NovelToon NovelToon

Mendadak Punya Bayi

Sarah Anderson

"Paaaa ...." Suara bergetar Sarah terdengar menyayat hati siapapun yang mendengarnya. Namun tidak bagi para algojo yang bertugas menyiksa Papanya. Remuk hati Sarah saat harus menyaksikan pria yang membesarkannya, dipukul dan ditendang tepat di depan matanya.

Dua pria bertubuh besar dengan banyak tatto di lengan dan dadanya itu, memaksanya untuk membuka mata dan menyaksikan bagaimana Papanya yang selalu sabar dan berwibawa, disiksa sedemikian rupa.

Suara rintih menahan sakit dari mulut Papanya, membuat Sarah tertelungkup memohon, "Berhenti, tolong berhentiiii." Sarah gadis cantik dari keluarga terpandang itu, bersimpuh nyaris menyembah pria yang menginjak tengkuk Papanya.

"Katakan pada Papamu, di mana ia sembunyikan uang milik Bos kami!"

"Ssuudaahh ku katakan, aakkhu sudaah menyerahkan semuuanyaa pada Pak Wiraa." Dengan susah payah Tuan Anderson membela diri.

Buughhh!

Satu tendangan keras mengenai tulang rusuk Tuan Anderson. Pria berambut putih itu meringis dan memuntahkan darah segar dari dalam mulutnya.

"Papaaaaa ...." Sarah semakin histeris. Ia ingin berlari dan memeluk Papanya, tapi dua pria besar yang ada di kanan kirinya menarik tangannya hingga ia kembali jatuh terjembab di tanah, "Ambil!, ambil semua yang ada di rumah ini. Bawa pergi mobil, perhiasan dan semua harta kami, tapi tolong lepaskan Papakuu!" Sarah menjerit pilu.

Sontak keempat pria bertatto itu menertawakan perkataannya.

"Cantik, rumahmu beserta isinya ini sudah bukan milikmu lagi. Itupun, masih belum bisa mengganti uang yang Papamu curi dari Bos kami."

Pria di kanan Sarah, berjongkok lalu mengangkat dagu Sarah, "Satu-satunya yang belum dimiliki di rumah ini hanyalah kamu."

Ciiuuuh!

"Sialan!" Plaakkk!

Satu tamparan yang sangat keras dari tangan pria besar itu, membuat tubuh Sarah terjengkang. Tuan Anderson hanya bisa menangis melihat putri satu-satunya yang selalu ia manja, tergolek tak berdaya dengan bibir pecah berdarah.

"Bos kita ga suka anak kecil," celetuk salah satu dari mereka.

"Kita jual saja, lumayan pasti banyak yang mau."

"Jhhaangaann." Tuan Anderson merintih memohon. Sarah bangkit dan berlutut di hadapan empat pria itu.

"Aku akan melunasi hutang Papaku dengan caraku sendiri, beri aku waktu," ucapnya memohon dengan nada tegas.

"Hutang Papamu ini sangat besar sekali, kamu mau bayar pakai apa?" ledek pria berambut cepak.

"Itu urusan saya. Saya janji semua pasti akan lunas, saya sendiri yang akan jadi jaminannya. Tolong lepaskan Papa saya." Sarah membungkuk semakin dalam. Ia sudah kalut tak memikirkan dampak dari ucapannya itu, yang ia pikirkan hanyalah bagaimana menolong Papanya yang sudah semakin lemah.

Empat pria itu saling berpandangan, lalu salah satu dari mereka tampak menghubungi seseorang di seberang sana. Setelah menutup teleponnya, ia mengangguk pada yang lain dan memberikan kertas kosong serta bolpoin pada Sarah.

"Tanda tangan."

"Ini tidak ada tulisannya."

"Cepat tanda tangan! Kamu mau Papamu mati?" ancam pria itu.

Dengan tangan bergetar, Sarah terpaksa menandatangani selembar kertas putih yang kosong. Ia tidak tahu apa yang akan dituliskan penjahat itu diatas tanda tangannya, bisa saja nyawa atau kebebasannya yang diminta.

Pria itu langsung merebut kertas dari tangan Sarah, begitu gadis itu selesai membubuhkan tanda tangannya.

"Agar kamu selalu ingat, ini perjanjian yang kamu minta sendiri." Pria itu mengoleskan darah yang mengalir dari mulut Tuan Anderson di atas tandatangannya.

"Sekarang kalian keluar dari sini, karena rumah beserta isinya sudah bukan milik kalian lagi." Empat pria itu dengan kasar menyeret Tuan Anderson dan Sarah masuk ke dalam mobil.

Sampai di pemukiman yang sepi, dengan tega mereka melempar Sarah di pinggir jalan dan membawa Papanya untuk jadi tawanan.

"Bos kami memberikan waktu selama enam bulan, untuk kamu mengembalikan uang yang Papamu bawa lari. Kalau kamu sudah mendapatkan uang itu, datanglah menemui Bos kami dan jemput Papamu pulang. Kalau lewat dari waktu yang ditentukan, tak perlu datang menjemput Papamu karena dia sudah menjadi santapan hiu di laut. Sebagai gantinya, kami yang akan mencarimu." Pria yang dipanggil ketua oleh teman-temannya itu, tertawa keras sembari menunjukan kertas kosong dengan tandatangan miliknya serta darah Papanya.

Duuuaarr!

Suarah gemuruh dan petir yang menyambar, mengembalikan ingatan Sarah. Malam itu sungguh mencekam sekaligus menyedihkan baginya. Dalam semalam ia menjadi pengemis di pinggir jalan hanya untuk sekedar mengisi perut.

Satu minggu sudah berlalu dari kejadian mengerikan itu, ia tidak tahu lagi bagaimana kondisi Papanya. Entah bagaimana, para pria bertatto itu dapat kembali menemukannya. Mereka menyerahkan fotocopy surat yang telah ia tandatangani dengan perjanjian diatasnya. Mata Sarah terbelalak melihat deretan angka dengan jumlah yang mustahil dapat ia lunaskan dalam waktu enam bulan.

"Sarah?" Mona, wanita yang menemukan dirinya sedang menangis di pinggir jalan dan menampungnya di kos petak miliknya, bergegas masuk ke dalam kamar dengan wajah sumringah.

"Besok kamu sudah bisa mulai," ucapnya semangat.

"Apa iya, Mon secepat itu?" Sejenak ia merasa gamang dengan keputusan yang belum ada satu jam ia ambil.

Mona menawarkan pekerjaan menjadi wanita panggilan kelas atas, jika ingin meraup untung besar dalam waktu singkat. Begitu ia mengangguk, Mona langsung menghubungi seseorang lewat ponselnya.

"Iyaa, gimana kamu mau 'kan? Mami jarang mau terima orang baru loh. Kalau bukan karena aku jamin kamu cantik dan masih segel, Mami pasti menolakmu."

Sarah diam sejenak, penawaran ini adalah pilihan terakhir. Ia sudah keliling mencari pinjaman dan pekerjaan, tapi teman serta saudaranya seolah tak mau mengenalnya lagi setelah tahu Papanya bangkrut karena terjerat hutang dengan mafia.

"Aku siap, Mon." Sarah mengangguk pasrah.

"Ya sudah, besok langsung aja datang di tempatku bekerja. Nanti aku pinjamkan baju dan sepatuku." Mona menepuk bahu Sarah puas. Wanita itu sudah membayangkan uang yang akan didapat dari membawa wajah baru di lingkungan kerjanya.

Besoknya menjelang tengah malam, Sarah sudah siap menyusul Mona di tempat kerjanya. Ia merapatkan jaketnya dan berlari kecil menerobos gerimis. Jalanan yang macet menuju tempat hiburan malam, membuat Sarah harus rela turun dari angkot sebelum sampai di tujuan.

"Kenapa kamu lama sekali?" Begitu Mona melihatnya masuk, wanita itu langsung menariknya. Mona menggiringnya menghadap wanita usia awal 50tahun yang masih terlihat cantik.

"Ini?" Wanita yang dipanggil Mami itu, mengamatinya secara seksama, "Cantik. Masih perawan?" tanya Mami lugas. Mona mewakili Sarah mengangguk.

"Mau dijual berapa?"

Mendengar pertanyaan tentang uang, tanpa pikir panjang Sarah menjawab, "Satu milyar."

Sontak Mami dan Mona berpandangan lalu terpingkal geli.

"Baiklah, itu hak kamu. Semoga cepat dapat pelanggan yang berani membayarmu sesuai yang kamu inginkan," ucap Mami setelah tawanya mereda, "Kamu tunggu di sini, rapikan riasanmu," titahnya.

Sarah menunggu di balik tirai bersama dengan wanita panggilan lainnya. Dari balik tirai itu, ia dapat mendengar suara pria sedang berbincang dengan Mami. Lalu satu persatu wanita yang bersamanya, dipanggil dan keluar menemui tamu yang akan menikmati tubuh mereka.

"Saya mau yang cantik dan yang paling penting berpengalaman." Suara pria dari balik tirai terdengar sedikit gugup.

"Yang paling berpengalaman dan paling yahud servisnya, baru aja keluar yang lain saja ya," rayu Mami genit.

"Terserah, atur saja. saya siap bayar berapapun asalkan berpengalaman."

Sarah yang menguping dari balik tirai, mendengar tawar menawar itu langsung terbelalak.

"Berapapun?" goda Mami, "Oke, sebentar ya." Mami menyibak tirai lalu memanggil salah satu anak buah tebaiknya, "Mawaaarr ..."

"Miii, tamu di luar berikan aku, please," Sarah menghadang Mami sebelum wanita yang dipanggil keluar.

"Maaf, Sayang dia minta yang berpengalaman, kamu masih perawan belum tahu cara memuaskan pria di ranjang." Mami menggeser Sarah dari hadapannya.

"Aku bisa, Miii, tolong kasihkan aku. Aku janji tidak akan mengecewakan Mami." Tangan Sarah mengatup memohon.

...❤️🤍...

Sakit!

Antara gerah dan kasihan mendengar rengekan Sarah, wanita cantik yang dipanggil Mami itu akhirnya mengalah, "Baiklah, tapi tolong jangan kecewakan dan mempermalukan Mami. Mudah saja, kamu hanya perlu menggerakan tubuhmu dan tersenyum menggoda. Pancing tamumu agar ia lebih bergairah, lalu biarkan saja dia yang bekerja. Kamu cukup membuka kedua kakimu lebar-lebar dan nikmati semua sentuhannya. Ingat, kamu masih belum terjamah. Hubungan pertama itu sedikit sakit, tapi jangan sekali-kali kamu menjerit ataupun menangis karena tamu ini ingin ladies yang berpengalaman bukan yang perawan."

Kepala Sarah tiba-tiba pening mendengar arahan Mami, ia sama sekali buta akan hal menggoda pria. Bukannya ia tak tahu malam pertama itu sakit, tapi kepalang tanggung semua harus dijalani demi Papanya.

"Jangan panik, selebihnya kamu akan ketagihan." Melihat wajah Sarah yang pias, Mami berbisik sembari mengerlingkan matanya.

"Bersiaplah dulu, nanti Mami kasih tahu tamumu ada di kamar nomer berapa," ujar Mami lalu langsung berbalik kembali ke balik tirai.

Sarah memperbaiki riasan dan rambutnya, lalu mengambil nomer kunci kamar yang diberikan Mami. Kakinya bergetar ketika ia berjalan menuju ke tempat, di mana ia akan menyerahkan harta yang paling berharga pada orang yang tidak ia kenal dan tak pernah ia temui sebelumnya.

Sampai di depan pintu yang menunjukan angka yang sama dengan kunci di tangannya, Sarah menarik nafas lalu menghembuskannya berulang kali sebelum ia mengetuk pintu kamar. Terdengar suara pria dari dalam memintanya untuk langsung membukanya sendiri.

"Hai," sapa Sarah. Ia sempat terkejut melihat penampilan pria yang akan dilayaninya. Dalam bayangannya tadi ia akan melayani pria tua hidung belang berperawakan besar, dengan perut buncit dan kepala yang botak seperti umumnya pria yang berkelebihan uang di negara ini. Sedangkan pria yang duduk sembari menopang sebelah kaki dihadapannya ini, lebih pantas di sebut sebagai pemuda.

"Hai," sahut pria itu.

Sarah berdiri tegak di hadapan pria asing itu tanpa tahu harus melakukan apa. Sejenak mereka saling memandang dan menilai satu sama lain.

"Eeh, emm Bapak ... Mas mau saya layani seperti apa?" tanya Sarah setelah lama saling diam dan memandang. Ia tahu ini adalah pertanyaan yang konyol untuk wanita panggilan kelas atas, tapi hanya itu yang berhasil keluar dari mulutnya.

Pria itu tampak sedikit terkejut dengan pertanyaan yang ia lontarkan. Sedikit salah tingkah, pria itu berdehem lalu berdiri, "Percintaan yang panas."

Gantian Sarah yang terkejut, tapi sedetik kemudian ia kembali dapat menguasai diri. Sarah membuka sepatunya, lalu berjalan dengan langkah menggoda mendekati pemuda itu. Namun baru saja ia maju lima langkah, pemuda itu mengangkat tangannya dan menghentikan langkahnya.

"Siapa namamu?" tanya pria itu terdengar sedikit gugup.

"Sarah." Sedetik kemudian ia merutuk dalam hati mengapa tidak menggunakan nama samaran.

"Nama saya, William. Kamu bisa panggil aku, Willi." Pemuda itu mengembangkan senyumnya yang kaku.

"Bisa kita mulai?" tanya Sarah.

"Kemari, duduklah dulu." Willi menunjuk kursi di hadapannya, "Sudah berapa lama kamu mmm ... bekerja seperti ini?"

"Cukup lama." Sarah mengibaskan rambutnya untuk mengurangi kecanggungan karena telah berbohong.

"Ini pengalaman pertamaku, bisakah kamu mengajari aku?" Tangan pemuda itu saling meremas. Pendingin udara di kamar ini tak mampu menghentikan keringat sebiji jagung yang muncul di keningnya.

Sarah meringis geli, bagaimana bisa ia mengajari pria itu bercinta sedangkan  berciuman saja ia belum pernah. Setidaknya kebodohannya tentang pengalaman bercinta, tidak akan diketahui oleh tamunya ini.

"Baiklah. Boleh aku buka?" Sarah menunjuk kancing kemeja William.

"Silahkan," sahut William dengan suara bergetar.

Tak kalah bergetarnya, jari Sarah membuka satu persatu kancing kemeja William. Dengan jarak sedekat ini, ia dapat mencium aroma parfum maskulin yang seakan membiusnya. Dada bidang William sudah mulai terlihat, mata Sarah tepat segaris lurus dengan jakun William yang bergerak naik turun tak beraturan.

"Lalu? Kamu sendiri tak buka gaunmu?" tanya William setelah kemejanya lepas seluruhnya dan Sarah hanya diam berdiri, mengagumi tubuh bagian atasnya yang telanjang.

"Oh, ya." Sarah menggapai-gapai resleting di punggungnya.

"Boleh aku bantu?" tawar William ketika melihat Sarah kesulitan menemukan reseleting gaunnya.

"Bo-boleh." Sarah berbalik membelakangi William.

"Rambutmu."

"Oh, maaf." Sarah mengangkat rambut coklat panjangnya ke atas dan tampaklah tengkuk putih yang menantang, "Sudah?"

"Oh, ya sebentar." William sempat terhipnotis dengan pemandangan indah yang ada dihadapannya. Lalu dengan jantung berdegub ia mulai menurunkan reseleting gaun Sarah.

Semakin turun ia menarik reselting itu ke bawah, semakin jelas pula lekuk tubuh Sarah terlihat. Jakun William bergerak kasar, ketika kaitan penutup dada berwarna hitam sudah terlihat. Tak jauh bedanya dengan Sarah, gadis itu rasanya ingin segera kabur saat merasakan hawa dingin mulai menerpa kulit punggungnya yang telanjang.

"Su-sudah," ucap William gagap.

Sarah membalikkan badan, tangannya menahan gaunnya agar tidak meluncur jatuh ke lantai. Gantian William yang terlihat kesulitan membuka ikat pinggangnya.

"Biar saya bantu." Sarah berinisiatif menawarkan bantuan.

"Maaf, aku mungkin sedikit gugup," ucap William malu. 'Tidak hanya kamu, aku lebih takut dibandingkan kamu,' batin Sarah sembari membuka celana tamunya.

William mengangkat kepalanya tak mau memandang ke bawah saat jari Sarah tak sengaja menyenggol miliknya. Benda berharganya itu sejak ia duduk di bangku SD, tidak pernah ada yang menyentuhnya selain tangannya sendiri. William mulai gelisah saat Sarah sudah mulai menurunkan reseleting celananya.

'Susah.'  Kening Sarah berkerut, resleting celana jeans William macet di tengah tak mau ditarik ke bawah maupun kembali keatas.

"Aaaaaakkhhh!" Tiba-tiba suara William yang menjerit kesakitan mengagetkan semua tamu yang berada di lorong yang sama.

Sarah panik tak tahu harus bagaimana. Tamunya itu sekarang berguling-guling di atas ranjang sembari memegang selangkangannya.

"Maaf, maaaff, saya tidak sengaja biar saya bantu." Sarah ikut naik ke atas ranjang. Ia takut akan dapat masalah kalau Mami tahu apa yang sudah menimpa tamunya ini.

William membiarkan Sarah mendekatinya dan membuka celananya. Berangsur-angsur rasa perih dan panas pada benda kebanggaannya itu berkurang.

Ujung benda miliknya itu tampak merah dan sedikit bengkak. sepertinya Sarah tadi kurang berhati-hati dan terlalu memaksa menarik reseleting celana jeansnya, sehingga sesuatu yang masih tertidur itu menjadi korbannya.

"Oww, kasihan." Sarah memandang benda milik tamunya dengan prihatin. Benda itu tampak lucu sekaligus menyedihkan di matanya. Bersembunyi di balik celana dengan ujung memerah, sungguh kasihan sekali.

"Sudah cukup!" William berdiri dari ranjang, membetulkan celananya dan mengenakan kembali kemejanya.

"Tunggu sebentar, kenapa dipakai lagi bajunya? Kita tidak jadi bercinta?"

"Kamu kira aku bisa bercinta dengan keadaan miliku seperti ini?" William dengan kesal menunjuk benda kesayangannya yang sudah kembali nyaman di dalam sarangnya.

"Tolong beri aku kesempatan, kita tunggu sebentar lagi sampai dia sembuh." Sarah berdiri menghalangi langkah William.

"Aku sudah tidak minat, minggir!" William menggeser Sarah yang berdiri menutupi pintu, tapi wanita itu bertahan dengan memegang tembok di kanan kirinya.

"Aku akan memperbolehkanmu keluar, tapi tolong janji jangan laporkan ini sama Mami. Aku butuh pekerjaan ini, aku butuh uang." Air mata palsu Sarah mulai merebak.

"Baiklah. Sekarang minggir."

"Uangnya?" Sarah menengadahkan telapak tangannya.

"Kamu minta bayaran setelah menyakiti aku? Seharusnya kamu yang memberiku uang untuk berobat."

"Setidaknya untuk aku pulang naik angkot malam ini." Sarah tetap memaksa dengan wajah memelas.

Sembari mendecih dan mengumpat, William merogoh kantong celananya dan mengeluarkan beberapa lembar berwarna merah dari dalam dompetnya.

"Terima kasih orang baik. Sampai bertemu lagi." Sarah melambaikan tangan dan mencium lembaran merah di tangannya.

"Tak akan!"

...❤️🤍...

Bayi siapa?

Sarah tak menanggapi perkataan tamunya yang terdengar ketus. Baginya yang penting mami tidak akan tahu kejadian ini dan keperawanannya tetap utuh dengan uang di tangan. Dengan wajah meringis menahan nyeri di pangkal pahanya, William membuka pintu kamar dan berjalan keluar dengan langkah tertatih.

Pengalaman pertama melayani tamu dengan buruk, membuat Sarah tidak berani bertemu Mami malam ini. Apalagi ia sudah mengantongi segepok lembaran merah, tanpa harus kehilangan kesuciannya. Sarah memutuskan langsung kembali ke kos milik Mona, lalu begitu sampai ia langsung menghitung uang yang diberikan tamu polosnya.

"Cukup untuk makan dan urunan kos selama satu bulan. Bulan depannya lagi, aku harus cepat dapat pekerjaan. Jadi PSK meski ekslusif ternyata menakutkan, untung orang itu sama bodohnya denganku." Sarah bergumam sembari menghitung uang yang ada di tangannya.

Terdengar suara pintu kamar diketuk, Sarah bergegas merapikan uangnya dan menyimpannya dalam tempat yang menurutnya aman.

"Sebentar, Mbaaa ... ngapain pakai ketuk pintu segala biasa ju---" Gerutuan Sarah terhenti ketika tak mendapati Mona di balik pintu. Malahan di depan kakinya ada sebuah kotak seukuran dos air mineral yang sedikit terbuka.

"Mbaaa ...," panggil Sarah lirih. Ditengoknya kanan dan kiri, tak satupun batang hidung penghuni kos kalangan bawah itu terlihat.

Sarah semakin terkejut ketika mendengar suara gesekan seperti ada yang bergerak dari dalam kotak itu. Perlahan dengan gagang sapu, ia berusaha membuka bagian atas kotak yang terbuka.

"Bayi!"

Tanpa pikir panjang, Sarah sontak melempar sapu itu lalu menutup pintu kamar serta menguncinya dari dalam. Ia segera mengambil ponsel lalu mencoba menghubungi Mona, tapi teman sekamarnya itu mengabaikan panggilannya karena sedang bergerak di atas tubuh seorang pria tambun.

Suara tangisan bayi mulai terdengar dari balik pintu. Sarah menutup kedua telinganya rapat-rapat, tapi suara itu semakin terdengar menyedihkan seolah memanggilnya untuk minta tolong.

Berusaha menguatkan hati, Sarah membuka pintu kamar dan mengintip dari celah pintu. Tampak wajah bayi itu memerah menahan tangis yang siap akan meledak. Matanya menatap Sarah penuh harap meminta agar mengangkat dan menggendongnya.

Bayi itu mulai mengeluarkan suara yang sedikit keras dari yang sebelumnya. Tak ingin penghuni kos terbangun dan mengakibatkan ia diusir malam itu juga, Sarah segera membawa kardus beserta bayi itu masuk ke dalam kamar.

Sarah membuka penutup kardus itu lebih lebar lagi, ia lalu menemukan beberapa lembar baju, sekaleng susu dan sebotol susu yang masih hangat.

Bayi itu kembali menggeliat, wajahnya semakin merah padam. Dengan keberanian yang sedikit dipaksakan, Sarah mengangkat bayi itu lalu mendekapnya.

"Cup, cup, jangan nangis ya nanti tetangga bangun. Kamu haus ya, kasihan." Sebelum bayi itu menangis semakin kencang, Sarah mengambil botol susu yang sepertinya sudah disiapkan sebelumnya.

"Siapa yang tega menaruhmu di dalam kardus kecil ini? Kasihan sekali, kamu pasti ketakutan dan mungkin gatal digigit serangga."

"Kamu cantik sekali." Sarah mencium tangan bayi yang menggenggam jarinya erat. Ia merasakan jika sang bayi seolah tak mau jauh darinya.

"Jangan takut, sekarang kamu tidak sendirian, ada aku di sini." Sarah mencium kening bayi itu. Rasa sayangnya muncul berlipat ganda, ketika melihat bayi itu seolah tersenyum di sela-sela kegiatan menyusunya.

Sarah mencari-cari petunjuk di dalam kardus, tapi di dalam yang ada hanyalah baju dan kaleng susu yang sudah terbuka.

"Siapa namamu?" Sarah memandangi wajah bayi itu. Kulitnya yang putih bersih dengan pipi bulat merona, rambut hitam dan sedikit ikal, serta mata yang bulat jernih dan bibir yang selalu tersenyum.

Baju kuning cerah yang digunakan bayi itu mengingatkan Sarah pada tokoh kartun disney kesukaannya, "Hai, Belle."

"Sarah, anaknya siapa itu?" Mona yang baru saja pulang, terkejut melihat teman sekamarnya menggondong bayi ketika ia membuka pintu.

"Ga tau, tadi ada yang ketuk pintu aku pikir Mba Mona pulang, ternyata ada yang naruh kardus di depan pintu kamar yang isinya dia," ucap Sarah sembari menimang-nimang bayi cantik itu.

"Kita harus lapor polisi, mungkin saja itu bayi korban penculikan."

"Jangan dulu ah, biar dia di sini dulu barangkali orangtuanya akan datang jemput." Awalnya ia takut tapi setelah menimang dan memberi susu, Sarah seolah terhipnotis dan jatuh cinta pada mata bola milik si bayi.

"Tak ada ceritanya bayi dibuang lantas diambil lagi dalam waktu dekat. Kalaupun mau diambil lagi, pasti tunggu anak itu sudah sukses lalu ada orang yang mengaku Ibu atau Bapaknya. Lantas mau kau apakan bayi itu? Hati-hati kamu bisa dituduh penculik loh."

"Kita rawat aja," usul Sarah sembari mengecup kaki mungil yang terus bergerak menendang udara.

"Gila kamu, mau makan aja sulit belagak rawat bayi orang. Hei, susu bayi itu mahal, emang dadamu keluarin ASI?" Usulan itu tentu membuat Mona mendelikkan matanya.

"Aku punya uang kok, nanti juga aku kerja." Sarah menunjukan segepok uang di dalam tasnya.

"Waah, sepertinya baru ada yang sudah dibelah semalam," goda Mona. Sarah membiarkan Mona menggodanya, asal wanita itu tidak lagi memaksanya untuk segera melapor pada polisi. Setidaknya bukan saat ini, mungkin nanti kalau ia sudah bosan dan lelah.

Beberapa hari setelah insiden pusaka terjepit, rumah kediaman Raymond Sanjaya, pengusaha yang lagi melebarkan sayap bisnis Batubara mendadak tegang. William putra sulung di rumah itu, duduk di hadapannya dengan kepala tertunduk.

"Katakan siapa dia, kenapa kamu tidak mau bertanggungjawab atas perbuatanmu!" Papa William melempar beberapa lembaran foto ke atas meja. Foto yang memperlihatkan wanita yang pernah ia sewa, sedang menggendong seorang bayi di depan bangunan kumuh.

"Aku tidak kenal siapa dia, Pa." Wiliam menggelengkan kepala dengan tegas, tapi hatinya sedikit menyangkal.

"Kalau ini, kamu masih mau menyangkal?" Papa William mengeluarkan beberapa lembar foto lagi di mana ia masuk dan keluar dari sebuah kamar. Sialnya, wanita dalam foto itupun keluar dan masuk dalam kamar yang sama dan dalam waktu yang hampir bersamaan dengannya.

"Papa tidak pernah mengajarkanmu berbohong Wil, Papa juga tidak mengajarkanmu menjadi laki-laki pengecut yang melarikan diri dari tanggung jawab. Apalagi ini menyangkut seorang wanita dan anak, sungguh memalukan!"

"Aku bicara sejujurnya, Pa. Aku tidak mengenal perempuan itu. A-aku hanya bertemu sekali saja, namanya saja aku tidak ingat." William tidak berani mengatakan kalau wanita dalam foto itu seorang pekerja se ks komersial. Jika Papanya tahu ia mencoba bermain-main dengan dunia malam, bisa dipastikan besok namanya sudah tidak tercantum dalam kartu keluarga.

"Kamu kedapatan keluar dari sebuah kamar dengannya, apa yang kalian lakukan dalam kamar berduaan kalau bukan melakukan sesuatu yang kotor!"

"Kami tidak melakukan apapun, Pa!"

"Lihat, gaunnya terbuka sebagian, kemejamu pun juga berantakan dan kamu masih menyangkal? Dan coba lihat ini, bayi siapa ini, Willi!" Suara Papanya menggelegar. Mama dan kedua adik perempuannya tak berani mendekat, mereka hanya berani mengintip dari pintu dapur.

Kelu lidah William, ia tak kuasa menyangkal tuduhan Papanya. Entah dari mana Papanya mendapat foto-foto itu. Dilema baginya, jika ia berkata sejujurnya jika wanita itu pelacur pun juga bukan jawaban yang aman. Bisa saja kemarahan Papanya jauh lebih menakutkan dari pada ini.

"Bawa dia kemari, Papa mau bertemu," ucap Papanya dengan suara bergetar menahan emosi. Itu bukanlah permintaan tapi sebuah perintah.

"Aku tidak tahu dia di mana."

Papa membalik sebuah foto, di sana tertulis dengan jelas alamat tempat tinggal wanita itu dan bayinya. Tak mau Papanya berteriak lagi, William segera meluncur ke arah alamat yang tertera di balik foto itu.

Sesampainya di depan rumah kos yang sedikit kumuh, William langsung menunjukan foto Sarah yang sedang menggendong bayi pada penghuni di sana. Setelah ditunjukkan letak kamar Sarah, William segera mendekati dan mengetuk pintu kamar. Terdengar suara bayi menangis dari arah dalam. Tak lama pintu di buka.

"Kamu?" Sarah muncul dengan rambut diikat asal, berpakaian daster dan sebelah tangan menggendong seorang bayi. Penampilan sangat jauh berbeda dibanding saat pertama kali mereka bertemu.

"Bersiaplah, kamu harus ikut aku sekarang juga" ujar William seraya melirik bayi dalam gendongan Sarah.

"Untuk apa, aku sudah tidak bekerja di tempat itu lagi," tolak Sarah lalu hendak menutup pintu kembali. Dengan sebelah kakinya, William menahan pintu kamar agar tidak tertutup seluruhnya. Lalu ketika Sarah lengah, ia mengambil Belle dari gendongan Sarah.

"Hei!"

"Cepat bersiap atau aku bawa pergi bayi ini!"

Sarah tampak bimbang, tapi melihat mata William yang tak sabar ia akhirnya mengalah, "Tunggu sebentar, jangan berani-berani kamu membawa lari bayi itu kalau tak mau aku teriakin kamu seperti penculik!"

"Cepatlah!"

Tak mau berlama-lama, Sarah segera keluar dari kamar dengan penampilan sekedarnya. Ia takut jika terlalu lama, Belle akan dibawa pergi oleh William. Tanpa banyak bicara, William membawa Sarah dan bayi itu menemui orangtuanya.

Sampai di rumah, Mama sudah duduk di samping Papa menunggu kedatangannya.

"Jangan sampai kompetitor kita tahu masalah ini, mereka akan menggunakan kesalahan fatalmu untuk menjatuhkan kita. Kamu tidak boleh menunda lagi, malam ini kalian harus menikah."

"Menikah?" Keduanya serempak menjawab dengan mata terbelalak.

...❤️🤍...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!