Prang
Suara benda jatuh membangunkan Anesha yang baru saja terlelap.
Jam sudah menunjukan pukul satu dini hari. Sebuah hal yang mustahil jika dirumahnya masih ada yang terjaga.
Merasa salah dengar, Anesha kembali memilih untuk memejamkan kedua matanya. Dia harus segera tidur agar bisa bangun tepat waktu, karena besok adalah hari keduanya melakukan ujian akhir semester.
Baru beberapa saat terpejam, samar-samar Anesha mendengar keributan dari arah kamar orang tuanya. Namun lagi-lagi Anesha meyakinkan dirinya sendiri jika hal itu tak mungkin terjadi, karena selama hampir tujuh belas tahun dirinya hidup, Anesha sama sekali tak pernah mendengar pertengkaran di antara kedua orang tuanya.
Tak ada rumah tangga yang benar-benar damai. Ayah dan ibunya memang kadang berdebat. Namun pada akhirnya salah satu dari keduanya akan memilih mengalah agar perdebatan itu tak berakhir menjadi sebuah pertengkaran.
Setelah cukup lama, suara itu bukannya menghilang, namun semakin Anesha memejamkan mata, maka suara ribut itu semakin jelas terdengar.
Walau sedikit tak yakin jika orang tuanya tengah bertengkar, namun pada akhirnya Anesha memilih bangkit dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Hening
Begitu membuka pintu kamarnya, Anesha hanya merasakan keheningan. Padahal kamar orang tuanya hanya tersekat ruang keluarga, itupun berukuran sangat kecil.
Anesha menghela nafas lega setelah beberapa saat hanya ada keheningan di luar kamarnya. Apalagi kamar kedua orang tuanya pun sudah dalam keadaan gelap, yang menandakan jika penghuninya mungkin sudah tertidur.
Deg
Suara isakan yang cukup lirih membuat Anesha menghentika langkah kakinya yang hendak kembali ke kamarnya.
Suara itu cukup lirih, namun Anesha yakin jika suara itu berasal dari kamar kedua orang tuanya.
Dengan langkah berat, Anesha mendekat. Lalu dengan perlahan dirinya menempelkan telingannya di daun pintu.
Deg
Benar saja, Anesha tak salah dengar. Suara itu adalah isakan tangis ibunya. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa ibunya menangis?
Tak ingin banyak menduga-duga, Anesha langsung memutar knop dan mendorong pintu di depannya.
Kedua mata Anesha membola bahkan seolah bola matanya akan keluar dari tempatnya begitu melihat kamar orang tuanya yang begitu berantakan bak diterjang angin topan.
Ada gelas dan sebuah vas bunga jadul yang tergeletak pecah di atas lantai, sehingga membuat seripihan kaca itu bertebaran di kamar kecil berukuran tiga kali tiga meter itu.
"Anesha, kamu belum tidur nak?" Ibunya yang sejak tadi duduk di ujung ranjang nampak kaget melihat kehadiran putrinya.
Naumi lantas menghapus air matanya. Ia bangkit dan langsung mengajak sang putri kembali ke kamarnya. "Ini sudah malam. Ayo balik ke kamarmu. Ingat, besok kamu harus bangun pagi."
"Tapi bu, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Anesha penasaran. Entah kenapa tiba-tiba hatinya terasa sakit saat melihat dengan mata kepalanya sendiri jika kedua orang tuanya tengah bertengkar.
Ini bukan pertengkaran biasa. Melihat kondisi kamar ayah dan ibunya membuat Anesha yakin jika masalah yang kedua orang tuanya hadapi saat ini bukanlah masalah yang sederhana.
"Ayo, biar ibu temani tidur." Bukannya menjawab pertanyaan sang putri, Naumi justru menuntun Anesha agar segera keluar dari ruangan penuh kekacauan ini.
Naumi tak ingin putrinya tau apa yang terjadi pada dirinya dan suami. Ia tak mau membuat sang putri kepikiran. Apalagi saat ini Anesha sedang dalam masa ujian akhir semester. Naumi tak ingin kosentrasi Anesha terganggu hingga mempengaruhi prestasi putrinya itu.
Anesha adalah anak yang pandai dan berprestasi. Dia bahkan mendapatkan bea siswa hingga tak perlu membayar sepeserpun untuk biaya sekolahnya.
Naumi beruntung, di tengah himpitan ekonomi, Anesha justru tak pernah menyusahkannya. Putrinya memang anugerah terindah untuk dirinya. Anesha putrinya yang begitu membanggakan.
"Bu, sebenarnya ada apa?" tanya Anesha untuk kesekian kalinya.
"Enggak pa-pa sayang. Kamu nggak perlu mikir yang macem-macem. Sekarang lebih baik kamu tidur. Besok pagi akan ibu bangunkan." Naumi langsung merebahkan diri di atas ranjang kecil milik putrinya. Ia harus tidur menempel ke tembok agar rajang berukuran seratus dua puluh kali dua ratus itu bisa menampung tubuh mereka berdua.
"Bu..."
"Nesha tidur. Ini sudah larut malam." Ucapan Naumi yang begitu tegas dan seolah tak ingin di bantah, membuat Anesha tak lagi mencecar sang ibu. Mungkin ibunya butuh waktu.
Anesha merebahkan tubunya tepat di sebelah sang ibu. Ranjang kecil dan tipis itu memang mampu menampung keduanya. Walau harus sedikit berdempetan, Anesha tak masalah. Lagi pula dia sudah biasa berbagi ranjang dengan ibunya.
"Bu, sudah tidur?" tanya Anesha pada sang ibu yang tidur membelakanginya.
Sebenarnya Naumi belum tidur. Namun dia sedang tak ingin berbicara dengan putrinya. Naumi tak ingin Anesha membahas pertengkarannya dengan sang suami.
Cukup mereka berdua saja yang tahu, dan Naumi berjanji akan segera menyelesaikan permasalahannya agar tak semakin berlarut-larut. Naumi tak ingin ketegangan antara dirinya dan suami berpengaruh pada Anesha.
Anesha menghela nafas berat saat tak mensengar jawaban dari Naumi. "Selamat tidur bu. Anesha sayang ibu."
Waktu sudah menunjukan pukul tiga pagi, namun Anesha sama sekali tak bisa tidur. Berkali-kali memaksa untuk memejamkan mata, berkali-kali pula kantuk itu tak kunjung datang.
Rasanya Anesha ingin sejenak saja melupakan apa yang baru saja terjadi pada kedua orang tuanya. Namun semakin dia ingin melupakan, semakin jelas pula bayangan pertengkaran ayah dan ibunya.
Sebelum keluar dari kamar orang tuanya, Anesha melihat sang ayah yang berdiri dengan tatapan kosong di sisi jendela. Tak lupa sebuah rokok terselip di tengah jari telunjuk dan jari tengahnya.
Ayahnya bukanlah perokok aktif. Namun malam ini Anesha melihat sendiri bagaimana Ayahnya menyesap batang berbau nikotin itu, lalu menghembuskannya hingga mengeluarkan asap pekat yang berbau menyengat.
Anesha sangat tak menyukai bau rokok. Bahkan jika berada di dekat seseorang yang tengah merokok, Anesha akan terbatuk-batuk dengan sendirinya.
Ini bukan karena Anesha berlebihan, namun bau asap rokok benar-benar membuat dadanya sesak. Bahkan sampai susah untuk bernapas.
Ayahnya sangat tahu hal itu. Lalu apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa ayahnya kini merokok.
Apa mungkin ayahnya tengah menghadapi masalah yang cukup berat? Tapi apa? Kenapa Ayah dan Ibunya sampai bertengkar sehebat ini?
Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar-putar di kepala Anesha tanpa menemukan jawabannya yang pasti.
Hingga akhirnya Anesha mulai lelah. Dia hanya bisa berharap jika apa yang terjadi malam ini hanyalah sebuah mimpi buruk. Anesha ingin esok hari kehidupannya kembali seperi semula. Dimana dirinya yang selalu di kelilingi kebahagiaan walaupun hidup dalam kekurangan.
"Ayah, ibu, semoga besok berjalan seperti biasanya. Hanya ada canda dan tawa," gumam Anesha sebelum akhirnya benar-benar terlelap.
Anesha merasakan usapan lembut di lengannya dengan di iringi suara merdu sang ibu. "Nesha, bangun nak ini sudah pagi."
"Bentar lagi Bu, Nesha masih ngantuk." Bagaiamana tidak mengantuk jika dirinya saja baru terlelap beberapa jam yang lalu. Anesha masih ingin tidur, sebentar saja. Setelah itu Anesha janji akan segera bangun dan membatu ibunya memasaka di dapur seperti biasanya.
"Kamu yakin mau tidur sebentar lagi? Ini sudah jam enam lebih. Apa kamu tidak takut teambat?"
Mendengar kata jam enam lebih membuat kedua mata Anesha terbuka dengan sempurna. Kantuknya memang masih ada, namun sudah sedikit menghilang.
"Kenapa ibu baru bangunin aku? Aku bisa terlambat." Anesha turun dari ranjang, lalu menyambar handuk yang tergantung di belakang pintu.
Anesha bergegas keluar kamar dan menuju kamar mandi yang berada tepat di samping dapur.
Naumi yang melihat tingkah putrinya hanya bisa menggelengkan kepala. "Baru bangunin? Ckk... padahal ini sudah ketiga kalinya ibu bangunin kamu."
Naumi memang sudah membangunkan putrinya seperti biasa, mulai pukul setengah lima. Namun Anesha justru sama sekali tak terusik. Putrinya itu tertidur terlalu lelap. Naumi memakluminya, apalagi semalam Anesha tidur larut malam.
Selesai mandi dan bersiap-siap, Anesha duduk di meja makan. Bergabung dengan Ayah dan Ibunya.
Anesha menatap menu sarapannya yang bisa di bilang cukup istimewa dari biasanya. Nasi goreng dan telur mata sapi.
Anesha menelan salivanya. Dia sudah tak sabar menikmati sarapannya pagi ini.
"Jangan makan dulu. Panggil dulu adikmu Kania," perintah sekaligus larangan sang ayah membuat Anesha menghentikan pergerakan tangannya.
Kania adalah sepupunya. Anak dari adik bungsu ayah Anesha. Gadis seusia Anesha itu sudah enam bulan ini tinggal di rumahnya. Bahkan Kania juga pindah di sekolah yang sama dengannya.
"Kania tak ada di rumah. Bukannya ibu sudah bilang dia menginap di rumah temannya."
"Ckk..." Ayah berdecak kesal. Lalu setelahnya dia bangkit meninggalkan meja makan tanpa menyentuh sedikitpun makanannya.
"Ayah kenapa sih Bu?" tanya Anesha sedih. Apalagi pagi ini ayahnya menunjukan wajah tak bersahabat.
"Udah, biarin abaikan aja Ayahmu itu. Sekarang lebih baik kamu sarapan. Kalau tidak, kamu bisa terlambat."
Mendengar kata terlambat membuat Anesha bergegas menyelesaikan sarapannya. Dia harus segera berangkat, karena jarak rumah dan sekolahnya lumayan jauh. Anesha harus berjalan kaki kurang lebih dua puluh menit untuk bisa sampai di sekolahnya.
...***...
Dengan sedikit berlari Anesha menembus derasnya hujan siang ini. Walaupun sudah menggunakan payung, Anesha harus merelakan kaosnya sedikit basah. Karena payung yang dia gunakan merupakan payung tua yang sebenarnya sudah berlubang di beberapa sisi.
"Nesha, kenapa kesini Nak?" Naumi menarik putrinya agar segera berteduh di tenda terpal tempat dirinya berjualan.
Wanita paruh baya itu terlihat khawatir saat melihat tubuh Anesha yang sedikit basah.
"Nesha mau bantuin Ibu jualan. Ini Nesha bawakan baju hangat. Diluar sini sangat dingin." Anesha mengulurkan kresek berwarna hitam dan Naumi langsung menerimanya.
Anesha tersenyum saat ibunya membuka dan mengeluarkan jaket yang ia bawakan. Tanpa diminta Anesha membantu Naumi memakai pakaian hangat agar tubuh renta wanita yang telah melahirkannya itu tak lagi kedinginan.
"Kamu juga pake jaketmu." Anesha menganggukan kepala. Dia memang sengaja menaruh jaketnya di dalam plastik, karena jika memakainya saat berjalan kesini, sudah di pastikan jaket itu akan basah terkena air hujan.
Hari ini kota tempat tinggal mereka memang di guyur hujan begitu lebat bahkan sejak siang tadi. Tapi walaupun hujan, Anesha tetap melakukan aktivitasnya seperti biasa. Membantu sang ibu berjualan es campur setelah pulang sekolah.
"Hari ini jualannya sepi ya Bu?" Anesha bertanya saat melihat toples-toples jualan ibunya masih terisi penuh. Bahkan terlihat seperti belum berkurang sama sekali.
"Alhamdulillah tadi sebelum hujan sudah laku dua." Anesha menatap wajah teduh ibunya yang tengah tersenyum. Bagaimana Anesha tak kagum, jika disaat seperti ini saja ibunya masih mensyukuri semua nikmat dan rejeki yang Tuhan berikan.
"Setelah hujan, gak ada yang beli lagi?" tanya Anesha lagi.
Naumi menatap putrinya dengan senyum yang masih terukir di wajahnya. "Bukan gak ada Nak. Tapi belum ada. Namanya juga jualan, kadang sepi kadang juga rame. Coba kita tunggu sampai nanti malam ya. Semoga hujan segera reda dan jualan kita bisa habis."
Anesha menganggukan kepala sembari menggosok-gosokan kedua telapak tangannya agar tetap hangat. Hujan semakin lebat dan rasanya dagangan ibunya kali ini tak akan bisa habis. Kalau sudah begitu, nanti saat di rumah sang ibu pasti akan membagikan sisa jualan mereka pada para tetangga.
Cukup lama duduk diam menunggu pembeli datang. Bahkan entah sudah berapa kali Anesha menguap. Hawa dingin membuatnya ingin tidur dan bergelung di bawah selimut hangat. Namun itu hanya akan ada di dalam angannya saja. Karena Anesha tak mungkin membiarkan ibunya berjualan sendiri disini.
Sore ini jalanan cukup sepi, hingga tiba-tiba sebuah mobil sedan berhenti tepat di samping gerobak jualan es mereka.
Mobil dengan plat B yang menandakan jika pemiliknya bukan berasal dari kota kecil mereka. Mungkin seseorang di dalam sana ingin bertanya arah atau alamat. Karena dilihat dari mewahnya mobil sedan itu, rasanya sangat tak mungkin jika pemilik mobil itu berniat membeli es campur yang hanya di jual di pinggir jalan.
Tak lama berselang, pintu kemudi terbuka. Seorang pria dewasa dengan tubuh tinggi tegap keluar dari dalam mobil dan berlari ke arah tenda Naumi sembari menutup kepalanya dengan tangan.
"Permisi Bu, es campurnya masih ada?" tanya pria tersebut setelah berdiri di sisi gerobak milik ibu Anesha.
"Masih mas."
"Saya mau satu Bu. Minum disini aja."
"Baik mas."
Mendengar ada yang memsan es campur ibunya, membuat Anesha lantas berdiri dari duduknya. Anesha mempersilakan pria yang mungkin berusia dua kali lipat dari usianya itu untuk duduk di kursi plastik yang memang mereka sediakan.
Biasanya akan ada beberapa pembeli yang ingin meminum es campur mereka di sini. Namun karena seharian ini hujan, sepertinya pria kaya ini merupakan pembeli pertama yang duduk disana.
Anesha mengambil satu mangkok kaca, bersiap meracik satu porsi es campur untuk pembeli pertamanya hari ini.
"Sudah biar Ibu saja." Naumi menahan pergerakan tangan putrinya. "Lebih baik kamu belajar saja. Besok masih ujian akhir semester bukan?"
Kalau Ibu sudah melarang dan memberi perintah, Anesha tak akan bisa menolak. Anesha pun memilih kembali duduk di kursiku. Membuka tas lalu mulai membaca buku catatan yang memang sengaja ia bawa.
Belajar adalah hal wajib bagi Anesha. Dimanapun dan kapanpun dia pasti akan menyempatkan diri untuk belajar. Hal itu tentu saja membuahkan hasil yang cukup memuaskan. Anesha selalu mendapat peringkat pertama di sekolah. Dan saat melihat senyum bangga kedua orang tuanya, Anesha merasakan kebahagiaan yang luar biasa besar di hatinya.
Anesha melirik sekilas saat ibunya mengantarkan pesanan pria kaya itu. Hingga pertanyaan yang sang ibu lontarkan pada pembelinya membuat Anesha cukup penasaran. Penasaran dengan jawabannya.
"Hujan-hujan kok beli es mas," tanya Naumi sembari tertawa, namun Anesha bisa melihat kedua mata ibunya mulai berkaca-kaca.
Anesha masih menatap lekat pria itu setelah mendengarkan jawaban darinya. Sebuah jawaban sederhana yang sungguh membuat Anesha kagum.
Biar keyakinan ibu semakin teguh, kalau rezeki itu tak akan tertukar, selagi kita tetap berusaha, Tuhan pasti akan memberi jalan rezeki-Nya.
Tak sampai disana, Anesha juga masih di buat tak percaya saat pria itu memberikan semangat pada ibunya. Padahal mereka hanyalah dua orang asing yang tak sengaja di pertemukan oleh takdir sebagai penjual dan pembeli.
Tanpa Anesha sadari, bibirnya tertarik keatas hingga membentuk senyuman saat melihat wajah teduh pria dewasa itu.
Pria yang saat ini memakai kemeja berwarna navi dengan lengan yang di gulung itu sepertinya memiliki darah keturunan orang asing.
Anesha bisa menyimpulkan seperti itu karena melihat bentuk tubuhnya yang yang tinggi tegap. Kulitnya putih bersih tanpa ada goresan sedikitpun yang dapat Anesha lihat. Selain itu ia juga memiliki rahang tegas, dengan hidung mancung dan bibir tipis. Dia juga memiliki alis yang sedikit tebal. Kombinasi yang pas untuk wajah tampan seorang pria. Bahkan visulnya bisa dibilang hampir sempurna.
Deg
Jantung Anesha tersentak kaget saat tiba-tiba pria itu beralih menatapnya. Dia tersenyum sangat ramah, namun bukannya membalas senyuman itu, Anesha justru membuang pandangan.
Ditatap sedemikian rupa oleh seorang pria asing membuat jantungnya berdebar-debar. Sungguh sangat aneh.
"Bu, saya sudah selesai." Pri itu sudah berdiri tepat di belakang ibunya yang tengah asik memandangi air hujan yang jatuh di atas gerobaknya.
"Eh, sudah selesai." Ibu menengok kebelakang dan bangkit dari duduknya.
"Iya Bu sudah. Berapa Bu?" tanya pria itu ingin membayar es campurnya.
Ibu tersenyum ramah. "Sepuluh ribu mas."
"Sepuluh ribu?" Pria itu nampak kaget seolah tak percaya dengan harga yang di berikan Ibu Anesha.
"Iya Mas."
"Murah sekali Bu. Padahal dapetnya banyak banget. Apa ibu bisa untung dengan menjual es campur semurah ini." Pria itu nampak merogoh kantong celananya lalu mengambil sebuah dompet kulit berwarna coklat gelap.
"Alhamdulillah masih dapat untung walaupun gak banyak."
Pria itu tersenyum sembari menganggukan kepalanya. Lalu setelahnya dia mengulurkan uang pada Naumi sebelum akhirnya langsung bergegas pergi dengan sedikit berlari karena hujan masih cukup deras.
"Eh, Mas ini uangnya kebanyakan," teriak Ibu sembari memanggil pria yang sudah berdiri tepat di samping mobilnya.
"Kembaliannya buat Ibu aja," balasnya juga dengan berteriak sebelum akhirnya pergi meninggalkan tempat itu dengan mobilnya.
"Alhamdulillah."
Anesha yang melihat wajah bahagia Ibunya pun memilih mendekat. Dia ingin tahu berapa uang yang di berikan pria itu hingga membuat Ibunya sebahagia ini.
"Emang Om tadi ngasih uang berapa Bu? Seratus ribu?" tanya Anesha. Karena setaunya selembar uang kertas dengan nilai mata uang terbesar di negaranya adalah seratus ribu rupiah.
"Ibu gak tau Nak. Coba kita hitung bersama." Ibu memperilahtkan satu gepok uang ditangannya. Dan hal itu tentu saja membuat Anesha kaget. Dia pikir Om baik hati tadi hanya memberi selembar uang dengan pecahan besar. Namun ternyata Anesha salah, karena di tangan ibunya terdapat berlembar-lembar uang bergambar bapak proklamator.
"Satu, dua, tiga.....sepuluh. Ada sepuluh lembar," kata Ibu begitu selesai menghitung lembar demi lembar uang kertas di tangannya.
"Alhamdulillah," ucap kami bersamaan.
"Semoga Mas yang tadi di berikan kesehatan dan semakin di lancarkan rezekinya." Do'a Ibu dengan tulus. Dan Anesha hanya mengaminkan saja. Semoga do'a Ibu terkabulkan. Karena orang sebaik Om tadi sangat pantas mendapat do'a terbaik.
Mereka pulang saat jam sudah menunjukan angka delapan malam. Dan seperti dugaan Anesha tadi, dagangan Ibu tak habis. Walaupun sudah berjualan sampai larut malam, tapi mereka masih belum bisa menjual seluruh es campurnya.
Tapi tak masalah karena dagagan Ibu hanya tinggal sedikit. Mungkin tujuh porsi lagi. Lagi pula nanti sisanya bisa mereka minum sendiri atau di bagikan ke tetangga yang mau.
Hujan memang sudah berhenti beberapa saat setelah Om dermawan itu pergi. Dan setelahnya dagangan Ibu mulai kembali di kerumuni oleh pembeli. Sepertinya Om tadi benar-benar pembawa rezeki untuk mereka hari ini.
Dari kejauhan Anesha melihat rumah sederhana milik orang tuanya sudah diterangi oleh lampu yang menyala. Itu tandanya sang ayah sudah ada di rumah.
Di depan teras, Anesha bisa melihat sebuah motor butut tua milik ayahnya yang mungkin sudah seusianya. Motor bersejarah yang biasa ayahnya pakai untuk mencari sesuap nasi untuk mereka.
Ayah Anesha bekerja sebagai tukang ojek. Beliau biasa mangkal di pertigaan yang tak jauh dari tempat tinggal mereka.
"Assalamualaikum, yah kami pulang," ucap Ibu setelah membuka pintu kayu yang terlihat sudah tak kokoh lagi.
Tak ada jawaban, padahal Ayah tengah duduk di ruang tamu dengan sebatang rokok di tangannya. Ya, malam ini Anesha kembali melihat Ayahnya merokok.
Ibu berjalan masuk ke arah dapur dengan membawa beberapa alat dagangannya yang harus di cuci. "Yah, kalau ada yang mengucap salam itu dijawab. Bukannya Ayah tau jika menjawab salam itu hukumnya wajib?"
Bukannya menjawab pertanyaan Ibu, Ayah justru menggebrak meja hingga mengentikan langkah Anesha dan Ibunya.
"Jam segini baru pulang. Kalian dari mana saja?" tanya Ayah dengan nada tinggi.
Anesha kaget. Ayahnya tak pernah berbicara dengan nada setinggi ini. Apalagi saat ini Ayahnya tengah menatap Anesha dan sang ibu dengan sorot mata tajam.
Ibu mengusap punggung Anesha. Dia tahu jika saat ini putrinya tengah ketakutan melihat Ayahnya yang bersikap tak seperti biasanya.
"Kami jualan seperti biasa. Ayah tahu itu." Ibu menjawab pertanyaan sang Ayah dengan tenang.
"Terserah kalian mau pulang jualan sampai jam berapapun aku tak peduli, tapi setidaknya siapkan makan malam untukku dan Kania. Aku lelah mengantar pelanggan kesana kemari. Tapi saat pulang justru tak ada apapun yang bisa aku makan. Apa kalian pikir aku tidak lapar?" tanya Ayah dengan sedikit menyentak.
Ibu menatap Anesha. Biasanya putrinya itu akan menyiapkan makan malam terlebih dahulu sebelum membantunya berjualan. Apa hari ini Anesha lupa?
"Nesha udah masak dengan bahan-bahan yang ibu beli, sayur asem sama tempe goreng," jawab Anesha tak mau di salahkan. Bukan ibunya, tapi ayahnya. Karena Anesha tahu ibunya tak akan pernah menyalahkannya.
"Jangan bohong kamu. Di meja makan gak ada masakan apapun," sahut Ayah.
"Aku gak bohong yah."
"Sudah, mungkin Kania yang sudah menghabiskan masakan Anesha," ujar Ibu menengahi.
"Kamu jangan main tuduh Kania." Ayah kembali membentak ibu. Bahkan ia sudah menunjuk-nunjuk wajah ibunya dengan jari telunjuk.
"Ibu gak nuduh. Tapi yang ada di rumah ini hanya ada kita berempat. Ibu dan Anesha jualan. Di rumah hanya ada keponakan kamu itu. Lalu siapa lagi tersangkanya kalau bukan Kania."
"Cukup. Kamu pikir keponakanku pencuri sampai kamu berani-beraninya menyebut Kania sebagai tersangka," sentak Ayah tak terima. "Asal kalian tahu, aku sudah bertanya pada Kania. Dan dia bilang kalau dia juga belum makan sejak pulang sekolah."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!