NovelToon NovelToon

Wasiat Jodoh Dari Paman

Kehilangan sebagai sosok ayah

Di rumah yang sederhana, Netavani tengah menangis saat berada di dekat pamannya yang tengah berbaring lemas di atas tempat tidurnya karena sakit yang dideritanya. Bahkan, dokter pun sudah menyerah untuk memberi pengobatan.

"Paman, bertahanlah. Jangan tinggalkan Neta sendirian, Neta tidak punya siapa-siapa lagi selain Paman. Neta akan bekerja keras untuk kesembuhan Paman." Ucap Neta sambil memegangi tangan pamannya.

"An-anakku, ma-maafkan Pam-pam-paman. Jag-jaga dir-dir-dirimu dengan bab-baik. In-ini a-ada sur-rat unt-tukmu." Jawab Pamannya dan menghembuskan napasnya yang terakhir.

Sedangkan beberapa orang tetangganya tengah berada di sekelilingnya ikut bersedih saat melihat kepergian pamannya Neta, yakni Gowanda.

"Paman ...! jangan tinggalkan Neta, Paman ...." Teriak Neta dengan histeris, juga dengan berlinang air mata.

"Neta, tenanglah Nak, kuatkan hatimu. Pamanmu sudah pulang dengan tenang, doakan yang terbaik untuknya. Relakan kepergiannya, dan berlapang lah kamu, Nak. Semua akan pulang, sama seperti pamanmu. Ayo Nak, biar orang lain yang akan mengurus jenazah pamanmu." Ucap seorang ibu paruh baya.

Sosok perempuan itu sudah dianggap ibunya Neta sendiri, dari kecil Neta hanya tinggal bersama pamannya. Sedangkan kedua orang tuanya sudah meninggal semua, termasuk istri pamannya.

"Enggak, Paman pasti hanya pingsan, dia sedang tidur kan, Bu?"

Saat itu juga, ibu Winda yang sudah dianggap orang tua sendiri oleh Neta, pun mencoba mengajak Neta untuk berpindah tempat, lantaran jenazah pamannya harus segera diurus.

Neta masih terus menangis sesenggukan, rasa sedih dan kehilangan tengah menimpa dirinya. Kini, dirinya hidup sebatang kara tanpa keluarga.

Ibu Winda yang juga ikut berkabung atas kematian pamannya Neta, berusaha untuk menenangkannya.

Neta yang berada dalam pelukan ibu Winda, masih menangis.

"Tenangkan pikiran mu, Nak. Semua pasti akan kembali, ikhlaskan kepergian pamanmu. Kuatkan hatimu, dan terima dengan lapang. Ibu turut berdukacita atas kepergian pamanmu. Kamu tidak sendirian, ada Ibu yang akan selalu menemani kamu." Ucap Ibu Winda sambil mengusap punggungnya Neta untuk memberi ketenangan kepada Neta.

"Neta belum sempat membahagiakan Paman, Bu. Neta belum membalas budi kepada Paman yang sudah membesarkan Neta, yang selalu menuruti keinginan Neta, Bu. Kenapa bukan Neta saja yang harus pergi, juga Neta tidak mempunyai siapa-siapa lagi." Jawab Neta yang tidak terkontrol atas ucapannya, lantaran dirinya merasa kehilangan sosok Paman yang menggantikan posisi ayahnya.

Neta terus menangis, bahkan terasa sesak bagian dadanya dengan napasnya yang berat. Sedangkan Ibu Winda yang mengerti akan kondisinya Neta, berusaha untuk menenangkannya.

Karena tidak mungkin mengulur waktu dan sudah hampir sore, warga yang datang melayat ikut serta dalam mengurus jenazah, dari yang memandikan dan yang lainnya ikut membantunya.

Neta sendiri yang masih dirundung dalam kesedihan karena harus kehilangan atas kepergian pamannya, tak kuasa jika dirinya harus melihatnya. Tubuhnya saja terasa tak berdaya untuk berdiri, hanya bisa tertunduk sedih.

Ketika Ibu Winda berhasil membujuk Neta, rasanya pun lega saat bujukannya diterima. Setelah semuanya sudah diurus, termasuk jenazah yang akan dimakamkan.

Dengan dampingan Ibu Winda, Neta merasa ada yang peduli dengannya, meski semuanya baik juga, serta peduli dengan Neta, maupun dalam dukanya, tetapi Ibu Winda lah yang paling dekat dengan Neta dari segala curahannya.

Setelah menabur bunga dan mendoakan atas kepergian pamannya, kini Neta pulang ke rumah bersama Ibu Winda dan beberapa warga yang ikut pulang paling akhir.

Sampainya di dalam rumah, Neta duduk dengan wajahnya yang masih sembab. Tidak dapat dipungkiri jika kepergian pamannya benar-benar seperti kehilangan sosok orang tuanya sendiri.

Ibu Winda yang teringat saat menyimpan sesuatu yang terbungkus amplop kecil dari tangan Neta, pun langsung mengambilnya lagi.

"Nak Neta, ini sesuatu yang tadi diberi oleh pamanmu, ambillah. Mungkin didalam amplop ini ada hal penting yang akan disampaikan padamu, bukalah dan lihat apa isinya." Ucap Ibu Winda sambil menyerahkan sebuah amplop kecil kepada Neta.

Dengan perasaan campur aduk, antara takut dan juga penasaran, akhirnya Neta menerimanya.

"Isinya apa ya, Bu? Neta kok takut ya, Bu. Ibu saja lah yang buka, Neta takut." Jawab Neta yang tiba-tiba merasa takut dengan isi didalam amplop tersebut.

"Jangan begitu, mungkin ada wasiat yang penting untukmu. Bukalah dan kamu lihat isinya." Ucap Ibu Winda, sedangkan Neta sendiri akhirnya nurut dan membuka amplop tersebut.

Dengan penuh rasa penasaran dan juga dengan hati-hati, Neta akhirnya membukanya.

Degdegan itu sudah pasti, tetap saja harus dibuka dan dilihat isinya.

Seketika, Neta terasa berat saat mendapati lipatan kertas dalam amplop tersebut.

"Bu, Ibu yang buka aja ya? Neta takut, Bu."

"Jangan begitu Nak, buka saja dan kamu lihat isinya. Itu pasti surat penting untuk kamu, buka saja dan jangan takut." Jawab Ibu Winda yang tetap menolak permintaan dari Neta.

Neta sendiri yang tidak mempunyai pilihan lain, akhirnya dirinya sendiri yang membuka kertas lipatan tersebut meski dengan perasaan yang bercampur aduk rasanya.

Pelan-pelan dengan kedua matanya yang berkaca-kaca, tetap membuka kertas lipatan tersebut yang siap untuk dibuka.

Saat lipatan kertas menjadi sebuah lembaran kertas, pandangan Neta tertuju pada tulisan tangan. Dengan seksama Neta membacanya, dan tidak ada satu kalimat pun yang tertinggal.

"Pergi ke kota? menikah?" ucapnya lirih dengan suara yang begitu berat.

Ibu Winda yang penasaran dengan apa yang baru saja diucapkan dengan suaranya yang sedikit kurang jelas, pun meraih kertas tersebut dan membacanya.

Dengan seksama dan juga teliti pada setiap kalimatnya, pun membacanya. Setelah selesai membaca, Ibu Winda baru mengerti apa isi dalam surat wasiat tersebut.

"Jadi, kamu diminta pergi ke kota untuk mendatangi alamat ini Nak? juga, kamu sudah dijodohkan."

"Neta gak tahu, Bu. Soalnya Neta gak pernah diajak ke kota sama paman. Jadi, Neta gak tahu kalau ternyata Neta mau dijodohkan." Jawab Neta dengan lesu.

"Mungkin ini jawabannya, Nak. Setelah menikah nanti, kamu akan temukan bahagia mu di kota." Ucap Ibu Winda.

Neta menoleh pada Ibu Winda.

"Neta sangat takut, Bu. Apalagi menikah dengan lelaki yang tidak Neta kenal, pasti akan ada banyak perbedaan dan mungkin juga bisa mendapatkan masalah."

"Hus. Tidak baik bicara seperti itu, Nak. Ini wasiat dari mendiang pamanmu, pasti dibalik surat wasiat ini akan ada jawaban soal kedua orang tuamu. Kamu harus berpikiran yang positif, jangan berburuk sangka dulu. Kalau kamu takut berangkat sendirian, Ibu siap mengantarkan kamu sampai ke kota."

"Tidak, Bu. Neta tidak akan pergi ke kota, Neta takut kalau sampai di kota akan berbanding terbalik dengan apa yang Neta bayangkan. Mendingan Neta tinggal di kampung ini saja, daripada harus menjalani kerasnya hidup di kota, Bu." Jawab Neta yang terbayang-bayang perasaan takut.

"Jangan takut, percayalah sama Ibu. Bukankah sejak kecil kamu penasaran dengan kedua orang tuamu? ini kesempatan mu untuk mencari tahu kebenarannya. Mungkin saja kamu masih mempunyai keluarga di kota, Nak." Ucap Ibu Winda mencoba untuk meyakinkan Neta.

Neta yang mendapat saran dari Ibu Winda, pun masih diam.

"Bagaimana ya, Bu?" tanya Neta yang dilema, lebih lagi baru saja kehilangan sosok paman yang menjadi pengganti orang tuanya.

Ibu Winda mengangguk, tanda memberi kode untuk mengiyakan.

"Kamu pikir dulu baik-baik, waktu mu masih ada satu minggu. Jadi, kamu tidak perlu gegabah." Jawab Ibu Winda memberi saran.

Neta akhirnya mengangguk dan menerima saran dari Ibu Winda.

Pamit pergi

Waktu seminggu telah berlalu dan juga sudah ia lewati dengan kesendirian di rumah, juga tengah teringat dengan sebuah pesan yang ia dapat dari mendiang pamannya.

Neta yang tengah duduk di ruang tengah, pikirannya pun tidaklah tenang. Bahkan, untuk membuat sarapan pagi saja terasa malas.

Bahkan, suara ketukan pintu dan juga suara memanggil namanya saja tak ia dengar sama sekali.

"Neta, buka pintunya, Nak. Ini Ibu, Nak." Panggil Ibu Neta sambil mengetuk pintu.

Tersadar dari lamunannya, Neta langsung bangkit dari posisi duduknya dan bergegas untuk membuka pintunya.

"Ibu. Maaf, tadi Neta gak kedengaran, Bu. Ayo Bu, masuk dulu." Ucap Neta yang baru saja membuka pintunya, dan juga mengajaknya masuk kedalam rumah.

"Ya, Nak, gak apa-apa. Ini, Ibu membawa bubur kacang hijau untuk kamu." Jawab Ibu Winda dan masuk ke rumah setelah semangkuk bubur diterima oleh Neta.

"Silakan duduk, Bu. Maaf, masih berantakan." Ucap Neta mempersilakan duduk kepada Ibu Winda.

"Ya, Nak." Jawab Ibu Winda dan duduk sambil memperhatikan di sekeliling ruangan tersebut.

'Rumah ini akan menjadi kenangan Neta, sedih sekali perjalanan hidupnya. Kedua orang tua yang sudah meninggal, juga pamannya yang kini telah meninggalkannya juga. Semoga di kota nanti si Neta akan temukan bahagianya.' Batin Ibu Winda sambil mendoakan kebaikan untuk Neta yang sudah dianggapnya anak sendiri.

"Bu, Ibu kok melamun? Ibu ada masalah?"

Ibu Winda langsung teesadar dari lamunannya.

"Enggak, Nak. Ibu cuma membayangkan kalau kamu pergi ke kota, rumah ini pasti akan sepi." Jawab Ibu Winda berusaha untuk tidak menunjukkan kesedihannya, lantaran yang sebenarnya juga tidak ingin berpisah.

"Makanya itu, Bu. Neta sebenarnya juga gak ingin pergi ke kota, tapi dilain sisi, Neta juga gak mungkin mengabaikan wasiat dari paman. Neta bingung, Bu." Ucap Neta terasa lesu, dan juga dengan ekspresinya yang bersedih.

Ibu Winda yang tidak tega melihat Neta bersedih, langsung berpindah posisi dan duduk di sebelahnya.

Kemudian, Ibu Winda merangkul dan memeluknya, layaknya ibu sendiri yang memberi ketenangan kepada putrinya sendiri.

"Sekarang sudah sepuluh hari kepergian mendiang pamanmu, dan kamu juga sudah diperbolehkan untuk pergi ke kota. Kalau kamu bingung, yang ada kamu akan banyak pikiran nantinya. Selain itu, sayang juga dengan kesehatan kamu kalau banyak pikiran." Jawab Ibu Winda mencoba untuk menenangkan pikiran Neta yang dirasa penat.

"Ya sih, Bu. Tapi, Neta takut jika kedatangan Neta nanti diabaikan." Ucap Neta yang dipenuhi dengan perasaan takut, lebih lagi yang akan dihadapinya bukan orang yang ia kenal, pikir Neta.

"Mendingan kamu mandi dulu, setelah itu makan buburnya. Nanti Ibu akan bantu kamu untuk berkemas kemas. Tapi, Ibu mau beberes rumah dulu, sekalian mandi juga. Nanti kalau sudah, Ibu kesini lagi." Jawab Ibu Winda.

"Makasih banyak ya, Bu. Maaf, jika Neta sudah banyak merepotkan Ibu selama ini. Maafkan Neta juga, yang belum bisa membalas kebaikan Ibu." Ucap Neta.

"Kamu tidak perlu meminta maaf, karena Ibu sudah menganggap kamu putri Ibu sendiri. Ya udah ya, Ibu mau pulang dulu. Kamu jangan lupa makan buburnya, terus mandi."

"Ya, Bu. Sekali lagi makasih banyak ya, Bu."

Ibu Winda mengangguk dan tersenyum, kemudian segera pulang ke rumahnya.

Setelah Ibu Winda pergi, kini Neta sendirian lagi di rumahnya. Karena tidak ingin waktunya terbuang sia-sia, juga harus membereskan rumahnya, Neta bergegas untuk membersihkan diri. Kemudian, ia makan buburnya, dan dilanjutkan untuk membereskan rumah.

Sambil membereskan kamar yang ditempati pamannya, Neta menemukan sebuah foto yang sudah lama di atas meja.

Dilihatnya foto tersebut sambil mengusapnya.

"Ini foto satu-satunya yang masih ada, foto yang menyimpan kenangan bagi paman. Ada ayah, ibu, paman, dan juga bibi, ada aku juga." Ucapnya lirih sambil mengamati foto tersebut, dan tidak disadari jika Neta meneteskan air matanya.

Tidak ingin kehilangan barang berharga meski hanya sebuah foto saja, Neta menyimpannya di dalam tas miliknya. Kemudian, dilanjutkan lagi untuk membereskan kamar pamannya.

Tidak lama kemudian, Ibu Winda datang lagi untuk membantu Neta membereskan rumahnya sebelum ditinggal pergi ke kota.

Selesai beberes, Neta merasa lega karena isi dalam rumah sudah tertata dengan rapi.

"Jadi, keputusan kamu sudah bulat 'kan, Nak?" tanya Ibu Winda selesai membantu Neta membereskan rumahnya.

"Ya, Bu. Keputusan Neta sekarang sudah bulat, bahwa Neta akan pergi ke kota. Soalnya penasaran juga dengan isi pesan dari mendiang paman. Tidak mungkin hanya sebuah perjodohan, mungkin ada sesuatu yang lainnya." Jawab Neta berusaha untuk berpikir positif, meski entah kenyataannya nanti.

"Ya udah kalau gitu, Ibu pulang dulu ya. Ibu juga mau ke ladang, nanti sore kesini lagi. Sekalian, menemani kamu ke rumah pak Maman untuk ikut ke kota. Soal ongkos, nanti Ibu yang akan bayarin. Uang kamu simpan saja untuk jaga-jaga, karena kita gak tahu nantinya. Ya udah ya, Ibu pulang. Jangan banyak pikiran, tetap berpikir yang positif, mendingan buat istirahat saja." Ucap Ibu Winda, Neta pun mengangguk, tanda mengiyakan.

Setelah Ibu Winda pulang ke rumahnya, Neta yang tidak ada lagi kerjaan, pun memilih untuk istirahat agar pikirannya sedikit tenang. Sampai tidak terasa waktu pun sudah sore, Ibu Winda kembali datang dan mengajak Neta untuk pergi ke tempat pak Maman untuk dimintai tumpangannya.

Ketika mendapat izin dan Ibu Winda sudah membayarkan ongkos perjalanan Neta ke kota, Ibu Winda mengajaknya untuk pergi ke warung makan, menikmati kebersamaan yang mungkin saja akan jarang bertemu. Bahkan, bisa jadi berbulan-bulan tidak lagi bertemu.

Selesai menikmati makan malamnya di pinggiran jalan, Neta dan Ibu Winda pulang ke rumahnya Neta. Kebersamaan antara Ibu Winda dan Neta untuk terakhirnya bertemu, dan menginap.

.

.

.

Pagi hari yang tengah disibukkan, Neta dibantu Ibu Winda untuk bersiap-siap.

"Ini, Ibu sudah bawakan bekal untuk kamu nanti diperjalanan. Soalnya kamu bakal menempuh perjalanan yang cukup panjang menuju kota. Jadi, ketika didalam mobil kamu merasa lapar, kamu bisa makan bekal kamu ini. Jangan pernah merasa malu, yang ada kita akan rugi sendiri. Satu hal lagi, jaga diri kamu baik-baik. Ibu maunya kamu tetap menjadi anak yang kuat, jangan lemah. Kamu sudah punya bekal ilmu bela diri, gunakan untuk menjaga diri kamu dengan baik, ya." Ucap Ibu Winda tak lupa memberi nasehat kecil dan juga pesan untuk Neta.

"Ya, Bu. Terima kasih banyak ya, Bu. Neta akan ingat nasehat dan pesannya dari Ibu, jaga diri Ibu baik-baik. Kalau ada waktu luang, Neta akan menemui Ibu." Jawab Neta dan langsung memeluknya dengan erat.

Terasa berat untuk meninggalkan kampung halamannya yang penuh kenangan, dan cerita indah dimasa kecilnya bersama teman-teman, para tetangga, dan juga paman dan bibinya.

Berangkat ke kota

Neta yang tengah ditemani oleh Ibu Winda ke tempat pangkalan terminal mobil, terasa berat untuk berpisah jauh dengan orang yang disayanginya. Lebih lagi dengan kampung halamannya yang begitu banyak memberinya kenangan, tentu saja hati terasa berat untuk melangkahkan kakinya lebih jauh lagi.

"Kita sudah sampai, hati-hati diperjalanan kamu nanti ya, Nak. Jaga diri kamu baik-baik, ingat tujuan kamu. Kalau kamu ada apa-apa, hubungi nomor telepon Ibu, jangan sampai tidak. Ibu doakan, semoga kamu temukan kebahagiaanmu di sana." Ucap Ibu Winda memberi pesan dan nasehat kecil untuk Neta.

Neta meraih tangan Ibu Winda dan menatapnya begitu lekat, kemudian memeluknya.

"Neta berangkat ya, Bu. Terimakasih atas doanya, Neta akan jaga diri baik-baik. Ibu juga, jaga kesehatan Ibu. Maafkan Neta yang belum bisa membalas kebaikan Ibu." Jawab Neta sambil memeluk.

Kemudian, Ibu Winda melepaskan pelukannya.

"Pokoknya kalau ada apa-apa, telepon Ibu. Satu lagi, hati-hati dengan orang yang belum kenal." Ucap Ibu Winda mengingatkan.

"Ya, Bu. Kalau gitu, Nete berangkat ya, Bu. Sampai jumpa lagi, Bu." Jawab Neta dan mencium punggung tangannya.

Ibu Winda memeluknya, tanda perpisahan yang entah kapan lagi akan bertemu.

"Neta! Net! tunggu!" teriak seorang laki-laki yang tengah berlarian.

"Net, kamu serius mau pergi?" tanyanya dengan napasnya yang tersengal.

"Ya, Ren. Aku mau pergi ke kota. Maaf, aku gak pamitan sama kamu. Soalnya kamu lagi kerja, takut membuang waktumu." Jawab Neta yang tidak enak hati.

"Aku ikut ya, Net." Ucap Reno dengan permintaannya.

"Jangan, biarkan Neta berangkat sendiri. Kamu fokus dengan pekerjaan kamu, ayo kita pulang, biarkan Neta pergi ke kota." Ucap Ibu Winda menimpali, dan menarik paksa putranya.

"Bu, tapi, Bu. Net, aku ikut ya, aku ambil tas aku dulu." Ucap Reno yang tidak ingin untuk berpisah.

Neta menggelengkan kepalanya, dan mengatupkan tangannya untuk memberi isyarat dengan jarak yang mulai menjauh, yakni menolak keinginannya Reno. Saat itu juga, Neta langsung masuk ke mobil demi untuk menghindari Reno.

Sedangkan Reno yang masih ditarik oleh ibunya, seketika langsung melepaskan tangannya.

"Bu, kenapa Ibu gak mengatakannya dari kemarin kalau pamannya Neta sudah meninggal, juga perginya ke kota, kenapa, Bu? aku mencintainya, kenapa Ibu tega membiarkan Neta pergi ke kota sendirian? kalau terjadi sesuatu dengannya, bagaimana?"

"Tidak akan terjadi sesuatu padanya, lebih baik kamu lupakan dia. Juga, kamu tidak usah bekerja di kota. Mendingan gaji kamu buat membangun toko, dan kamu tetap berada di rumah menemani Ibu." Jawab ibunya.

"Enggak, Bu, aku gak mau. Apalagi Neta pergi ke kota, untuk apa aku di kampung? aku harus mengejar Neta, Bu. Aku harus kembali ke kota, titik." Ucap Reno yang tetap bersikukuh atas pendiriannya.

"Reno!" bentak ibunya.

Sedangkan Reno sendiri tetap bersikukuh untuk tetap pergi ke kota untuk mengejar perempuan yang disukainya itu.

Ibu Winda yang tidak ingin putranya pergi ke kota, dirinya langsung pulang ke rumah untuk menghentikan niat Reno yang akan menyusul ke kota.

"Kenapa kamu menjadi keras kepala begini, Nak? Neta bukan jodohmu. Jadi, kamu jangan terlalu berharap padanya."

"Bu, aku mencintainya."

"Tapi kamu sudah pernah mengecewakannya, Reno. Apa kamu lupa, dulu kamu lebih memilih Erin ketimbang Neta, 'bukan? jadi, biarkan Neta pergi dan mencari kebahagiaannya." Ucap sang ibu yang akhirnya ikut campur urusan pribadi putranya.

Saat itu juga, Reno tersadar akan masa lalunya yang pernah menorehkan luka di hati Neta. Perempuan yang pernah disakitinya demi wanita lain.

"Tapi, Bu. Bukankah setiap manusia mempunyai kesempatan untuk memperbaiki diri? seharusnya Ibu mendukungku untuk kembali bersamanya."

"Sudahlah, lupakan saja si Neta. Kehidupan Neta sudah cukup perih, jangan menambahkan luka padanya. Lebih baik kamu fokus dengan kerjamu, jangan mencari keberadaan Neta. Kalau kamu masih ingin bekerja di kota, silakan. Tapi ingat, jangan mencari keberadaannya." Ucap ibunya memberi peringatan kepada putranya.

Reno sama sekali tidak menjawab ucapan dari ibunya, dan dirinya memilih untuk masuk ke kamarnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!