BAB 1 REVISI
Pagi yang berselimut kabut dan hujan, semakin membuat setiap insan di dunia ini bergelung dengan selimut. Hal itu berlaku juga pada sepasang suami istri, keduanya memilih santai dan memejamkan mata kembali. Kemarin malam tepat tiga bulan pernikahan, pasangan ini selalu menjalaninya dengan harmonis dan kehidupan yang bahagia.
Dariel Janesh Bradley pimpinan RB Group Hotel membawa istrinya bermalam di salah satu hotel, sengaja menghias kamar itu sama seperti malam pertama mereka. Ingin mengulang masa-masa manis dan indah yang dilalui pertama kali setelah menikah.
Pria itu bangun lebih dulu memandangi sosok cantik yang selalu menemani harinya selama tiga bulan ini, bersama-sama mulai mengarungi samudra dan berlayar di atas kapal, saling memeluk, saling berpegang pada kepercayaan satu sama lain, cinta keduanya seakan selalu membara.
Dariel menikahi istrinya Fredella Dominique atas dasar perjodohan, tapi siapa sangka ia malah terikat dan jatuh cinta sedalam-dalamnya pada calon istri. Sejak pertama bertemu dan mengenal Fredella Dariel telah terpesona bahkan menginginkan wanita itu menjadi miliknya, mati-matian ia membuat Fredella Dominique jatuh cinta padanya.
“Sayang, cantik, manis. Aku mencintaimu Fredella.” Mengecup pelipis sang istri yang masih terlelap dalam tidur setelah kelelahan menjalani aktivitas malamnya.
Bagi Dariel menaklukan Fredella bukan hal mudah, pasalnya ia sendiri baru pertama kali mendekati seorang wanita di usia 28 tahun. Padahal banyak wanita yang rela menjadi miliknya secara sukarela. Siapa juga yang tidak mau menjadi kekasih bahkan istri dari Dariel Janesh Bradley, pria yang wajahnya selalu masuk majalah bisnis di Asia ini.
“Sayang, bangun.”
Sama seperti pemimpin perusahaan besar pada umumnya, Dariel pun memiliki sifat dingin dan datar seperti jalan bebas hambatan. Tapi tahukan bahwa ia merupakan sosok penyayang dan jahil tentu saja hanya pada keluarga.
Kegiatan lainnya menjahili sang istri yang mudah memberengut, sangat manis menurut Dariel melihat wajah Fredella yang cantik menekuk.
“Sayang bangun, kalau tidak, jangan salahkan aku.” Tangan dengan pahatan otot liat ini mulai nakal, menjelajah pada bagian sensitif istrinya.
Sontak Fredella membuka kedua mata lebar, bukankah baru pukul 3 pagi tidur setelah permainan panas sebagai perayaan tiga bulan pernikahan, kenapa sepagi ini sudah minta ‘makan’?.
“Dariel aku masih ngantuk, apa kamu tidak lelah?.” Tanyanya bukan tidak ingin tetapi tahu kapasitas pada tubuhnya sendiri.
“Bersamamu tidak ada kata lelah.” Menciumi ceruk leher, rasanya manis, hormon feromon yang selalu sukses menggodanya pria ini.
“Geli.” Fredella terkikik, titik sensitif pada telinga dan lehernya disentuh.
Tidak puas sampai di situ, Dariel menyingkap selimut yang menutupi tubuh polos mereka hingga terbuka setengahnya, hendak mengungkung Fredella tapi panggilan telepon dari seseorang menggagalkan sudah rencana mereguk sari manis yang menjadi candunya.
“Huh, siapa lagi?.” Kesal Dariel menghembus napas kasar.
“Mungkin Om Indra, kamu terima aja, kita masih bisa mengulangnya nanti siang.......mungkin.” Tawa Fredella menggoda sang suami, membenamkan bibir merah delimanya pada suami jahilnya itu. Beranjak dari ranjang memasuki kamar mandi.
“Akh s***, jangan menggodaku sayang.” Lirih Dariel. Lantas mengambil ponsel di atas nakas, benda itu berdering berulang kali, mengganggu satu kata yang tepat. Mungkin kalau ia pria tempramen akan menghempaskan benda itu hingga hancur.
Dariel mengerutkan kening, melihat nama seseorang yang menghubunginya, bukan orang asing.
“Hem apa?.” Riak di wajahnya berubah seketika. Cemas dan takut bercampur jadi satu.
“Bukankan aku bilang jangan menghubungiku? Tidak ada yang perlu dibahas.” Semakin kesal Dariel dibuatnya.
“Kenapa menangis? Ada apa? Cepat katakan !!!.” Dariel tidak mau istrinya curiga, karena ia menerima telepon dari seseorang mencurigakan.
“Ku beri waktu tiga menit dari sekarang.”
Mengakhiri panggilan suara, dan menanti sebuah pesan yang dijanjikan seseorang itu.
Tepat pada getaran pertama, Dariel sigap membuka pesan chat kedua matanya terbelalak membaca isi pesan itu. Degup jantungnya begitu cepat berkali-kali lipat, napasnya tercekik di tenggorokan, menjatuhkan ponsel mahal edisi terbatas hingga nyaring menyentuh lantai.
“Sayang? Kamu baik-baik saja?.” Teriak Fredella dari dalam kamar mandi.
Wanita ini khawatir pada suaminya tapi ia juga tidak bisa meninggalkan sesuatu yang ditunggu selama ini. Menggenggam kedua tangan erat dengan mata terpejam sembari berdoa, Fredella mengharapkan sesuatu indah pada pagi ini.
Namun nasib baik belum menghampirinya, ia hanya menghela napas. Berusaha membesarkan hati, “Yah garis satu.” Ia keluar dengan kecewa.
“Sayang maaf aku lam......” kalimat itu menggantung di udara, wanita bermata hazel ini tidak mendapati sang suami di atas ranjang. Bukankah tadi ia mendengar suara benda terjatuh? Lalu sekarang kemana? Dariel tidak ada di atas kasur berantakan itu.
“Dariel kamu di mana? Sayang?.” Panggil Fredella Dominique.
Mencari sampai ke beberapa titik ruangan tidak ada tanda keberadaan suaminya. “Mungkin dia memesan sarapan, tapi kenapa tidak melalui room service?’ menerka-nerka apa yang dilakukan pria itu.
“Sudahlah lebih baik aku mandi.”
Fredella membasuh keringat sisa percintaannya semalam, ia selalu mengukir senyum manis pada bibir merah delimanya itu.
Merias diri secantik mungkin, karena ini adalah hari spesial, ingin membuat suami jahilnya selalu menempel dan tak akan pernah pergi dari sisinya.
Lebih dari satu jam menunggu tanda kedatangan Dariel tidak ada. Fredella tidak tinggal diam ia menghubungi ponsel belahan jiwanya, tidak tersambung sama sekali, bahkan panggilan di luar jangkauan.
Wanita cantik ini masih berharap kalau suaminya mempersiapkan sesuatu, kejutan di satu bulan pernikahan mereka.
“Dia kan memang jahil, sebelumnya juga pernah seperti ini.” Fredella tertawa, masih setia menunggu Dariel.
Tanpa terasa waktu semakin siang dan hujan tetap lebat di luar.
Fredella tertidur di atas ranjang, melupakan sarapan dan makan siang, sampai ia membuka mata, kamar hotel ini masih kosong, sepi tak ada perubahan apapun.
“Mungkin ada rapat mendadak.” Menekuk wajah cantiknya.
Ia memutuskan kembali pulang seorang diri ke rumah kediaman Bradley.
Sampai di lobby, Fredella iseng bertanya pada resepsionis mengenai suami tampannya itu, ia cukup tersentak mendengar apa yang dikatakan dua orang petugas di depannya ini. Entah kenapa hatinya terasa nyeri dan kecewa. Kenapa Dariel meninggalkannya? Padahal ini hari spesial, setidaknya walau kemarin malam dilewati dengan penuh cinta, sebagai wanita ia ingin prianya selalu menemani di momen berharga seperti ini.
“Terima kasih.” Sahut Fredella.
Fredella masih berpikir positif tapi angin di luar membawanya pada tujuan lain. Gegas menghubungi taksi online. Tidak lama ia sampai di salah satu apartemen mewah kawasan ibu kota.
Melangkah pasti memasuki penthouse milik suaminya, rupanya jasa kebersihan sedang merapikan unit apartemen ini.
“Nyonya, maaf kami baru datang setelah dua minggu,Tuan bilang petugas sebelumnya kurang bersih dan rapi.” Tutur wanita paruh baya.
“Oh ya, aku tunggu di kamar saja.” Fredella pamit, melewati beberapa petugas yang memegang alat kebersihan.
“Nyonya maaf, ini. Saya mendapatkan ini dari petugas sebelumnya. Ini milik nyonya.” Memberi satu kotak dari dalam saku kemejanya.
“Oh ya terima kasih.”
Mata Fredella menyipit emperhatikan sesuatu di dalam kotak kecil ini.
“Apa ini?” tanyanya.
BAB 2
Fredella duduk di atas ranjang yang menjadi salah satu saksi bisu penyatuan cinta keduanya, tapi rasa sesak tiba-tiba menjalar dalam dada, merambat naik masuk dalam pikirannya, hingga ia menduga-duga. Tak pernah sekalipun dia memiliki suatu hal buruk dalam benaknya, tapi sekarang kenapa tiba-tiba otaknya mendorong sesuatu yang sama sekali tak ingin itu terjadi.
Memandang benda berkilau itu, jelas ini bukan milik sembarang wanita. Pastilah dia yang memiliki seseorang yang memiliki selera fashion sangat baik, dan harga benda ini pun terbilang mahal. Pasalnya Fredella pernah melihatnya di dalam majalah khusus berlian.
“Apa mungkin Dariel membelinya untukku?.” Tanyanya dalam hati.
“Tapi kenapa haru di simpan di sini?. Apa ini salah satu hadiah darinya?.” Semakin bingung Fredella melihat liontin dalam kotak kayu di tangannya.
Akhirnya dia menyimpan benda itu dalam tas, mungkin saja suaminya lupa. Fredella pun berjalan mengitari kamar Dariel, memang di penthouse belum ada barang-barang miliknya atau foto pernikahan mereka.
Dariel hanya menata kebutuhan istrinya di semua hotel RB Group dan kamar mereka di rumah. Lagipula penthouse ini lama tidak ditinggali, Dariel hanya sesekali menginap di sini ketika lelah atau merasa perlu sendirian.
Wanita ini memutuskan keluar dan pulang, siapa tahu Dariel telah kembali dari kantor.
**
Kediaman Bradley
Sebelum masuk kamar, Fredella menerapkan perona bibir, ia akan menggoda suaminya itu.
Tapi......
Beribu sayang, setelah membuka pintu kamar, tidak ada juga kehadiran Dariel. Semua rapi masih pada tempatnya, sama seperti kemarin mereka meninggalkan kamar ini. Dirinya yang dilanda cemas menghubungi Asisten Indra, cukup mengejutkan karena sejak pagi suaminya tidak datang ke kantor bahkan melimpahkan semua tugas meeting pada asistennya.
“Kamu dimana Dariel?.” Lirih Fredella sembari memandang foto pernikahan besar yang terpatri pada dinding.
Sekali lagi dia mencoba menghubungi suaminya, masih sama hanya operator yang menjawab. Tidak biasanya Dariel bersikap seperti ini.
Atau mungkin suaminya itu ada penerbangan secara mendadak, perjalanan bisnis mungkin. Fredella menuju meja kerja Dariel di kamar, membuka laci dan mencari paspor serta beberapa identitas pria itu, masih ada tersimpan aman.
Bisa saja Dariel melakukan penerbangan domestik, dia pernah bilang sedang membangun hotel di kawasan Mandalika.
.
.
Dua hari sudah Dariel pergi tanpa kabar, Fredella semakin cemas dibuatnya. Dia tidak tahu dimana sang suami, yang bisa dilakukannya hanya menunggu dan diam di rumah. Anggota keluarga lain tetap santai karena Dariel mengirim satu pesan singkat pada ibunya.
“Aku ada hal yang harus diselesaikan, jangan khawatir.”
Hanya satu kalimat itu, tertuju pada semua orang di rumah.
Fredella memberanikan diri bertanya pada mama mertua, apa Dariel sebelumnya memiliki kekasih, ia takut seperti cerita para temannya ketika menikah, suami masih berhubungan dengan mantan pacarnya di belakang istri.
“Ma, apa sebelum kami menikah, Dariel ada.... ummm, maksudnya memiliki wanita lain.?” Tanya Fredella malu-malu, ketara sekali bahwa ia mencurigai sesuatu terhadap suaminya.
“Ah mama mengerti, kamu khawatir dia selingkuh ya? Dariel tidak pernah memiliki pacar, hanya kamu wanita pertamanya dan tentu terakhir. Kamu tenang ya, putra mama tidak akan seperti yang kamu pikirkan.” Jelas Mama Nayla.
Namun hati Fredella tak tenang, penjelasan mama mertuanya tidak membuat semuanya selesai.
Pandangan Fredella teralih pada pintu utama, ia berharap suaminya datang saat ini juga, dan ya benar, harapannya terkabul secepat kilat.
“Selamat datang Tuan Muda.” Sapa beberapa pelayan yang memberi salam pada putra Papa Rayden itu.
“Dariel?.” Binar bahagia terpancar dari wajah Fredella, ia menghampiri suaminya yang berjalan semakin masuk ke dalam rumah tapi pria itu urung menyapa dan memeluk istrinya, Dariel hanya menatap sendu Fredella dan melangkah cepat menaiki anak tangga.
Hati wanita bermata hazel ini terasa sakit dan nyeri, mengapa suaminya menolak? Tidak rindu-kah ia setelah dua hari tidak bertemu?.
Tidak mau tinggal diam, Fredella melangkah mengikuti jejak suaminya, menuju kamar mereka. Ia membuka pintu dan tidak ada sosok yang selalu memberi kehangatan itu.
“Dariel, sayang?.” Panggilnya tanpa ada jawaban.
Suara gemericik air terdengar samar, dan Fredella tersenyum hendak membuka pintu itu tapi sayang terkunci dari dalam.
“Dariel.” Lirih wanita ini, lagi dan lagi mengunci pintu. Ini bukan kebiasaan sang suami, apa yang Dariel takuti? Bukankah mereka biasa menghabiskan kegiatan percintaan di kamar ini, ,melihat tubuh polos pun bukan hal aneh kan?.
Sementara dalam kamar mandi, di bawah shower. Tangan pria dengan gurat urat menyembul terkepal erat, bahkan memukul dinding berkali-kali.
“Sayang, maaf.” Gumam Dariel.
Lantas keluar dari bilik kaca itu dan memakai handuk lalu menutup rapat dengan jubah mandinya, tepatnya menutupi sesuatu yang tak ingin istrinya ketahui.
“Dariel, kamu dari mana saja? Kenapa menghilang tanpa kabar? Apa kamu tahu aku khawatir? Kenapa seperti ini lagi?.” Suara Fredella bergetar, menahan tangis yang ingin ditumpahkan. Dia juga memeluk tubuh kekar itu dari belakangan, sangat erat tidak ingin suaminya pergi.
“Fredella maaf saat ini aku lelah.” Melepaskan jemari lentik yang memeluk tubuhnya, lalu pergi masuk walk in closet tanpa menoleh sedikitpun.
Selesai memakai baju, Dariel keluar ruangan menemukan istrinya menangis di atas ranjang. Tentu sebagai suami memiliki perasaan bersalah. “ Fredella jangan menangis, ok.... aku hanya lelah, buang semua pikiran negatif itu.” Tegas Dariel nadanya masih lembut namun penuh makna.
“Aku tidak berpikir apapun, aku hanya menangis, tidak boleh?.” Sahutnya gemetar lalu menghampiri suami yang hanya berdiri di depannya ini. Tidak ada pelukan apalagi kecupan, berbeda dari biasanya.
“Malam ini aku berangkat ke Birmingham, apa kamu bisa mengantar?.” Tanya wanita ini ingin mendapat jawaban positif.
“Maaf sayang tapi aku tidak bisa pergi.” Tutur Dariel mengingat sesuatu, selain itu pekerjaannya pun menumpuk setelah dua hari terbengkalai.
“Oke, aku paham.”
.
.
Tepat malam hari Dariel mengantar istrinya sampai badar udara, selama satu minggu keduanya tidak akan bertemu, karena Fredella harus menyelesaikan beberapa administrasi di Universitas dan mengambil ijazahnya.
Sikap suaminya ini sangat acuh, bahkan berpisah dalam waktu cukup lama terlihat tenang dan baik-baik saja.
“Dariel, aku akui sekarang ini kamu mulai berubah apa aku memiliki kesalahan? Aku harap setelah aku pulang kamu berubah seperti dulu, dan aku tidak akan mempercayai apa yang ada di pikiranku ini, hanya membawa luka tanpa bukti dan menyakiti diri sendiri.” Lirihnya dalam hati.
“Hati-hati.”
“Hem.”
Fredella turun dari mobil memasuki pesawat pribadi berlogo R.B itu.
Setelah lepas landas, barulah pria ini kembali pulang tapi ia menuju arah lain, dengan jarak sangat jauh dari kediaman Bradley. Memakan waktu berjam-jam dan tiba di sebuah kawasan apartemen mewah, dirinya melangkah masuk salah satu unit.
“Dariel kamu datang?.” Suara lembut seorang wanita.
“Aku kangen, bisakah kita tidur bersama seperti kemarin malam?.” Suara mendayu khas wanita keluar dari bibirnya.
“Apa kau baik-baik saja? Sebaiknya cepat tidur.” Dariel menggendong wanita ini memasuki kamar, merebahkannya di atas ranjang, menutupi dengan selimut.
“Istrimu sudah pergi kan? Tinggallah bersama ku selama satu minggu, aku merindukanmu.” Cicitnya begitu mengiba dan air mata terlihat menggenang di kedua matanya.
...TBC...
BAB 3
Satu minggu berlalu
Pesawat pribadi bertuliskan R.B terbang menuju Birmingham, Inggris. Semua terjadi secara mendadak dan tanpa persiapan. Isak tangis wanita paruh baya tak henti sedari siang ini, wanita cantik itu selalu memeluk putranya.
Sesuatu yang tidak terduga menghantam keras kapal berlayar, bongkahan batu besar melubanginya hingga kapal itu retak dan perlu usaha keras mengembalikan seperti semula.
“Kasihan.” Cicit wanita paruh baya terus menangisi menantu perempuannya.
Sementara seorang ibu di kursi lain tampak tenang dan santai membaca majalah kecantikan, sesekali menyesap teh hangat dan mengigit cemilan di depannya. Tentu saja ia bisa tenang, untuk apa cemas berlebihan. Masih ada hal penting yang harus diperhatikan dan pikirkan dari pada cemas dan menangis, hanya merusak penampilan saja.
Lalu pria tampan yang duduk memeluk wanita paruh baya, menatap kosong ke depan. Jiwanya seolah keluar dari raga dan menapaki dunia lain entah kemana dan dimana. Sesuatu berputar cepat, semesta seakan tidak mendukung dan berpihak padanya.
Baru saja ia mengecap indah dan manisnya kehidupan cinta, berumah tangga dengan wanita yang dicintainya, ia dapatkan hati perempuan itu susah payah. Bukan perjuangan singkat dan instan seperti kamu yang lapar masak mie.
Dengan waktu ia korbankan demi cinta gadisnya, tapi sekarang akar kokoh yang mereka bangun, terusik oleh angin dan badai yang datang dari luar sana, iya badai akan menguji janji suci ikatan cinta antara sepasang suami istri.
“Sayang, bertahanlah.” Harapan seorang suami yang menyayangi dan mencintai istrinya.
“Bukankah kamu janji, kita berdua pasti bahagia sampai mati nanti. Tanpa kamu bagaimana aku bisa hidup dan menjalani ini semua? Bertahanlah sayang, aku mohon.” Air matanya menetes terjun bebas. Asal tahu saja, dia bukanlah pria lemah yang mudah menangis apalagi karena wanita. Tapi wanita ini sangat spesial dan berarti dalam hidupnya.
Istri yang dicintainya tengah berjuang melawan sakit di rumah sakit, kabar suara dari dokter menusuk jantung dan menghempaskan kebahagiaan yang mereka rajut.
Seandainya saja bisa, pasti sepasang suami istri ini akan memutar waktu demi hidup pernikahannya yang damai dan tanpa ujian.
Pesawat pribadi milik keluarga Bradley tiba di bandar udara, beberapa mobil pun telah siap menjemput Tuan Muda Bradley dan Nyonya Besar Bradley yang sedang dirundung masalah. Sementara ibu lainnya menuruni anak tangga dengan anggun tanpa beban dan bahagia bisa menapaki negeri ini lagi.
“Cepat bawa ke GB Hospital.” Titah Dariel Janesh Bradley yang cemas luar biasa pada wanitanya.
Mobil melesat cepat, pengawalan ketat di kerahkan, ia tidak ingin lalu lintas menghambat laju kendaraan miliknya.
“Dariel mama.......mama tidak percaya, ini semua pasti mimpi, menantuku.” Tangis Mama Nayla tak berhenti, belasan jam wanita ini menangis sampai kedua mata sipitnya membengkak, hidung, pipi serta alisnya memerah.
Sampai di GB Hospital, Dariel berlari menuju lantai 2 gedung. Ia tidak lagi memedulikan wibawanya, tidak lagi peduli hal lain. Dengan tangan kokoh menggenggam mamanya, wanita paruh baya yang rapuh dan mudah jatuh.
Suara napas terengah-engah, dokter yang baru saja keluar dari ruang perawatan menyambut kehadiran tuan muda putra pemilik rumah sakit. “Dimana istriku? Dimana?.” Aura dingin dan tatapan mata coklatnya tajam.
“Silahkan masuk tuan, tapi jangan mengganggu pasien. Nyonya harus istirahat sebelum melakukan operasi.”
Pintu kamar rawat terbuka pelan, Dariel hanya bisa menahan tangisnya. Bagaimana tidak seseorang yang memberi warna dalam hidupnya terbaring penuh alat medis, kedua mata indahnya tertutup rapat, hanya monitor dan gerakan pada dada yang menunjukan istrinya masih bernapas.
“Sayang aku datang.” Lirih Dariel, kakinya melangkah pelan menghampiri ranjang pasien.
Bibir merah delima yang selalu menjadi candu baginya berubah pucat dan mengering, wajah merona wanitanya kali ini seperti tidak dialiri darah merah, istrinya tampak kurus dan ringkih. Jejak air mata membekas pada kedua pelipis serta pipi.
Perawat bilang istrinya beberapa jam yang lalu tidak bisa dikendalikan, meraung menangis tanpa henti, hingga suntik obat penenang diberikan.
Fredella Dominique menjalani rasa sakitnya selama satu minggu ini seorang diri tanpa siapapun mendampingi. Tujuannya ke Inggris untuk menyelesaikan terkait pengambilan ijazah tapi petaka menimpanya tanpa diduga dan pemberitahuan lebih dulu.
Fredella menutup rapat dan tidak memberitahu kedua orangtuanya, apalagi sang suami. Ia berusaha menyembunyikan fakta pahit yang menerjang, tapi kenyataannya dia tidak bisa lagi bertahan dan masuk ruang perawatan khusus.
Dokter lah yang membuka fakta tajam itu pada suami Fredella.
Bahkan tidak ingin merepotkan siapapun, Fredella tidak mengunjungi mansion utama Bradley di Birmingham, padahal kedua kakek dan nenek suaminya tinggal di mansion megah itu.
“Permisi Tuan Muda Bradley, kami akan membawa Nyonya Fredella ke ruang operasi, silahkan tuan menunggu di depan ruang tindakan.” Tutur perawat dengan intonasi hati-hati, jangan sampai menyinggung macan yang sedang bersedih didepannya ini.
“Hem.” Jawab Dariel.
Dariel duduk di kursi ruang tunggu , tangannya menyatu terkepal kuat, pikirannya hanya satu tertuju pada Fredella, istri cantiknya yang sangat ia cintai. Sementara Mama Nayla memeluk Mama Anggi, Nenek Dariel yang juga datang setelah mendapatkan informasi dari direktur GB Hospital.
“Bagaimana bisa ma, menantuku itu sehat. Selama ini tidak ada gejala apapun.” Isak tangis Mama Nayla yang sangat terpukul.
Sedangkan Dariel tidak bisa hanya duduk, ia berdiri bahkan mondar mandir di depan pintu ruangan operasi. Tidak rela istrinya mengalami sakit dan luka, janji Dariel saat mereka menikah akan selalu menjaga Fredella dan membahagiakannya.
Jujur saja ia tak kuasa melawan ujian ini, kenyataan yang tidak bisa diputar atau ditentangnya. “Fredella aku mencintaimu, kita akan melewati ini berdua sayang." Gumam Dariel memejamkan kedua mata, menyandar pada dinding dingin, lapisan bajunya tidak mampu menahan dingin yang masuk.
Kata orang cinta itu indah
Kata orang cinta itu tanpa air mata
Tapi sekarang cinta membawa air mata pada kehidupan rumah tangga Dariel dan Fredella. Rasanya ingin peluk dan memasang dinding kuat yang tidak bisa ditembus apapun termasuk rasa sakit.
Tapi sekali lagi, sehebat apapun Dariel ia hanyalah manusia biasa yang lemah dan tidak sempurna. Kekuatannya tidak bisa menghalangi takdir yang datang.
Suara ponselnya bergetar sejak ia turun dari pesawat, Dariel hanya tersenyum miring membaca siapa nama penelpon itu. Untuk sejenak ia berpikir jahat tak berperasaan. “Kenapa harus istriku, kenapa bukan kamu.” Bengis Dariel dalam dada yang sesak dan sulit bernapas.
Entah apa yang akan terjadi ke depannya, dalam hidup ini. Ia sudah cukup menyakiti Fredella dan sekarang akan semakin bertambah sakit.
Tubuh kekar pria tampan ini pun luruh di atas lantai, matanya menutup pelan, bayangan cantiknya Fredella saat tersenyum membawa Dariel pada kenangan masa lalu yang indah.
...TBC...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!