"Kamu lihat orang yang datang dengan mobil bagus tadi? Mereka akan mengadopsi salah satu dari kita," seru Faiz, memberitahukan pada adik-adiknya.
"Benarkah? Aku harap, kali ini giliranku. Aku ingin masuk ke keluarga kaya agar tidak lagi hidup susah," celetuk Ayu, bersemangat.
Rinna hanya diam, melirik keluar jendela dan memperhatikan dua orang suami-istri yang menuju gedung peristirahatan mereka.
Deg ....
Kedua manik mata Rinna berpapasan dengan wanita itu, wanita cantik yang langsung mengulum senyum cantik begitu melihatnya dari bawah.
"Dia cantik," gumam Rinna, kagum dengan wajah sang istri dari pasangan suami-istri itu.
"Hey, berbarislah. Ibu Tyas datang bersama dengan para tamu," ucap Azmar, lelaki berkulit coklat yang memiliki wajah manis dan perawakan dingin.
Ke-18 anak itu segera berlari ke dekat pintu, berbaris di depan pintu, menunggu kedatangan pengurus panti dan tamu yang di tungggu-tunggu oleh mereka dengan tak sabaran.
Bu Tyas tersenyum lembut melihat anak-anaknya sudah berbaris dan menatap kedatangan mereka dengan tatapan antusias.
"Apakah mereka anak-anak yang Ibu maksud?" tanya wanita cantik itu, menatap wajah anak-anak yang ada di sana dengan saksama.
"Iya, Bu. Betul sekali. Mereka sudah besar-besar. Yang paling kecil, hanya anak berusia 2 tahun, dan yang paling besar berusia 18 tahun," ucap Bu Tyas, memberitahukan.
Kedua suami istri itu tampak berunding dengan sesekali memantap ke arah mereka dengan saksama. Seakan tengah memilih dan berdiskusi tentang siapa yang akan mereka bawa pulang.
"Bisakah kita pergi ke kantor Ibu untuk berbicara?" tanya sang wanita, kepada Bu Tyas.
Bu Tyas mengangguk dan berjalan terlebih dahulu, membimbing mereka ke ruangannya.
18 anak itu menghela napas lega, menatap masing-masing dengan tatapan senang.
"Menurutmu, siapa yang akan mereka bawa?" tanya Dalia, gadis berusia 13 tahun dengan rambut kribo yang lebat dan gigi yang berlubang di bagian depannya.
"Entahlah, aku tidak tahu. Siapa pun yang akan di bawa oleh mereka, dia patut bersyukur," jawab Rinna, tampak acuh.
Tak lama kemudian Bu Tyas keluar dari ruangannya, menghampiri mereka dan menatap Rinna yang tengah berkumpul dengan anak-anak perempuan lainnya.
"Rinna, ikut dengan Ibu bertemu mereka, ya?" ucap Bu Tyas, dengan suara lembut dan tatapan teduhnya.
Semua anak di sana, langsung menatap Rinna dengan tatapan iri dan senang di saat bersamaan. Namun berbeda dengan Rinna yang malah merasa aneh dengan dirinya yang sudah di panggil oleh mereka.
"Kenapa aku, Bu? Bukannya masih ada yang lebih kecil dan pintar?" tanya Rinna, jujur. Karena dia tak berencana mendapatkan keluarga di panti asuhan ini.
Yang Rinna cita-citakan hanya keluar dengan tenang dan mencari kerja seperti seorang wanita keren lainnya.
"Hem, mungkin karena Rinna mencuri hati istrinya. Sudah, jangan banyak bicara dan ayo ikut masuk bersama Ibu."
Bu Tyas menarik tangan Rinna, membawanya masuk ke dalam ruangannya dan mempertemukannya dengan kedua pasangan muda itu.
Rina menatap keduanya beberapa saat, sebelum menundukkan kepalanya singkat, menyapa mereka dengan sopan. "Selamat siang, Tuan dan Nyonya. Nama saya Corrina Keyln. Anak-anak yang lain bisa memanggil saya dengan sebutan Rinna. Senang bertemu dengan kalian berdua."
"Ah, sopan sekali. Sepertinya kami tidak perlu banyak mempertimbangkan, Bu. Tolong siapkan dokumennya. Kami akan langsung membawanya hari ini juga!" ucap wanita itu, tampak senang.
Bu Tyas tersenyum, menatap Rinna dengan tatapan bangga. "Baik, Bu. Akan segera saya siapkan. Dan Rinna, kemasi barang-barang kamu dan kembali ke sini setelah kamu selesai, ya?"
Rinna hanya mengangguk dan pergi meninggalkan ruangan itu. Tentu saja setelah pamit pada kedua pasangan suami-istri tersebut.
Klap ....
Rinna menatap teman-temannya yang berdiri di luar pintu dengan tatapan buas. Buas akan berita yang akan dia sampaikan!
"Bagaimana? Kenapa kamu keluar begitu cepat?" tanya Dalia, menatap Rinna dengan tatapan setengah sedih, takut jika Rinna di tolak oleh mereka.
"Ah, aku di minta membereskan barang-barang. Aku akan ikut mereka hari ini," jelas Rinna, tanpa menunjukkan ekspresi senang atau sedih. Hanya wajah datar yang dia perlihatkan pada mereka.
Greb!
Beberapa anak yang dekat dengan Rina, langsung memeluknya sambil menangis.
Mereka mengucapkan selamat dengan ekspresi wajah iri yang terkesan bahagia.
"Kita tidak akan bertemu lagi, huhu ... jaga dirimu, ya?" ucap mereka, bersahut-sahutan.
Rinna hanya bisa menghela napasnya dalam-dalam, balas memeluk mereka dengan mengumbar rindu sebelum kata "Ya" keluar dari mulutnya.
"Aku pasti akan merindukan kalian."
***
"Turunlah lebih dahulu dan ikut dengan Mama ke dalam. Ayah akan membawakan barang kamu ke dalam," ucap lelaki bernama Ezar, kepada Rinna.
Rinna yang duduk di kursi belakang, hanya menganggukkan kepalanya pelan dan berjalan keluar mobil di ikuti wanita bernama Maya, orang yang menyandang gelar istri Ezar sekaligus Mama baru Rinna.
"Ayo sayang, ada yang menunggu kita di dalam. Kamu pasti senang bertemu dengannya," ucap Maya, menggandeng masuk gadis berusia 16 tahun itu, tanpa canggung.
Rinna hanya tersenyum dan mengikuti ke mana langkah wanita itu pergi.
"Arta! Atha! Coba lihat siapa yang Mama bawa pulang!" teriak Maya, dengan suara lantang dan wajah ceria.
Dua anak lelaki keluar dari kamarnya, menatap Ibu mereka di depan pintu, menggandeng wanita asing berusia 1 tahun lebih muda darinya.
"Mama benar-benar mengadopsi seseorang?" tanya Arta, lelaki tampan yang tampak lemah dan pucat.
"Hahhh ... menyusahkan saja. Kenapa juga Mama membawa pulang anak perempuan? Aku tidak suka adik perempuan karena dia cerewet dan cengeng," celetuk Atha, lelaki berpenampilan mencolok yang sayangnya sangat cocok dan terlihat tak berlebihan untuknya.
"Apa-apaan kedua anak itu? Mereka sangat aneh," batin Rinna, memilih memalingkan wajahnya dan menatap sekeliling dengan tatapan takjub.
"Jangan begitu pada adik kalian! Mama tidak akan membawanya jika Mama bisa hamil anak perempuan. Ck, jangan menghina anggota keluarga yang aku bawa, anak sialan!" pekik Maya, membuat Rinna menoleh padanya dengan tatapan terkejut.
Rinna menatap Maya dengan tatapan terkejut. "Dia mengumpat? Di depan anak-anaknya?" batinnya, tak menyangka.
Maya yang menyadari tatapan Rinna, langsung menoleh padanya dan tersenyum masam. "Maaf, Mama tidak sengaja mengumpat karena terlalu kesal dengan kedua kakak lelakimu. Jangan di tiru ya?!" ucapnya, sambil membelai rambut Rinna penuh sayang.
Rinna pun mengulas senyuman lebar, menatap Maya dengan tatapan palsu yang tetap memabukkan. "Aku tahu, Ma. Jangan khawatir."
Maya mengangguk dan berjalan meninggalkannya. "Ini adalah kamarmu, Mama sudah mendekorasinya dengan–"
Rinna terpaku, telinganya tiba-tiba menjadi tuli. Tatapannya fokus menatap ke depan, menatap dua buah kaki yang menggantung di dalam ruangan, yang baru saja di buka oleh Maya.
"A-apa yang ada di dalam sana?" batin Rinna, gemetar takut.
Klek ....
"Ini kamau kamu, Rinna. Mama sudah mendekornya sendiri," ucap Maya, bersemangat melihat bagaimana reaksi Rinna saat melihat hasil dekorasinya.
Lantas Maya kehilangan senyumannya dengan cepat saat melihat kedua manik mata Rinna yang membulat, terlihat kaget tapi ke arah yang negatif.
"Kenapa? Kamu tidak senang dengan kamarnya?" tanya Maya, menunjukkan ekspresi dingin.
Rinna mengerjabkan matanya, menatap ekspresi ketus Maya dengan senyuman manis.
"Suka. Mama kan sudah mendekornya untuk Rinna. Terima kasih, Ma. Aku akan menggunakan kamar itu dengan baik," ujar Rinna, berusaha tetap tenang.
Maya kembali tersenyum, berjalan ke arah Rinna dengan langkah ringan dan memeluknya erat.
"Kamu memang anak yang baik. Mama tidak salah, kan? Memilih anak sepertimu," seru Maya, menunjukkan hawa berbeda yang membuat Rinna tidak nyaman.
Namun Rinna hanya tersenyum dan berjalan dengan langkah berat, memasuki kamarnya.
"Istirahatlah, Mama akan memanggilmu saat makan malam sudah siap," ucap Maya, melambaikan tangan saat Rinna menutup pintu kamarnya dengan tatapan tegang.
"Iya, Ma!" jawab Rinna, sebelum pintu itu benar-benar tertutup rapat.
Klek!
Rinna menghela napas dalam, menolehkan kepalanya ke atas dan menatap mahluk berwajah hitam dengan mata berdarah yang berdiri terbalik di langit-langit kamarnya.
"Ah, kenapa pula aku melihat hal seperti ini di hari pertama? Padahal aku bukan anak indigo, tapi aku melihatnya lagi!" batin Rinna, memejamkan matanya beberapa saat sebelum berbalik dan menuju ranjang.
Rinna duduk di tepi ranjang, menatap mahluk lain yang duduk di seberang sisi ranjangnya, memunggungi Rinna sambil bergumam tak jelas.
Rinna menatap sekeliling dengan tatapan tenang, berusaha menjaga ekspresi wajahnya agar tak terlihat aneh dan mengundang para mahluk itu.
Tap ... tap ... tap ....
Suara langkah kaki terdengar dari atap kamarnya, membuat jantung Rinna berdebar kencang.
Ya, siapa yang tak takut jika mendengar suara seperti itu? Suara langkah kaki dengan mahluk berwujud nyata, yang berjalan terbalik di atas kepala Rinna.
"Penghuni baru, aku akan mengawasimu. Rumah ini adalah wilayah kami," ucap wanita berwajah gosong, yang berjalan-jalan di atas kamarnya itu.
Rinna hanya menghela napas dalam dan berusaha merebahkan dirinya, berusaha tak menghiraukan keberadaan mereka.
Deg!
Begitu Rinna membuka mata, wajah wanita bernanah itu muncul di depannya. Hanya berjarak 5 cm dari wajahnya, sampai-sampai membuat Rinna bisa melihat setiap detail mahluk melata yang hidup di pori-pori kulitnya.
"Aku sudah bilang, dia bisa melihat kita, Yuni!" ucap wanita itu, dengan suara berat dan serak.
Rinna bangkit dari tempatnya, turun dari ranjangnya dengan cepat dan berjalan ke arah pintu dengan langkah tertatih, berusaha keluar dari sana.
Klek!
Rinna menghela napas lega saat dia bisa keluar dari dalam kamarnya, namun siapa sangka jika kedua Kakak lelaki, yang belum berkenalan dengannya itu, berdiri di depan kamarnya dengan tatapan datar. Seakan tengah menunggunya keluar dari sana dengan yakin.
"Keluar juga. Bagaimana? Kamarnya bagus?" tanya Atha, berjalan mendekatinya dan menatap wajah pucat Rinna dengan tatapan mengamati.
Rinna menelan ludahnya susah, memalingkan wajahnya dari tatapan tak bersahabat Arta dengan segera. "Ba-bagus kok, Kak. Aku suka, ha-hahaha," jawabnya, canggung.
Atha menaikkan sebelah alisnya, menatap kelakar Rinna yang tampak ketakutan dengan sinis. "Kamu yakin?" tanyanya, mendekatkan wajahnya, bahkan kedua hidung mereka sampai nyaris bersentuhan.
Rinna tersudut dengan tubuh Atha yang menekan pelan tubuhnya ke pintu, menatap sikap Atha yang tampak aneh saat memperlakukannya.
"I-iya. Tidak apa, kok. Haha," jawab Rinna, tanpa melihat wajah Atha yang terus memandangnya dengan tatapan mengerikan.
"Jika kamu tidak nyaman, kamu bisa tidur bersamaku di kamar. Aku bisa memelukmu saat kamu takut," bisik Atha, membuat Rinna geli.
Kedua tangan Rinna sudah menahan tubuh Atha agar keduanya tetap menjaga jarak, walau tidak sampai 10 cm.
"Ti-tidak perlu. Aku bisa mengurusnya sendiri. To-tolong jangan bersikap seperti ini, Kak!" seru Rinna, setengah berteriak sambil mendorong tubuh Atha menjauh darinya.
Atha terhentak mundur, menatap Rinna yang takut dengannya, dengan tatapan mengejek. "Jangan panggil aku Kakak, aku tidak memiliki adik!" ucapnya, tegas.
Deg!
Rinna terpaku, menatap Atha dengan kedua mata yang membulat lebar. "Ta-tapi, Mama–"
"Itu hanga keinginan Mama. Bukan keinginanku! Aku tidak akan pernh melihatmu menjadi adik. Aku akan tetap melihatmu sebagai perempuan asing yang bertamu di rumah ini!" Atha mengulas senyuman culas. "Jadi bersikaplah sopan pada Tuan Rumah dan jangan banyak bertingkah! Atau aku bisa menerkammu agar diam," celetuknya, sambil berjalan pergi meninggalkan Rinna.
Glek ....
Rinna menelan ludahnya susah, menatap kepergian Atha dengan tatapan gusar dan mengalihkan tatapannya pada Arta yang terus diam dan memperhatikan mereka.
"Apa?" tanya Arta, memutar roda kursi rodanya ke arah Rinna, mendekati gadis itu dengan tatapan biasa.
"Ka-kamu juga–"
Arta menggelengkan kepalanua pelan, menolak alibi Tinna yang bahkan belum keluar dari mulutnya.
"Tenang saja, aku tidak akan mengusuikmu seperti Atha." Arta menghela napas lelah dan menatap Atha yang mengawasi mereka dari lantai dua, tepat di depan kamarnya berada. "Aku bukan orang resek yang kekurangan kegiatan. Aku orang sibuk, jadi kamu tidak perlu khawatir akan diriku!"
Rinna menghela napas lega dengan lembut, menunjukkan rasa syukurnya dengan menatap Arta, lembut.
"Terima kasih, Kak. Aku merasa tenang mendengarnya," ucap Rinna, benar-benar tulus.
Arta mengangguk dan menatap ke arah belakang Rinna dengan tatapan memperhatikan. "Apa di dalam sana kamu punya banyak teman?" tanyanya, seakan mengerti apa yang ada di dalam sana.
Rinna diam, menatap wajah Arta dengan canggung. Tak lama setelah itu, Rinna menggeleng, tak ingin membuat Arta khawatir karena hal itu.
"Tidak ada. Kakak tenang saja. Em ... Kak A–"
"Arta! Aku Arta, dan tadi Atha. Wajah kami hampir mirip, ya? Taoi kamu bisa mengenali kami dengan melihat tahi lalat ini." Arta menunjuk tahi lalat kecil yang ada di kelopak matanya. "Atha tak mempunyai ini. Jadi kamu bisa membedakannya dengan mudah, kan? Lagi pula, style berpakaian kami berbeda. Jadi, aku kira kamu tidak akan terlalu bingung," paparnya, dengan senyuman lembut yang menyertai.
"Ah, baik Kak Arta. Terima kasih sudah menjelaskannya. Lalu, yang ingin aku katakan tadi. Apa Kakak tidak istirahat? Sepertinya tadi Kakak lagi tidur siang, tapi terbangun karena Mama memanggil," ucap Rinna, menjelaskan.
"Jika aku tidak bangun dan meneruskan tidur, Mama akan membuatku tenggelam besok pagi. Haha, jadi aku harus bangun. Kamu tidak perlu memikirkannya, aku sudah tidak mengantuk sekarang," jelas Arta, mengulas senyum masam. "Kamu mau jalan-jalan denganku? Aku akan memperkenalkan rumah ini padamu."
Rinna yang sempat terdiam karena kalimat awal Arta, kini langsung menganggukkan kepalanya mendengar Arta akan mengajaknya berkeliling.
"Jika tidak merepotkan Kakak, aku akan pergi denganmu," ucap Rinna bersemangat.
"Baiklah, ayo pergi."
Rinna mengikuti langkah Arta, menatap lelaki itu dari belakang dengan tatapan waspada. "Rumah ini lebih aneh dari dugaanku. Menakutkan!"
Walaupun sudah cukup lama mengitari rumah ini, Rinna tidak menemukan tanda-tanda yang aneh kecuali para penghuninya yang memiliki sikap abnormal.
"Sekarang kita akan pergi ke mana, Kak Arta?" tanya Rinna, masih setia mengikuti langkah Arta yang berjalan dengan kursi rodanya secara mandiri.
Arta menoleh sejenak kepadanya, menatap adik perempuannya dengan senyuman manis yang membuat Rinna ikut tersenyum dengan cara yang sama.
"Akan aku tunjukkan taman belakang rumah kita. Di sana ada air mancur yang sangat besar dan kolam ikan dengan beberapa jenis ikan cantik. Biasanya anak perempuan suka melihat hal-hal yang seperti itu," ucap Arta, kembali menatap ke arah depan.
Rinna hanya mengangguk mengerti, dan mengikuti langkahnya dengan saksama.
Benar yang dikatakan oleh Arta, taman belakang rumah mereka benar-benar sangat mewah. Bahkan ada gazebo yang mirip seperti yang ada di buku dongeng, yang biasa dia bacakan pada anggota termuda di pantai asuhannya.
Lalu di sekitar taman juga terdapat banyak bunga langkah, yang jarang ada di taman-taman kota.
"Bagaimana menurut kamu? Bagus, kan? Dulu saat aku masih bisa berjalan, aku tidak akan perlu joging di luar arena rumahku. Aku selalu pergi ke sini dan mengitari taman ini. Aku tak pernah bosan melihatnya," ucap Arta, menunjukkan ekspresi sendu.
Rinna yang mendengar hal itu langsung terdiam. Menatapnya dengan tatapan bersalah, karena sudah membuatnya mengingat masa yang membuat kakak tirinya itu sedih.
"Kakak ingin kembali berjalan, ya?" tanya Rinna, dengan suara lirih, karena dia sedang bergumam pada dirinya sendiri.
Tapi sayangnya, Arta mendengar kalimat itu dengan jelas. Membuatnya menoleh dan tersenyum kembali, dengan cara yang sama, kepada adik perempuannya.
"Iya, bahkan bukan hanya berjalan. Aku juga ingin sadar kembali!" ucap Arta, entah kenapa membuat Rinna merasakan hal yang janggal.
"Sadar dari apa? Bukannya sekarang dia juga sedang sadarkan diri?" batin Rinna, mulai mewaspadai Arta yang bisa dia duga pasti memiliki sikap aneh yang tidak jauh berbeda dari keluarganya yang lain.
"Kenapa kamu ada di sini? Dan kenapa dari tadi bicara sendiri, Nak?" tanya Ezar, berjalan menghampiri Rinna.
Rinna langsung menoleh saat mendengar suara sang Ayah yang menegurnya dengan suara yang cukup lantang, seperti sedang marah tapi cenderung mendekati rasa khawatir.
"Aku tidak sendiri, Ayah. Aku ditemani kakak pertama. Ayah tidak lihat? Dia ada di-"
Rinna yang mendapati Arta sudah tidak ada di tempatnya, langsung mengerutkan keningnya dalam, menatap ke sekeliling dengan tatapan bingung.
Lantas pada satu titik, dia melihat Arta yang sedang bersembunyi di balik pohon besar, yang sepertinya benar-benar tidak ingin ketahuan oleh Ezra jika dia pergi keluar.
"Di mana? Dari tadi aku hanya melihatmu sendirian di sini. Jadi aku buru-buru ke sini, karena Mamamu sudah menjadi kamu di kamar dan ini sudah waktunya makan siang" ucap Ezra, menghela napas panjang nan dalam. Berusaha untuk bersikap sabar dan baik, pada putri baru mau ini.
"Ma-maaf, Ayah. Aku tidak tahu kalau Mama mencariku. Jika aku tahu, aku tidak akan pergi terlalu jauh sampai membuat Mama harus mencariku. Maaf," ucap Rinna, dengan suara lirih di akhir kalimatnya.
Ezra mengelus puncak kepala Rinna dengan sayang. "Sudahlah, jangan dipikirkan lagi. Maaf sudah meninggikan suara. Kamu pasti menganggap Ayah marah, kan? Ayah tidak marah kok. Hanya saja jangan membuat Mama kamu khawatir, ya? Kamu masih orang baru di sini."
Rinna segera menganggukkan kepalanya, dan ikut berjalan masuk bersama dengan Ezra untuk makan siang bersama.
Di meja makan Rinna hanya melihat mereka berempat, tanpa kakak pertamanya, Arta. Pada seharusnya, jika dirinya dipanggil untuk makan bersama, bukankah Arta yang sebagai anak kandung harusnya wajib hadir di sini?
Tapi Rinna tidak mengatakan apa pun kepada mereka, ataupun menanyakan alasannya. Karena tempat di hadapannya, Atha sedang menatapnya dengan tatapan buas. Layaknya seorang singa yang mengincar kelinci kecil untuk dia mangsa.
Rinna menundukkan kepalanya dalam. Dia menap piringnya dengan tatapan tertekan, sambil terus berusaha menghabiskan makanannya, walaupun dia tidak berselera.
"Ada apa? Kamu tidak suka makanan, Mama? Dari tadi wajahmu terlihat sangat buruk," celetuk Atha, sengaja membuat perhatian orang-orang yang ada di ruang makan, mengalihkan pandangannya pada Rinna.
Sementara Rinna hanya menatapnya dengan tatapan terkejut, enggan untuk membalas perlakuan buruknya tapi juga tidak bisa diam saja, karena takut Maya salah paham karena tindakannya.
"Kalau makanan Mama tidak enak, bukankah makananku seharusnya masih utuh? Tapi aku sudah hampir menghabiskannya. Jadi tolong jangan mengatakan hal yang mudah menjadi salah paham, Kakak!" tegas Rinna, dengan suara lembut yang tidak memancing permusuhan walaupun nadanya tetap penuh penekanan.
Atha mengulas senyuman culas beberapa saat, sebelum akhirnya menundukkan kepala dan melanjutkan makannya dengan tenang.
"Kalau kamu bilang seperti itu, kamu bisa menambahkan porsi makan kamu, kan? Katanya masakan Mama lezat, apa kamu tidak ingin menambah porsi makanmu? Mama lihat kamu memang makan sangat sedikit. Apa biasanya juga seperti itu?" tanya Maya, membuat perhatian Rinna teralihkan padanya.
"Aku akan menambahkannya nanti, Ma. Karena sekarang aku sudah kenyang, karena tadi pagi sarapan terlalu banyak di panti asuhan," jelas Rinna, dengan senyuman manis yang bertengger di wajah cantiknya itu.
Namun respons yang didapat Rinna apa sikap manisnya itu, sangatlah berbeda dari ekspektasinya.
Karena saat ini Maya menatapnya dengan tatapan tajam, seakan memperingatkannya untuk tetap bersikap sopan.
Rinna langsung menundukkan kepalanya dalam, mengulas senyuman palsu di bibirnya yang gemetar karena takut, itu.
"A-ah, setelah yang ada di piring habis, aku akan segera mengambil lagi, Ma. Mama jangan khawatir. Aku pasti akan menghabiskannya," ucap Rinna, berusaha untuk menekan ketakutannya dengan menghadirkan senyum yang meyakinkan.
Namun setelah Rinna mengatakan hal tersebut, Atha yang dari tadi terus tersenyum mengejeknya, tiba-tiba mengambil nasi dan lauk dengan jumlah yang sangat banyak dan memakannya dengan cepat, seperti orang yang belum makan selama satu minggu.
Atha melakukan hal itu sampai lauk-pauk dan nasi yang ada di atas meja makan tersisa sedikit, setidaknya satu porsi makanan Rinna saat ini.
"Ka-kamu kelaparan?" tanya Maya, menatap anak lelakinya yang makan tanpa tahu rasa kenyang.
"Ya, Ma. Nanti malam aku harus begadang karena mengerjakan banyak tugas. Jadi aku ingin mengisi tenaga aku sampai penuh sebelum bertempur dengan angka-angka matematika nanti," ucap Atha, membuat alibi yang meyakinkan.
Sementara Rinna yang mendengar itu hanya terdiam, dan menatap senyuman sinis yang tertuju kembali kepadanya.
"Aku benar-benar sangat lapar sampai makanan sebanyak ini masih kurang untukku," ucap Atha, kembali mengulas senyuman mengerikan dengan diiringi tatapan buas saat menatap pada Rina.
Glek ...
Rinna menelan ludahnya susah. "Apa yang mau dia lakukan padaku?" batinnya, merasa sedikit ketakutan
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!