NovelToon NovelToon

KASIH TAK SAMPAI

PINDAH

"Sayang, minum obat dulu yah." seorang wanita cantik berumur awal 40-an menepuk pundak seorang gadis remaja yang tengah duduk ditaman belakang rumahnya yang penuhi dengan tanaman berbagai macam jenis bunga-bungaan 

Gadis yang disapa itu mengangguk, "Iya ma." ucap si gadis yang berwajah pucat itu.

Wanita yang dipanggil mama itu bersiap untuk membantu anak gadisnya berdiri dan memapahnya, "Mama bantu ya sayang." niatnya terhenti karna gadis itu keburu menyela.

"Ma, Melati bisa, jangan perlakukan melati seperti orang lumpuh, melati itu sehat ma." protes gadis remaja bernama Melati itu.

Sik wanita yang dipanggil mama itu hanya mengangguk, tapi wanita itu tidak menggubris ucapan anaknya, dia memegang lengan anaknya untuk membantunya berdiri, kali ini Melati tidak menolak bantuan mamanya.

Melati tahu mamanya khawatir padanya, dan Melati sangat tahu kalau mama dan papanya selama setahun belakangan ini sangat memperhatikannya, keluarganya yang dulu sempat acuh tak acuh, mama dan papanya yang selalu sibuk dengan urusan mereka masing-masing tanpa peduli dengan satu sama lain, dan termasuk tidak mempedulikannya, mama dan papanya yang selalu bertengkar karna hal-hal sepele, entah Melati harus bersuyukur atau mengeluh dengan penyakit yang dideritanya saat ini, tapi walaupun dia selalu merasa ini semua gak adil baginya, tapi toh semuanya ada sisi positifnya, yaitu melati bisa melihat mama dan papanya bisa akur dan bisa kembali seperti dulu lagi seperti melati masih kecil. Ketika karir Rita mama melati lagi bagus-bagusnya, ketika mengetahui penyakit yang diderita anaknya, Rita rela mengundurkan diri hanya untuk mengurus Melati dan sepenuhnya melimpahkan kasih sayang pada putri satu-satunya itu.

Rumah sakit, kemoterapi, berbagai macam obat-obatan merupakan hal yang sangat akrab dengan melati satu tahun belakangan ini, kemoterapi ataupun obat-obatan yang dikonsumsi tidak membuat penyakit kanker hati yang diderita Melati sembuh, tapi hanya memperlambat proses penyebaran penyakitnya dan hanya memperpanjang sedikit umurnya, Melati sebenarnya sudah capek dan bosan melakukan itu semua, tapi toh demi kedua orang tuaya Melati tetap melakukan hal tersebut.

Mama Ritalah yang senantiasa menemaninya, menggenggam tangannya dan memberikan penguatan kepada Melati, dia senantiasa rutin mengingatkan Melati untuk meminum obat-obatan yang membuat Melati sejujurnya muak, tapi dia harus menelan obat-obat tersebut hanya untuk membuat mama dan papanya tenang. Selain mama dan papanya, Melati memiliki 2 sahabat yang juga senantiasa selalu ada disampingnya, yaitu Denis dan Amara, Denis dan Amaralah yang sering membawakannya catatan ketika Melati tidak masuk selama berminggu-minggu akibat penyakit yang dideritanya, mereka berdualah yang sering menghiburnya dengan menceritakan lelucon yang terjadi dikelas selama Melati tidak masuk. Melihat mama dan papanya membuat Melati memilki semangat untuk sembuh meskipun dokter telah memvonis kalau tingkat kesembuhannya sangatlah kecil bahkan terbilang mustahil, tapi papanya, laki-laki yang selalu disayang Melati selalu menghiburnya dengan mengatakan kalau dokter adalah manusia biasa, hidup mati itu ada ditangan tuhan, jadi papanya selalu bilag kalau Melati akan berumur panjang, menikah dan punya anak, kata-kata papanya tersebut selalu Melati tanggapi dengan terkekeh.

*****

Untuk terakhir kalinya Melati mengedarkan pandangannya diseluruh kamarnya, Melati merasa berat untuk meninggalkan rumahnya yang telah menjadi saksi hidupnya selama 17 belas tahun belakangan ini, tapi dia terpaksa harus pindah dari rumahnya itu karna papanya dipindah tugaskan, selain hal tersebut, menurut papanya yang dimutasi ke Bandung, udara kota Bandung lebih bagus untuk kesehatan Melati dibandingkan dengan Jakarta yang polusi udaranya makin parah setiap harinya, padahal Bandung dan Jakarta sama saja.

Mata Melati jatuh pada pigura dinakas samping tempat tidurnya, didalam pigura itu terdapat gambar 3 orang remaja yang tertawa lebar ke arah kamera seakan-akan ketiga remaja tersebut tidak memiliki beban untuk difikirkan.

Melati berjalan pelan ke arah nakas, mengambil pigura tersebut, memandangnya untuk beberapa saat, kemudian dia menghembuskan nafas berat, itu adalah foto dirinya dan 2 sahabatnya yaitu Denis dan Amara.

"Semoga kalian bahagia." ungkap Melati dengan tidak rela.

Tidak ada persahabatan yang murni antara cowok dan cewek, begitu juga dengan persahabatan mereka bertiga, Melati diam-diam menyukai Denis, dia memendam perasaanya bertahun-tahun hanya untuk menjaga tali persahabatan mereka bertiga supaya tidak retak, Melati tidak ingin Denis tau kalau dirinya menyukainya, Melati takut kalau Denis tahu akan perasaanyan, Denis akan menjauhinya.

Disisi lain ternyata Denis menyukai Amara, hal ini Melati ketahui dari buku harian Denis yang tidak sengaja dibaca Melati ketika berkunjung kerumah Denis, hati Nelati hancur mengetahui hal tersebut, masih sangat jelas di ingatan Melati tentang peristiwa yang ditandai sebagai salah satu hari paling menyedihkan dalam hidupnya.

Flasback on

Waktu itu Melati datang sendirian ke rumah Denis karna dmDenis selama 3 hari tidak masuk karna sakit, dia sengaja tidak mengajak Amara karna dia ingin menghabiskan waktu berdua dengan Denis, dan kebetulan ketika dia datang mama Alya alias mamanya Denis yang menyambutnya.

"Siang tante." sapa Melati"

"Eh Melati sayang." Alya memeluk Melati dan mencium pipinya, memang Melati dan Amara sudah dianggap anak sendiri oleh Alya.

"Mau jenguk Denis ya." tebak mama Alya.

"Iya tante."

"Hmmmm." mama Alya menarik nafas "Anak itu, padahal dia sudah sembuh lho, tapi emang dasar dia pemalas, dia selalu bilang sama tante, masuknya besok ma, badan Denis masih lemes, padahal berjam-jam kerjaanya main game melulu." keluh mama Alya.

Melati tertawa mendengar penuturan mama Alya, "Sekarang Denisnya dimana tante."

"Dia ada dikamar, paling-paling maen game lagi, dia akan pura-pura sakit kalau tante masuk, mending kamu samperin dia ke kamarnya ya sayang."

"Baik tante "

Baik Melati dan Amara juga sudah terbiasa nyelonong keluar masuk kamarnya Denis, seperti sekarang ini, tanpa mengetuk pintu terlebih dulu, Melati mendorong pintu kamar Denis, ruangan itu kosong, terdengar suara gemericik air dari kamar mandi yang membuat Melati yakin kalau Denis ada dikamar mandi saat ini.

Bener kata mama Alya, Denis sepertinya tengah maen game karna TV masih menyala.

"Denis, Denis, dasar pemalas lo." Melati menggeleng-gelengkan kepalanya.

Melati sudah sangat familiar dengan kamar Denis, dia sudah sangat tahu seluk beluk kamar tersebut, meskipun begitu, banyak hal juga yang ternyata yang tidak diketahui Melati, seperti ketika matanya tertumbuk pada buku harian yang terbuka dimeja belajar Denis.

"Dia cowok bukan sieh." tanya Melati pada diri sendiri sembari bibirnya mengulas senyum saat melihat buku harian tersebut, "Cowok kok nulis buku harian."

Kakinya membawanya mendatangi tempat belajar Denis, Melati penasaran ingin tahu apa yang ditulis oleh Denis dibuku harian tersebut.

"Gue yakin Amara juga tidak tau kalau Denis suka nulis buku harian, kalau gue kasih tau dia, pasti dia bakalan meledek Denis habis-habisan." lirihnya tersenyum membayangkan ekpresi Amara kalau dia kasih tau.

Melati mendudukkan bokongnya dikursi belajar Denis dan mulai membalik lembaran buku harian tersebut, dihalaman pertama tertulis biodata Denis beserta pesan konyol yang berbunyi.

Yang berani buka buku harian gue tanpa izin, gue sumpahain jomblo seumur hidup.

Yang ditanggapi oleh Melati dengan kalimat, "Dihhh, emang kutukan lo manjur apa."

Tangan Melati kembali membalik kertas tersebut ke halaman kedua, dihalaman inilah Denis mulai mencurahkan isi hati yang dirasakannya.

Entahlah, aku gak tau apa yang terjadi denganku, begitu melihatnya, hatiku langsung berdebar-debar, apakah mungkin ini yang namanya cinta pada pandangan pertama

"Tanggal yang sama dengan tanggal dimana gue dan Denis berkenalan." ujar Melati setelah melihat tanggal yang tertera disana, "Apa mungkin yang dimaksud adalah gue." duga Melati geer, "Ahh, gak mungkin." meskipun berkata begitu, Melati bener-benar berharap kalau yang dimaksud dalam tulisan tersebut adalah dirinya, makanya dia dengan bersemangat kembali membalik halaman demi halaman untuk membaca curahan hati Denis berikutnya.

Disetiap tulisannya, Denis selalu menggunakan kata dia, dia untuk menyebut wanita yang dia sukai tanpa menyebut nama, hal itu semakin membuat Melati geer saja.

Dan kemudian Melati membaca tulisan terakhir yang ditulis oleh Denis, kemungkinan tulisan tersebut ditulis hari ini.

Aihhh, senengnya aku, dia menelpon menanyakan kabarku, berjanji akan datang menjengukku, meskipun aku sehat sekarang, tapi aku rela sakit hanya untuk mendapatkan perhatian darinya.

Seketika perasaan Melati menjadi tidak enak, dibukanya dengan cepat buku harian tersebut ke halaman sebelumnya yang sudah ditulisi Denis untuk mengetahui siapa gadis yang dimaksud, setiap lembar buku harian tesebut menceritakan tentang isi hati denis, pada dia, dia, dia yang tidak dtulis namanya, sampai pada sampul bagian belakang, disana tertempel foto dia, dia yang dimaksud dalam tulisan Denis, dia yang dimaksud oleh Denis tidak lain adalah Amara.

Tangan Melati gemetar, bibirnya terasa kelu, hatinya terasa tercabik-cabik, "Jadi....jadi selama ini Denis...." Melati berusaha keras menahan kucuran air matanya, tapi air matanya malah berkhianat, "Mencintai amara." berbarengan dengan kalimatanya itu air matanya mulai meleleh membasahi pipinya.

Melati mendengar gagang pintu kamar mandi diputar, Melati buru-buru mengahapus air matanya, sebisa mungkin dia harus menyembunyikan perasaanya, dan lebih-lebih lagi dia tidak ingin Denis tau kalau dia menangis dan dia lebih tidak ingin lagi Denis tau kalau dia telah membaca diarynya, Melati langsung menaruh buku harian tersebut ditempat dimana dia mengambilnya.

"Lho Mel, lo ngapain dikamar gue." Denis kaget melihat Melati yang tiba-tiba telah berada dikamarnya.

Melati berusaha mengontrol emosinya dan mengatur suaranya supaya terdengar normal, dia kemudian berbalik menghadap Denis, "Ya jenguk lo lah begok, katanyakan lo sakit, orang sakit ternyata maen gamenya semangat yah."

Meskipun tubuhnya menghadap ke arah Denis, Melati tidak berani memandang mata Denis, dia takut kalau Denis bisa membaca perasaannya.

Denis menggaruk kepalanya dan cengengesan, tapi kemudian Denis baru sadar tentang buku hariannya yang tergeletak dimeja, dia buru-buru mendekat ke arah Melati, melihat buku hariannya yang awalnya terbuka kini tertutup rapat.

"Lo baca yah, yah gitu deh." seloroh Denis tanpa diminta, "Gue emang menyukai Amara."

"Sejak kapan." tanya Melati meskipun dia tidak ingin tahu.

"Heheh, sebenarnya sieh gue suka dia sejak pertama kali melihat dia."

"Sejak pertama kali melihat dia." ulang Melati, "Apa...apa jangan-jangan selama ini dia bersahabat dengan gue hanya untk mendekati Amara, kalau iya begitu, dia bener-benar jahat." batin Melati menjerit mengetahui fakta tersebut.

"Sori yah Mel kalau gue boleh jujur, tapi sebelumnya janji yah mel lo jangan marah sama gue, janji yah Mel."

"Memangnya lo mau mengatakan apa."

"Janji dulu donk lo jangan marah sama gue, soalnya kalau lo marah, gue gak ingin kehilangan sahabat kayak lo."

Karna penasaran, Melati akhirnya mengangguk, "Iya, gue gak akan marah."

"Awalnya memang gue bersahabat dengan lo hanya ingin dekat dengan Amara."

Sebiasa mungkin Melati menahan tangisnya sambil membatin, "Tuhkan bener dugaan gue."

"Tapi sekarang, gue bener tulus bersahabat dengan lo Mel sumpah, gue bener-bener sayang sama lo Mel sebagai sahabat, lo maukan maafin gue." jelas Denis.

Ketika Melati belum juga merespon, Denis terlihat khawatir.

"Mel, lo marah sama gue, plisss jangan marah sama gue Mel, lokan udah janji gak bakalan marah sama gue."

Melati yang dari tadi menunduk mengangkat wajahnya, matanya agak memerah karna tangisnya barusan.

"Lo nagis Mel." Denis panik, "Gue bener-bener minta maaf Mel, sumpah gue gak ada maksud bikin lo sedih gini, gue...."

"Gue gak nangis Den, apa-apan sieh lo." bohongnya, padahal mah hatinya bergemuruh hebat.

"Tapi mata lo memerah Mel."

"Oh mata gue, ini mah kelilipan tau, kamar lo sieh jorok banyak debunya." melati berusaha bercanda.

"Enak aja lo."

"Lo gak marahkan Mel sama gue."

"Marah, ya gak lah."

"Jadi, lo gak bakalan mecat gue jadi sahabat lokan."

"Mecat-mecat, lofikir gue bos lo apa."

"Jadi intinya lo gak marahkan Mel."

"Gak Denis, buat apa sieh gue marah."

"Syukurlah." Denis mendekat dan tanpa aba-aba dia merangkul Melati, "Tadinya gue bener-bene takut lo bakalan tidak mau lagi bersahabat dengan gue, lo bener-bener baik Mel."

Melati membeku, tidak tahu harus merespon bagaimana, yang dia tau dia sepertinya tidak kuat lagi menahan rasa sakit dihatinya yang digoreskan oleh Denis, meskipun begitu, dia masih berusaha untuk bercanda untuk menutupi rasa sakitnya.

"Aduh Den kebiasaan banget sieh lo meluknya kenceng banget, kan gue jadi susah nafas nieh." bohongnya padahal Denis meluknya biasa aja.

"Oh, heheh, Sorry sorry."

"Mel, lo gak akan cerita tentang perasaan gue sama Amarakan." pinta Denis begitu melepas pelukannya.

"Hmmm, gimana yah."

"Mel, jangan donk ya, gue belum siap nieh."

"Kalau Amara diembat orang baru tahu rasa lo."

"Gue bakalan nyari waktu yang tepat buat nyatain perasaan gue sama dia, jadi, lo jangan bilang dia dulu ya." pinta Denis penuh harap.

"Hmmm, ya sudah deh, gue akan tutup mulut, tapi jangan lama-lama juga, takutnya lo kedahuluan sama orang lagi." Melati memperingatkan, dibibirnya sieh bilang begitu, padahalkan hatinya nelangsa.

"Oke, siap buk boss."

Flasback off

"Sayang, kamu udah selesai." mama Rita sudah berada di ambang pintu, sapaan mamanya tersebut sekaligus memutuskan lamunan Melati dan membawaya kemasa sekarang.

"Iya ma, Melati udah selesai kok." sahut Melati yang sudah selasai mengepak barang-barang yang akan dibawanya pindah ke rumah barunya dibandung.

Satu seminggu sebelum kepindahan Melati, Denis menyatakan perasaannya kepada Amara dan ternyata Amara juga menyukai Denis dan tentu saja mereka kini telah resmi jadian, hal tersebut semakin memantapkan tekad Melati untuk pindah dan berharap tidak bertemu mereka lagi untuk sementara untuk menenangkan hatinya.

Melihat wajah putrinya yang murung dan pucat mama rita merasa khawatir, dia berjalan mendekati Melati, mengelus pipi anak semata wayangnya itu, dan bertanya dengan lembut, "Apa kamu merasa gak sehat nak "

Selama setahun belakangan ini, mama Rita selalu khawatir dengan keadaan Melati karna penyakit yang diderita oleh Melati, itulah alasan kenapa dia berhenti menjadi wanita karir, dia lebih fokus mengurus Melati putrinya karna dia tidak ingin menyesal nantinya.

"Mama." rengek Melati, "Percaya deh sama Melati, Melati itu gak apa-apa, jadi stop khawatirin Melati." Melati berusaha tersenyum ceria untuk membuat mamanya tidak khawatir.

"Gimana mama tidak khawatir sayang, mamakan takut terjadi apa-apa sama kamu."

"Hmmm, tapi seperti yang Melati bilang, Melati baik-baik saja mama."

"Hmmm, baiklah, mama percaya kalau kamu baik-baik saja."

Melati kemudian melirik jam di pergelangan tangannya dan menepuk keningnya, "Astagaaa, mama ayok cepat kita kebawah, ntar papa marah kalau kita kelamaan."

"Papa tidak akan berani marah sama kamu sayang, kan kamu kamu anak kesayangannya."

"Mama nieh bisa aja, ayok ma sebaiknya kita cepat, meskipun papa tidak akan memarahi Melati, tapi Melatikan juga tidak mau papa nunggu lama."

Melati menarik kopernya dan menggandeng tangan mamanya keluar dari mantan kamarnya, mama Rita sudah berusaha mengambil alih koper yang ditarik sama Melati ,tapi alhasil Melati mengerecutkan bibirnya yang membuat mama Rita menyerah dengan kekeraskepalaan Melati, sedangkan papa Ardi, papanya Melati sedang memasukkan beberapa barang-barang ke bagasi mobil, dan sisanya nanti akan diangkut menggunakan mobil bak terbuka.

Melihat anaknya menarik koper yang lumayan besar, pandangan papa Ardi langsung terarah pada istrinya.

"Mama ini gimana sieh, kenapa membiarkan Melati membawa kopernya sendiri."

Belum sempet mama Rita membela diri, Melati sudah duluan menyambar, "Papa, ini gak berat, Melati bisa kok, tinggal ditarik doank, kan ada rodanya, jadi gak akan bikin Melati capek, jadi papa, jangan marahin mama ya."

"Tapi sayang, kamu itukan lagi sakit." protes papa Ardi.

"Papa, Melati itu kuat kok, percaya deh sama Melati, papa dan mama gak perlu khawatir dengan Melati." Melati meyakinkan mama dan papanya dengan menyunggingkan senyum ceria.

Selama setahun belakangan ini itulah yang sering dilakukan Melati untuk menghilangkan kekawatiran mama dan papanya, walaupun mama dan papanya akan melakukan apa saja untuk dirinya, tapi Melati gak mau selalu bergantung sama mama dan papanya, dia gak mau penyakitnya yang tengah dideritanya membuatnya menjadi gadis lemah.

Akhirnya papa Ardi hanya geleng-geleng kepala melihat watak putrinya yang keras kepala itu, sifat yang diturunkan darinya.

Koper terakhir sudah dimasukkan dengan aman dibagasi, ketika Melati dan keluarganya sudah bersiap memasuki mobil, sebuah motor yang sudah sangat dikenal oleh Melati berhenti tepat didepan gerbang rumahnya, itu adalah Denis, sedangkan Amara duduk diboncengan motor Denis dibelakang, Amara langsung melompat dan berlari ke arah Melati dan menubruknya, matanya basah, dengan terisak dia berkata, "Mel, emang harus ya lo pergi, kalau lo pergi gue sama siapa coba."

Melati melapas pelukan Amara, dengan senyum yang dipaksakan dia memandang Denis yang tengah berjalan ke arah mereka, "Kan ada Denis Ra."

"Denis itu beda dengan lo Mel."

"Jelas bedalah Ra, guekan cewek dan Denis cowok."

"Dihh." Amara memukul lengan Melati pelan, "Anak ini masih sempat-sempatnya aja bercanda, gue serius tau." omelnya cembrut.

Melati terkekeh, "Maaf maaf sensi amet sieh lo."

Amara tidak menanggapi candaan Melati, dia malah meraih tangan Melati dan memohon, "Pliss Mel, lo jangan pergi yah."

"Ra, gue harus pergi."

"Lo jahat Mel."

Denis merangkul lengan Amara, pandangan Melati jatuh pada kemesraan yang ditunjukkan oleh Denis, Melihat hal itu, Melati bener-benar memaksakan senyumnya, meskipun dia berat untuk pindah, tapi dia juga bersuyukur karna dengan begitu dia tidak akan merasa sakit lagi melihat Denis dan Amara.

"Ikhlasin Ra, kalau Melati tinggal di Jakarta, dia sama siapa coba."

"Melati bisa tinggal dirumah gue Den."

"Ra." Denis memberi pengertian pada kekasihnya itu, " Jarak Bandung dan Jakarta itukan dekat, jadi kita bakalan sering-sering berkunjung ke Bandung untuk menemui Melati, bener gak Mel."

"Bener Ra, lo sama Denis bisa main ke Bandung kapanpun lo mau."

"Tapi lo janji yah Mel, lo gak bakalan lupain gue dan Denis meskipun lo punya temen baru disana."

Melati mengangguk, dalam hati dia berkata, "Gue gak bakalan lupain lo Ra, dan akan berusaha untuk melupakan perasaan gue sama pacar lo."

Setelah memeluk Melati untuk terakhir kalinya, akhirnya Amara ikhlas melepas Melati, disusul kemudian oleh Denis yang juga memeluk Melati sembari berbisik, "Jaga kesehatan lo Mel, gue pasti bakalan merindukan lo, lo adalah sahabat terbaik gue."

Melati mengangguk kaku, dan juga berbisik, "Jaga Amara, jangan sakitin dia, kalau lo berani-beraninya nyakitin dia, gue akan datang langsung ke Jakarta untuk menghajar lo."

Denis terkekeh mendengar ancaman Melati yang lebih kepada candaan.

Sebelum pergi, Denis dan Amara menyalami papa Ardi dan mama Rita.

Melati melambai dari dalam mobil saat mobil melaju meninggalkan dua sahabatnya yang melepas kepergiannya.

********

MURID BARU

Melati terbangun dan menemukan dirinya disebuah ruangan asing, dinding kamar tersebut didominasi oleh warna biru laut warna kesukaannya, Melati mengucek matanya.

“Dimana gue.” tanyanya pada diri sendiri, butuh waktu beberapa menit untuk menyadari kalau disudah pindah dan kini dirinya tengah berada dirumah barunya di Bandung.

Suara gagang pintu yang diputar dari luar dan memampangkan wajah mamanya yang tersenyum hangat begitu pintu kamarnya terbuka.

“Sudah bangun sayang.”

“Mita udah sampai ma.”

Mama Rita mengangguk menjawab pertanyaan putrinya.

“Kenapa Melati gak dibangunin ma.”

“Kamu tidurnya lelap sekali sayang, jadi mama dan papa gak tega buat bangunin kamu, jadinya papa deh yang gendong kamu." jelas mama Rita.

Membayangkan dirinya digendong oleh papanya membuat Melati melontarkan pertanyaan, ”Papa gendong Melati ma, emang papa kuat ma, Melatikan gendut dan sudah pasti berat."

Mama Rita menggeleng, “Kamu jangan meremehkan papa donk sayang, meskipun papa umurnya tidak lagi muda, papa tenaganya kuat lho, jangankan gendong Melati, gendong anak gajah juga papa sanggup.”

Melati tertawa, mama Rita ikut tertawa melihat putrinya tertawa.

"Mama ini ada-ada saja, ya gak mungkilah papa kuat kalau yang digendong anak gajah."

Mama terkekeh.

“Kamu suka kamarnya sayang.”

“Suka ma, nyaman, warnanya juga warna kesukaan Melati.”

“Syukurlah kalau kamu suka.”   

“Kapan Melati bisa sekolah ma.”

“Iya sayang sabar, papakan mesti cari sekolah yang cocok dan bagus untuk Melati dulu."

“Oh gitu yah, Melati jadi gak sabar mah."

“Mel."

“Hhmm.”

“Apa tidak sebaiknya Melati home scholing saja sayang, biar mama bisa ngawasin kamu.”

Melati menggeleng, “Ma, Melati sehat dan kuat kok, percaya deh sama Melati, Melati bisa menjaga diri, mama percayakan sama Melati."

Mama Rita mengelus pipi pucat putrinya dan mengagguk, “Iya sayang, mama percaya.” lisannya, dihatinya tentu saja dia khawatir dengan keadaan putrinya.

Melati tersenyum, ”Lagian yah ma, mana enak belajar sendirian,, terkurung dirumah, mending sekolah punya banyak temen, iyakan ma.”

“Iya sayang, tapi janji dulu sama mama, kalau Melati harus rajin check up dan rajin minum obat oke."

“Siap buk bos, perintah dilaksakan.” Melati pose hormat membuat mama Rita tertawa dengan kelakuan kekanak-kanakan putri semata wayangnya itu.

“Nah, sekarang sudah waktunya makan malam, kita turun yuk, papa sudah nunggu tuh.”

“Oke ma.” semangat Melati.

*****

Sudah satu minggu Melati dan keluarganya pindah ke Bandung, ketika menginjakkan kaki dirumah barunya, hal pertama yang terlintas dipikiran Melati adalah, dia menyukai rumah barunya itu, rumah mungil dengan halaman yang  luas, Melati berjanji pada dirinya sendiri akan menata taman agar terlihat hijau seperti yang dilakukakannya pada bekas rumahnya yang ada di Jakarta. Dan selama satu minggu belakangan ini, Melati yang ditemani oleh mamanya keliling Bandung untuk mencari penjual tanaman hias, dan walaupun hasilnya belum kelihatan, tapi seenggaknya taman yang luas itu sekarang sudah ditanami dengan berbagai macam bunga terutama bunga Melati bunga kesukaan Melati, bunga yang sesuai dengan namanya.

“Pagi ma, pagi pa." sapa Melati pagi itu begitu tiba dimeja makan

“Pagi sayang ” balas papa Ardi dan mama Rita bersamaan membalas sapaan Melati.

Melati mencium pipi mama dan papanya bergantian, sepiring nasi goreng dan telur  mata sapi kesukaannya sudah disiapkan untuknya, sementara itu mamanya tengah sibuk meladeni papanya, melihat keluarga kecilnya berkumpul seperti ini membuatnya terharu, seandainya menangis tidak membuat papa dan mamanya khawatir, pasti Melati sudah menangis saat ini.

“Kenapa sayang.” tanya papa Ardi yang melihat putrinya menatap dirinya dan istrinya.

“Eh, gak kok pa.” Melati gelagapan karna kepergok memperhatikan mama dan papanya yang terlihat mesra.

“Apa nasinya gorengnya tidak enak sayang.” tanya mama Rita pada putrinya.

“Gak tau ma, kan Melati belum makan, tapi Melati yakin seperti biasanya masakan mama pasti paling enak sedunia.”

“Kamu bisa saja membuat mama jadi besar kepala.”

“Hehehe.” Melati cengengesan, “Ma, pa, tetap seperti in yah, Melati  bahagia lihat mama dan papa akur, Melati pengen mama dan papa akan selalu seperti ini walaupun nanti Melati sudah tidak ada.”

Mama Rita tidak tahan mendengar kata-kata putrinya yang menyebabkannya mengucurkan air mata, sedangkan papa Ardi, ekspresinya gak bisa dibaca, tahu-tahunnya mama Rita sudah mendekap anak perempuannya itu sembari berucap.

“Melati sayang, Melati gak boleh bilang begitu lagi yah sayang, Melati pasti sembuh kok.” mama Rita melirik ke arah suaminya sebagai kode meminta suaminya untuk mendukung kata-katanya.

“Benar kata mama sayang, pokoknya Melati itu pasti sembuh, lulus, kuliah, wisuda dan pada akhirnya akan menikah dan punya anak, pokoknya mama dan papa akan mengusahakan yang terbaik buat kesembuhan Melati, papa akan cari dokter yang paling hebat untuk menyembuhkan penyakit Melati yah sayang, Melati gak boleh ngomong seperti itu lagi, emang Melati tega ninggalin mama dan papa.” sambung papa Ardi, meskipun papa Ardi tau kata-katanya lebih daripda penghiburan saja, karna dokter saja memvonis penyakit yang diderita Melati kemungkinan sembuhnya sangat kecil, tapi dengan keyakinan bahwa Tuhanlah yang menyembuhkan, dokter itu hanya perantara, hal itu membuat papa Ardi menggantungkan harapannya sama Tuhan, selama ini papa Ardi selalu berusaha bersikap tegar didepan putrinya, dia gak mau terlihat lemah didepan Melati, Melati membutuhkannya, selama ini dia berusaha mengganti masa-masa yang hilang dengan keluarga kecilnya, dia dan istrnya yang dulu selalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing tanpa meperhatikan putri tunggalnya, setahun yang lalu semuanya berubah ketika mendengar kabar kalau putri semata wayangnya mengidap penyakit mematikan, papa Ardi tahu mungkin ini teguran dari Tuhan karna dia dan istrinya menyia-nyiakan anugrah yang dititipkan Tuhan kepada mereka, dan kini tepat satu tahun berita yang tidak pernah ingin didengarnya itu keluar dari bibir dokter yang mengubah segalanya seperti sekarang ini.

“Andai saja Melati bisa ma, pa, memberikan mama dan papa cucu, pasti Melati akan bahagia banget.” ucap Melati murung, hanya sedetik karna kemudian dia sadar, kemurungannya bisa membuat mama dan papanya sedih, dia langsung merubah modenya menjadi ceria, “Duhh, kok jadi ngelantur sieh, hari inikan Melati masuk sekolah, harusnya Melati ceria dan harus semangat doank.”

Sebenarnya gak bisa dipungkiri mama Rita dan papa Ardi begitu sangat terpukul mendengar kalimat Melati, tapi mereka harus tegar, mereka berdua mengulas senyum, papa Ardi kemudian melisankan, “Nah begitu donk sayang, ceria dan semangat, itu baru anak papa.”

“Iya pa.”

“Mel."

“Iya pa.”

“Mama yang nganterin Melati ke sekolah baru Melati yah, soalnya ada pekerjaan yang papa tidak bisa tinggalkan.”

“Iya pa”

“Gak apa-apakan.”

“Gak apa-apa kok pa, papakan sibuk.”

Papa Ardi mengelus puncak kepala putri kesayangan itu, “Anak papa.”

****

Mama Rita memarkir mobilnya diparkiran SMA TUNAS BANGSA, karna hari ini hari pertama Melati masuk sekolah lagi setelah kepindahannya dari Jakarta, makanya mamanya rita menemani putrinya itu.

Setelah satu minggu mencari informasi tentang sekolah yang bagus dan sesuai dengan putrinya, akhirnya mama Rita dan papa Ardi memutuskan mendaftarkan Melati di salah satu sma paforit dikota Bandung yaitu SMA TUNAS BANGSA.

Sebenarnya mama Rita dan suaminya menyarankan Melati untuk mengikuti home schooling saja, alasannya demi kesehatan Melati dan dia juga bisa mengontrol putrinya itu, tapi Melati yang keras kepala dan ngotot ingin melanjutkan masa-masa SMAnya di sekolah umum, alasanya dia bosan terkurung dirumah, kalau di sekolahkan dia gak bakalan bosan karna banyak temen, ditambah lagi Melati harus menyakinkan papa dan mamanya sedemikian rupa untuk membiarkannya sekolah disebuah SMA dengan sebuah janji bahwa dia bakalan akan berusaha menjaga kesehatannya, dan pada akhirnya papa dan mamanya luluh dan membiarkan Melati sekolah disekolah umum seperti yang diinginkan oleh Melati.

Melati berjalan dibelakang mamanya, karna hari ini pertama kalinya dia menginjakkan kakinya disekolah barunya membuat Melati sedikit gugup.

Mama Rita berusaha mencari ruang kepala sekolah karna sekolah itu cukup luas sehingga gak heran mereka harus muter-muter dulu mencari ruang kepala sekolah, sedangkan Melati mulai ngos-ngosan, keringat sudah mulai membanjiri dahinya.

“Kita istirahat dulu sayang.” saran mama Rita begitu melihat keadaan putrinya, dia mengedarkan pandangannya untuk mencari tempat duduk.

Melati hanya menggaguk karna dia merasa mual dan pusing.

"Ayok sayang kita duduk disana." mama Rita menuntun putrinya ke bangku kayu yang ada menempel didinding sebuah ruangan.

Mereka duduk dibangku kayu untuk melepas lelah, mama Rita bertanya pada putrinya, “Obatnya dibawakan sayang.”

Melati mengangguk, mana bisa dia lepas dari obat-obatan untuk menunjang hidupnya.

Mama Rita mengedarkan pandangannya berusaha untuk mencari seseorang yang bisa ditanyai tentang dimana letak ruang kepala sekolah. Beberapa menit kemudian, di depan mereka melintas anak laki-laki jangkung, kedua tangannya membawa bertumpuk-tumpuk buku.

“Permisi dek.” tegur mama Rita menghentikan langkah cowok yang melintas di depan mereka.

Karna pandangan cowok itu berfokus ke depan membuat cowok remaja tersebut tidak memperhatikan sekelilingnya, cowok itu menoleh ke samping untuk melihat siapa yang menyapanya, begitu melihat siapa yang menyapanya, cowok itu mengerutkan kening, antara bingung dan bertanya-tanya siapakah gerangan orang yang menyapanya itu.

“Iya, ada yang bisa saya bantu tante.” balas cowok itu ramah.

“Saya cuma mau nanya dek, kalau ruang kepala sekolah dimana yah, soalnya dari tadi saya muter-muter tapi gak ketemu-ketemu juga.”

Sebelum menjawab, pandangan cowok itu terarah pada Melati yang tengah duduk sambil mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajahnya, “Sepertinya dia sedang kepanasan.” batin cowok itu memperhatikan Melati.

Ketika Melati mengalihkan pandangannya pada cowok itu, Melati hanya tersenyum tipis, membuat cowok itu salah tingkah, hampir saja buku yang dipegangnya jatuh.

“Eh, ruang kepala sekolah yah tante.” ucap cowok itu, tapi mukanya sekarang memerah, ”Saya paling tidak bisa menjelaskan dengan baik dan benar, lebih baik saya anter deh tante.” ujarnya menawarkan diri.

“Oh, itu lebih baik, terimakasih ya dek, maaf yah kalau ngrepotin."

Cowok itu hanya mengangguk kaku.

Melati dan mamanya mengikuti cowok baik hati yang akan menunjukkan dimana letak ruang kepala sekolah, gak lama mereka sampai disebuah pintu yang diatasnya tedapat tulisan, “RUANG KEPALA SEKOLAH.”

“Nah tante, kita sudah sampai, ini dia ruangan kepala sekolahnya."

“Sekali lagi terimaksih ya dek, kamu sangat baik.”

“Sama-sama tante, kalau begitu saya balik ke kelas dulu.” pamitnya.

“Terimakasih sekali lagi yah karna udah bantu aku dan mama.” timpal Melati.

Sekali lagi tuh cowok hanya mengangguk sebelum beranjak meninggalkan Melati dan mamanya.

********

“Terimaksih yah telah bantu aku dan mama." sepanjang perjalanan suara lembut gadis tadi terus terngiang ditelinga Dio, dia mengutuk dirinya yang hanya merespon dengan anggukan kaku.

“Begok, begok.” ucap Dio pada diri sendiri, ”Aduh begok banget sih gue, kenapa tadi gue gak tanya namanya, kayaknya tuh cewek murid baru deh, cantik lagi, kan sayang cantik-cantik di anggurin ” Dio menyunggingkan senyum dibibirnya, ”Tapi kalau tuh cewek murid baru, itu berarti gue bisa ketemu cewek itu lagi, mudah-mudahan saja gue sama dia satu kelas.” dengan harapan itu membuat Dio melangkahkan kakinya sambil bersiul sepanjang jalan menuju kelasnya.

“Dio, kenapa kamu lama sekali.” tanya bu Eva guru kimia yang tengah ngajar dikelas IPA I begitu Dio melangkahkan kakinya memasuki ruang kelas.

“Anu bu tadi, ada tante-tante yang bertanya dimana letak ruang kepala sekolah, karna saya baik hati dan ganteng, makanya saya nganter dulu biar gak nyasar. ”

“Huhhh, narsis lo.” teriak temen-temannya yang cewek.

“Bukannya gue narsis ya, tapi ini emang fakta, emang gue ganteng, paripurna lagi.” balas Dio.

“Iya ganteng dikit, tapi jeleknya banyak." sahut Rani.

Bu Eva buru-buru melerai karna kalau dia tidak turun tangan pasti adu mulut antara murid-muridnya tersebut tidak akan selesai.

“Sudah sudah, Dio cepat bagikan bukunya agar kita segera belajar.”

“Baik bu.” patuh Dio.

****

Bu Eva sedang menjelaskan materinya di depan kelas ketika suara ketukan dari pintu menghentikan aktifitasnya, pintu terbuka, 99 persen pandangan anak-anak dikelas itu mengarah ke pintu, di ambang pintu berdiri pak Samsul kepala sekolah yang terkenal sangat berwibawa, dibelakangnya berdiri seorang anak perempuan berambut panjang lebat, berkulit putih pucat tapi terlihat manis ,cantik dan imut.

Hampir semua leher murid-murid cowok dikelas XI IPA I memanjangkan leher penasaran pada gadis dibelakang kepala sekolah mereka, kemudian terdengar bisik-bisik tetangga.

“Wiuhh, cantik bingit, murid baru tuh kayaknya.”

“Syukur alhamdulillahh dia terdampar dikelas kita.”

“Iya, jadi ada cewek cakepnya di kelas kita meskipun cuma sebiji doank, kan ada yang bikin betah sekarang.”

“Maaf bu, mengganggu aktifitas mengajarnya.” ucap pak Samsul ramah, senyumnya nya gak pernah meninggalkan raut wajahnya yang berwibawa.

“Oh, gak apa-apa kok pak, ada apa ini yah.” tanya bu Eva yang kelihatan kaget karna gak seperti biasanya kepala sekolah mendatangi kelas.

“Gak ada apa-apa bu, cuma yah saya mengantarkan ini lho, Melati, biar dia saya titip dikelas ibu.” canda pak Samsul.

B Eva melengokkan kepalanya, melihat ke arah Melati yang menyunggingkan senyum sopan pada calon wali kelasnya itu.

“Oh, iya pak.” jawab bu Eva.

“Ya sudah bu, saya tinggal dulu kalau begitu." pamit pak Samsul, "Melati, belajar yang rajin yah nak.” pesan pak samsul sebelum dia berlalu.

Melati mengangguk dan mengucapkan terimaksih karna diterima dengan baik oleh pak Samsul.

Begitu pak Samsul menghilang, suasana kelas menjadi ribut, terdengar cletukan dari sana sini.

“Wiehhh beruntungnya kita, kelas kita ketiban cewek cakep, woe lo pada yah, jangan gannggu dia, karna cewek cantik itu adalah calon pacar gue.” Syamsudin atau yang biasa disapa Udin mengumumkan.

Mendengar kalimat tersebut membuat Melati jadi tersipu malu.

Doni yang duduk disebelah Udin menjitak kepala Udin, ”Mana mau tuh cewek sama lo, dia lebih pantas sama gue kali yang lebih cakep.”

“Sekate-kate lo kalau ngomong, cakepan gue kemana-mana lagi ” balas Udin gak mau kalah.

“Cakep dari hongkong, gitu aja dibilang cakep.” sergah Lisa yang terkenal suka iri dan tukang ghibah.

Sementara anak-anak cowok mengagumi kecantikan paras yang dimiliki oleh Melati, beda halnya dengan cewek-cewek yang merasa tersaingi dengan hadirnya Melati dikelas mereka.

“Gitu aja dibilang cantik, B ajalah wajahnya.” ucap Meta yang terkenal paling modis diantara teman-teman kelasnya.

“Tuh cowok-cowok matanya pada kabur kali yah gak bisa bedain mana cewek cantik dan mana yang wajahnya pas-pasan.” suara Alin yang duduk didepan Udin dan Doni.

“Bener banget lo Lin, cantikan gue kemana-mana lagi.” Lisa menanggapi ucapan Alin.

“Bilang aja lo lo pada iri.” komentar Doni.

Sebuah polpen berhasil mendarat di dahi Doni.

“Lo bilang apa.”, tatap Alin garang.

“Aduh ampun Lin, ampun, gue mohon ampun ” Doni pura-pura memelas.

Melati yang berada di depan dan mendengar clotehan calon temen-teman barunya tertunduk malu, wajahnya bersemu merah, saat dia mendongak, pandangan Melati terarah pada cowok yang duduk paling depan pas ditengah-tengah sejajar dengan tempatnya berdiri sekarang, sejenak Melati tertegun karna dia mengenali cowok yang juga tengah memandangnya itu.

“Itukan cowok yang nolongin gue dan mama.” batin Melati.

Sekilas Melati menyunggingkan senyum pada cowok itu, cowok itu hanya nyengir sebagai balasan.

“Sudah kalian semua diam.” teriak bu e?Eva yang berhasil membungkam keributan yang tercipta, “Baiklah Melati, tolong perkenalkan dirimu.” ucap bu Eva begitu suasana sudah tenang.

Sejujurnya Melati merasa grogi, tapi dia berusaha menenangkan debaran jantungnya dengan menarik napas dan menghembuskannya pelan, Melati mengedarkan pandangannya ke seluruh kelas dan menyunggingkan senyumnya yang tanpa Melati sadari mampu menyihir hampir semua cowok dikelas itu.

“Perkenalkan nama saya Melati Rosalina Atmaja, panggil saja Melati, saya pindahan dari sebuah SMA di Jakarta, saya berharap kita bisa berteman.” Melati mengakhiri perkenalannya.

“Sudah punya pacar belum Mel.” Udin langsung jadi orang pertama dan tercepat yang mengajukan pertanyaan 

“Wuuu....” teriak semua teman-temannya serempak meyoraki Udin.

Udin hanya nyengir tolol, bu Eva tidak bisa menyembunyikan senyumnya mendengar clutukan muridnya itu, Melati jadi semakin salah tingkah, dengan ragu akhirnya dia menjawab.

“Belum."

“Alhamdulillah.” suara serempak terdengar dari sebagian anak cowok.

Wajah Melati memerah mendengar koor itu.

“Baiklah Melati, kamu boleh duduk sekarang.” ucap bu Eva menyelamatkan Melati dari anak-anak cowok yang mengacungkankan jari tangannya untuk bertanya pada Melati dan Melati merasa bersyukur untuk itu, “ Kamu duduk disamping Rangga saja ya Mel.” tunjuk bu Eva pada cowok yang duduk di pojok kiri depan sendirian.

Sekilas Melati memperhatikan cowok yang akan menajadi teman sebangkunya itu, seorang cowok yang tidak mengalihkan perhatiannya sama sekali dari buku yang ada dimejanya, entah dia beneran membaca atau pura-pura membaca.

“Bukk, Melati duduk sama saya saja.” usul Doni mengacungkan tangannya.

“Kampret lu yah, gue mau lo kemanain.” protes Udin yang duduk sebangku dengan Doni.

“Yah lo duduk sama Ranggalah, daripada Melati ntar berubah jadi batu juga, mending lo aja sana yang pindah.”

“Lo aja sono, ogah gue duduk sama Rangga.”

Cowok bernama Rangga tersebut sedikitpun tidak membuka bibirnya untuk membalas komentar temen-temannya, dia seperti tidak mendengar apa yang diucapkan oleh Doni dan Udin.

Melati jadi heran, dia berpraduga, mungkin Rangga adalah cowok menyebalkan atau brengsek sampai dia dijauhin begitu sampai duduk saja tidak ada yang mau sebangku dengannya.

“Sudah cukup Udin, Doni, kalau kalian tidak diem juga saya jemur kalian dilapangan.” ancam bu Eva.

Dua cowok tersbut langsung caem mendengar ancaman bu Eva. “Melati, silahkan ke tempat duduk kamu.” perintah bu Eva.

“Baik bu.” ucap Melati sambil melangkah ke arah bangkunya.

Ketika Melati duduk di bangku kosong didekat bernama Rangga , cowok itu hanya memandangnya sekilas dan kemudian kembali sibuk dengan bukunya, tidak ada sapaan ramah tamah atau hanya sekedar basa-basi.

Melati hanya menelan ludah, tapi pada dasarnya Melati yang cerewet tidak tahan untuk tidak mengajak cowok yang disampingnya itu untuk berkenalan.

“Hai, gue Melati.” ucap Melati sambil mengulurkan tangannya,

Sekali lagi cowok itu hanya memandang Melati, hanya memandang dan tidak menjabat tangan Melati yang dia ulurkan.

“Sudah tahu.” jawabnya ketus mengabaikan uluran tangan Melati.

Melati mengerutkan kening heran, ”Dasar jutek.” batin Melati, “Pantesan tidak ada yang mau duduk semeja dengan dia.” harapan Melati supaya dia beri kekuatan oleh Tuhan selama satu tahun kedepannya untuk menghadapi kejutekan Rangga.

2 TEMAN BARU

Begitu bel istirahat berbunyi, Rangga langsung berdiri dan meninggalkan kelas tanpa basa basi, dia hanya sempat melirik sekilas pada gadis yang menjadi teman sebangkunya itu, gadis itu hanya kembali memandangnya dengan tatapan sebal dan tentu saja Rangga mengacuhkan gadis tersebut dan dengan cueknya Rangga melewati gadis itu tanpa menyapanya.

Rangga melangkahkan kakinya menuju perpustakaan, tempat yang tidak pernah absen dia datangi setiap hari sejak dia menyandang status sebagai pelajar di SMA TUNAS BANGSA.

Begitu berada diperpustakaan barulah Rangga bisa merasa tenang, suasana kelas yang ribut membuat kepalanya mau pecah, berkutat dengan buku membuat moodnya membaik.

Rangga merasa sebal pada murid baru yang duduk di sebelahnya, kalau bukan karna bu Eva, ingin rasanya dia mengusir gadis tersebut, pasalnya dia lebih suka duduk sendiri daripada punya teman tapi berisik.

”Siapa nama gadis menyebalkan itu." tanyanya pada diri sendiri karna lupa, padahal Rangga memiliki daya ingat yang kuat, tapi kok bisa nama gadis yang tidak terlalu panjang itu bisa dia lupakan begitu saja, mungkin karna bagi Rangga gadis itu tidak penting untuknya, itulah penyebabnya sehingga dia tidak ingat nama gadis itu.

"Aah, gue gak peduli siapa namanya.” desisnya setelah beberapa saat mencoba mengingat nama gadis itu dan tidak kunjung dia ingat, "Yang penting kehadiran gadis itu mampu membuat seisi  kelas geger dan membuat keributan.” lirihnya.

Dan yang membuat Rangga bertambah jengkel adalah gadis tersebut duduk sebangku dengannya, padahal sejak kelas X dia sering duduk sendiri dan nyaman duduk sendiri, bukannya salah Rangga kalau tidak ada yang betah duduk dengannya, Rangga bisa dikatakan kejam karna di tidak segan-segan mendamprat orang jika dia merasa terganggu sehingga tidak aneh tidak ada yang mau duduk dengannya, bukannya merasa dikucilkan malah Rangga merasa bersyukur akan hal tersebut.

“Ekhmhhh.” suara deheman manja dari seorang cewek mengalihkan perhatian Rangga dari buku yang tengah dibacanya.

“Kak Rangga.“ panggil  cewek itu malu-malu

“Iya.” jawab Rangga singkat.

Sik cewek itu menyodorkan sebuah taperware berbentuk kotak dan transparan yang bisa memampangkan isi di dalam taperware tersebut, Rangga hanya memandang taperware itu tanpa niat untuk mengambilnya.

“Ini buat kakak.” ucap cewek itu begitu dilihatnya Rangga tidak tergerak sama sekali untuk mengambil apa yang dia berikan sama Rangga.

“Buat gue.” ulang Rangga, “Kenapa lo ngasihnya ke gue, apa tampang gue kayak orang kelaparan.” ketusnya

“Bu bu bukan, bukan begitu kak, aku denger kakak suka kue coklat, makanya aku kasih kakak kue coklat." gagap cewek tersebut.

“Denger dari mana lo.” bukannya diambil saja, ehh malah dia nanya hal yang gak penting gitu, emang dasar Rangga.

“Eh itu, itu, saya dengernya dari temen kak.”

"Teman lo yang mana."

"Pokoknya temanlah kak, aku kasih tahu juga kakak tidak akan tahu orangnya."

“Sok tau temen lo itu."

“Ehh, emangnya kak Rangga gak suka yah.”

“Suka apaan, sama lo, iya emang gue gak suka.” pedas Rangga

Tapi sepertinya cewek itu sudah menguatkan iman dan mentalnya terlebih dahulu sebelum bertemu Rangga sehingga dia berusaha untuk tidak peduli dengan kata-kata pedas yang dilontarkan oleh Rangga barusan atau mungkin dia bener-benar cinta mati sama Rangga sehingga kata-kata Rangga dianggap angin lalu saja olehnya.

“Meskipun kak Rangga tidak suka aku, tapi kakak suka kue coklatkan.”

“Hmmmm.” gumam Rangga ambigu, tidak jelas apakah itu maksudnya suka atau tidak.

Meskipun begitu, mata sik gadis terlihat berbinar, dia dengan bangga berkata, “Ini...ini aku yang bikin lho kak kue coklatnya.”

“Lo gak berniat untuk racunin guekan.” benar-benar memang sik Rangga, sudah dikasih, gratis pula, lha sekarang dia malah suudzon lagi, untungnya sik cewek itu tidak tersinggung.

“Gak kak, gak kok.” balas gadis tersebut sambil mengeleng kuat.

“Bagus kalau gitu, gue jadi gak perlu gentayangin lokan kalau gue mati.” 

Bukan tanpa alasan Rangga mengatakan hal tersbut, mengingat bagaimana sikapnya pada cewek-cewek yang menyukainya, dingin, cuek dan jutek, bahkan dia pernah menolak cewek mentah-mentah dengan kalimat yang cukup membuat dirinya dibenci seumur hidup oleh cewek yang ditolaknya. Karna sikapnya tersebut tidak heran banyak cewek-cewek yang membencinya, bahkan Rangga pernah dengar sendiri ada yang mengatakan bakalan meracuninya.

Gadis tersebut tertawa kecil mendengar kalimat Rangga, “Jadi kak Rangga gak nolak pemberian aku kan.” ujar sik gadis kembali menyodorkan kotak kue tersebut.

 “Hmmm, makasih” ucap rangga lempeng sembari mengambil pemberian gadis itu  lalu menaruhnya begitu saja diatas meja dan Rangga kembali berfokus pada bukunya.

“Dimakan yah kak, dan jangan lupa kasih like dan komennya.” lisan cewek itu sebelum pergi meninggalkan Rangga.

"Like dan komen, lo fikir status apa."

****

Dio hanya memandang kerumunan temen-temen kelasnya yang cowok yang saat ini menggrubungi Melati yang menjadi penghuni baru kelas XI IPA I, dari apa yang dilihat oleh Dio, cewek itu merasa risih;  tapi Dio salut sama cewek bernama Melati itu karna dia berusaha bersikap ramah dan meladeni pertanyaan cowok-cowok itu.

“Mel, rumah lo dimana, kapan-kapan gue boleh main gak ke rumah lo.”

“Mel, ntar pulang sama siapa, kalau dianterin sama gue mau gak, dijamin lo bakalan gue balikin dengan utuh deh ke calon mertua gue.”

"Wuuu." sik cowok tadi mendapat sorakan dari teman-temannya.

"Calon mertua, calon mertua, lo fikir Melati suka sama lu apa."

Pertanyaan lainnya adalah.

“Mel, boleh minta nomer hp lo gak."

“Mel, lo punya adik gak, adik lo pasti sama cantiknya sama lokan.” Pertanyaan sok tau, Melatikan tidak punya adik.

Atau pertanyaan lainnya yang lebih konyol lagi,

"Lo mandi berapa kali sehari Mel, kok kulit lo putih banget, lo pakai bayclin yah untuk berendam.”

Itu beberapa pertanyaan temen-temennya yang bisa didenger oleh Dio dari tempat duduknya.

Melati masih berusaha meladeni penggemar barunya dengan berusaha bersikap ramah dan sesekali menolak ajakan cowok-cowok  itu untuk ke kantin dengan halus.

Dan dari bangkunya juga Dio bisa melihat kalau wajah gadis itu bersemu merah, Dio yang notabennya sebagai ketua kelas berdiri dan berinisiatif untuk menyelamatkan gadis yang sekarang memerlukan pertolongannya dari cowok bar-bar dikelasnya. 

“Hei, minggir lo semua, jangan ganggu gadis itu.”

Semua pandangan cowok-cowok yang tengah menggrubungi Melati seketika menoleh pada Dio dengan tatapan jengkel.

“Wah, gak bisa gitu donk Dio, barang bagus kayak gini aja lo mau embat sendiri.” protes Doni.

“Sialan, gue dibilang barang lagi, kalau nonjok orang gak dosa udah gue tonjok nieh bibir cowok nyablak.” tentu saja kalimat barusan hanya dikatakannya dalam hati oleh Melati.

“Bener tuh, gak adil lo bro.” sambung Udin yang duduk disebelah Melati.

Dio yang tidak mempedulikan ucapan Doni dan Udin menyeruak diantara temen-temannya yang berkumpul di sekeliling Melati, Melati hanya tertunduk ditempatnya.

“Slow donk semuanya.” Dio berusaha menenangkan protes temen-temannya sambil mengangkat kedua tangannya, ”Lo lo pada jangan jadi bar-bar donk, apa lo gak lihat tuh muka nieh cewek pucat banget gara-gara lo lo pada ngerubungin dia kayak semut.”

Sekarang semua mata itu tertuju pada Melati yang masih menunduk, ”Lo lo semua masih bisa kenalan sama dia.” tunjuk Dio pada Melati, ”Besok-besok jugakan, dan pastinya yang tertib donk.."

Lagi-lagi Melati berujar dalam hati, “Ini lagi, nolong sieh nolong, tapi jangan samain gue kayak pembagian sembako juga donk.”

Ternyata Melati berfikiran sama dengan Udin, buktinya dia berkata, “Lo kira pembagian sembako apa, tertib-tertib segala.”

“Sudah lo sana pada pergi dah.” usir Dio.

Dan dengan terpaksa cowok-cowok rersebut berlalu meningglkan Melati dengan tidak rela.

“Bye manis.” lisan cowok-cowok tersebut sembari melambaikan tangan.

Melati hanya membalas dengan senyum sopan.

“Pergi ya pergi, gak usah ganjen juga lo pada. ” respon Dio.

Cowok-cowok tersbut berkoor, “kayak lo gak aja.”

Begitu cowok-cowok tersebut sudah pada minggat, Dio bisa melihat ada kelegaan diwajah gadis itu, gadis itu sekarang mendongak dan menatap Dio.

“Makasih yah, ini kedua kalinya lo nolongin gue." ujar Melati.

“Santai aja lagi, kalau lo butuh bantuin lo jangan sungkan-sungkan ngomong sama gue.”

“Iya, sekali lagi makasih, maaf yah gue jadi ngerepotin lo lagi.”   

“Gak repot kok, gue seneng kok direpotin apalagi sama cewek secakep lo.” gombal Dio.

“Gombal lo ya.”

“Tapi lo senengkan dibilang cewek cakep.”

“Iya sieh.”

Mereka berdua kemudian tertawa layaknya dua orang yang sudah lama saling mengenal.

“Oh yah, nama lo siapa tadi, Bunga yah, eh salah, Mawar, eh bukan juga kayaknya, Cempaka, atau bunga-bunngaan.” Dio mengerutkan kening mencoba mengingat nama gadis disampingnya itu.

Melati tertawa mendengar ocehan Dio sebelum dia menyebutkan namanya, “Nama gue Melati Rosalina Atmaja, tapi lo cukup panggil gue Melati aja.” 

“Oh iya, Melati Rosalina Atamaja, kenapa nama panjang lo tidak bunga melati saja.”

Kali ini Melati ngakak, dia tidak pernah menyangka dihari pertamanya masuk sekolah bisa berkenalan dengan cowok sekocak Dio.

“Lho, kok lo ketawa, emang kata-kata gue lucu.”

“Iya lucu, mana ada orang namanya bunga Melati.”

Dio ikut tertawa, “Tapi bagus kok itu.”

“Iya bagus, ntar kalau lo punya anak kasih aja nama anak lo bunga melati.” kelakar Melati.

Dio menimpali juga dengan nada bercanda, “Iya asal lo yang jadi bini gue ntar.”

Lagi-lagi mereka ngakak, setelah tawa mereka reda, Dio kemudian memperkenalkan dirinya.

“Gue Hadio Putra Pratama, panggil gue Dio.”

“Hadio Putra Pratama.” ulang Melati, “Nama yang cukup keren.”

“Sekeren orangnyakan.” sambar Dio.

“Dih, narisi lo ya.”

“Ini fakta bukan narsis, lo bisa lihatkan bagaimana kerennya gue.”

“Iya lo keren, tapi kalau dilihat pakai sedotan boba.” Melati kembali tertawa.

“Ahhh, kampret lo Mel.”

“Bikin lawakan ngajak-ngaja donk, guekan juga ingin ikut tertawa, lo tau gak wajah gue hampir retak gara-gara diwajibkan serius dipelajaran bu Eva barusan.” seorang gadis berperawakan tinggi semampai dan bewajah manis tiba-tiba berdiri di depan mereka dan nyerocos.

“Apaan sieh lo Ran, kayak nyamuk aja gangguin orang.” seloroh Dio pada gadis yang baru datang tersebut.

“Huhhh ” gadis yang bernama Rani tersebut menoyor kepala Dio, “Ada cewek cakep aja lo langsung lupa sama gue, awas aja lo yah gak bakalan gue kasih pinjem contekan PR gue lagi.” ancam Rani dengan mimik wajah serius.

Dio yang menjadikan Rani sebagai penyelamat dalam setiap pr-prnya panik dan memohon, “Aduhh, jangan gitu donkk lo Ran, bercanda lah gue barusan itu gitu aja lo ambil hati.”

“Oke, gue cabut kata-kata gue barusan, tapi pulang sekolah lo harus anterin gue pulang.“

“Nganterin lo pulang, bukannya lo cewek tangguh, mandiri, kuat, otot kawat tul...."

Dio belum menyelsaikan kalimatnya karna Rani kembali menoyor kepala Dio, “Lo mau bilang gue Samsonwati gitu.”

“Bukan gitu, maksud gue, tumben-tumbenan lo minta anter, setau gue dari zaman purba sampe sekarang lo gak pernah mau gue anterin.”

“Itu karna waktu itu mobil gue baik-baik aja dodol, lah sekarang mobil gue lagi masuk bengkel tuh dan gue butuh tumpangan."

Melati hanya sebagai pendengar dan bergantian melihat intraksi antara gadis didepan mejanya dan Dio, dia mengambil kesimpulan kalau hubngan antara Dio dan gadis tersebut sepertinya begitu sangat akrab.

 “Emangnya kenapa mobil lo sampai masuk bengkel.” tanya Dio balik.

,”Ihh, emang lo cowok, tapi bibir lo kayak cewek, crewet kayak emak-emak gosip dikomplek rumah gue, tinggal bilang iya atau gak aja, pertanyaan lo bercabang kayak soal matimatika.”

“Hahahaha.”

Melati yang dari tadi hanya sebagai pendengar tertawa mendengar kalimat yang dikeluarkan gadis tersebut.

2 pasang mata memusatkan perhatiaannya pada Melati, karna diperhatikan membuat Melati bungkam dan merasa bersalah, “Sorry." lirih Melati, “Habisnya kata-kata lo barusan lucu sieh makanya gue ketawa.” jujurnya.

Dan kini giliran Rani yang tertawa mendengar pengakuan bersalah dari Melati.

“Yeelahhh, gak usah merasa bersalah begitu, gue gak marah kok.”

Mendengar itu Melati lega.

“Oh ya, kenalin  gue Rani, panggilan lo Melatikan.” Rani menyodorkan tangannya untuk dijabat oleh Melati .

Melati membalas uluran tangan Rani dan menjawab, “Iya, gue dipanggil Melati, tapi kalau lo mau lebih simple panggil saja Mel.”

“Gue temen Dio, dan gue adalah kapten chers.”

Respon Dio, “Pamer.”

Tapi respon Melati, “Kapten chers.” ulang Melati takjub, “Hebat banget lo.”

“Biasa aja kok, gak usah takjub kayak gue artis holywood donk.”

“Iya biasa aja.” cletuk Dio, “Soalnya team chearsnya rani ngdencenya kayak sapi ngamuk."

Melati tertawa.

“Enak aja.” lagi-lagi Rani menoyor kepala Dio, “Mata lo aja tuh yang katarak, team chears diangkatan kita dibawah kepemimpinan gue adalah team chears terbaik semenjak sekolah ini berdiri.”

Melati makin kagum meskipun belum pernah melihat team chears sekolah perform, “Kapan-kapan ajak gue nonton lo latihan yah Ran, gue kan juga ingin lihat.”

“Oke.” ucap Rani.

“Asyikkkkk.”

“Nonton team basket latihan aja Mel lebih seru, apalagi kaptennya ganteng kayak gue.” promo Dio.

“Lo kaptennya.” tanya Melati memastikan.

“Iya donkk, kerenkan gue."

“Ihh hebat.”

“Perasaan dari tadi lo takjub mulu deh Mel.” heran Rani.

“Gumana gak takjub coba, kalau punya 2 temen baru yang keren-keren kayak lo.”

Dio dan rani berpandangan dan kemudian tertawa, “Mel mel, besar kepala kami dibilang keren.”

“Gimana duduk dengan Rangga, betah gak Mel.” tanya rani membelokkan topik.

“Iya.” jawab Melati singkat karna gak tau harus menjawab apa karna belum mengenal Rangga lebih dekat, meskipun dari sekarang sebenarnya Melati sudah bisa menyimpulkan kalau Raggga menyebalkan dan kemungkinan sepertinya dia tidak bakalan betah duduk dengan Rangga, tapi mau bagaimana lagi, duduk dengan Rangga satu-satunya pilihan mengingat tidak ada bangku kosong yang tersisa.

“Tenang saja Mel, kalau Rangga macem-macam sama lo, aduin ke gue.” seloroh Dio.

“Dih, Rangga itu gak kayak lo yah bakalan macam-macam sama cewek." bantah Rani kemudian fokus pada Melati, “Gini yah Mel gue kasih tau, lo gak perlu khawatir bakalan diapa-apain sama Rangga, karna dia cowok paling aman dikelas ini, justru kunyuk ini nieh.” Rani menunujuk pas di jidit  Dio, “Cowok pertama yang perlu lo waspadai.”

“Wah, jangan main fitnah orang doank lo Ran, jangan percaya sama dia Mel, gue adalah laki-laki paling baik di SMA tunas bangsa.” Dio membela diri.

Melati tersenyum mendengar perdebatan anatara Dio dan Rani, keakraban mereka mengingatkannya pada Denis dan Amara.

“Tapi kok kayaknya Rangga gak disukai yah oleh teman-teman kelas lainnya.” Melati bertanya meskipun dia sudah tau sieh sebabnya, tapi menurutnya gak ada salahnya kan bertanya.

“Gimana mau disukai Mel, kalau tuh anak jutek gitu dan suka nganggep orang lain patung.” jelas Dio.

Melati hanya mangut-mangut tidak bertanya lebih lanjut tentang Rangga lagi, "Bener sieh, gue aja dianggap patung sama dia." dalam hati Melati membenarka apa yang dikatakan oleh Dio.

*****

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!