Paula bersenandung sembari mencuci tumpukan piring di sebuah restoran. Perasaanya sedang senang mengingat hari ini merupakan hari terakhirnya bekerja. Ia telah mengundurkan diri dari tempatnya bekerja yang tidak mau memberikannya cuti selama satu bulan untuk menonton piala dunia langsung di Doha, Qatar.
Mungkin bagi sebagian orang Paula sudah gila, ia rela melepaskan pekerjaan yang jaman sekarang sulit didapatkan hanya demi piala dunia. Namun, bagi Paula itu adalah mimpinya. Selama 4 tahun terakhir ia rajin menabung, belajar Bahasa Inggris dan Bahasa Arab demi menonton piala dunia dan bertemu bintang pujaannya, Paulo Dybala.
“Serius kamu mau pergi ke Qatar?” tanya Rena, rekan kerjanya yang masih tidak percaya dengan rencana gila Paula.
Ia meletakkan piring-piring kotor yang dibawanya dari dapur ke dalam bak pencucian. Ia bergabung dengan Paula untuk membersihkan piring-piring itu.
“Serius, Ren! Aku sudah mengurus mengurus paspor dan visa jauh-jauh hari. Akhir pekan ini aku akan pergi ke sana.”
Paula mengatakannya seakan tanpa beban, membuat Rena yang sudah bekerja selama empat tahun Bersama wanita itu terheran-heran.
“Memangnya … kamu punya uang berapa?” tanya Rena. Pergi ke Qatar pastilah butuh biaya yang sangat banyak, apalagi Paula berencana akan berada di sana selama satu bulan.
“Sekitar 50 juta,” jawab Paula sembari tersenyum.
Rena tercengang mendengar nominal yang Paula sebutkan. “Pantas semua orang menyebutmu gila, Paula! Kamu mati-matian kerja mengumpulkan uang sebanyak itu hanya untuk menonton Paulo yang bahkan mungkin tidak tahu kalau kamu hidup di dunia ini?” ia geleng-geleng kepala.
“Makanya aku nekad mau ke sana. Akan aku buat Paulo tahu kalau aku hidup di dunia ini dan menjadi penggemarnya.” Paula masih tersenyum tanpa beban. Ia merasa apa yang akan dilakukannya merupakan sebuah kebahagiaan untuk dirinya sendiri. Bahkan, ia merasa senang bekerja karena memiliki mimpi itu, bertemu Paulo Dybala.
“Kalau kamu merasa kelebihan uang, bukankah lebih baik disumbangkan ke panti asuhan? Itu lebih bermanfaat. Atau bisa kamu gunakan uangmu untuk membuka usaha sendiri dari pada untuk hal yang tidak jelas seperti itu.”
“Setiap orang aku rasa punya caranya sendiri untuk meraih kebahagiaan. Memang mimpiku tidak besar, hanya ingin melihat idolaku bermain bola secara langsung,” kilah Paula.
“Setelah kamu habiskan uangmu untuk bertemu dengan bintang pujaanmu itu, kamu mau apa?” tanya Rena.
Paula tampak berpikir sejenak. “Em, mungkin aku akan mencari kerja lagi. Syukur kalua bos mau menerimaku lagi,” katanya.
Rena ingin tertawa mendengar jawaban simpel yang Paula utarakan. “Kamu rela miskin demi bertemu Paulo? Ya Tuhan … manusia macam apa kamu ini.” Rena benar-benar tidak percaya bisa memiliki rekan kerja seperti Paula.
“Hahaha … kamu jangan terlalu serius menanggapi hidup, Ren! Kita tidak ada yang tahu bagaimana nasib ke depannya. Menurutku, selagi bisa, tidak ada salahnya untuk melakukan hal yang paling kita inginkan.”
“Kamu bahkan tidak sempat pacaran karena terlalu sibuk mencintai pemain bola itu,” gumam Rena.
Paula tersenyum lebar. “Siapa tahu dia yang akan menjadi jodohku,” katanya.
“Hm, mimpinya …. “ Rena membawa Kembali piring yang telah selesai dibersihkan dan meletakkannya di atas rak satu per satu.
“Sudah, ya! Karena pekerjaan juga sudah beres, akum au pulang dulu!” pamit Paula. Seharusnya sore ini ia juga sudah bisa pulang karena sudah resmi dipecat. Namun, ia tidak enak kepada rekan kerjanya yang lain sehingga menunggu sampai seluruh pekerjaan selesai.
“Oke, selamat mengejar mimpi, ya! Kalau kamu benar bisa bertemu dengan Paulo, sampaikan salamku padanya!” pinta Rena.
“Hahaha … oke!”
Paula benar-benar santai menyikapi respon setiap orang yang meremehkannya. Selama empat tahun, ia hanya fokus mengejar mimpinya untuk bertemu sang idola. Ia tidak susah dengan pendapat mereka, karena yang merasakannya adalah dirinya sendiri.
Tepat jam delapan malam Paula telah sampai di kamar kontrakannya. Memang tidak salah jika ada yang mengatakannya gila, punya uang 50 juta tapi tinggal di kontrakan dua petak yang sangat sederhana. Seharusnya ia bisa memakai uang itu sebagai uang muka membeli perumahan. Tapi, itulah Paula yang punya cara sendiri menikmati hidupnya.
Paula merebahkan tubuhnya di ranjang. Ia memandangi poster-poster Paulo Dybala yang memenuhi dinding kamarnya. Sejak kelas 3 SMA ia mulai menggilai bola karena sosok Dybala.
Karena tidak memiliki biaya untuk kuliah, ia memutuskan untuk bekerja. Hasil gaji yang diterima setiap bulan, sebagian ia tabung untuk mewujudkan mimpinya bertemu Dybala.
Hari keberangkatan akhirnya tiba. Paula pergi ke bandara sendiri membawa sebuah koper yang cukup besar. Tak ada sanak saudara maupun kawan yang mengantar kepergiannya. Ia juga tidak ambil pusing dengan hal itu. Paula menaiki pesawatnya di bagian kelas ekonomi.
Setelah menempuh perjalanan selama belasan jam yang cukup Panjang, akhirnya Paula berhasil menginjakkan kakinya di negara terkaya di dunia. Senyumannya terkembang begitu lebar menyadari bahwa mimpinya semakin dekat untuk diraih.
“Pak, tolong antarkan saya ke alamat ini,” kata Paula kepada seorang sopir taksi dengan menggunakan Bahasa arab.
“Baik, Nona,” jawab sang sopir taksi.
Tak sia-sia selama ini Paula belajar Bahasa Arab secara otodidak. Meskipun hanya kosa kata sederhana untuk percakapan sehari-hari, hal itu sangat bermanfaat baginya untuk berkomunikasi dengan warga asli Qatar.
Sekitar tiga puluh menit perjalanan dengan taksi, ia sampai di sebuah penginapan yang letaknya agak di pinggiran kota Doha. Ia memesannya secara online di internet. Kondisinya lebih buruk dari yang ia bayangkan. Tapi, ia tak punya pilihan selain memakainya karena sudah terlanjur dibayar.
Ia lihat beberapa penghuni lain yang wajahnya seperti pendatang juga menginap di tempat itu. Memasuki event piala dunia memang menjadikan sangat sulit untuk mendapatkan penginapan. Ia rasa orang dengan dana terbatas yang nekad ingin menonton piala dunia pasti akan memilih penginapan murah untuk menghemat biaya.
“Uh … Huh … Ah ….”
Tidur Paula terusik, ia terbangun. Ia seperti mendengar suara rintihan dari arah luar. “Ini tengah malam, kan? Jangan bilang selain jelek tempat ini juga berhantu,”
Paula memegangi belakang lehernya. Buku kuduknya sampai berdiri membayangkan hal mistis di sana. Lagi-lagi suara rintihan itu Kembali terdengar. “Hantu di Qatar kayak apa ya, wujudnya? Mereka bersih-bersih kan, ya? Masa hantu di negara kaya seperti gembel di negaraku.” Dalam kondisi seperti itu ia berusaha menghibur diri sendiri.
Rasa penasaran mengalahkan ketakutannya. Ia memberanikan diri keluar dari kamarnya. Ia mencari asal suara rintihan itu di bawah cahaya temaram penerangan malam.
“Astaga!” ia berjingkat kaget mendapati seorang lelaki terkapar di sana sembari memegangi bagian perutnya. Wajah lelaki itu tampak berdarah seperti baru saja dipukuli orang.
“Are you okay?” tanyanya dengan Bahasa Inggris. Entah lelaki itu paham atau tidak denga napa yang dia ucapkan.
“Masuklah ke dalam, biar aku mengobatimu.”
Rasa kasihan membuat Paula merasa tidak tega membiarkan lelaki itu terkapar di luar dengan suhu udara yang dingin. Ia membantu memapah lelaki itu agar berdiri dan berjalan masuk ke dalam kamar kontrakannya.
“Can you speak English? I don’t really understand Arabic,” ucap Paula seraya membawakan kotak obat untuk lelaki itu.
“Ya, aku bisa Bahasa Inggris,” jawab lelaki itu sembari menahan sakit.
“Maaf sebelumnya.” Paula meminta ijin menyingkapkan kaos yang lelaki itu kenakan. Ia terperangan melihat luka goresan benda tajam yang ada di perut lelaki itu. Terlihat lukanya tak terlalu dalam, namun masih mengeluarkan darah.
Perlahan Paula membersihkan area luka dengan cairan antiseptik. Sesekali ia menghela napas karena tidak tega melihat darah yang cukup banyak keluar. Apalagi lelaki itu terdengar merintih saat ia menyentuh lukanya.
“Kalau boleh tahu, kenapa kamu bisa seperti ini?” tanya Paula sembari terus membersihkan sisa-sisa darah di sekitar luka.
“Ada yang merampokku di jalan. Mereka juga sepertinya berusaha untuk membunuhku,” kata lelaki itu sembari mengatur napasnya. Ia bersandar di dinding, sesekali meringis merasakan perih Ketika lukanya dibersihkan.
“Apa kamu pendatang? “
“Bukan. Aku penduduk asli kota ini.”
Paula memandang sekilas wajah lelaki yang ditolongnya. Memang, wajahnya menunjukkan ciri-ciri penduduk timur tengah dengan bentuk wajah yang tegas, alis tebal, hidung mancung, dan berjambang. Kelihatannya lelaki itu juga tampan meskipun saat ini penampilannya sangat berantakan.
“Aku pernah baca kalau Doha kota teraman nomor dua di dunia. Seharusnya tidak ada kejadian seperti ini apalagi kamu penduduk asli.”
Lelaki itu terkekeh. “Pelakunya bukan penduduk asli Doha. Aku rasa mereka pendatang yang ingin menyaksikan piala dunia. Mungkin kekurangan uang, jadi mereka merampok orang.”
“Aku juga pendatang, tapi tidak merampok orang juga,” gumam Paula dalam Bahasa Indonesia.
“Apa katamu?” tanyanya.
Paula meringis. “Tidak apa-apa,” katanya.
Paula mengoleskan obat dan menempelkan perban pada luka di perut lelaki itu. Ia juga mengobati luka sayatan yang ada di lengan kanannya.
“Asalmu dari mana?” tanya lelaki itu.
“Indonesia. Mungkin kamu tidak tahu, pokoknya ada di Asia Tenggara.” Paula juga membalut luka yang ada di lengan lelaki itu.
“Aku tahu, aku pernah ke Bali.”
Paula tersenyum. Ternyata ia bertemu dengan orang asing yang mengenal negaranya. Kini ia beralih membersihkan luka yang ada di wajah lelaki itu. Tatapan mata mereka saling bertemu.
“Oh, iya. Namamu siapa? Kita belum berkenalan. Kalau namaku Paula Paulina, biasa dipanggil Paula.”
“Namaku Hamish,” jawab lelaki itu singkat.
Setelah mengobati Hamish, paula beralih menuju dapur kecil yang ada di ruangan itu. Ia berniat membuatkan mie instan dan teh hangat. Hanya perlu waktu kurang dari sepuluh menit ia sudah selesai membuatkan makanan itu.
“Makanlah! Entah kamu suka atau tidak, kamu kelihatan pucat,” kata Paula sembari menyodorkan semangkok mie instan dan secangkir teh di hadapan Hamish.
Hamish menatap makanan yang Paula bawakan untuknya. Terlihat biasa namun aromanya tercium enak. Ia ingin memakannya, namun Ketika hendak menggerakkan tangan kanan, lengannya terasa sakit. “Ah!” pekiknya.
“Biar aku bantu menyuapimu!” Paula yang melihat Hamish kesakitan berinisiatif untuk membantunya makan.
Rasanya agak canggung menyuapi orang asing yang baru ditemuinya. Hamish memang sepertinya kelaparan. Lelaki itu menikmati suapan demi suapan yang Paula berikan.
“Kamu … kenapa datang ke sini?” tanya Hamish.
“Mau menonton piala dunia.”
“Dengan siapa?” tanya Hamish lagi.
“Sendirian.”
Hamish membulatkan mata, “Sendirian?” tanyanya memastikan.
“Iya, sendirian. Memangnya kenapa?” Paula merasa aneh mendengar pertanyaan itu.
“Kalau di sini, wanita tidak boleh bepergian sendiri, mereka harus ditemani mahramnya.”
“Mau ditemani siapa? Aku tidak punya keluarga. Orang tuaku sudah lama meninggal. Kerabat dekat juga tidak ada. Mau ajak teman, tidak ada yang suka bola sepertiku. Mereka rata-rata suka idol K-Pop. Kalau diajak nonton konser baru mau. Ini kan pertandingan bola.”
Paula senyum-senyum mengingat respon setiap teman yang ia beri tahu kalau dirinya suka bola. Mereka suka menganggap aneh jika seorang wanita suka hal seperti itu.
“Kamu boleh tidur di kasurku, biar aku tidur di sofa,” kata Paula setelah Hamish menghabiskan makannya.
“Tidak apa-apa, biar aku di sini saja.” Hamish meluruskan kakinya sembari menyandarkan punggung di dinding.
Paula baru selesai mencuci peralatan makan yang digunakan. Ia kembali menghampiri Hamish. “Wajahmu masih pucat, aku tidak mau kamu mati kalau tidak beristirahat. Jangan membuat pertolonganku sia-sia. Besok, kamu harus ke rumah sakit dan mengobati lukamu ini!” tegas Paula.
Ia membantu Hamish berdiri dan memapahnya menuju tempat tidur.
“Kamu yakin aku boleh tidur di sini?” tanya Hamish.
Paula mengangguk. Ia membiarkan Hamish tidur di ranjangnya dan menyelimuti tubuh lelaki itu dengan selimut.
Paula beralih ke dapur, menyeduh segelas teh untuk dirinya sendiri. Ia membawa secangkir teh buatannya ke luar pintu. Hawa dingin menyambutnya. Tak lama ia berdiri di luar lalu masuk kembali ke dalam.
Ia meringkuk di pojokan sembari meminum sisa teh yang mulai dingin. Lama kelamaan tubuhnya terasa kedinginan, Paula menggigil. Padahal ia sudah mengenakan pakaian yang cukup tebal.
Suhu udara di Doha saat dini hari benar-benar membuatnya hampir membeku. Meskipun sudah melipat tubuhnya, tak mampu mengurangi rasa dingin di tubuh.
“Sepertinya aku yang akan mati,” gumamnya dengan bibir yang bergetar.
Tak tahan lagi dengan rasa dingin itu, akhirnya ia nekad naik ke atas ranjangnya dan berbaring di samping Hamish yang telah terlelap tidur. “Maaf, ya, aku terpaksa ikut tidur di sini dari pada mati,” ucapnya seraya ikut masuk ke dalam selimut yang sama.
Rasa dingin yang ia rasakan berangsur-angsur menghilang. Punggung Hamis yang ada di hadapannya seakan memberikan hawa hangat yang menenangkannya. Akhirnya, lambat laun ia tertidur karena nyaman.
Dug dug dug!
“Patroli … patroli ….”
Brak!
Paula dan Hamish terbangun saat mendengar suara pintu kamar mereka dibuka secara paksa dari luar. Keduanya saling berpandangan dan merasa kebingungan. Mereka heran karena akhirnya tidur satu ranjang.
“Coba tunjukkan mana bukti surat nikah kalian!” kata salah seorang berpakaian seperti polisi dengan nada kesal.
“Dia bilang apa?” tanya Paula karena tidak paham.
“Dia meminta surat bukti pernikahan,” kata Hamish dengan nada lemas.
Mereka kedapatan sedang berduaan di dalam kamar oleh polisi Kota Doha. Hamish menghela napas karena urusannya akan panjang.
Paula juga kebingungan. Ia baru ingat jika Qatar menerapkan sejumlah kebijakan terkait dengan event piala dunia yang melarang pasangan di luar pernikahan tidur dalam satu kamar. Mereka pasti salah paham melihat apa yang mereka lakukan.
Hamish bangkit dari ranjang. Dengan menahan rasa sakit yang masih terasa, ia berjalan menghampiri ketiga petugas kepolisian Doha.
“Maaf, Pak. Saya semalam baru saja dirampok dan hampir mati terbunuh. Ini buktinya.” Hamish memperlihatkan luka di bagian perut dan lengannya.
“Itu urusan yang berbeda. Kamu bisa melaporkannya untuk kasus lain.” Petugas polisi terlihat tidak mau tahu denga napa yang menimpa Hamish.
“Sekarang, tunjukkan bukti surat nikah kalian!” pinta si petugas polisi.
“Kami tidak memiliki surat nikah. Semalam dia hanya membantuku karena kami hampir mati. Kami tidak berbuat yang macam-macam!” bantah Hamish.
“Hahaha … setiap orang yang melanggar hukum memang suka mencari-cari alasan.” Tetap saja petugas polisi itu tidak mau menerima alasan yang Hamish berikan.
“Kalian sudah terbukti melanggar aturan. Kalian akan dihukum penjara kurungan selama dua tahun. Kecuali jika memang kalian mau menikah, maka tidak perlu menjalani masa hukuman itu.”
Hamish memegangi dahinya. Ia kebingungan. Kondisinya masih lemah dan tidak membawa apapun bersamanya. Tas dan ponselnya telah dirampas oleh penjahat semalam.
“Bagaimana?” tanya Paula yang tidak tahu apa hasil pembicaraan mereka.
Hamish menghela napas. “Kita akan dipenjara selama dua tahun karena tuduhan perzinahan.”
Paula tertegun mendengarnya. Hukum di Qatar memang tidak macam-macam. Mereka sangat tegas untuk menjatuhi hukuman kepada orang yang bersalah.
Ia menggigit bibir saking bingungnya. Mimpi menonton piala dunia seakan sirna malah ia harus masuk penjara di negara orang.
“Apa tidak ada cara lain untuk menghindari hukuman itu?” tanyanya.
“Ada,” kata Hamish.
“Apa? Bagaimana caranya?” Paula penasaran.
Hamish terlihat seperti ragu untuk mengatakannya. “Kita harus menikah,” ucapnya.
Paula kembali mematung. Tidak mungkin rasanya menikah dengan seorang lelaki yang bahkan ia tidak kenal asal-usulnya. Apalagi dia berasal dari negara yang berbeda dengannya.
“Kamu jangan bercanda ….” Paula tidak percaya dengan ucapan Hamish.
“Itu satu-satunya cara. Mereka masih menunggu jawaban kita. Kalua tidak mau menikah, kita akan langsung masuk penjara.”
Melihat raut wajah serius Hamish, Paula akhirnya percaya. “Jadi, bagaimana?” tanyanya.
“Aku mau saja menikah supaya masalahnya cepat selesai. Kalau kamu sendiri bagaimana?” tanya Hamish.
“Aduh … aku susah menjawabnya. Ini aneh sekali.” Tiba-tiba Paula merasa pusing. Tidak disangka mimpinya yang sangat sederhana membawa dirinya dalam masalah sebesar itu.
“Kita bahkan tidak melakukan apapu, kita juga tidak saling kenal … tidak masuk akal kalua kita menikah.”
“Mereka tidak mau tahu dengan alasan apapun.”
“Bagaimana, ya” Paula masih terlihat cemas.
“Kalau kita menikah secara kontrak?” tanya Hamish. “Kamu bisa berpura-pura menjadi istriku sampai nanti pulang kembali ke negaramu. Kita menjadi pasangan suami istri selama 40 hari. Menurutmu bagaimana?”
“Hey, kalian sedang membahas apa? Kami tidak paham?” sahut petugas polisi. Hamish dan Paula memakai Bahasa Inggris sehingga mereka tidak tahu.
“Kami sedang membahasnya, Pak. Mohon bersabar sebentar lagi,” pinta Hamish. Ia kembali menoleh ke arah Paula untuk menunggu jawaban dari wanita itu. “Mereka menginginkan keputusan kita,” kata Hamish.
Paula menghela napas. Ia mengusap kasar wajahnya. “Baiklah, ayo kita menikah!” ucapnya mantap.
Hamish memberi tahu bahwa mereka sepakat untuk menikah. Keduanya diminta bersiap-siap lalu dibawa ke sebuah ruangan berkumpul dengan beberapa orang yang juga tertangkap basah tengah sekamar tanpa bisa menunjukkan bukti bahwa mereka suami istri. Hamish memberikan jam tangannya sebagai mahar pernikahannya.
Paula tidak pernah menyangka dia akan menikah dalam kondisi seperti itu. Ia bahkan hanya sempat mencuci muka dan mengenakan pakaian seadanya untuk menikah dengan Hamish, lelaki yang baru dikenalnya semalam.
“Qobiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril amdzkuur wa radhiitu bihi, wallahu waliyyu taufiq,” ucap Hamish.
Dengan ucapan itu, maka resmi Paula menjadi seorang istri dari Hamish. Rasanya Paula ingin tertawa. Ia bahkan belum terpikir untuk punya pacar, tiba-tiba sudah menjadi istri orang. Hidup memang tidak ada yang tahu dengan jalan ceritanya.
Setelah menandatangani beberapa surat-surat dan menyerahkan dokumen yang diperlukan kepada pihak kepolisian Doha, mereka akhirnya dibebaskan data hukuman penjara. Keduanya terdiam lemas, saling pandang seakan masih tidak percaya denga napa yang baru saja terjadi.
“Sekarang bagaimana?” tanya Paula bingung.
“Kamu sudah jadi istriku, jadi harus tinggal bersamaku,” kata Hamish enteng. “Sekarang, kemasi barang-barangku dan ikut aku!” perintahnya.
Paula menurut. Ia mengemasi barang-barang bawaannya ke dalam koper. Setelah itu, mereka keluar dari area penginapan dan menunggu kendaraan yang lewat.
“Kamu punya uang 50 Riyal?” tanya Hamish.
“Ah, iya, ada.” Paula mengambil dompetnya dan mengeluarkan selembar pecahan uang 50 Riyal kepada Hamish.
“Kamu pegang saja, nanti bayarkan kepada sopir taksi. Dompetku hilang dan aku tidak punya sedikitpun uang.”
“Kamu tidak mau ke rumah sakit? Aku takut lukanya akan bertambah parah.”
“Tidak perlu. Kita pulang dulu ke rumah.”
Hamish melambaikan tangannya menghentikan sebuah taksi yang lewat. Ia mengajak Paula naik bersamanya. Perjalanan yang mereka tempuh memakan waktu sekitar 45 menit.
Di depan sebuah rumah besar dan megah seperti istana, taksi itu berhenti. Paula sampai tertegun melihat bangunan yang kini ada di hadapannya. Mungkin jika dibandingkan sudah seperti istana negara.
“Apa … ini rumahmu?” tanya Paula memastikan.
“Ya, ini rumahku.”
Hamish mendekati gerbang yang menjulang tinggi dan berbicara kepada seorang penjaga. Tak lama setelah itu, gerbang terbuka. Paula turut berjalan di samping Hamish dengan penuh kekaguman.
“Aku kira dia gembel di Qatar,” gumam Paula.
“Apa katamu?” tanya Hamish.
“Tidak, tidak …. “ Paula melebarkan senyuman.
“Oh, Ya Tuhan … Hamish … apa yang terjadi padamu?”
Seorang wanita paruh baya mengenakan pakaian abaya berwarna hitam menuruni tangga dengan tergesa-gesa. Namanya Salma. Dia adalah ibu kandung Hamish.
Salma memegangi wajah putranya yang penuh luka dengan tatapan khawatir. Apalagi melihat lengan putranya yang terbalut lilitan perban. “Apa yang terjadi, Hamish?”
Hamish mengajak kedua orang tuanya duduk Bersama. Ia menceritakan apa yang baru saja menimpanya, dari kejadian kerampokan hingga penangkapan oleh polisi Doha hingga akhirnya ia harus menikah dengan wanita yang dibawanya.
Salma memegangi kepalanya yang tiba-tiba pusing. “Kenapa jadi begini, Hamish? Kamu tidak bisa melakukannya? Ah, Ya Tuhan … kamu tidak bisa menikah dengan sembarangan orang yang tidak jelas asal-usulnya.”
Salma menoleh ke arah Paula, memandangi wanita itu dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. Kepalanya terasa semakin pening mengetahui wanita itu telah menjadi menantunya yang sangat tidak diharapkan.
“Bagaimanapun caranya, aku tidak mau dia di sini. Batalkan pernikahannya! Aku tidak mau memiliki menantu yang bukan asli Doha.”
“Ibu, jangan seperti itu. Dia yang sudah menolongku,” bujuk Hamish.
“Kamu sudah ibu jodohkan dengan Aisy, Hamish! Kamu tidak bisa begini!” ujar Salma dengan nada tegasnya.
“Salma, berhentilah keras kepala! Bukan itu yang harus kita ributkan sekarang. Lebih baik kamu panggilkan dokter untuk memeriksa kondisi Hamish,” ucap Faruq, ayah Hamish.
“Pokoknya aku tetap tidak setuju dengan pernikahan ini!”
Salma segera bangkit meninggalkan mereka.
Hamish tertunduk di hadapan ayahnya. Sementara, Paula sejak tadi diam karena tidak terlalu paham denga napa yang mereka bicarakan. Tapi, sekilas menyimak kosa kata yang ia tahu dan mimik ekspresi lawan bicaranya, ia tahu jika orang tua Hamish tidak menyukai keberadaannya di sana.
“Pergilah ke kamar dan ajak istrimu!” perintah Faruq.
Hamish mengangguk. Ia bangkit dari duduknya dibantu oleh Paula.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!