NovelToon NovelToon

Salahkah Bila Aku Mendua

Bab 1. Awal yang pilu

Kalea buru-buru menuju teras depan saat mendengar deru mobil suaminya pulang. Walau tidak pernah di perlakukan dengan baik, Kalea tetap menjalankan tugasnya sebagai seorang istri.

"Sudah pulang, Mas?" tanya Kalea lembut dengan bibir yang terulas manis.

"Bukankah kamu bisa melihatnya sendiri! Kenapa harus bertanya? Hah!" ketus Zoni sambil membanting tas kerja juga sepatu yang dikenakan.

Kalea hanya diam. Hatinya sedikit nyeri. Ya, hanya sedikit karena hal seperti itu sudah biasa terjadi. Zoni akan membentaknya kala ada masalah di kantor.

"Aku lepas dulu kaos kakimu, Mas," ucap Kalea tetap bersikap lembut.

Zoni langsung mengambil posisi duduk di meja ruang tamu dan mengangkat kakinya untuk diberikan pada Kalea yang saat ini sudah berlutut di hadapannya.

Saat sedang sibuk melepas kaos kaki, Zoni kembali berucap. "Aku jijik melihat wajahmu yang begitu banyak jerawat. Itulah mengapa aku tidak pernah mau membawamu dalam acara kantor. Ibu mengatakan bahwa kamu pasti hanya akan mempermalukan." Dengan tanpa perasaan Zoni mengatakan hal tersebut.

Mata Kalea berkaca-kaca setiap kali suaminya sendiri mengomentari penampilannya. Bukan hanya Zoni yang sering mengucapkan hal tersebut. Tetapi, ibu mertua dan ayah mertuanya juga begitu. Belum lagi adik ipar Kalea yang selalu bertindak semena-mena.

"Maafkan aku, Mas." Hanya kalimat itu yang mampu keluar dari mulut Kalea. Lidahnya terlalu kelu untuk menjawab setiap hinaan suami dan keluarganya.

Terdengar dengkusan kesal dari Zoni. Bersamaan dengan itu, Kalea telah selesai melepas kaos kaki sang Suami. Zoni berdiri dan Kalea harus ikut berdiri serta menyingkirkan agar tubuhnya tidak menghalangi langkah Zoni.

"Jangan tidur di kamarku malam ini! Aku sedang kesal padamu," ucap Zoni lagi sebelum benar-benar meninggalkan Kalea sendirian di ruang tamu.

Tanpa terasa, cairan bening menetes dari kedua sudut matanya. Salahkah jika Kalea merasa tersakiti dalam hubungan ini?

Sebenarnya, Kalea dan Zoni menikah karena saling mencintai. Hanya saja, keluarga Zoni dulu tidak pernah merestui bila Zoni menikah dengan Kalea.

Kalea yang hanya berasal dari keluarga sederhana, tentu tidak Pantas bersanding dengan Zoni yang seorang anak orang kaya. Di lima bulan pernikahan, semua tampak indah karena mertuanya tidak terlalu ikut campur.

Namun semakin kesini, tepatnya setelah pernikahannya yang hampir satu tahun, Zoni berubah. Belum lagi ibu mertua dan adik ipar yang setiap hari datang ke rumah Kalea dan Zoni hanya untuk menyombongkan harta miliknya.

Kalea menghela napas kasar agar sesak di dadanya sedikit berkurang. Sebagai seorang wanita, Kalea tentu ingin dicintai dan diperlakukan dengan baik. Tidak seperti sekarang. Zoni yang dulu benar-benar berbeda dari Zoni hari ini.

"Aku merindukan kamu yang dulu, Mas. Saat dimana hanya ada kita berdua di dalamnya. Saat kamu begitu menyayangi dan mencintaiku. Bahkan, aku sampai lupa kapan terakhir kali kita menghabiskan waktu untuk bersama," gumam Kalea sambil menghapus air matanya yang lancang jatuh.

Tidak ingin meratapi terlalu lama, Kalea bergegas menuju dapur. Dia harus menyiapkan makan malam karena hari sudah semakin sore.

Saat di depan wastafel untuk mencuci tangan, Kalea melihat pantulan dirinya di cermin yang memang di sediakan di depan wastafel.

Mata Kalea menelusuri lekuk wajahnya yang memang banyak ditumbuhi jerawat. Belum lagi mata panda dan kantung di bawah mata yang tampak nyata. Kalea terlihat sangat menyedihkan.

Hembusan napas kasar Kalea lepaskan lalu bergegas melakukan tugas.

Waktu bergulir. Jam makan malam pun tiba. Kalea telah menata semua makanan di meja. Ekor matanya menangkap sosok suaminya yang tampak menuruni tangga. Masih dengan raut datar dan kakunya. Tidak ada lagi senyum seperti dulu ketika masa-masa indah itu belum berlalu.

Walau demikian, hal itu tidak mengurangi ketampanan yang dimiliki seorang Azoni Abyasa.

"Duduk, Mas. Aku sudah masak banyak untukmu," pinta Kalea sambil tersenyum manis.

Bukannya senang, Zoni justru tampak tidak suka. Bibirnya kembali terbuka untuk mengatakan sesuatu hal pada Kalea. "Jangan tersenyum seperti itu. Aku risih melihatnya," ketus Zoni yang berhasil melunturkan senyum tulus Kalea.

Kalea seperti kehilangan pasokan oksigen di rongga dadanya. Sesak dan nyeri sekaligus menyergap bagian paru-parunya. Berusaha tegar dan tidak mempermasalahkan ucapan Zoni, Kalea tersenyum kembali dan mengambil posisi duduk di sebelah Zoni.

"Makanlah yang banyak, Mas. Kamu pasti lelah karena seharian bekerja." Setelah mengucapkan itu, Kalea menuang nasi beserta lauk di piring Zoni. Kalea tersenyum saat Zoni kali ini diam dan tidak banyak protes.

Namun, dugaan Kalea salah. Keterdiaman Zoni tidak lain adalah untuk mengumpulkan kata-kata yang akan membuat perasaan Kalea sakit lagi.

"Kenapa banyak sekali nasinya? Kamu pikir, aku kuli bangunan? Aku tuh pekerja kantoran tidak seperti kamu yang kerjaannya hanya pengangguran!" ucap Zoni tak berperasaan.

Gerakan tangan Kalea terhenti di udara dan menatap suaminya dengan pandangan terluka. "Kamu bisa mengatakan jika nasinya terlalu banyak tanpa perlu menghinaku yang hanya seorang ibu rumah tangga," jawab Kalea tidak sedikitpun mengurangi rasa hormatnya.

Zoni hanya berdecak sebal. Belum lagi nada suara Kalea yang seperti akan menangis, membuat Zoni merasa muak. "Kurangi nasinya!" bentak Zoni menggema di seisi ruangan.

Kalea mengangguk lalu memindahkan ke piringnya. Setelah itu, baru Zoni menyantap makanannya. Kalea tersenyum lalu mulai ikut makan. Namun, baru saja di sendok nasi yang masuk ke perutnya, suara Zoni kembali terdengar.

"Kamu kenapa bau sekali? Apa sejak tadi kamu belum mandi? Membuat selera makanku hilang saja," ketus Zoni tak henti-hentinya menghujat.

Hal itu sontak membuat Kalea mencium baju dasternya sendiri yang baunya sudah tak karuan. Zoni yang melihat itu, langsung berdiri dengan menggebrak meja.

Brak!

"Kamu bagaimana sih? Seharian di rumah melakukan apa saja? Hah? Mengapa kamu belum mandi? Coba kamu lihat penampilan kamu sendiri! Lalu bandingkan dengan penampilanku? Apa kamu pantas?" ucap Zoni menggebu-gebu.

Kalea terdiam menatap Zoni dengan mata yang berkaca-kaca. Suaminya itu sudah berubah kasar dan suka membentak. Kalea bisa melihat tatapan Zoni yang begitu jijik dengan dirinya.

Kalea menangis. Sakit sekali mendapatkan perlakuan buruk dari orang yang kita cintai. Jika suaminya sendiri menghujat, apalagi orang lain?

"Apakah aku se-menjijikan itu di matamu, Mas? Sampai-sampai kamu menatapku seperti itu," gumam Kalea tak jelas karena suaranya teredam oleh tangis.

"Aaaarrgghh!" Zoni memekik kesal.

"Jangan menangis untuk mencari simpati ku! Kamu pikir dengan kamu menangis, aku akan berubah lembut begitu? Kamu harusnya mengerti jika aku lelah seharian bekerja! Dan saat aku pulang bekerja, aku pikir lelah ku akan hilang. Namun yang ada, lelahku bertambah kala melihat kamu dengan penampilan yang— argh!" Zoni tidak menyelesaikan kalimatnya.

Tanpa menunggu lebih lama atau sekedar menenangkan tangis Kalea, Zoni langsung menuju lantai atas dengan kaki yang menghentak kesal.

Kalea yang ditinggal sendirian, hanya bisa menahan isakan dan raungan tangisnya. Di malam yang begitu sunyi, Kalea kembali merasakan sendiri. Tidak ada bahu untuk bersandar atau telinga yang bersedia mendengar keluh kesahnya.

Kalea merasa kesepian berada di dunia yang luas ini. Dunia dimana kaki Kalea memijak dengan getar.

Bab 2. Javas Kanagara

Pagi kembali menjelang. Kalea telah terbangun dari tidurnya. Jam sudah menunjukkan pukul enam. Kalea sadar dirinya bangun kesiangan. Kepalanya terasa pening karena semalaman terjaga. Matanya seperti enggan untuk terlelap karena memikirkan banyak hal.

Seperti, Zoni yang kembali manis seperti dulu, Zoni yang mencintai dan menyayanginya seperti dulu. Semua diawali dengan kata seandainya karena Kalea hanya bisa berangan-angan.

Karena pada kenyataannya, usahanya setiap hari untuk membuat Zoni kembali jatuh cinta tidak pernah berhasil. Terbesit keinginan di hati untuk menyerah. Namun, jika mengingat tentang bagaimana wajah kecewa orangtuanya, hal itu membuat Kalea mengurungkan niat.

Dengan langkah gontai, Kalea keluar dari kamar tersebut menuju kamar suaminya. Dia harus masuk kesana karena semua pakaian ada di ruangan tersebut.

Saat sudah sampai di depan ruangan, ternyata pintunya terbuka dan Kalea bisa melihat sang Suami sedang mencari pakaian kerjanya.

"Sudah ketemu, Mas? Sini aku carikan," ucap Kalea lalu melenggang masuk begitu saja. Setelah sampai dan berdiri di samping sang Suami, Kalea mulai mencarikan pakaian kerja yang cocok.

Namun, saat tangannya bergerak untuk mengulurkan pakaian, sekaligus tubuhnya serong, Kalea bisa melihat tatapan Zoni yang tampak tidak suka. Belum lagi, jari telunjuk dan ibu jari suaminya itu menjepit hidung. Seakan, Kalea bagai sebuah sampah yang baunya busuk.

Kalea menunduk lalu meletakkan kembali pakaian yang baru saja di pilihnya. "Kamu bisa pilih sendiri, Mas. Aku akan pergi mandi dulu," pamit Kalea lalu berbalik dan akan berjalan menuju kamar mandi.

Namun, gerakannya terhenti kala mendengar suaminya membuka suara. "Mandilah! Aku selalu jijik ketika melihatmu baru bangun tidur. Sudah mirip seperti gelandangan."

Hinaan itu membuat Kalea kembali kehilangan kepercayaan diri. Kalea merasa rendah diri dan tidak memiliki kualitas hidup. Tidak ada tindakan lain kecuali kembali menangis dalam diam.

Kalea masuk ke kamar mandi dan seketika itu juga, air matanya luruh. Kalea begitu takut untuk menjawab semua hinaan dari suami maupun keluarganya. Kalea tidak pernah memiliki keberanian yang besar untuk keluar dari masalahnya.

Hanya bisa bersabar dan mengharap keajaiban. Pernah terbesit di kepala Kalea untuk melompat dari gedung tinggi atau sekedar menggores cutter di lengannya. Namun, setengah kewarasan Kalea masih ada sehingga urung untuk menyakiti diri sendiri.

"Sampai kapan aku bisa keluar dari sini? Aku terlalu takut hanya untuk mengucap sebuah kata pisah. Apa kata ayah dan ibuku nanti? Mereka pasti tidak mau tahu," gumam Kalea terdengar mengiris kalbu.

Kalea sampai merasa tidak ada satupun yang peduli dengan adanya dirinya di dunia. Tidak orangtuanya atau suaminya. Kalea merasa hidupnya tak lagi berguna.

Orangtuanya terbiasa menjunjung tinggi anak laki-lakinya hingga di sekolahkan hingga mendapatkan gelar sarjana. Sedangkan dirinya, hanya di sekolahkan hingga lulus SMP. Hal itulah yang terkadang menjadikan ibu mertua dan adik ipar menghinanya.

"Ya Tuhan. Aku tidak ingin seperti ini terus. Tolong bantu aku keluar dari hidup yang sengsara ini," ucap Kalea berdoa. Berharap beban yang ada di pundak bisa sedikit berkurang.

Namun, hingga pukul delapan menjelang, di kepala Kalea hanya terlintas lompat dari gedung yang tinggi atau mungkin lompat ke jurang. Tidak ada yang bisa menahannya agar tetap bertahan hidup.

Belum ada anak dalam pernikahannya dengan Zoni. Entah Kalea maupun Zoni belum pernah mengecek ke dokter tentang kesuburan.

Setelah mengguyur tubuhnya dengan air dingin, Kalea keluar dari kamar mandi dan memakai pakaian. Rok plisket hitam selutut dipadukan dengan kemeja floral. Rambutnya Kalea gerai karena masih basah.

Dia ingin tampil lebih baik hari ini. Walau wajahnya tampak buruk, setidaknya pakaiannya lumayan enak di pandang. Lagi-lagi air matanya luruh setiap teringat kata-kata kasar dan menyakitkan dari mulut suaminya.

"Apa aku tidak berharga sampai-sampai diperlakukan tidak selayaknya? Apa karena aku berpendidikan rendah? Atau karena aku dari orang yang tidak berada?" tanya Kalea pada pantulan dirinya di cermin.

Hanya pantulan itu yang mampu menjaga Kalea untuk tetap waras menjalani kehidupan bersama suaminya. Karena teman yang setia dan tidak akan pernah meninggalkan Kalea, adalah diri Kalea sendiri.

Dan berbicara pada diri sendiri itu rasanya begitu mengiris. Tidak ingin membuat diri terlihat mengenaskan, Kalea memilih keluar untuk jalan-jalan. Dia butuh penyegaran karena sudah beberapa hari ini menjadi sasaran kekesalan Zoni.

Tidak ada alat transportasi yang Kalea gunakan. Dia lebih senang berjalan di trotoar menikmati kendaraan lalu-lalang yang menimbulkan kebisingan. Kalea suka berada di keramaian karena pada saat itu, Kalea akan melamun dan tidak ada satupun orang yang menyadari.

Lima belas menit berjalan kaki, Kalea berhenti di sebuah taman lalu duduk bersila dengan bersandar pada pohon Ketapang. Kalea selalu nyaman berada di tempat ini. Tempat dimana tidak ada yang peduli dengan keberadaannya.

Daun dari pohon Ketapang itu tampak berguguran karena tertiup angin hingga jatuh dan beberapa mengenai Kalea. Terlalu sibuk melamun, tanpa sadar ada seseorang yang tengah berdiri tidak jauh dari tempat Kalea berada.

"Hai? Boleh bergabung?" sapa suara berat yang mampu membuyarkan lamunan Kalea tentang kata 'Seandainya ...'

Kalea tersenyum sambil kepalanya menunduk. "Silahkan." Hanya kata singkat itu yang Kalea keluarkan.

Hening menyergap di antara keduanya. Angin yang berhembus membuat rambut Kalea berantakan hingga tangannya bergerak untuk mengikatnya dengan karet di saku celananya.

"Sepertinya kamu begitu nyaman dalam lamunan. Hati-hati. Bisa sebabkan kesurupan," ucap suara itu lagi entah dengan maksud apa.

Kalea menoleh dengan dahi yang mengernyit. "Aku tidak melamun," elak Kalea lalu membuang muka.

Pria di sebelahnya terkekeh pelan. "Aku sudah memperhatikan sejak tadi. Sepertinya, masalah hidup sedang begitu rumit," tebak pria itu lagi yang hanya diabaikan oleh Kalea.

Hening kembali tercipta. Kalea memilih menoleh untuk melihat wajah pria di sebelahnya dengan lebih jelas. Sejenak Kalea tertegun karena ketampanan pria di sampingnya.

Namun, hal itu hanya sebentar. Tampan saja belum cukup dalam menjalin sebuah hubungan.

"Oh iya. Namamu siapa jika boleh tahu?" tanya pria itu lagi seakan tak kenal lelah untuk membuat Kalea mau berbicara.

"Namaku Kalea," jawab Kalea tanpa menatap lawan bicaranya. Dia tidak seberani itu.

Namun, Kalea segera mendongak saat ada tangan yang terulur di depannya. "Sepertinya kita harus berkenalan. Bisakah kita menjadi seorang teman?" tawar pria itu dengan senyum yang menawan.

Kalea terpana. Senyum yang begitu hangat hingga Kalea bisa merasakannya. Dan entah mengapa, Kalea justru ingin menangis. Kalea sampai lupa kapan terakhir kali dirinya tersenyum tanpa beban seperti itu.

Tanpa menunggu lebih lama, Kalea menerima jabatan tangan dari pria yang sejak tadi menemaninya. "Bisa."

Senyum yang sangat menenangkan kembali muncul dari pria di hadapannya. "Namaku Javas Kanagara. Kamu bisa memanggilnya dengan sebutan Javas," ucap pria itu lagi lalu meremas lembut jemari Kalea.

Pada saat itu juga, seperti ada sengatan listrik yang membuat tubuhnya berdesir. Kalea merasakan nyaman di awal perjumpaannya dengan Javas.

Bab 3. Belajar berani

Siang hari saat matahari mulai bergerak tepat di atas kepala, Kalea meninggalkan taman. Javas sudah pergi sejak tadi setelah berkenalan dengannya. Ada telepon yang masuk dan Kalea bisa menangkap raut serius yang ditunjukkan Javas.

Satu yang Kalea ingat. Sebelum benar-benar pergi, Javas mengucapkan sebuah kata. "Besok kita bertemu lagi disini. Entah kamu bersedia datang atau tidak, aku akan tetap berkunjung kesini."

Dan mengingat itu, Kalea tersenyum sendiri. Dalam benaknya terpikir, apakah Javas tidak merasa jijik padanya? Seperti yang dilakukan Zoni, sang suami.

Zoni bahkan dengan lantang mengatakan bahwa Kalea bau, jerawatan, dan menjijikkan. Oleh karena itu, Kalea masih merasa heran. Kalea pikir, dirinya tidak semenarik itu.

Saat sudah sampai gerbang rumahnya, Kalea menghentikan langkah. Di sana, tepatnya di depan pintu rumah, ibu mertua dan adik ipar sudah berdiri dengan tangan yang berkacak pinggang.

"Darimana saja sih, kamu? Ibu menunggu lama di depan pintu. Kerjaannya keluyuran mulu!" teriak ibu mertuanya dengan suara lantang juga kesal.

Kalea menunduk. "Maaf, Bu. Habis jalan-jalan sebentar." Setelah mengucapkan itu, Kalea bergegas membuka pintu rumahnya yang kebetulan terkunci.

"Silahkan masuk, Bu," ucap Kalea mempersilahkan saat pintu telah terbuka.

Dengkusan kesal Kalea dengar dari adik iparnya. Dua wanita berbeda generasi itu melenggang masuk layaknya memasuki rumah sendiri. Sedangkan Kalea, bagai asisten rumah tangganya.

Setelah Kalea masuk, bisa dilihat ibu dan adik dari suaminya itu duduk di sofa dengan gaya angkuh. "Mbak. Ambilkan minum untukku dong. Gerah nih," ucap Anabella, sang adik ipar.

"Iya. Sekalian ibu juga ya. Kalau ada, ibu mau jus mangga pakai es," imbuh sang ibu mertua layaknya majikan menyuruh pembantunya.

Kalea terdiam. Jujur saja, Kalea merasa kesal sekaligus jengah dengan sikap ibu mertuanya. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Kalea berjalan menaiki tangga. Mengabaikan permintaan ibu mertua dan adik iparnya.

"Biarlah jika nanti mereka akan mengatakannya pada mas Zoni. Aku terlalu lelah hari ini. Energiku bisa habis hanya untuk melayani mereka," batin Kalea mencoba acuh.

"KALEA!" Teriakan itu membuat langkah Kalea terhenti.

"Kamu tidak dengar ibu menyuruhmu untuk apa? Hah? Dasar menantu tidak berguna! Ibu menyesal punya menantu seperti kamu!" imbuh bu Rosi dengan suara meninggi.

"Sudah, Bu. Lebih baik kita carikan calon istri baru untuk mas Zoni. Yang pasti lebih cantik, berpendidikan, dan yang paling penting adalah kaya." Kini Anabella mulai ikut campur dengan masalah rumah tangganya.

Kalea memegang dadanya sendiri yang terasa sesak juga nyeri. Matanya sudah berkaca-kaca akan menangis. Anehnya, Kalea hanya diam dan bagai tidak berdaya untuk sekedar menjawab hinaan tersebut. Hatinya sudah terlalu banyak disakiti.

Kalea memejamkan mata lalu mengangkat kepala. Dia beranikan diri untuk menjawab. "Silahkan ibu hina aku sepuasnya," ucapnya dengan tubuh yang bergetar dan telapak tangan yang sudah basah karena keringat. Kalea ketakutan.

"Oh. Jadi kamu mulai berani sekarang? Berani kamu sama ibu?" tanya bu Rosi dengan nada angkuh.

Tidak ingin menanggapi terlalu jauh, Kalea berjalan cepat menuju kamar lalu menguncinya. Kalea berdiri di balik pintu dengan punggung yang menempel di daun pintu.

Kalea kembali menangis terisak. Begini sekali nasib hidupnya. "Apakah di kehidupan sebelumnya aku melakukan kesalahan? Sehingga di kehidupan sekarang, hidupku begitu menderita," gumam Kalea terdengar pilu.

Kalea kembali menangis dengan menutupi wajahnya. Kalea yakin, setelah ini Zoni akan marah padanya karena tidak patuh pada sang Ibu.

Bukan Kalea tidak pernah bercerita tentang sikap ibu dan adik dari suaminya. Hanya saja, Zoni selalu menganggap Kalea berlebihan. Rasanya hanya sia-sia saja.

Mengingat itu, tangis Kalea semakin meraung. Lagi-lagi Kalea merasa sendirian. Tidak tahu harus bercerita pada siapa.

Entah sudah berapa lama Kalea berada dalam kamar mengunci diri. Hingga suara Zoni terdengar berteriak dari luar.

"Kalea!"

"Dimana kamu! Jangan pikir ibu tidak bercerita padaku!" pekik Zoni lalu terdengar bunyi gebrakan di pintu kamar dimana Kalea berada.

Brak!

Kalea berjenggit kaget. "A-aku di-di-disini," jawab Kalea mencicit lalu membuka pintu dengan tangan yang bergetar. Kalea kembali merasakan takut pada kemarahan Zoni.

Namun kali ini, Kalea akan mencoba lebih berani. Dia tidak boleh terlalu lemah. Setelah menarik dan menghembuskan napas, Kalea membuka pintu.

Raut wajah Zoni tampak kelam dan menatapnya nyalang. Kalea beranikan diri menatap suaminya. "Ada apa, Mas?" Kalea pura-pura tidak tahu. Walau sebenarnya Kalea paham mengapa suaminya marah.

PLAK!

Satu tamparan mendarat begitu saja di pipi Kalea tanpa sempat dia menghindar. Kepala Kalea sampai miring akibat tamparan keras suaminya.

Rasa panas dan perih Kalea rasakan. Tidak hanya di pipinya, tapi hatinya juga merasakan perih. Lebih perih dari rasa sakit di pipinya. Kecewa, marah, dan sakit seakan beradu menjadi satu.

Untuk pertama kalinya Zoni melakukan kekerasan dengan menamparnya. Kalea mengangkat kepala lalu matanya tertuju pada sang Suami.

"Apa ada masalah? Harusnya kamu tidak perlu menamparku seperti ini," cicit Kalea yang matanya mulai buram dan cairan bening sudah membendung di pelupuknya.

Zoni menghembuskan napas kasar. Tangannya bergerak untuk menjambak rambut. Sungguh, Zoni menyesal telah menampar sang istri terlepas bagaimana keadaan istrinya saat ini.

Namun, Zoni tetap tidak ingin meminta maaf. Dia terlalu gengsi. "Apa yang sudah kamu lakukan pada ibu? Kenapa ibu meneleponku sambil menangis?" Hanya kalimat itu yang keluar dari bibirnya.

Kalea menggeleng dengan air mata yang mulai luruh. "Kamu ingin mendengar apa dari mulutku? Setiap kalimat yang keluar tidak pernah kamu percayai. Kamu tidak pernah mendengarkan ku. Jadi, aku berpikir pendapat ku sama sekali tidak penting," sindir Kalea sambil menghapus air mata.

Zoni terdiam. Tatapan matanya sudah tidak lagi sekelam tadi. "Kamu percayai saja ibu kamu dan adikmu. Apapun yang dikatakan mereka selalu benar," ucap Kalea lagi.

Setelah itu, Kalea keluar dari kamar utama menuju kamar di sebelahnya. Dimana kamar itu sudah beberapa hari di tempatinya.

Ada rasa lega setelah sedikit mengutarakan isi hatinya. Kalea bisa merasakan ada yang sedikit berkurang dalam hatinya. Dan hal itu justru membuat Kalea menangis haru. Untuk pertama kalinya Kalea berani menjawab tuduhan tidak benar suaminya.

"Teryata sangat melegakan," gumam Kalea tersenyum sambil menangis sendiri.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!