"Aku nggak mau menikah hanya karena terpaksa, didesak keluarga, apalagi tetangga."
"Ya, tapi kamu ini udah kadaluarsa, Din," sahut Desy, sang Mama yang sedang mengemasi meja makan seusai sarapan. "Temen kamu udah pada gendong anak, lah kamu masih gendong anak kakak kamu. Apa kamu nggak merasa kamu udah ketinggalan?"
"Nikah bukan lomba, Ma." Dinka yang menyuapi Jena—adik Ace, di kursi tingginya, enggan menoleh ke mamanya. Selain dia harus memperhatikan apa saja yang dimakan Jena, Dinka tidak ingin bertatapan dengan mamanya yang bisa saja membuatnya berpikir keras.
"Ya, bukan lomba, itu benar." Desy menegakkan badan menghadap Dinka. Meletakkan semua perlengkapan makan yang sudah siap dibawanya ke wastafel. "Tapi, sampai sekarang kamu nggak punya pacar, nggak punya kenalan pria, nggak ada kemajuan sama sekali, bahkan kamu nggak punya target. Kamu itu kelewat santai menjalani hidup kamu, Din."
Dinka memutar bibirnya yang manyun. "Belum saatnya, Ma. Enak begini, nggak ada yang bikin stres. Kadang pacaran hanya membuat badan dan pikiran lelah. Aku bisa fokus dan perhatian sama kalian kan? Nggak main sama pacar terus."
Jawaban santai dan cuek anak perempuannya ini membuat Desy geleng-geleng kepala. "Mama berencana menjodohkan kamu kalau kamu nggak segera cari kekasih. Kok rasanya mama lelah tiap hari ngomel ngatur hidup kamu."
"Aku kan nggak nyuruh."
"Astagfirullah, Dinka!" Desy meninggikan suara seraya menatap marah anak bungsunya ini. "Mama capek, Din! Kamu ini keras kepala ngalahin kakak kamu! Punya anak perempuan bukannya jadi anak yang penurut, tapi malah membangkang terus. Bikin Mamanya darah tinggi!"
"Ya udah, tukar aja sama anak yang nurut dan patuh kaya Darren!" Dinka berdiri, lalu melangkah ke wastafel untuk mencuci piring bekas Jena makan. Dia tahu Mamanya sedang berkacak pinggang menahan kesal. Tapi itu tidak akan membuat dirinya begitu saja mau menikah.
"Ya Allah, Dinka. Mama nggak tau mesti ngomong gimana sama kamu ini!" Desy membuang napas keras-keras, lalu memilih membawa Jena ke depan. Beneran bisa kena stroke jika terus berada disini berdebat dengan Dinka.
Dinka melirik kepergian mamanya. Tatapan wanita itu kosong menatap keran air. Dia menghela napas dalam dan berat.
Mungkin menikah saja masih bisa diterima olehnya. Tapi menikah dan punya anak adalah satu paket. Tidak mungkin bisa menghindari salah satu. Dan dunianya terlalu sempit dan kecil untuk memanipulasi keadaan. Lagian dia hanya punya Aric sebagai satu-satunya pria yang disukai. Sayangnya, Aric pun sudah ditinggalkan sejak bertahun-tahun lalu.
Aric pria normal meski dia mencintainya, yang suatu saat bila bersama akan menuntut komitmen dan anak. Dinka tidak bisa. Dia terlalu percaya pada kalimat ajaib: karma itu nyata.
Mamanya pernah berkata sewaktu dia merasa kehilangan kucing kesayangannya dan memilih memusuhi Jen tanpa mau mendengarkan apa yang terjadi sebenarnya.
"Suatu hari, kamu akan tau bagaimana rasanya kehilangan! Kamu juga wanita yang akan mengandung dan melahirkan, Dinka! Sekarang kamu bisa saja bersikap seolah kamu paling menderita hanya karena kehilangan kucing, tapi rasakan jika apa yang kamu lakukan sekarang menuai hukuman di masa depan! Apa susahnya berbaikan dan memaafkan? Jen sampai begini karena ulah kamu! Cucu mama sampai begini karena ulah kamu yang keras kepala."
Entah mengapa, kalimat itu melekat di kepalanya kata perkata, makna demi makna sehingga membuatnya takut setengah mati.
Bukankah doa seorang ibu itu paling mustajab?
Dia takut sekali, jadi dia memilih untuk tidak menikah saja. Kalaupun menikah, dia akan cari pria yang sudah punya anak atau gày atau kalau perlu impoten sekalian. Dengan begitu, hidupnya akan aman dari tuntutan hamil dan punya anak.
Memilih meninggalkan semua persoalan di rumah yang hanya itu-itu saja setiap hari, Dinka segera mengambil tas dan berangkat ke pet shop, dimana dirinya setiap hari menghasilkan pundi-pundi uang.
Selain petshop, Dinka memperluas usahanya dengan membuka pet hotel dan salon yang melakukan perawatan untuk hewan peliharaan. Usahanya cukup lumayan, dengan dia sendiri terjun mengawasi langsung. Memiliki sekitar 15 karyawan, Dinka kini bisa dikatakan bos.
Kendati demikian, dia tetap memakai Scoopy untuk sampai ke Dins Petshop. Pagi ini petshopnya cukup ramai, sehingga Dinka bergegas masuk ke dalam toko.
Setelah berbasa basi sebentar dengan karyawannya, Dinka segera mengecek seluruh toko dan hotelnya, memastikan semua dalam kendali, sebelum duduk kembali di meja kasir.
"Aunty!"
Langkah Dinka terhenti saat seorang gadis kecil menarik rok panjangnya.
"Yess, Honey!" Dinka berjongkok, lalu tersenyum mengerling gadis kecil ini. Begitulah Dinka, yang sebenarnya suka dan sayang anak-anak, meski dia takut punya anak.
"Ada yang bisa Aunty bantu?"
"Pony lagi sakit. Apa di sini nggak ada dokter yang bisa obatin Pony?" Dia menunjuk keranjang berisi seekor kucing tanpa bulu sedang tidur dengan posisi meringkuk.
"Ada Uncle Dokter kenalan Aunty, nanti Honey bisa kesana." Dinka tersenyum. "Mau Aunty telpon sekarang?"
Gadis itu mengangguk antusias.
"Honey!"
Dinka yang baru saja berdiri, terhenyak mendengar suara cempreng lain yang kedengaran menghardik. Yang dipanggil ternyata gadis yang berdiri di hadapannya tadi. Dia tak menyangka namanya beneran Honey.
Gadis itu menoleh lalu beringsut ke belakang Dinka, seakan minta perlindungan. "Aunty, aku takut sama Bee!"
Dinka menaikkan alis. Apa mereka anak lebah? Honey? Bee? Astaga!
"Aunty, sembunyikan aku!"
Dinka menghela napas lalu tersenyum pada anak laki-laki yang disebut Bee itu.
"Hai, Bee. Baju kamu bagus sekali, kamu terlihat tampan memakainya—"
Bee berdecak. "Nggak usah merayu! Aku hanya mau Honey kembali sama Uncle Papa."
Haih ... Dinka menghela napas mendengar keanehan anak-anak ini. Honey, Bee, dan sekarang Uncle Papa. Apa nanti dia dipanggil Aunty Mama lama-lama?
"Uncle Papa di mana? Mungkin Aunty bisa antar kalian kesana." Dinka mencoba sabar.
"Nggak mau! Kamu pasti berniat jahat sama kita, kan?" Bee melotot seraya berkacak pinggang. "Nanti aku lapor ke Uncle Papa biar kamu disuntik!"
Honey melongok dari belakang rok Dinka. "Aunty nggak jahat, Bee! Aku ke sini mau cari dokter buat Pony!"
Bee mengalihkan perhatian ke Honey. "Aku kan udah bilang, Uncle Papa bisa sembuhin Pony! Uncle Papa kan dokter! Ayo balik!"
Bee menarik tangan Honey kasar sehingga membuat Dinka segera melerainya.
"Bee, nggak boleh begitu sama Honey!"
"Kamu nggak tau apa-apa, jadi minggir! Ini urusan aku sama Honey yang nggak nurut sama Uncle Papa!" Bee membentak Dinka membuat Dinka kaget bukan main. Terlihat sekali, kalau Bee dan Uncle Papa itu protektif sekali pada Honey.
"Kalian di sini rupanya?"
Suara itu?
Dinka menoleh, serempak dengan anak-anak itu.
"Uncle Papa?!" pekik mereka berdua.
"Kamu?!"
"Kamu?!"
Dinka dan pria yang disebut Uncle Papa itu saling menujuk serempak.
Dinka dan pria yang tak lain adalah Dokter yang merawat Ace sewaktu sakit dulu, mendengus lalu membuang muka.
"Ngapain kamu disini?!" Sekali lagi mereka bertanya serempak.
Dokter bernama Abid itu membuang muka. Kenapa harus bertemu sama wanita ini lagi, sih?
"Kalau punya anak dijaga dengan baik, ya, Pak! Jangan sampai berkeliaran dan membuat onar di tempat usaha orang!"
Abid menoleh seraya mengeluarkan suara berdecih. Menatap Dinka menahan geram. Semenatara Dinka bersedekap penuh kemenangan saat berhasil membalas Dokter galak dan sotoy itu.
*
*
*
Hai-hai ... yang baru gabung, boleh baca Suami Settingan bab 141😁 agar tahu siapa Dr. Abid dan kilas balik first meet mereka.
Jangan lupa subscribe dan komen agar aku semangat ngetiknya🙏😘
Thanks♡
misshel♡♡
Dinka pulang agak malaman hari ini. Meski tubuhnya terasa remuk redam—gayanya, tetapi dia masih harus mengurus Jena yang berusia 13 bulan. Jen sedang hamil muda—kebobolan katanya, dan Jena terus menangis melihat mamanya teler parah. Meski ada pengasuh tetapi Jena hanya mau bersama Dinka atau Neneknya.
Tak punya pilihan, Dinka malam itu mengajak Jen bermain di teras rumah, sekalian dia menunggu Darren mengantarkan Asi perah untuk Jena.
Di dalam, Desy sedang menjamu tamu, yang merupakan teman baik mama Desy sewaktu sekolah. Obrolan mereka sayup-sayup terdengar oleh Dinka.
"Maaf, loh Jeng ... saya ndak enak hati sama Jeng." Wanita bernama Resti itu terlihat begitu sedih saat harus membatalkan pesanan dekorasi untuk acara pernikahan putranya.
"Nggak apa-apa, Jeng Resti ... saya mengerti." Desy hanya bisa tersenyum meski hatinya menjerit. Ia menghitung berapa kerugian yang dialami kali ini. Meski sudah ada uang muka yang masuk, tetapi itu belum seberapa dari jumlah keseluruhan pembelian.
"Saya sudah memohon agar setidaknya penikahan ini tetap terjadi, setidaknya undangan dan souvenir juga dekor yang saya pesan khusus ini ndak saya batalkan. Mungkin banyak orang yang memberi saya gelar tukang cancel vendor, tapi itu sepenuhnya bukan kesengajaan, Jeng."
Desy melihat betapa tertekannya wanita Di hadapannya ini. Punya anak satu, tetapi jalan hidupnya cukup berliku.
"Kalau boleh tahu, kenapa bisa batal sampai berkali-kali sih, Jeng." Desy penasaran. "Um, Tapi kalau Jeng enggan cerita, ya, nggak apa-apa, sih Jeng."
Desy merasa kalau dia keterlaluan, tapi ya, keterlaluan juga kalau tidak mau cerita. Mana batalin pesanan sepihak saat acara sudah di depan mata pula. Walau teman, seharusnya, jangan dibatalkan dong.
"Awalnya saya kira karena sikap anak saya yang terlalu pendiam setelah kematian istrinya. Tapi lama-lama saya ngerti, Jeng ... selain ada dua anak, setelah kecelakaan terjadi, anak saya divonis impoten."
"Hah?" Desy terkejut. Bentuk dan rupa anak Resti ini, Desy tahu betul. Gagah dan perawakannya tinggi besar. Mungkin sama tingginya dengan Excel atau Jeje, wajahnya rupawan dan macho, jadi agak tidak mungkin kalau seperti itu.
"Saya tau belakangan, Jeng. Itu dirahasiakan oleh suami dan anak saya, takut kalau saya kepikiran. Saya tahu ini saja dari calon istrinya yang terakhir ini, Jeng. Mereka sesama dokter, jadi mungkin surat keterangan dari dokter bisa dibacanya dengan jelas." Resti mengenang dengan sedih, bagaimana Olla mengatakan kebenaran yang pahit itu di depan mukanya.
"Sabar, ya, Jeng. Saya yakin, ada wanita lain yang bisa menerima putranya Jeng Resti suatu saat nanti." Desy menghibur. Di usapnya tangan Resti yang menumpuk di lutut.
"Yah, saya sudah nyerah, Jeng. Siapa yang mau sama anak saya yang kondisinya begitu?" Resti menjatuhkan napasnya dengan perasaan lapang. Pasrah jika memang ini takdir untuk anaknya.
"Saya mau menikah dengan putra Tante."
Desy dan Resti menoleh ke ambang pintu, dimana Dinka sedang berdiri dengan Jena digendongan. Keduanya menatap Dinka tak percaya.
"Jangan didengarkan, Jeng. Dinka anaknya suka bercanda." Desy buru-buru meralat ucapan Dinka. Astaga ... anak ingusan itu pasti tidak paham konsep mandul dan impoten. Penopang tegaknya hubungan berumah tangga. Sumber keharmonisan keluarga.
"Saya siap dan ikhlas menerima bagaimanapun kondisi putra Tante." Dinka berkata seperti saat berorasi di depan gedung dewan. Mantap dan tanpa ragu sedikitpun.
Desy membeliak tak percaya ke arah Dinka.
"Saya serius, Tan." Dinka membalas tatapan Mamanya.
Resti terhenyak tak percaya. "I-ini—"
"Daripada Tante malu pada semua orang, mending setujui saya gantiin pengantin wanitanya."
"Dinka!" Desy melotot makin lebar ke arah Dinka. Astaga anak ini ...!
"Mama mau aku nikah, kan? Mama mau aku punya suami, kan? Ya, sekarang aku mau nikah! Sama anak Tante Resti. Teman Mama." Dinka menegaskan, seolah Desy tidak punya pilihan. Mamanya telak tersudut, sehingga tak bisa berkata-kata.
Desy ... andai tidak sedang berada di depan Resti, sudah dipastikan akan mengamuk tak terkira. Ya ampun, anak ini! Desy gemas dibuatnya sampai tanpa sadar dia meremas sofa.
Resti tertawa canggung. "Duh, Jeng ... saya jadi ndak enak hati sama Jeng, loh, ini. Saya nggak bermaksud buat curcol dan berakhir seperti ini—"
"Jangan nggak enak, Tan." Dinka mendekat, menatap Resti dengan raut wajah sumringah. "Enak aja! Bilang sama putra Tante, agar besok menemui saya di ... di ... dimana saja menyesuaikan waktu putra Tante saja. Saya kasih WA saya."
Resti melongo saat Dinka mengambil ponsel Resti dan mengetikkan nomornya.
"Nah, bisa via tele atau WA, sesuai kemauan putra Tante. Tante tenang aja, saya jamin dengan diri saya sendiri, saya tidak akan kabur di hari pernikahan itu." Ponsel terulur ke arah Resti, sampai wanita itu melihat bagaimana Dinka menamai kontaknya di ponselnya.
"I-ini—"
"Sekarang, Tante boleh pulang! Nggak usah merasa nggak enak sama Mama saya. Yang kita lakukan adalah win-win solution yang terbaik bagi kita semua." Dinka menarik pelan wanita itu agar berdiri. "Selamat malam, Tan."
Desy menahan geram melihat tingkah anaknya. Tetapi dia masih menunggu sampai Resti keluar.
"Apa-apaan kamu, Din?!" Desy berdiri, membuat Jena yang tidak tahu apa-apa dan takut suara keras memengang jilbab yang dikenakan Dinka erat-erat seraya menatap sang nenek.
"Apaan sih, Ma?" Senyum ceria Dinka luntur seketika, dia berdecak kesal. "Mama mau protes pada keputusan Dinka?"
"Jelas ... kamu nggak tau—"
"Aku tahu, kok, Ma!" Dinka membantah. "Aku tahu dengan jelas, tapi kan semua aku lakukan agar Mama tidak merugi banyak."
"Mama lebih baik merugi daripada melihat masa depan anak Mama hancur di depan mata!" Desy merepet menahan tangis yang sudah bercampur dengan amarah. Dinka sama sekali tidak paham konsep menikah dan berumah tangga. Hubungan harmonis suami istri tercipta dari kemampuan pria memuaskan istri. Semua berawal di ranjang, jadi bagaimana bisa Dinka dengan enteng bilang ikhlas menerima keadaan pria itu?
"Aku yakin akan bahagia, Ma! Aku yakin 1000%!" Dinka terlihat tidak ragu apalagi takut. "Mama percaya sama Dinka yang akan menjalaninya. Yang jelas, Mama dapat mantu dan Mama tidak harus membatalkan pesanan yang terlanjur Mama buat pada pemasok bunga dari Bandung dan Malang itu."
Usia berkata, Dinka langsung meninggalkan sang Mama. Senyumnya terukir memenuhi bibir. Ah, senangnya ... meski harus capek ngurus Jena, tapi dia dapat jackpot. Dimana lagi dia bisa menemukan double bonus begini, kan?
"Dinka!" Desy berteriak seraya memegang dada. Astaga ... Desy tak kuasa lagi menahan beban tubuhnya. Kakinya lemas, tenaganya lenyap, hanya dengan memikirkan nasib Dinka di masa depan.
Dinka sama sekali tidak menoleh, justru mempercepat langkah ke kamar.
"Ya Allah, gimana nasib keluarga hamba di masa depan?!" Desy meratap kepergian Dinka dengan air mata berlinang. Dia tidak mampu berpikir sekarang.
*
*
*
Mungkin Resti merasa kalau Dinka adalah malaikat penyelamat, sehingga saat jam makan siang hari ini, Dinka diberi tahu lokasi dimana putranya akan menunggu.
Di sinilah, Dinka berada. Setelah memastikan dirinya cantik dan berpakaian sopan—melihat Resti yang begitu elegan, dia berpikir kalau anaknya juga pria yang rapi dan klimis, Dinka melangkah masuk ke dalam restoran steak yang cukup terkenal di kawasan ini.
"Reservasi atas nama Ibu Resti," ujarnya pada pegawai restoran yang membukakan pintu untuknya. Seakan tidak sabar melihat calon suaminya, dia mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru resto yang mampu di jangkaunya.
Dia tidak melihat siapapun yang sedikit mirip dengan Bu Resti.
"Oh, sebelah sana, Kakak." Pegawai itu dengan sopan menyilakan Dinka dengan dirinya memandu.
"... aku udah sampai, Ma! Iya ... aku nggak akan kabur, janji!"
Namun, belum selangkah mereka berjalan, suara seseorang yang berada di belakang, membuat Dinka menoleh, lalu memasang wajah kesal, sampai Dinka memutar bola matanya ke atas saking jengah dan jengkelnya.
Dia lagi-dia lagi.
Dinka berbalik dan bersedekap setelah meminta pegawai resto menunggunya sejenak.
"Dokter punya masalah apa sih, sama aku?" Dinka menghadang Dokter Abid dengan wajah ketusnya. "Nguntit aku sampai sebegitunya? Tapi, maaf, ya! Aku sudah ada yang punya, jadi Dokter nggak ada kesempatan buat dapetin aku."
Ucapkan ketus Dinka membuat Abid melengos seraya mengeluarkan tawa mengejek. Percaya diri sekali wanita beranak ini. Kalau dia sudah gila, mungkin baru tertarik pada wanita ini. Sayang dia masih waras sewaras-warasnya.
Abid kembali menatap Dinka setelah berhasil menemukan jawaban yang telak untuk wanita tengil kepedean ini.
"Sorry juga ... saya ke sini untuk menemui calon istri saya."
Dinka mengejek. "Ngaku sajalah, Dok ... kalau udah ketahuan aku."
Mata Dinka melirik sinis Abid. "Cowok dimana saja pasti akan ngeles kalau kegep!"
Dalam dumalannya, Dinka mengimbuhi: Dasar muna!
Abid berkata seraya menarik napasnya dalam-dalam, sepertinya bertemu wanita menyebalkan ini, akan mengubah mood-nya yang sudah ia coba atur sebaik mungkin ini. Dia ingin kabur saja sekarang, dan melupakan siapapun wanita yang akan menjadi malaikat penyelamatnya. Tetapi, astaga ... setelah semua vendor yang dibatalkan, apa dia masih berani membantah mamanya? Dia pasti akan membuat sang Mama makin sedih, setelah tadi sempat sumringah.
"Katakan saja, saya sedang sial bertemu kamu di sini, Nyonya! Tapi saat ini, saya sedang ada urusan dengan calon istri saya. Dia sudah menunggu saya sejak tadi." Abid sengaja menekankan kata itu, agar Dinka sadar kalau dia tidak sedang bercanda. "Mari kita anggap kamu paling tahu soal cowok, jadi silakan lanjutkan perjalanan anda!"
Seratus persen, Abid mengalihkan baik perhatian maupun pandangan dari wajah Dinka yang terlihat beda hari ini. Tapi tidak memperngaruhi apapun pada diri Abid.
"Mbak, reservasi atas nama Ibu Resti!" Abid melambai ke pegawai lain, yang standby tak jauh darinya.
"Atas nama siapa?" Dinka awalnya ingin pergi, tetapi lagi-lagi, ucapan Abid membuat Dinka gemetar di lutut, dingin di punggung, dan menggigil di ulu hati. Nama Resti bagai petir yang menyambar hatinya. Nama ini familier, kan? Bukan cuma ibu dari calon suaminya yang bernama Resti, tapi ....
"Rasanya bukan urusan Anda bertanya siapa yang memesan meja untuk saya."
Abid menatap Dinka dengan kekesalan yang menumpuk. "Bisakah telinga anda sedikit menunduk agar tidak terlalu rajin ikut campur urusan orang?!"
Dinka mengibaskan tangan. "Maksud saya ... apa—"
"Mungkin, Kakak berdua sebenarnya duduk di meja yang sama, yang direservasi Ibu Restiana." Pegawai wanita tadi sebenarnya kesal pada dua orang ini, tetapi tetap tersenyum ramah. Di sini, tidak ramah pada pelanggan, auto ditendang. Sebab, pelanggan boleh komplain secara terbuka kepada manajer resto.
Dinka dan Abid saling pandang saat pelayan itu menunjuk meja yang berada di pojok, dengan tulisan "reserved" bertengger anggun di atas meja.
"Oh, God!"
Dinka menggigit bibir dengan perasaan khawatir.
*
*
*
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!