“Kita akan berjumpa lagi di mana nanti aku akan melihatmu memakai gaun pengantin nan indah seperti ratu.”
“Kamu ratu hidupku yang sesungguhnya, Alea Anjanie. You’re The Queen of Mafia The Black Rose.”
“Mrs Colliettie, aku akan menunggumu tepat di depan penghulu.”
Lamaran yang terdengar dan terkesan menyeramkan yang disertai ancaman frontal yang diutarakan oleh Evans Colliettie di hari pertarungan itu, bagi Alea terasa fatamorgana.
Kata yang diucapkan oleh seorang pria kejam baik barisan bait lagu yang terdengar indah diutarakan. Alea tidak berpikir sejauh itu kalau sosok mafia kejam seperti Evans Colliettie mengungkapkan keinginannya.
Degupan jantung Alea semakin menggila, kedua pandangannya menatap pantulan dirinya di depan cermin.
Gaun pengantin berwarna putih tulang itu membalut tubuhnya, betapa cantiknya seorang pelayan pribadi seperti Alea Anjanie di persunting oleh seorang Mafia kejam terkenal seantero Italia itu.
“Aku tidak menginginkan gelar yang diperebutkan oleh mereka dan semua ini pun bukan keinginanku, sekalipun aku akui kalau hatiku telah berganti nama,” kata Alea pada dirinya sendiri tak lepas menatap pantulan dirinya di depan cermin.
“Aku bukan pemenangnya, karena aku tidak berkompetisi mendapatkan hati pria itu,” kata Alea lagi.
Alea menghembuskan nafasnya sejenak seraya memejamkan kedua matanya, suara lembut itu masih terngiang di telinga.
“Aku. Evans Colliettie, The Black Rose dari Napoli—Italia. Ingin mengikat janji suci sekaligus menawarkan kesetiaan padamu sampai mati, Alea Anjanie.”
Alea menarik nafas panjang, perkataan Evans seolah terdengar suara rintihan hati seorang pria kesepian yang telah menemukan secuil kehangatan.
“Penyerahan total seluruh eksistensi hidupku padamu!"
“Semua ini terasa mimpi,” kata Alea dalam hati seraya membuka kedua matanya.
Dipandangi lagi penampilannya yang terlihat seperti ratu. Queen of The Black Rose.
Hari ini di beberapa jam kedepan, dia akan dipersunting oleh Evans.
“Aku akan menikah dengan iblis itu. Ya, sekalipun lamarannya begitu memaksa dan juga menyeramkan,” kata Alea tak henti berucap pada dirinya sendiri.
Siapa yang tidak menyangka bukan kalau dia akan menikah dengan iblis menyedihkan seperti Evans?
Semua orang pun tidak akan menyangka akan hal ini termasuk Alea sendiri yang masih tidak percaya.
Seseorang pun masuk ke dalam ruangan Alea, baru saja masuk. Orang itu menghentikan langkahnya dengan mata yang membola dan terbelalak.
Dia lekas kembali berjalan dan mendekati sosok wanita cantik yang tengah berdiri di depan cermin.
“Ya Tuhan. Kamu cantik sekali.”
Alea berikan senyuman lembut sekalipun dia tidak melihat seseorang yang telah memujinya.
Dari Alea berdiri, tak nampak seseorang tersebut.
“Aku tidak percaya dengan apa yang aku lihat kalau itu adalah kamu,” katanya lagi.
Alea yang tersenyum bahagia pun mendadak layu, suara itu…
Alea mengenalnya. “Tapi, aku bahagia karena bisa melihatmu pada akhirnya menikah dan berbahagia dengan pasanganmu,” ucapnya lagi.
“Suara ini tidak asing lagi,” gumam Alea dalam hati.
Suara familiar itu membuat bola mata Alea basah. Degan dada yang naik turun seiring Alea bernafas cepat.
Akhirnya, Alea memberanikan diri untuk menoleh ke belakang untuk melihat siapa orang tersebut. Dari suaranya jelas kalau itu adalah suara wanita.
“Kamu—” Bibir Alea bergetar, kedua matanya basah sudah.
“Ya, ini aku, Alea.”
Alea setengah berlari untuk menghampiri wanita cantik di depannya. Dipeluknya erat penuh kerinduan.
“Aku merindukanmu, Jessie.”
Alea terisak. Air matanya tak berhenti berjatuhan seolah kerinduan enam bulan ini tumpah sudah. Alea bertemu kembali sahabatnya.
“Me too, Alea,” balas Jessie mengeratkan pelukan sahabat tercintanya.
Beberapa detik kemudian, Alea mengurai pelukannya.
Dia menyeka air matanya perlahan yang berjatuhan di pipinya.
“Kenapa kamu bisa berada di sini, Jess?”
Ada kebingungan akan kedatangan sahabatnya yang mendadak seperti ini, seolah kejutan tersendiri yang mungkin sudah dipersiapkan oleh pria itu.
Meski Alea sangat senang dengan kedatangan Jessie, tetapi ada pertanyaan tersendiri pada calon suaminya itu.
‘Apa Evans tengah bermurah hati padaku, mengizinkan sahabatku untuk menyaksikan hari bahagiaku ini?’
Banyak sekali pertanyaan yang ingin Alea sampaikan pada Evans, bila bertemu nanti Alea pun ingin mengucapkan terima kasih.
‘Apa dia pun mengundang semua teman-temanku di pesta pernikahan kita?’ batin Alea seraya menatap Jessie yang sama menatapnya dengan tatapan bingung.
‘Kalau benar begitu. Apa keluargaku juga ada di sini termasuk Jeon?’ tanya Alea lagi di dalam hati.
Alea menggenggam erat kedua tangan Jessie.
“Apa Evans mengundangmu, Jes?” tanya Alea, antusias.
Jessie menaikan satu alisnya. “Jeon juga ada di sini kan, Jess?”
Alea menatap lurus ke depan untuk mencari Jeon.
“Kenapa dia tidak datang ke ruangan ini dan bertemu denganku?
“Apa dia tidak merindukanku?” tanya Alea masih mencari sosok pria tinggi yang dirindukan.
“Aku merindukan Jeon, Jess.”
Tidak ada Jeon di belakang Jessie, yang nampak hanya ada dua penjaga bertubuh besar yang berdiri di ambang pintu begitu juga ada sosok wanita yang berdiri tidak jauh darinya.
“Evans?” ulang Jessie bertanya.
“Ya.”
Kening Jessie mengernyit dalam.
“Siapa Evans, Al?”
Alea kembali saling berhadapan dengan sahabatnya yang menatapnya penuh tanya begitu juga Jessie pun sama.
“Apa kamu nggak kenal dengan Evans?”
Jessie menggeleng, tidak. “Kalau aku kenal, tidak mungkin aku bertanya padamu, Al?”
Alea menghembuskan nafas pelan. Ini, aneh.
“Terus kamu tahu dari siapa aku ada disini?”
“Aku diundang oleh kekasihku. Dia memintaku untuk bertemu lebih dulu dengan adiknya yang akan menikah hari ini.
"Tapi, aku tidak menyangka kalau adiknya itu adalah kamu—”
Bibir Alea menganga. “Adik kekasihmu? Siapa?”
Jessie menarik nafas sejenak.
“Panggilannya, Al. Alfrendo.”
“Alfrendo?” ulang Alea, Jessie pun mengangguk pelan.
Alea mencoba mengingat nama asing itu. Apa Evans punya saudaranya bernama Alfredo?
Tak lama, ketika Alea dan Jessie sama-sama diam dengan pikirannya masing-masing.
Seseorang masuk ke dalam ruangan di mana Alea dan Jessie berada.
Betapa terkejutnya ketika Alea melihat seseorang yang mengayunkan langkahnya menuju kemana dia berdiri.
Seseorang itu tersenyum dengan balutan tuxedo. Wajahnya begitu tampan.
Namun, yang jadi pertanyaan Alea di sini. Kenapa pria itu berada di sini?
“Hai, Bee…”
“Ka-kamu?” gumam Alea, pelan.
hh—ini apa lagi. Alea benar-benar dibingungkan dengan situasi ini.
Datangnya Jessie dan juga pria itu dalam waktu yang bersama tentunya membuat Alea bertanya-tanya.
Bukan dia tidak senang bisa bertemu lagi dengan sahabatnya, tentunya Alea senang.
Tapi, ini. Di mana?
Alea merasa asing ketika tidak adanya orang yang selama enam bulan ini dia kenal.
Alea seolah berada di alam mimpi ketika bertemu dengan dua orang tersebut.
Pria itu meraih tangan Alea untuk di genggam dan membawa Alea ke dalam gendongan.
Dia berjalan menuju salah satu sofa panjang yang terdapat di dalam ruangan tersebut.
“Kenapa kamu melihatku begitu, hmm? Apa aku seperti hantu yang datang mengejutkanmu, Bee?” tanyanya seraya mendudukan Alea diatas pangkuannya di sofa panjang tersebut.
Alea menarik nafas pelan, lalu menatap pria itu dengan seksama.
“Kamu masih hidup?”
“Kamu masih hidup?”
Bukan menjawab namun Alea justru berbalik bertanya pada seorang pria yang tak lain, Mike Shander.
Lagi, lagi Alea merasa berada di alam mimpi. Bila ini bukan mimpi, berarti waktu itu—
Mike tertawa pelan sembari menatap sang pujaan.
“Kamu kenapa sih, Bee?”
Lagi lagi Mike menatap Alea, sekalipun sang kekasih begitu menggemaskan namun juga membingungkan.
“Jelas aku ini masih hidup, Bee. Buktinya, aku duduk di sini bersamamu dan juga memelukmu?
“Apa kamu masih tidak percaya dengan semua ini, hmm?” tanya Mike seraya menyesap aroma wangi yang dulu jadi candunya.
Namun, Alea bungkam. Wanita itu masih menerawang akan kedatangan Mike, entah ini kenyataan entah mimpi Alea tengah mencari jawaban ini.
Mike mengeratkan pelukannya dengan kepala yang bersandar di punggung Alea.
“Maafkan kesalahan yang telah aku perbuat. Aku sudah mengkhianati kepercayaanmu dan juga cintamu.
“Jujur dalam hati yang paling dalam kalau aku sangat menyesali perbuatanku. Sudikah kamu memaafkanku?” tanya Mike seraya menengadahkan kepalanya untuk menatap sang kekasih yang hanya diam.
“Selama ini aku dihantui oleh perbuatanku yang sudah menyakitimu, Bee. Aku bersumpah aku tidak akan melakukan hal itu lagi.”
Alea menghela nafas pelan. Mike kembali mengeratkan pelukannya. “Apa kamu tahu, Be. Kalau aku sangat merindukanmu?”
Pandangan Mike kembali ke atas menatap Alea yang bungkam.
“Tapi, sepertinya kedatanganku ini membuatmu tidak senang.”
Alea menurunkan pandangannya, manik sapphire itu pun bertemu dengan bola mata abu-abu keemasan.
“Dari ekspresimu menatapku, kamu tidak suka dengan kedatanganku. Kamu masih marahkah padaku, Bee?”
Wajah Mike berubah sedih, Aleanya kita tidak seperti dulu lagi. kedatangannya kali ini ternyata tidak seperti yang dia harapkan.
Tetapi, Mike akan berusaha merubah semuanya, dia akan meminta ampun dan tidak akan melakukan kesalahan yang sama asal Aleanya tidak meninggalkannya.
Sementara Alea hanya diam tak lepas menatap Mike. Entahlah dia harus bagaimana dengan kedatangan pria di masa lalunya ini.
Ya, saat ini Mike adalah pria di masa lalunya dan masa sekarang hanya ada Ev—
Mike mengecup punggung Alea, membuat wanita itu tersentak dan kembali menatap Mike. Tatapan memuja seorang Mike Shander masih sama seperti dulu.
Tapi, saat ini apa dia harus senang bertemu lagi dengan Mike Shander setelah apa yang sudah terjadi?
Bila bukan karena perbuatan Mike, mungkin Alea tidak akan menderita hidup di The Kingdom Black Rose.
“Bee. Apa kamu nggak suka ketemu aku lagi?
“Apa kamu nggak rindu padaku?” tanya Mike, lagi. Dari nada bicaranya terdengar sedih.
Entah kenapa, Alea tidak tahu bagaimana dengan hati kali ini. Perasaannya campur aduk.
Enam bulan silam dia tak berjumpa dan terakhir kalinya Alea meninggalkan Mike Shander di Gudang tua itu, Gudang di mana dia di sekap oleh William kekasih Gina.
‘Seandainya dulu kamu lekas mencariku dan menemuiku di mansion Evans, mungkin ceritanya akan lain, Mike. Sekarang, kamu datang di saat yang tidak tepat,’ batin Alea.
Alea merasa hatinya kosong akan nama pria itu. Cintanya yang besar pada Mike pun, kini sudah, HILANG.
“Kamu kemana saja selama ini, Mike? Kenapa kamu tidak datang untuk menyelamatku?”
Alea mengalihkan pertanyaan Mike, karena bagi Alea pertanyaan itulah yang mewakili saat ini. Dia berharap besar dulu Mike akan menyelamatkanya dari mafia seperti Evans. Tapi, bila sekarang ini…
Tidak ada cinta lagi untuk pria itu.
Mike tersenyum gemas lalu mengecup pipi Alea. “Selama ini aku mencarimu.”
“Benarkah?” tanya Alea, tidak percaya.
Mike berikan anggukan pelan. “Apa kamu tidak bisa melihatnya kalau buktinya aku berada di sini dan berhasil menemukanmu, hmm?”
Mike menurunkan pandangannya ke bawah menunjukkan gaun yang di kenaikan oleh Alea.
“Apa gaun yang kamu kenaikan tidak cukup sebagai jawaban kalau aku benar-benar telah menemukanmu, Bee?”
Pandangan Alea langsung turun kebawah seraya menarik nafas pelan.
Ya, saat ini dia memang memakai gaun pengantin yang cantik.
Namun, yang ada di dalam pikiran Alea kalau dia akan menikah dengan Evans Colliettie bukan menikah dengan Mike Shander.
“Seperti janjiku padamu, kalau aku akan menikahimu di depan ayah angkat mu sebagai wali pernikahan kita ini, Bee. Aku sudah menyiapkan dengan sempurna pernikahan kita.”
Mike membangunkan Alea dari lamunannya.
“Aku sudah atur semuanya, Bee… beberapa menit lagi kita akan menikah,” kata Mike.
Hatinya seolah tak rela menikah dengan pria yang jelas-jelas sudah menghancurkan dan juga cintanya yang besar.
“Menikah?”
“Ya. Kita akan menikah!” Mike tersenyum, lagi lagi Alea menggemaskan di mata Mike.
“Kamu kenapa sih, Bee. Ekspresimu itu lo, terkejut gitu. Apa kamu nggak senang menikah denganku, Bee? Apa kamu masih marah sama aku karena si Gina itu?”
Alea diam, lalu menghembuskan nafas perlahan. “Apa kamu diam-diam sudah punya penggantiku?
“Atau kamu sudah tidak cinta sama aku lagi?” cecar Mike dengan mata yang menatap menyipit, curiga.
“Apa semua kesalahanku ini tidak bisa dimaafkan, Bee?”
Mike menatap sedih pada Alea. “Bukannya sebelum kejadian itu aku sudah berjanji padamu akan menikahimu?”
Semua perkataan Mike membuat kepala Alea berdenyut nyeri.
“Apa kamu keberatan menikah denganku, Bee?” tanya Mike, lagi dan lagi.
Si lawan bicara hanya diam seraya menghembuskan nafas berat. Entah kenapa kejadiannya malah berbuah seperti ini.
Apa setelah kejadian penyekapan itu, Mike Shander lah yang menyelamatkanya?
Yang jadi pertanyaan Alea kini, dimana pria itu? Di mana Evans berada?
Kenapa setelah Evans mengucapkan janji manisnya akan menikahinya pria itu tidak muncul di hadapannya.
Harusnya Evans di sini dan bukan Mike. Alea hanya ingin bersama dengan Evans.
Ya, dia akui kalau dia jatuh cinta pada Evans. Kapan, hatinya ada pria kejam itu. Alea belum tahu pastinya.
Selama ini dia munafik tidak pernah sadar akan perasaannya itu hanya untuk pria menyedihkan itu.
Kedua mata Alea tak lepas mencari keberadaan Evans dan lagi lagi pria itu tidak ada di ruangan di mana dia berada.
Genggaman tangan Mike membawanya pergi. Dia hanya bisa mengikuti pria itu yang entah akan membawanya kemana.
“Sudah waktunya kita menikah,” kata Mike seraya membuat gestur melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya.
Bola mata Alea membulat seraya mengikuti langkah Mike tanpa menolak.
“Mereka sudah menunggu kita, Bee.” Mike menoleh ke samping yang diiringi senyuman.
Lesung pipi Mike membuat pria itu terlihat tampan. Namun, tampan saja bagi Alea tidak cukup kalau pria itu ternyata sudah menghianati cintanya.
“Orang tua angkat mu, kakak angkat mu dan juga temanmu yang lain sudah berkumpul di hall,” kata Mike berjalan bersisian.
Gaun putih yang panjang, membuat langkah Mike melambat.
Alea menoleh sejenak ke samping, dia mencari sosok wanita yang tadi berdiri yang menyerupai Mika.
Bila benar wanita itu Mika, bolehkan Alea berbicara pada Mika dan menanyakan keberadaan Evans?
Bila boleh jujur, Alea tidak ingin menikah dengan Mike. Alea tidak mencintai Mike, hatinya kini ada pria lain.
Bola mata Alea membulat sempurna ketika menangkap sebuah gedung yang di sulap begitu cantik.
Banyak para tamu yang hadir mendatangi ruangan tersebut turut menyambutnya sekalipun Alea tidak mengenal semua para tamu yang datang.
“Alea…”
Seorang pria memanggilnya diiringi lambaian tangan. Kedua pria yang berdiri bersisian itu tersenyum lebar, dia Jeon dan Yhang yang ikut tersenyum bahagia.
Kedua mata Alea basah ketika melihat kakak angkatnya yang terus melambaikan tangan. Keluarga Alea pun ada di sana, ikut berdiri menyambut kedatangannya.
Bila semua keluarga Alea datang begitu juga teman-teman Alea, lalu kenapa hatinya merasa tidak senang?
Alea mengangkat wajahnya menatap Mike sejenak.
“Dulu ini adalah impianku bersanding denganmu di pelaminan mendengarkan kamu mengucapkan ijab kabul di depan waliku. Tetapi, sekarang—” batin Alea seraya menarik nafas berat.
Pandangan Alea kembali beralih dan menatap lurus. Bibirnya pun kembali tertarik membentuk senyuman ketika bertemu dengan ayah angkatnya yang menunggunya.
Pria senja itu mengulurkan tangan, Alea pun menjabat dan menggenggamnya dengan senyuman kerinduan pada sang ayah.
“Ayah, bahagia akhirnya kamu menikah, Nak,” ucap sang ayah seraya mengecup kening sang putri.
Alea manggut-manggut pelan sembari menyusut air matanya yang berjatuhan.
Pria senja itu membawanya untuk duduk di samping Mike Shander yang telah siap begitu juga dengan penghulu dan satu pria yang Alea merasa asing.
Mike menjawab tangan pria muda itu yang entah bagaimana rupanya. Bukan sang ayah yang menjadi wali di pernikahanya, tetapi sosok pria yang sama sekali Alea tidak kenal.
“Saya terima nikah dan kawinya Jeyaline Gracia De Carter bin Damian Alfredo De Carter dengan seperangkat seperangkat perhiasan dibayar tunai!” ucap Mike Shander dengan satu tarikan nafas.
Kedua mata Alea yang berembun, namun seketika Mike menyebutkan nama yang bukan namanya, dia langsung menoleh ke samping.
“Jeyaline?” gumam Alea.
Mike mendengar, pria itu hanya berikan senyuman lebar sebagai jawaban.
“Bagaimana para saksi. Apa sah?”
“TIDAK!”
Alea menoleh ke belakang. Betapa terkejutnya dan juga bercampur bahagia ketika sosok yang di pertanyakan tadi kini datang dengan balutan tuxedo hitam.
Evans Colliettie datang dengan membawa senjata laras panjangnya.
Yang jadi pertanyaan Alea, apa acara pernikahannya akan berubah menjadi acara pemakaman?
Satu peluru besar yang keluar dari senjata laras panjang yang Evans bawa mampu membunuh semua orang di dalam gedung ini. Hh—tidak hanya itu, bahkan bisa meruntuhkan bangunan ini.
Mike bangun dari duduknya, satu tangannya sudah lebih dulu menghunuskan senjata ke depan, lebih tepatnya lagi pada pria yang berjalan dengan santai menghampirinya.
“PERNIKAHAN INI TIDAK SAH!” Kata Evans dengan, santai.
Garis wajahnya begitu tenang namun juga berbahaya.
“TIDAK ADA YANG BERHAK ATAS WANITAKU!” kata Evans,lagi.
Evans menarik nafas sejenak. “DIA—CALON ISTRIKU, MRS. COLLIETTIE!”
“Ck! ALEA ADALAH KEKASIHKU!”
Evans menarik sudut bibirnya ke samping dengan tatapan nyalang.
“Ah—ternyata Marcus Devalino Shander orang yang selama ini aku cari!”
Mike atau Marcus tak lepas menatap bengis pada Mafia Italia. Ditariknya kuncian senjata yang dia pegang, satu telunjuknya terlepas saja, maka kepala Evans akan berlubang.
Namun, bagaimana bila moncong senjata laras yang Evans bawa bila di arahkan ke depan?
Satu peluru besarnya terlepas meledak sudah tubuh pria brengsek yang selama ini Evans cari.
Namun, itu bukan gaya seorang mafia seperti Evans Colliettie yang menghajar musuhnya dengan satu peluru dan mati, rasanya bila tidak bersenang-senang sampai pria itu berdarah-darah sepertinya tidak asik.
Dilemparkannya senjata laras panjang itu dan langsung ditangkap oleh Mika.
“Kemarilah, Lea.” Evans memanggil kedua matanya menatap penuh rindu pada wanitanya.
Alea selangkah maju dan menghampiri Evans. Namun, tangan Mike mencengkeram lengan Alea agar wanita itu tidak pergi.
“No, Bee… don’t go!”
Alea menghela nafas pelan, lalu dia berikan gelengan pada Mike.
“Sorry, Mike.”
Alea melepaskan satu tangan Mike yang memegangnya dan berjalan seraya meraih tangan Evans untuk di genggam.
“Aku mencintainya, Mike.”
Mike menggeleng, tidak. “Bohong kamu, Bee?”
“Aku mencintai Evans. Maafkan, aku.”
Alea menatap Evans diiringi senyuman bahagia. Inilah yang dia tunggu dan nanti. Evans menjemputnya dan mengajaknya pergi.
“Ayo kita pulang, Ev,” ajak Alea. Evans mengangguk pelan seraya menggandeng tangan Alea untuk membawanya pergi.
“Tunggu Alea—”
Langkah Evans dan Alea ikut terhenti, keduanya pun menoleh.
“Bila kamu mencintai pria itu. Maka tidak ada orang yang akan mendapatkanmu, baik aku dan juga baik bajjingaaan itu!”
Kening Evans mengernyit. “Maksudmu, Mike?”
“Maafkan aku, Bee….”
Kedua mata Alea membola, begitu juga Evans ketika Mike melepaskan satu peluru yang tertuju padanya.
Alea mendelik, tubuhnya terhuyung ke belakang ketika timah panas itu menembus tubuhnya. Tepatnya, jantung.
Teriakan dan jeritan semua orang terdengar keras memanggil namanya dan yang lebih keras ketika Evans memanggil namanya….
“Lea….” teriak Evans keras.
Tubuhnya diangkat begitu saja, bola matanya masih memandangi ke depan di mana pria itu mengamuk dan membabi buta.
Alea merasakan sakit, sakit yang tidak terkira ketika pria yang dulu pernah dicintai dan dia puja ternyata kembali melukainya.
Mike Shander membunuhnya, entah dalam hitungan ke berapa dia akan memejamkan untuk selamanya.
Namun, yang Alea lihat banyak orang berjatuhan dan juga berlumuran darah.
Bahkan di detik-detik Alea menghembuskan nafas, dia melihat bagaimana bengisnya seorang Evans Colliettie menghabisi Mike Shander yang sudah tidak berdaya dengan kedua tangannya.
Detik berikutnya, Alea merasakan pelukan hangat dan juga tangisan sang pria yang meraung keras.
“Please… bertahanlah, Lea…”
“Ev…”
“No! Jangan tinggalkan aku, Lea…”
“Ma-aaf.”
“NO…. Lea…”
“Ahh—” seruan pelan dengan gerakan tangan membuat seseorang pria yang duduk pun langsung terbangun.
Pria itu berjalan cepat menghampiri ranjang rumah sakit.
“Ya, Tuhan. Terima kasih engkau mengabulkan doaku,” katanya seraya berseru lega.
Kedua matanya berembun ketika melihat tangan Alea yang mulai bergerak bebas bahkan menyentuh dada sebelah kanannya.
Meski wanita itu masih memejamkan mata, namun pria itu tak lepas mengucapkan syukurnya yang teramat dalam.
“Alea…” panggil si pria diiringi senyuman bahagia.
Dia duduk di tepi tempat tidur dan menatap Alea yang terlihat mengatur nafas.
“Kamu sudah siuman, Al?”
Alea menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskan perlahan. kedua matanya mengerjap lambat dan ketika bola matanya terbuka perlahan yang ditangkap adalah langit putih dengan aroma yang sudah jadi ciri khas, Alea kenali.
“Aku selamat?” gumamnya, terdengar lemah.
Pria itu berikan angguk cepat, tentunya Alea harus selamat dan kembali sehat.
“Kamu selamat, Al.”
“Bagaimana keluarga? Bagaimana teman-temanku yang di gedung itu?” tanya Alea.
“Keluargamu?”
“Hm,” jawab Alea dengan gumaman.
“Alea… apa kamu bermimpi?” tanyanya.
Hh—suara itu Alea kenal sekali. Itu bukan suara Mike Shander atau Evans Colliettie, tetapi itu suara Lucas yang terdengar keras.
Alea pun melihat pria itu duduk di sampingnya dengan wajah yang terlihat begitu mencemaskannya.
Alea kembali menarik nafas pelan.
“Entah itu mimpi atau nyata, namun aku merasa kalau itu adalah nyata. Keluargaku dan teman-temanku datang di acara pernikahanku.”
Kening Lucas mengernyit, dia pandangi Alea dengan tatapan bingung.
“Mungkin itu hanya mimpi, karena selama ini aku menunggumu, Al,” kata Lucas meyakinkan apa yang dikatakan Alea itu tidaklah benar.
Alea berseru lega, kalau semua kejadian menyeramkan itu adalah mimpi.
Dia masih teringat bagaimana ayahnya tertembak dan terjatuh menatapnya, teman-temannya pun terjatuh dengan bersimbah darah di mana Evans dan Mike bersitegang yang menewaskan banyak orang di gedung tersebut.
“Kalau aku mimpi, aku sangat bersyukur,” jawab Alea seraya memegang dadanya yang terkenal peluru di dalam mimpi itu.
Nyatanya, jantungnya terasa baik-baik saja. Yang terasa sekarang ini adalah kepalanya yang terasa sakit begitu juga tubuhnya.
Alea diam seraya mengingat mimpinya itu. Lucas bangun dan lebih dekat lagi duduk di samping Alea.
“Kamu baik-baik saja kan, Al?” Lucas cemas dengan keadaan Alea. Apalagi ketika siuman wanita itu menanyakan hal yang aneh.
Alea diam tak menjawab, kedua matanya sibuk memandangi ruangan di sekitarnya.
“Kamu ada di rumah sakit, Al. Ya, sudah aku akan memanggilkan dokter kalau kamu merasa ada yang sakit,” kata Lucas, ketika melihat Alea terus memegangi kepalanya.
“Jangan, Luc,” jawab Alea terdengar lemah.
Lucas kembali duduk. “Aku baik-baik saja,” sambungnya.
Lucas tersenyum lebar seraya memandangi Alea. “Apa kamu mau minum?”
Dengan sigap, Lucas menawarkan minum karena biasanya bila orang yang tak sadarkan diri sering kehausan dan itulah yang sering Lucas lihat di film-film.
“Ya, Luc. Tolong, aku haus.”
Sebelum Lucas mengambil minum. Dia membantu membangunkan Alea untuk duduk bersandar di headboard dan tak lama segelas air minum pun diberikan pada wanita itu.
“Kamu serius baik-baik saja atau aku panggilan dokter untuk memeriksa mu?” tanya Lucas, lagi.
“Tidak, usah.”
Lucas menghembuskan nafas pelan. “Al, apa kamu tahu kalau tuan mengacamku, hm? Dia akan membunuhku bila kamu tidak kunjung bangun.”
Alea tersenyum lemah. Sepertinya hal yang mengerikan itu adalah mimpi buruknya di mana dia bertemu dengan pria di masa lalunya.
“Aku ketakutan setengah mati, Al. Aku tidak bisa tenang karena nyawaku terancam.
"Apalagi melihatmu tak kunjung bangun dan tidak perubahan seperti aku mendekati kematianku,” kata Lucas, lagi dengan ekspresi ketakutan.
“Evans mengancamku akan memotong kepalaku karena kamu tidak kunjung bangung tiga minggu ini,” sambung Lucas, mimik wajahnya berubah sedih.
Alea mendelik. “Tiga minggu?”
“Ya. Tingga minggu kurang sehari, di mana Evans memberikan aku waktu tiga minggu akan membunuhku bila kamu tak kunjung siuman. Hahh—” Ada nada yang terdengar lega, melihat ekspresi wajah Lucas Alea tersenyum tipis.
Evans memang selalu mengancam semua orang termasuk pada dirinya sendiri.
Lucas terlihat seperti anak kecil yang tengah mengadu pada ibunya yang tengah dimarahi oleh ayahnya. Padahal Alea baru saja sadar dan Lucas sudah mulai curhat padanya.
Lucas menarik nafas nan terasa berat sekalipun Alea kini sudah sadarkan diri. Tapi, ancaman Evans tidak pernah main-main.
“Evans menuduhku, Al. Semua kejadian ini adalah ulahku!” Bibir Lucas mengerucut. Alea mendesah pelan melihat sikap Lucas.
Namun, dibalik kejadian di pabrik itu, Alea sudah tahu dari Bryan. Pria itu sudah menceritakan dan mengakui perbuatannya.
“Gara-gara pesta yang aku buat, kamu berakhir tragis seperti ini, begitulah tuan menuduhku.”
Lucas mencebikkan bibirnya dengan deru nafas kasar.
“Sungguh menyebalkan bukan? Padahal semua ini adalah rencana saudaranya sendiri, tapi kenapa aku yang disalahkan disini,” sambung Lucas kesal dengan mulut yang tak henti bergerutu.
Alea hanya tertawa seraya memegang kepalanya yang berdenyut nyeri.
“Marahain saja kalau tuanmu menyebalkan,” kata Alea dengan tawa yang terdengar lemah.
Lucas membuang nafas. “Hah—Aku mana berani memarahi dia, Al,” kata Lucas.
“Oh ya. Apa kamu lapar?”
“Aku ingin tahu di mana tuanmu?” Balik Alea bertanya.
Lucas terdiam sejenak seraya memandangi Alea. “Kenapa, kamu diam?”
Kemudian, Lucas mendesah pelan sebelum menjawab.
“Aku juga tidak tahu dimana Evans, Al.”
Alea mengernyit bingung pada Lucas. Bila Lucas tidak tahu di mana Evans, lalu siapa yang sudah membawanya ke rumah sakit ini?
Tidak mungkin tiba-tiba dia dibawa oleh iblis itu langsung ke rumah sakit di mana kondisinya saat itu Evans pun sama tidak sadarkan diri dengan luka yang begitu banyaknya begitu juga Mika.
“Aku tidak bertemu dengannya, dia hanya menghubungiku untuk datang ke rumah sakit dan mempertanggung jawabkan perbuatanku untuk menjaga kamu sampai siuman.”
Dalam diam, Alea menatap Lucas dengan tatapan bingung. Bila boleh di simpulkan kalau Evans sendirilah yang mungkin membawanya ke sini setelah pria itu lebih dulu siuman.
Tak lama Lucas berpamitan untuk keluar dari ruangan inapnya. Pria itu izin membeli makanan yang banyak, katanya Alea pasti kelaparan berat tiga minggu tidak sadarkan diri.
Di dalam ruangan itu, Alea terdiam seraya mengingat kejadian naas itu dimana seorang Evans Colliettie, Mafia terkejam seantero Italia melamarnya.
Bahkan Alea sudah memimpikan dia memakai gaun pengantin yang cantik sekalipun semua itu adalah mimpi buruk yang terkesan nyata.
Entah kemana sosok iblis yang menyedihkan itu. Kata Lucas, selama tiga minggu kurang satu hari itu. Hanya Lucas yang menjaganya dan Evans sama sekali tidak pernah datang walau hanya mengunjunginya sejenak saja.
“Aku akan meminta Lucas untuk membantuku mencari keberadaan Evans. Aku yakin Evans berada di rumah sakit yang sama,” kata Alea dalam hati.
Alea kembali berpikir, dia masih bingung bagaimana ceritanya dia bisa sampai dari Libya ke rumah sakit besar di Roma.
‘Sepertinya Abraham yang menjemputnya dari Libya ke Roma, Al.’—kata Lucas ketika mereka membicarakan hal ini.
“Kita akan berjumpa lagi di mana nanti aku akan melihatmu memakai gaun pengantin nan indah seperti ratu.”
“Kamu ratu hidupku yang sesungguhnya, Alea Anjanie. You’re The Queen of Mafia The Black Rose.”
“Mrs Colliettie, aku akan menunggumu tepat di depan penghulu.”
Kata-kata itu lagi dan lagi yang selalu muncul di dalam ingatan Alea namun juga perkataan yang membuatnya bingung.
‘Apa Evans mengetahui agamaku? Pria itu mengajaknya ke penghulu?’
‘Apa Evans akan akan mengikuti keyakinan ku, seingatku pria itu tidak punya agama,’ gumam Alea bertanya dalam hati.
Entahlah, mendengarkan kata penghulu dari mulut sang iblis ada suatu hal yang lucu namun membingungkan.
Tidak tahu apa Evans akan mengikuti agamanya atau tidak, bagi Alea bila boleh nego pada sang iblis, dia ingin Evans menjadi mualaf.
‘Astaga… kenapa aku berpikiran sampai sampai sejauh itu?’ batin Alea seraya memukul pelan kepalanya.
Mendadak denyutan nyeri di kepalanya membuat kepalanya jadi eror dengan asumsinya.
“Apa kepalamu sakit, hm?”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!