NovelToon NovelToon

Dendam Cinta Sang Mafia

Tragedi malam itu.

Pagi hari itu cukup indah, dengan udaranya yang begitu segar dan mentari yang bersinar begitu cerah menyilaukan mata seorang pria yang baru saja keluar dari rumah tahanan yang telah mengurungnya selama Lima tahun belakangan. Seorang pria keluar dari gerbang dengan menghirup napas begitu dalam untuk merayakan kebebasan dirinya dari kurungan penjara. 

Sebenarnya Tujuh tahun, karena dikurangi masa tahanan, remisi serta kelakuan baiknya selama didalam sana. Dengan jaket levis yang lusuh dan tas ransel yang Ia sandang, Ia keluar dari pintu gerbang dari diberi penghormatan terakhir oleh beberapa penjaga disana. 

Dialah Arga Sbastian Nugraha, yang kini telah berusia 29tahun sejak kasus penangkapan itu. Ia difitnah oleh musuhnya, bahwa Ia telah membunuh Ayah dari pacarnya secara tragis dimalam Ia akan melamar kekasihnya yang bernama Sofia Arandita yang telah dipacarinya sejak Dua tahun berlalu.

Kejadian itu hingga kini masih amat lekat dalam ingatan, saat itu bahkan sofi sama sekali tak mau mendengar penjelasan apapun darinya dan lebih memilih mendengarkan orang lain. Menyisakan sesak dan rasa sakit teramat dalam hingga membuatnya menyimpan dendam pada mereka yang membuatnya seperti ini. karier, usaha, dan semuanya  nyaris hancur gara-gara gelas baru yang Ia dapat secara keji dan bersumpah akan membalas rasa sakit yang Ia dapatkan.

Lima tahun lalu.

Saat itu Arga masih menjadi pria yang ceria, pekerja keras dan humble terhadap para sahabatnya. Ia meneruskan usaha yang dibangun bersama sang ayah, menjadi salah satu pengusaha muda yang diakui kinerjanya baik dalam setiap proyek yang Ia pegang. Dengan prestasi itu, amat mudah Ia mengembangkan bisnis ayahnya itu, dan terbukti sejak beberapa tahun kiprahnya Ia dapat menjadikan perusahaan itu bertaraf internasional dan diakui diberbagai negara besar di dunia.

Sebuah cincin dengan mata berlian indah Arga keluarkan dari saku jasnya. Ia baru saja pulang dari kantor saat itu, sengaja mengatur janji dengan Sofi untuk dinner bersama ayahnya. Yang saat itu Ia berencana untuk melamar sofi langsung pada sang calon mertua, karena hubungan mereka sudah cukup lama berjalan. 

"Sayang, kamu dimana?" tanya Arga lewat teleponnya. Wajahnya tampak semringah saat menghubungi kekasih hati yang sebentar lagi akan menjadi istrinya itu. Ia yakin, karena sejak awal ayah Sofi sama sekali tak pernah menentang hubungan mereka dan bahkan terkesan mendukung penuh hingga ke jenjang berikutnya.

"Masih di Rumah sakit, Sayang. Kamu duluan aja, Ayah katanya udah disana nungguin kamu." jawab Sofi, yang kebetulan ia adalah seorang dokter disebuah Rumah sakit ternama dikotanya. Meski masih Dokter umum, tapi prestasi dan kinerjanya cukup baik dikalangan teman sebaya dan seniornya.

 Sementara Ayah sofi sendiri adalah seorang dokter bedah senior yang mendekati masa pensiunnya. Maka saat mendengar Arga akan melamar Sofi, Ia amat senang dan mendukung mereka sepenuhnya karena Ia sudah amat ingin menimang cucu dari putri semata wayangnya itu.

Arga tiba di Restaurant mewah dimana Ia telah memesan tempat yang istimewa dilantai paling atas dengan suasana romantis kesukaan kekasihnya. Mereka akan berdansa diiringi taburan bintang dan pemandangan kota yang indah rencananya, disaksikan calon ayah mertua mereka yang akan ikut bahagia dengan bahagianya mereka nanti.

"Malam, Tuan Arga." sambut seorang manager yang memang sudah mengenalnya dan Sofi, karena Restaurant itu adalan tempat favorit mereka berdua.

"Calon mertua saya, sudah diatas?" tanya Arga.

"Ya, sudah sejak Lima belas menit yang lalu, Tuan. Silahkan naik keatas," balasnya dengan ramah. Arga mengangguk dan dengan semangatnya segera naik menuju tempat yang telah direncanakan sebelumnya. 

Arga menghela napasnya sekali lagi. Rasanya begitu berdebar untuk menghadapi moment besar dalam hidupnya ini, meski mereka sebenarnya sudah begitu dekat dan akrab. Rasanya seperti saat pertama Sofi memeperkenalkannya pada sang ayah saat mereka baru saja mengikat hubungan.

Dorrr!! Dorrr!! bunyi suara tembakan terdengar saat Arga akan membuka pintu menuju tempat itu. 

Matanya seketika membulat dan tangannya gemetar karena suaranya terdengar begitu nyata dan dekat ditelinganya. Perlahan, Ia memutar handle pintu dan membukanya dengan segala kekuatan yang Ia miliki. Ia tak pernah takut pada senjata, tapi saat itu berhubungan dengan calon mertuanya dan entah kenapa seketika membuatnya sedikit lemah.

Aku bukan pelakunya!

"Pak Ridwan!!" pekik Arga yang menyaksikan sang calon mertua tersungkur bersimbah darah disekujur tubuhnya. Ia tampak amat lemah dengan napasnya yang putus-putus, sepertinya si pelaku menembak tepat pada titik vital Pak Ridwan hingga dengan cepat melemahkannya saat itu.

"Arga_..." ucap pak ridwan dengan suara seraknya. Ia mengulurkan tangan pada Arga, dan pria itu segera menyambutnya dengan dengan segala rasa cemas yang ada.

"Pak... Siapa yang melakukan ini pada Bapak? Kenapa begini?"  tanya Arga pada calon mertuanya itu. Pak ridwan seolah kehabisan tenaga seketika dengan segala lukanya, jantungnya mulai terasa lemah begitu juga dengan irama napasnya. 

"Hans_...." lirih Pak Ridwan yang berbisik ditelinga Arga dengan sisa tenaganya. Dan kebetulan, Arga melihat sebuah pistol yang ada disana dan tak sengaja menyentuhnya.

"Ini senjatanya? Hans?" Arga terasa gamang dengan ucapan Pak Ridwan saat itu. Hans adalah sahabat Sofi dan Arga selama ini, bagaimana bisa Hans melakukan ini pada pria yang sudah Ia anggap sebagai ayahnya sendiri selama ini.

"Pak... Pak bagun, Pak. Kuat  Pak, Arga akan bawa Bapak ke Rumah sakit." ucap arga penuh dengan permohonan. Tapi seolah telat, karena benar-benar tepat diorgan vital Pak ridwan saat itu. 

Pak Ridwan tampak menghembuskan napasnya beberapa kali, hingga yang terakhir Ia hirup dan tak pernah Ia hembuskan lagi pada akhrinya.

"Tidak.. Tidak... Tidaaaakk!! Pak Ridwan, bangun Pak!" pekik Arga saat itu yang mulai berderai air mata. Ia menepuk-nepuk pipi calon mertuanya dengan kuat, tapi percuma karena sudah begitu lemah tanpa nyawa.

"Paaaak!!!" Arga syok, calon mertuanya menghembuskan napas terakhir dipangkuannya saat ini. Ia bingung sendiri harus bagaimana dengan semua yang ada didepan mata, bahkan tubuhnya seolah membeku tak mampu bergerak sedikitpun. Hingga Sofi datang dan memekik sekuat tenaganya dari belakang mereka saat itu.

"AAAAARRRGGGHHH!! Ayaaaah!!" Sofi memekik dan begtiu syok dengan apa yang Ia lihat saat ini. Terlebih lagi dengan kenyataan bahwa senjata itu ada dalam genggaman Arga dengan tangan yang berlumuran darah dari sang ayah.

Sofi langsung berlari menghampiri keduanya. Ia langsung meraih tubuh sang ayah yang semula dipeluk Arga dan kini berada ditangannya dengan sudah tanpa nyawa. Sofi terus saja histeris seola kehilangan akal, tak perduli dengan semua orang yang menatapnya saat ini, bahkan Ia tak perduli jika Arga masih ada disana. 

Tangisnya begitu pilu kehilangan orang tua satu-satunya yang Ia miliki saat ini. Ayah yang selama ini mendidiknya dengan baik seorang diri tanpa bantuan sang ibu, dengan perjalanan karirnya yang berat dan bahkan harus menitipkannya pada tetangga karena kejar lembur. Ia ingat perjuangan berat sang ayah untuknya yang berjuang keras hingga menjadi seperti ini.

"Ayaah... Bangun, Yah. Ayah kenapa? Ayah kenapa tinggalim sofi seperti ini, Ayah?" tangisnya pecah sejai-jadinya saat itu, memeluk dan mencium tubuh lemah ayahnya meski banyak darah disana. Ia seolah tak melihat Arga, yang sebenarnya tak kalah syok dengan dirinya disana.

"S-sofi_..." panggil Arga dengan gugup. Tapi saat itu Sofi justru menatapnya nyalang penuh kebencian, seperti Ia menuduh Arga sebagai penyebab kematian Ayahnya. Ia mengulurkan tangan untuk meraih tangan Sofi saat itu, berniat untuk meredakan sedikit tangisnya yang amat menyakitkan. Tapi, sofi menghempaskannya dengan begitu kasar.

"Kamu, Mas. Kenapa kamu lakukan ini sama Ayahku? Apa salah ayah sama kamu?" sergah Sofi dengan nada yang kuat.

"Bu-bukan aku, Sof. Bukan aku yang melakukannya," gagap Arga saat itu. Tapi terlanjur basah, karena memang pistol itu ada ditangan Arga saat itu. Semua orang melihatnya, dan pasti semua orang memiliki pemikiran yang sama dengan sofi.

"Kamu jahat, Arga. Jahaaaat!!!" Sofi terus mencecar Arga dengan segala rasa benci yang ia miliki. Kenangan mereka yang manis seolah luntur seketika dengan kejadian itu. Sofi sekaan lupa perasaannya pada Arga selama ini, berubah menjadi sebuah rasa benci yang tak dapat lagi dicerna dengan akal sehat.

Apa yang Ia lihat, itulah kenyataannya saat ini. Sedikitpun Sofi tak pernah mau mendengarkan apa yang arga ucapkan padanya, bahkan sebuah penjelasan. 

"Kamu jahat! Aku benci kamu, Arga!!" pekik Sofi yang masih memeluk ayahnya dengan erat dan mengecupi wajahnya untuk yang terakhir kali dengan tangisnya yang semakin menjadi-jadi. Seragam putih yang Ia pakaipun berubah menjadi merah, tapi Ia tak perduli. Bahkan saat Arga ditangkap dan dibekuk oleh pihak yang berwajib didepan matanya. Sama sekali tak ada pembelalan dari Sofi untuk kekasihnya itu.

Kau lemah!

Mobil Ambulance dan mobil polisi dating bersamaan. Para petugas dari Rumah sakit segera megevakuasi jenazah Dokter Ridwan yang sudah lemah tanpa nyawa, dan Sofi mengiringnya hingga dimasukkan kedalam mobil.

Sementara itu Arga juga tengah lemah tak berdaya, pasrah saat polisi memborgol dan membawanya keluar menuju mobil mereka. Semua bukti dan saksi mengarah padanya, terlebih lagi Ia melihat Sofi yang begitu terpukul dan belum ingin mengganggu dengan debat yang akan kembali terjadi diantara mereka.

Hingga saat itu Hans tiba. Ia datang dengan wajah malaikatnya langsung memeluk Sofi saat itu, dan Sofi kembali menangis sejadi-jadinya dalam dekapan Hans yang tak lain adalah sahabat mereka berdua. Wajah lugu Hans saat itu benar-benar membuat Arga muak, ingin rasanya segera mengamuk dan menyerangnya secara membabi buta disana.

Tapi apa daya, itu akan memperkeruh suasana dan membuatnya semakin dalam jatuh kedalam lubang dasar jebakan yang ada.

"Dia jahat, Dia membunuh ayah." Suara lirih Sofi terdengar amat menyakitkan. Tak lagi menyebut nama arga atau panggilan mereka biasanya, tapi 'Dia'. Pertanda dalam sekejap Sofi telah melupakan semuanya tanpa sisa.

Siang berikutnya, usai pemakaman Dokter Ridwan. Tapi Arga sama sekali tak diizinkan keluar hanya sekedar datang ke pemakaman meski seseorang menjamin dirinya. Arga hanya bisa diam merenung didalam jeruji besi dengan seragam barunya disana. Bahkan seperti terisolasi tanpa adanya penghuni lain untuk sekedar berbagi cerita dengannya.

Dan seorang gadis datang dengan pakaian serba hitamnya. Arga yang melihatnya langsung semangat seketika, seolah diberi harapan untuk kembali dapat meraih hati Sofi dengan segala penjelasan darinya. Apalagi saat polisi membuka pintu untuk Ia keluar dan memberi mereka kesempatan berdua untuk bicara.

Arga duduk tepat didepan sofi saat itu. Ia berusaha meraih tangan sofi yang ada diatas meja, namun sofi seketika menarik tangan itu dari Arga dengan mimik muka begitu jijik pada pria yang pernah amat ia cinta sebelumnya itu.

Sofi justru melepas cincin yang pernah arga berikan sebelumnya, jauh sebelum arga ingin melamarnya kemarin.

"Kita... Sudah tak ada hubungan lagi setelah ini." ucapnya dengan wajah datar. Bahkan, Ia sama sekali tak menatap Arga meski ada didepan matanya.

"Tidak... Kau tak bisa melakukan ini padaku, Sofi."

"Bagaimana tidak? Apa aku harus mempertahankan hubungan dengan pembunuh ayahku sendiri? Tidak bisa, Arga. Itu mustahil,"

"Kau bahkan tak pernah mau mendengar penjelasanku! Kau hanya melihat, tanpa mau mendengar semua yang ku lihat. Apakah itu adil?" tanya Arga dengan wajah yang begitu sendu. Kekasihnya sendiri tak pernah mau mendengarnya sama sekali, meski hanya secuil penjelasan.

" Kau yang disana, dengan pistol ditanganmu. Apalagi yang harus aku dengar."

"Sofi!" bentak arga dengan segala rasa kecewa yang ada. Padahal Ia sudah amat berharap dengan kedatangan itu, tapi beda dengan yang Ia terima.

"Sampai jumpa di pengadilan, Arga. Aku yang akan menuntutmu secara langsung disana dengan pengacaraku." Sofi memakai tasnya, lalu berdiri memutar badan meninggalkan Arga.

Arga yang tak terima, ikut berdiri dan berusaha mengejar sofi saat itu. Namun, polisi yang ada langsung menjagal tubuhnya agar tak bisa melanjutkan langkah kaki. Dan Arga langsung histeris memanggil sofi, setidaknya agar Ia mau mendengarkan dirinya sedikit saja kali ini.

"Sofi... Sofi!! Kamu ngga bisa begini, Sofi. Dengerin aku dulu!" teriak Arga.

Tapi sofi sama sekali tak mendengarkannya, Ia terus saja melaju tanpa pernah menoleh padanya sama sekali. Ia hanya terus melaju, hingga akhirnya terlihat masuk kedalam mobil bersama anton yang melayaninya.

" AAaaaaarrrrgggghhhhh!!" Semua rasa kecewa, marah, menjadi satu didalam hatinya. Tubuhnya seketika ditarik, dan dimasukkan kembali dalam jeruji besi yang dari semalam memang menjadi tempat tinggalnya.

" AAaaaaarrrrgggghhhhh!!" Semua rasa kecewa, marah, menjadi satu didalam hatinya. Tubuhnya seketika ditarik, dan dimasukkan kembali dalam jeruji besi yang dari semalam memang menjadi tempat tinggalnya.

Arga menangis sendirian, meratapi kemalangan nasibnya. Apalagi setelah kejadian dan semuanya, orang-orang terdekat mulai menjauh. Usaha yang Ia miliki seketika bangkrut tanpa sisa, semua meninggalkan dirinya tanpa pernah mau menoleh kebelakang pada apa yang pernah Ia lakukan.

"Arga... Mama meninggal," ucap Zaky, sahabat yang masih ada untuknya saat itu. Dan masih ada kemungkinan jika zaky nantinya juga akan pergi meninggalkan dirinya

"Me-meninggal?" tanya Arga yang syok dengan kabar mengenai mamanya.

"Iya, Ga. Maaf, aku tak bisa merawatnya dengan baik selama sakit. Beliau begitu syok dengan segala kasus dan kejadian yang menimpamu, apalagi perusahaan habis, Ga. Aku merawat Mama, hanya terbatas dengan keuanganku saja. Maaf," sesal zaky saat itu.

Ia tertunduk lesu, apalagi menyayangkan bahwa Arga tak dapat datang ke makam mamanya sama sekali karena semua proses yang ada. Arga memang sudah jatuh sejatuh-jatuhnya saat ini. Membela diri saja sudah tak mampu lagi, bahkan rasanya Ia hanya ingin mati menyusul Mamanya agar tak lagi menerita seperti ini.

"Kau lemah, jika kau ingin mati hanya gara-gara ini." ucap seorang pria yang berada satu sel dengannya. Pria paruh baya dengan tampang yang cukup sangar, berjenggot tebal dan sama sekali tak terawat.

Selama beberapa bulan bersama, Ia lebih banyak diam tanpa pernah menyapa Arga sama sekali. Baru kali ini, saat Arga frustasi justru Ia datang seolah menjadi penasehat yang hebat untuk rekan satu ruangannya itu.

"Kau tak tahu bagaimana aku sekarang, Pak. Andai kau tahu betapa sakitnya saat ini, kau mungkin akan berfikir hal yang sama denganku." balas Arga yang duduk memojok disel yang mereka huni.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!