunya untuk tinggal di rumah besar yang dengan susah payah dibangunnya. Dia tak ingin anak-anak dan cucu-cucunya merasakan pahitnya tidak memiliki rumah seperti yang pernah dialaminya.
Kakek juga berusaha bersikap adil di dalam keluarga sehingga tercipta nuansa damai dan rukun di dalam keluarga besar Herlambang.
Aku memarkirkan mobilku di depan rumah besar milik keluarga Herlambang. Aku turun dari mobil lalu bergegas masuk ke dalam rumah.
Saat aku memasuki rumah, suasana hening tercipta. Semua anggota keluarga yang tadi berkumpul bercengkrama di ruang keluarga, satu per satu mereka beranjak pergi ke kamar masing-masing. Hanya saja di antara mereka, aku tak mendapati Aisya istriku.
"Bu!" Aku memanggil ibuku sebelum masuk ke dalam kamarnya.
Langkah Ibuku terhenti tepat di depan pintu kamarnya diikuti oleh Ayahku.
Mereka membalikkan tubuh menghadap padaku, aku langsung menghampiri mereka.
"Yah, Bu! Maafkan aku," ujarku memelas.
"Yoga, tak seharusnya kamu meminta maaf pada kami. Minta maaflah pada istrimu!" ujar Ayahku dengan tegas.
Aku menundukkan kepalaku, "Alisya di mana, Bu?" Aku memberanikan diri untuk bertanya keberadaanku di saat tatapan kedua orang tuaku bagaikan pedang menghunus jantungku.
"Entahlah," lirih ibuku, lalu dia meninggalkanku begitu saja.
Ibu kini benar-benar tak peduli padaku.
"Alisya!" teriakku, aku bergegas melangkah menuju kamarku.
Ku buka pintu kamarku, ku edarkan pandanganku ke seluruh sudut kamar. Aku tak dapat menemukan istriku di sana.
"Alisya!" Aku terus memanggil nama yang telah kulafalkan di ijab kabul satu tahun yang lalu.
Bergegas aku melangkah menuju kamar mandi untuk memastikan keberadaan sang istri di sana.
"Alisya!" teriakku setelah tahu di dalam kamar mandi tak ada seorang pun di sana.
Aku terjatuh lemas di dalam kamar mandi, aku menyesali kepergianku kemarin. Ku remas kepalaku kasar berusaha berpikir tentang keberadaan Alisya saat ini.
"Arrghh," teriakanku menggema di seluruh sudut kamar.
Aku meraih ponselku dari saku celana, aku mencoba men-dial panggilan kontak istriku. Namun, ponsel istriku tak aktif sama sekali.
"Kamu di mana, Sya??" gumamku pelan.
Tanpa pikir panjang aku kembali menguatkan tubuhku dengan tenaga yang tersisa, aku melangkah keluar rumah. Ku ambil mobilku lalu aku melajukan mobilku keluar dari pekarangan rumah besar milik keluargaku.
Haya satu tempat yang aku yakini bahwa istriku berada di sana, ku lajukan mobilku dengan kecepatan tinggi. Aku ingin memastikan keberadaan istriku.
Rasa khawatir menyelinap di hatiku tapi rasa khawatir itu berbeda dengan perasaan khawatir yang kemarin aku rasakan pada Tania. Aku sendiri bingung dengan diriku dan hatiku saat ini.
Terus ku lajukan mobilku dengan kecepatan tinggi membelah jalanan tol.
Tak lagi aku memikirkan keselamatanku, aku hanya ingin cepat sampai, dan aku ingin meminta maaf pada istriku.
Jika dia ingin meninggalkanku hal itu tak jadi masalah bagiku. Yang terpenting saat ini hanya maaf darinya.
Dua jam perjalanan ku tempuh dari Jakarta menuju Bandung kampung halaman Istriku. Aku menghentikan mobilku saat memasuki sebuah rumah sederhana yang terkesan megah dengan desain modern.
"Mas Yoga!" sapa seorang tukang kebun menghampiriku.
Mungkin dia melihat kedatangan ku saat membersihkan kebun.
"Iya, Mang Dudung," balasku dengan ramah.
"Pa kabar, Mas?" tanya pria paruh baya yang bernama Dudung itu.
"Baik, Pak. Pak Dudung apa kabar?" tanyaku sekedar berbasa-basi.
"Baik, Mas," jawabnya sopan.
"Ibu Fatimah ada, Pak?" tanyaku padanyaa.
"Ada, silakan masuk, Mas!" Pak Dudung mempersilakan aku masuk ke dalam rumah.
Aku mengikuti langkahnya yang membukakan pintu rumah sederhana milik mertuaku. Aku yakin istriku berada di rumah ini. Dia tak mungkin pergi ke mana-mana selain ke sini.
"Assalamu'alaikum," ucapku saat memasuki rumah.
"Wa'alaikum salam," jawab Ibu Fatimah, ibu mertuaku.
"Apa kabar, Bu?" tanyaku basa-basi.
"Baik, Yoga. Kamu sendiri?" tanya Bu Fatimah sambil celingukkan mencari seseorang di belakangku.
"Mhm, iya, Bu." Aku mulai meragukan keberadaan Alisya di rumah ini.
"Alisya?" tanya Bu Fatimah.
Aku kaget saat mendapati pertanyaan ibu mertuaku, apakah itu artinya Alisya tak ada di rumah ini?
"Mhm, dia di Jakarta, Bu." Aku terpaksa berbohong.
Melihat situasinya, Ibu mertuaku belum mengetahui masalah yang terjadi di antara aku dan istriku.
"Oh, ya udah kamu duduk dulu!" titah ibu mertuaku.
Ibu Fatimah melangkah meninggalkanku menuju dapur.
Aku pun menghempaskan tubuhku di sofa empuk yang ada di ruang tamu. Aku menghela napas panjang sambil memikirkan keberadaan Alisya.
Aku pun mengeluarkan ponselku, aku mencoba melacak keberadaan istriku dengan GPS yang telah ku sambungkan ke ponselnya. Namun, hal itu sia-sia karena nomor ponselnya sudah tidak aktif.
"Tumben kamu datang?" tanya Bu Fatimah yang datang membawakanku secangkir teh dan beberapa potong cake.
"Kebetulan aku ada kerjaan di sini, Bu. Makanya aku mampir jengukkin Ibu," ujarku.
"Oh begitu, sudah lama kalian tidak datang ke sini. Ibu kangen, apalagi pesta kalian kemarin Ibu tidak bisa hadir,"ujar Bu Fatimah padaku.
"Iya, Bu. Lain kali kami usahakan datang dan menginap." Hanya iu kata-kata yang keluar dari bibirku.
Pikiranku saat ini kembali tertuju pada keberadaan Alisya. Apa sebenarnya yang telah terjadi saat aku meninggalkan rumah? Pertanyaan itu terus berputar di benakku.
"Yoga?" Ibu mertuaku membuyarkan lamunanku.
"Eh iya, Bu," lirihku gugup.
Ibu mertuaku mulai menatapku curiga, bunyi ponselnya membuat dia mengalihkan perhatiannya dariku.
Dia menautkan kedua alisnya, lalu menekan tombol hijau.
"Halo," lirihnya saat panggilan telah tersambung
"Alisya?" pekiknya kaget.
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!