Bab 1
Seorang gadis nampak tengah berdiri dengan gugup di depan seorang pria berwajah dingin dan jutek yang tengah memandangi gadis tersebut. Gadis bernama Diah itu terus menundukkan kepala tanpa berani menatap wajah pria jutek yang saat ini tengah melotot padanya.
"Kamu yang namanya Diah?" tanya pria bernama Ardi itu.
Diah menelan ludah kasar. Meskipun ia merasa gugup, tapi gadis itu berusaha sebaik mungkin untuk tetap bersikap sopan di depan calon majikannya.
Ya, saat ini Diah tengah berhadapan dengan pria yang akan menjadi majikannya. Ardi, seorang pria muda yang mempunyai ibu yang tengah menderita kelumpuhan. Karena tak bisa menjaga ibunya dan harus bekerja, Ardi pun mencarikan pengasuh untuk bisa merawat ibunya yang saat ini hanya bisa berbaring di ranjang tanpa dapat beraktivitas dengan normal.
"Kamu yakin kamu bisa merawat orang tua lumpuh?" tanya Ardi dengan nada meremehkan pada Diah.
Diah mengangguk dengan yakin. Gadis itu cukup percaya diri dengan kemampuannya merawat pasien yang mengalami sakit parah.
"Saya pernah merawat ibu saya sebelumnya. Kebetulan ibu saya juga mengalami stroke sampai meninggal. Saya yakin saya bisa merawat ibu tuan dengan baik," ujar Diah mencoba meyakinkan Ardi untuk mempercayai kemampuannya.
"Paling kamu cuma tahan seminggu," cibir Ardi.
Seperti pengasuh-pengasuh yang sebelumnya, Ardi nampak pesimis dan tidak cukup percaya dengan kemampuan Diah dalam mengasuh ibunya. Sudah banyak pengasuh yang menyerah dan memilih untuk berhenti dalam merawat Bu Dewi, ibu dari Ardi.
Hal ini pun hampir membuat Ardi putus asa dalam mencarikan pengasuh untuk ibunya. Sudah puluhan pengasuh yang merawat ibunya, tapi mereka tidak mampu bertahan lama dan pergi begitu saja hanya dalam waktu kurang dari satu bulan bekerja. Meskipun diberi bayaran tinggi, nyatanya tak ada yang betah merawat wanita tua yang rewel itu.
"Sebelumnya sudah banyak perawat dan pengasuh yang mencoba mengurus mama saya, tapi tidak ada satu pun dari mereka yang bertahan. Semoga kamu bisa bertahan lebih dari satu minggu!" ujar Ardi kembali meremehkan Diah.
Pria itu sudah tak mau lagi berharap banyak. Ardi sudah pasrah jika Diah juga akan menyerah nantinya.
"Saya akan berusaha merawat ibu Tuan dengan baik." Hanya itu yang bisa Diah sampaikan pada Ardi demi bisa mendapatkan pekerjaan ini.
Tanpa ingin banyak berbasa-basi, Ardi pun langsung meminta Diah untuk langsung bekerja merawat ibunya. Pria itu menjelaskan dengan detail hal apa saja yang harus dilakukan oleh Diah untuk mengurus ibunya yang mengalami kelumpuhan.
"Mamaku menderita stroke dan hanya bisa berbaring di ranjang. Tugas kamu merawat Mama dari bangun tidur hingga tidur lagi. Mama tidak bisa melakukan apa pun sendiri, jadi semuanya kamu yang akan mengurus. Kamu harus selalu siap siaga saat Mama membutuhkan. Mama ... agak rewel. Jadi kamu harus memaklumi dan tetap bersikap sopan pada Mama meski apa pun yang Mama lakukan padamu. Kamu paham?"
Diah mengangguk. Ardi terus mengoceh, memberikan penjelasan mengenai pekerjaan apa saja yang harus dilakukan oleh Diah.
"Saya mengerti, Tuan."
"Mama saya namanya Dewi. Usianya belum terlalu tua. Mama saya belum ada enam puluh tahun. Baru berusia 54 tahun, tapi Mama saya sudah mengalami kelumpuhan. Tolong kamu lebih sabar dalam menghadapi Mama saya!" perintah Ardi masih dengan nada bicara yang ketus pada Diah.
Tak lama kemudian, Ardi pun mengantar Diah menuju ke kamar Bu Dewi. Begitu Ardi membuka pintu, Diah langsung disuguhi sosok wanita paruh baya yang tengah terbaring lemah di ranjang.
"Mama!" panggil Ardi pada sang ibu dengan suara lembut.
Bu Dewi yang tengah berbaring dengan tatapan kosong, langsung menoleh ke arah pintu dan tersenyum pada putranya. Namun, senyum wanita itu langsung buyar begitu ia melihat seorang gadis yang berjalan di belakang Ardi.
"Ini Mamaku," ujar Ardi memperkenalkan Bu Dewi pada Diah.
"Ma, ini pengasuh baru Mama," ungkap Ardi pada sang ibu.
Diah berusaha menampakkan senyum, tapi sayangnya ia justru mendapatkan tatapan dingin dari Bu Dewi. "Pengasuh?" tanya Bu Dewi dengan nada tak suka.
"Namanya Diah. Diah akan bekerja mulai hari ini. Diah yang akan mengurus Mama," terang Ardi.
Diah pun mendekat pada Bu Dewi. "Nama saya Diah, Nyonya. Saya pengasuh baru Nyonya," ucap Diah.
Bu Dewi sama sekali tidak merespon. Tak ada kesan ramah sedikit pun dari sikap dan ekspresi Bu Dewi.
"Kalau gitu aku pergi dulu. Kamu bisa mulai kerja!" tukas Ardi pada Diah.
"Baik, Tuan!" sahut Diah.
Bu Dewi makin tak suka saat melihat Diah yang tersenyum pada putranya. Wanita itu menganggap Diah hanya mencari muka di depan Ardi. Sama seperti pengasuh-pengasuhnya yang dulu.
Kini tinggallah Bu Dewi dan Diah yang berada di dalam kamar tersebut. Diah mencoba membersihkan kamar sembari mencoba mengajak Bu Dewi berbincang.
"Nyonya sudah makan?" tanya Diah dengan sopan.
Sayangnya, Bu Dewi hanya diam. Wanita itu yakin Diah pasti sama seperti pengasuh lainnya. Kasar dan tidak sabaran. "Tidak perlu membuang-buang waktu di sini! Kamu bisa pergi sekarang! Jangan mencari muka di depan putraku!" ketus Bu Dewi pada Diah.
Diah menghela napas. Karena sudah diberitahu oleh Ardi sejak awal, Diah tak terlalu kaget melihat sikap Bu Dewi yang begitu dingin padanya dan tidak menyambut kedatangannya dengan baik.
"Air minum Nyonya sudah habis. Ingin saya buatkan teh manis?" tawar Diah tak menghiraukan sedikitpun ucapan ketus dari Bu Dewi.
Diah mengambil gelas kosong yang ada di meja kamar Bu Dewi dan hendak membuatkan minuman hangat untuk majikan barunya itu.
"Tidak perlu sok rajin!" sungut Bu Dewi.
Prang! Wanita itu bahkan merebut gelas yang ada di tangan Diah dan menjatuhkannya ke lantai hingga terpecah belah.
Diah langsung berjongkok untuk membersihkan pecahan kaca yang berhamburan di lantai. Gadis itu hanya diam menerima perkataan ketus Bu Dewi tanpa menimpali.
"Kalau Nyonya butuh sesuatu, katakan saja pada saya. Saya akan mengambilkan air minum yang baru," ujar Diah berusaha bersabar di depan Bu Dewi dan masih menunjukkan wajah penuh senyum, setelah apa yang dilakukan Bu Dewi padanya.
"Aku jamin kamu tidak akan bertahan lama! Kamu sama saja seperti mereka!" cetus Bu Dewi memandang Diah sebelah mata.
"Saya akan mencoba merawat Nyonya dengan baik," timpal Diah.
Bu Dewi tersenyum sinis. Wanita paruh baya itu yakin tak lama lagi Diah pasti akan melarikan diri.
"Coba saja kalau kamu bisa! Tapi jangan harap kamu bisa mencari perhatian dari putraku!"
Diah mengangguk dan kembali memperlihatkan senyuman di wajahnya. Wanita itu hanya mempunyai kesabaran. Dan kesabaran yang ia miliki inilah yang akan ia gunakan untuk mencari nafkah.
'Aku harus bertahan! Aku akan bertahan. Ayo, Diah! Kamu pasti bisa!' batin Diah.
****
Prang! Untuk ke sekian kalinya Bu Dewi kembali memecahkan gelas dan piring di depan Diah. Entah sudah berapa kali Bu Dewi menghancurkan alat makan di depan gadis muda itu.
Sikap Bu Dewi makin lama semakin kasar. Wanita paruh baya itu terus berteriak dan memperlakukan dia dengan sangat buruk. Semua orang yang mengurus wanita rewel itu pasti dibuat menyerah karena sikap Bu Dewi yang begitu menyebalkan dan melelahkan.
"Aku tidak mau makan!" ketus Bu Dewi pada Diah.
Tak hanya berkata kasar, Bu Dewi juga bersikap begitu kasar pada Diah. Sering membentak Diah dan memperlakukan Diah seenaknya. Tapi untungnya Diah bisa mengatasi Bu Dewi dengan sabar.
"Nyonya harus tetap makan. Bagaimana Nyonya bisa sembuh nantinya kalau Nyonya tidak mau makan?" sahut Diah dengan suara lembut.
Bu Dewi benar-benar tak menyangka Diah masih bisa bersikap lembut dan sopan di depan Bu Dewi. Sudah beberapa hari sejak Diah bekerja di sana, dan Diah masih tetap bekerja dengan baik seperti biasa.
Diah tidak bersikap kasar seperti pengasuh sebelumnya. Diah juga masih berusaha sabar menghadapi tingkah Bu Dewi yang menjengkelkan.
"Saya ambilkan makanan baru, ya?" tawar Diah pada Bu Dewi.
"Kenapa gadis itu masih saja bersikap baik padaku?" gumam Bu Dewi. "Dia benar-benar gigih dalam mencari perhatian putraku! Awas aja kamu ya, Diah! Jangan harap kamu bisa terus-terusan mencari muka di depan putraku!"
Tak lama kemudian, Diah kembali muncul dengan piring makanan yang baru. Gadis itu menyuapi Bu Dewi dengan telaten, layaknya merawat ibunya sendiri. Berulang kali Bu Dewi menampar sendok yang dibawa oleh Diah hingga makanan berceceran, tetapi Diah masih terus tersenyum dan bersikap hangat pada Bu Dewi.
"Nyonya ingin minum? Nyonya baru makan sedikit. Buka lagi mulutnya, ya?" cetus Diah sembari melayangkan sendok ke arah Bu Dewi.
"Ambilkan aku air putih hangat!" perintah Bu Dewi dengan galaknya pada Diah.
"Baik, Nyonya!"
Beberapa menit kemudian, dia pun kembali dengan membawa satu gelas air putih yang diminta oleh Bu Dewi. Namun, lagi-lagi Bu Dewi mencari masalah hanya karena air putih.
Prang! Wanita paruh baya itu melempar gelas air minumnya ke lantai. "Air putih yang terlalu dingin! Aku bilang air putih hangat! Kamu tidak dengar, ya?" omel Bu Dewi.
Diah menghela napas. Gadis itu segera membersihkan air yang berceceran di lantai, dan mengambilkan air minum yang baru.
"Ini, Nyonya! Airnya lebih hangat daripada air yang sebelumnya," ujar Diah.
Bukannya meminum air tersebut, Bu Dewi justru menyiramkannya pada wajah Diah. "Air minumnya ada semutnya! Kamu bisa kerja tidak, sih? Mengambilkan air minum saja tidak becus!"
Diah mengusap wajahnya yang basah. Apa pun yang dilakukan oleh Bu Dewi padanya, gadis itu tidak akan menyerah dengan mudahnya.
"Maaf, Nyonya! Akan saya ambilkan yang baru!" cetus Diah.
"Tidak perlu!" sahut Bu Dewi. "Kamu terlalu lelet!"
Diah hanya diam dengan kepala tertunduk. Gadis itu kembali membereskan peralatan makan majikannya dan kembali menjalankan tugas yang lain.
"Nyonya, kita basuh tubuh Nyonya dulu, ya? Saya sudah siapkan air hangat," ujar Diah kembali ke kamar dengan membawa handuk kecil dan baskom.
Bu Dewi hanya diam dan tak menggubris Diah. Begitu dia mendekati Bu Dewi dengan baskom penuh air, wanita itu pun langsung menyambar baskom hingga airnya tumpah dan membasahi pakaian Diah.
Lantai kamar Bu Dewi kembali basah dan Diah harus mengepelnya lagi. Sudah lebih dari lima kali, gadis itu terus membersihkan lantai karena ulah Bu Dewi.
"Nyonya, kita basuh wajah dan tangan saja. Mau, ya? Saya akan membantu Nyonya mengganti pakaian," bujuk Diah.
"Tidak mau!" ketus Bu Dewi.
Bu Dewi benar-benar rewel. Pantas saja banyak pengasuh yang tidak betah. Tidak akan ada orang yang sanggup merawat bayi besar menyebalkan seperti Bu Dewi.
"Hanya membasuh wajah sebentar saja. Saya akan ambilkan pakaian ganti," sahut Diah.
Begitulah hari-hari Diah selama merawat Bu Dewi. Bu Dewi membuat kamar tersebut seperti neraka bagi Diah. Baru beberapa hari bekerja saja, badan Diah sudah terasa remuk. Kesabaran gadis itu juga benar-benar diuji.
"Kenapa dia masih saja bertahan di sini?" gerutu Bu Dewi sembari memandangi Diah yang tengah membersihkan kamar dengan semangat.
Malam harinya, Ardi pun menyempatkan diri untuk melihat keadaan ibunya. Bu Dewi langsung merengek dan mengadu pada sang putra mengenai Diah.
"Ardi, kenapa kamu baru pulang?" protes Bu Dewi pada sang putra.
Ardi masuk ke dalam kamar sang ibu dan menemani ibunya itu berbincang sejenak setelah seharian pria itu bekerja di kantor. "Maaf, Ma. Ardi sedang ada banyak pekerjaan di kantor," sahut Ardi.
"Mama tidak suka dengan Diah! Tolong pecat saja Diah!" ujar Bu Dewi pada Ardi.
Padahal selama ini Diah selalu bersikap baik pada Bu Dewi, tapi ternyata Bu Dewi masih saja tidak puas dan mencari-cari kesempatan untuk menyingkirkan Diah.
"Memangnya Diah kenapa, Ma? Apa Diah tidak merawat Mama dengan baik?" tanya Ardi.
Bu Dewi terdiam. Kalau dipikir-pikir, beberapa hari ini Diah mengurus Bu Dewi dengan telaten. Gadis itu juga selalu bersikap lembut pada Bu Dewi.
"Pokoknya Mama tidak suka pada Diah! Tolong usir Diah dari sini!" pinta Bu Dewi.
Ardi mengusap lembut punggung tangan sang ibu. "Ma, Diah bisa merawat Mama, kan? Diah tidak bersikap kasar pada Mama, kan? Tolong coba dulu, Ma! Siapa tahu Mama cocok dengan Diah," ujar Ardi mencoba memberikan pengertian pada sang ibu.
Jika Diah harus pergi sekarang, ke mana lagi Ardi harus mencari pengganti? Sangat sulit menemukan pengasuh baru bagi ibunya.
"Mama tidak suka pada Diah! Diah itu ... dia sangat ... sangat lelet! Mama tidak suka!" tukas Bu Dewi mencoba membuat kesan jelek mengenai Diah di depan Ardi.
"Apa Diah membuat Mama jengkel? Ardi akan menegur Diah," ujar Ardi berusaha membujuk ibunya untuk tetap bertahan dengan Diah.
Untungnya, Ardi bisa bersikap netral. Pria itu tak serta merta memihak ibunya. Ardi juga berusaha mencari kejelasan pada Diah. Ardi tidak menelan mentah-mentah keluhan dari Bu Dewi dan mencoba memberikan pengertian pada dua belah pihak.
"Diah, bisa kita bicara sebentar!" panggil Ardi begitu ia selesai berbicara dengan sang ibu. Sudah beberapa kali Bu Dewi mengeluh soal Diah pada Ardi, tapi Ardi tetap bersikap adil dan tidak langsung melimpahkan kesalahan pada Diah.
"Ya, Tuan?"
Pegawai dan majikan itu pun berbincang sejenak di luar kamar Bu Dewi, membahas tentang perawatan sang ibu. "Bagaimana, Diah? Kamu masih sanggup merawat Mama saya, kan? Ada sesuatu yang ingin kamu keluhkan?" tanya Ardi masih dengan ekspresi dingin.
"Saya masih sanggup, Tuan. Saya akan merawat Nyonya dengan baik!" ujar Diah.
Melihat Diah yang masih begitu sabar dan bersemangat, Ardi pun tak memiliki alasan untuk menyingkirkan Diah. Ardi masih sangat membutuhkan Diah untuk mengurus ibunya.
"Apa pun yang dilakukan Mamaku, tolong maklumi saja! Kamu harus tetap memberikan pelayanan yang terbaik untuk Mamaku! Mengerti?" perintah Ardi pada Diah.
Kali ini Ardi mencoba menumpukan harapan pada Diah. Ardi harap, Diah bisa bertahan lebih lama dan merawat ibunya dengan baik.
"Semoga saja Diah bisa bertahan!" gumam Ardi.
****
Ardi menatap layar monitornya dengan seksama. Pria itu nampak serius saat memandangi dua sosok wanita yang terpampang jelas dari layar.
Ternyata Ardi saat ini tengah mengawasi kegiatan Diah bersama dengan Bu Dewi. Ya, Ardi memasang CCTV dan diam-diam memantau pekerjaan Diah yang tengah merawat Bu Dewi di rumah.
Baik Diah maupun Bu Dewi, mereka tidak tahu kalau keduanya tengah diawasi kamera pengintai dan dipantau langsung oleh Ardi dari kantor. Meskipun tak bisa merawat ibunya secara langsung, Ardi masih tetap memberikan perhatian pada ibunya dengan mengawasi kegiatan yang dilakukan pengasuh pada Bu Dewi selama Ardi tidak ada di rumah.
Ardi benar-benar tak menyangka, ibunya sungguh tega menyiksa Diah selama gadis itu bekerja di sana. Namun, Diah tak pernah sekalipun membuat keluhan pada Ardi dan tetap menyelesaikan pekerjaan dengan baik.
"Diah benar-benar tahan banting," gumam Ardi cukup salut dengan Diah yang masih sanggup bertahan menghadapi ibunya.
Sekejam apa pun Bu Dewi, Diah tetap tersenyum di depan wanita tua yang tengah sakit itu. Ardi benar-benar terkesima pada etos kerja Diah. Karena inilah, Ardi masih berusaha mempertahankan Diah untuk mengasuh ibunya.
"Diah, kenapa bisa ada manusia sesabar kamu?" gumam Ardi.
Malam harinya, Ardi pulang ke rumah dan mendengar suara berisik dari dapur. Pria itu melihat Diah yang tengah sibuk membuat mie instan untuk makan malam selagi Bu Dewi tertidur.
"Diah?" tegur Ardi pada Diah hingga membuat gadis itu terkejut.
Diah terperanjat dan segera menoleh ke arah Ardi. "T-tuan baru pulang?" sapa Diah canggung.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Ardi sembari melirik panci mie yang ada di atas kompor. "Kamu masak mie instan? Memangnya tidak ada makanan? Mbok Tini tidak memasak?"
Meskipun terlihat cuek dan dingin, tapi Ardi bukan tipe bos jahat yang akan menyiksa pegawainya sendiri. "Ada banyak makanan yang bisa kamu makan, kan? Kenapa harus membuat mie instan? Kalau kamu sakit, siapa yang jagain Mama?" omel Ardi.
"Mbok Tini masak banyak, Tuan. Ingin saya siapkan makan malam sekarang?" tawar Diah.
"Temani aku makan!"
Rencana Diah untuk menyantap mie instan pun sukses digagalkan oleh Ardi . Gadis itu pun menyantap makan malam bersama dengan majikannya dengan melahap masakan dari asisten rumah tangga di rumah Ardi.
"Kondisi Mama bagaimana?" tanya Ardi. "Mama sudah tidur?"
Diah mengangguk. Memang belum ada banyak perubahan yang ditunjukkan oleh Bu Dewi. Selama satu bulan Diah bekerja, Bu Dewi masih tetap bersikap ketus dan kasar pada Diah, dan masih tetap berbaring di ranjang seperti biasa.
"Nyonya sudah tidur. Beberapa hari ini Nyonya memang kurang nafsu makan. Tapi saya selalu menjaga Nyonya untuk meminum obat secara teratur dan tepat waktu," terang Diah.
Ardi cukup yang terkesan dengan kejujuran Diah. Diah tidak mencoba mengada-ada dan membuat-buat kesan bagus di depan Ardi. Gadis itu mengungkapkan keadaan ibunya secara apa adanya.
"Apa Mama membuat kamu repot?" tanya Ardi tiba-tiba.
Diah menggeleng. Gadis itu tidak merasa terbebani dengan sikap menjengkelkan Bu Dewi pada dirinya. Diah cukup memahami dan memaklumi sikap Bu Dewi padanya.
"Repot bagaimana, Tuan? Semua orang yang mengurus pasien pasti kerepotan. Tapi ini memang pekerjaan saya dan kewajiban saya untuk merawat Bu Dewi, kan?"
"Kamu tidak kesulitan merawat Mama?" tanya Ardi.
"Sejauh ini saya masih bisa menangani Bu Dewi, Tuan."
"Kalau kamu mau mengeluh, mengeluh saja! Aku sangat tahu kalau Mama memang rewel dan menjengkelkan. Aku tidak akan menyalahkan kamu kalau kamu mengeluh sekali dua kali," sahut Ardi.
"Baik, Tuan. Lain kali saya akan mengeluh," timpal Diah. Gadis itu masih sempat tertawa kecil, meskipun wajah Ardi masih dingin seperti biasanya.
Jawaban Diah benar-benar membuat Ardi merasa tenang sekaligus gundah. Sikap Diah perlahan mulai mengusik Ardi. Pria itu menjadi semakin sering memperhatikan CCTV Dan makin sering mengawasi Diah saat bekerja mengurus ibunya.
"Diah benar-benar rajin!" puji Ardi selama pria itu mengawasi Diah melalui CCTV. Di depan Ardi maupun di belakang Ardi, gadis itu tetap rajin seperti biasa dan tidak berusaha mencari muka seperti pengasuh-pengasuh sebelumnya.
"Nyonya, hari ini cuaca sangat cerah!" ucap Diah mencoba mengajak Bu Dewi untuk berbincang.
Bu Dewi justru dengan sengaja mengabaikan Diah. Entah sudah berapa kali Diah terus mengocehkan tentang cuaca cerah pada Bu Dewi, dengan maksud untuk mengajak Bu Dewi menikmati udara segar di luar. Sudah terlalu lama berbaring di ranjang tentunya pasti membuat Bu Dewi bosan. Karena itu, Diah pun berusaha untuk membawa wanita paruh baya itu keluar rumah dan menikmati udara segar di taman belakang yang penuh dengan bunga.
"Apa Nyonya tidak bosan di kamar terus? Nyonya pasti lelah terus berbaring, kan? Bagaimana kalau kita menghirup udara segar di luar?" ajak Diah. Gadis itu tak henti-hentinya mencoba membujuk Bu Dewi untuk menikmati sinar matahari di luar meskipun Bu Dewi tak peduli sedikitpun dengan bujukan dari Diah.
"Aku tidak mau pergi kemanapun! Berhentilah membujukku!" ketus Bu Dewi.
"Tapi taman di belakang rumahnya Nyonya benar-benar indah. Saya sering melihat Mbok Tini yang menyiram bunga-bunga di taman. Sudah banyak bunga yang mekar di sana. Nyonya tidak ingin melihatnya? Saya benar-benar kagum saat melihat taman belakang di rumah Nyonya yang begitu cantik,"ujar Diah.
Bu Dewi memang sudah terlalu lama berbaring di ranjang. Entah kapan terakhir kali wanita paruh baya itu mengurus taman di belakang rumahnya. Sudah lama sekali Bu Dewi tidak melihat bunga-bunga di taman dan menikmati sinar mentari yang menghangatkan. Lama-kelamaan, wanita paruh baya itu perlahan mulai terbujuk oleh Diah.
"Ada banyak sekali bunga di taman belakang. Kapan terakhir kali Nyonya melihat taman di belakang rumah?" tanya Diah.
"Kamu ingin mengejekku? Ini rumahku! Tentu saja aku yang lebih tahu rumahku! Aku juga sering mengurus taman di belakang dulunya! Beberapa bunga di taman juga aku tanam sendiri!" sungut Bu Dewi. Diah mengulas senyum. "Kalau begitu, Nyonya tidak ingin melihat bagaimana keadaan taman sekarang? Mungkin bunga-bunga yang Nyonya tanam sudah tumbuh subur dan menghasilkan bunga yang cantik! Nyonya tidak ingin melihatnya sendiri?"
Akhirnya, Bu Dewi pun berhasil dibujuk oleh Diah. Wanita paruh baya itu mau diajak keluar jalan-jalan di taman belakang rumahnya.
"Bagaimana aku bisa ke sana?" tanya Bu Dewi.
"Kita bisa gunakan kursi roda Nyonya. Mari saya bantu!" Diah dengan sabar dan telaten membantu Bu Dewi untuk duduk di kursi roda.
"Kamu bisa? Kalau aku jatuh bagaimana?" cetus Bu Dewi cemas. Untuk pertama kalinya wanita itu kembali bangun dari ranjang setelah berbulan-bulan.
"Nyonya tenang saja! Saya akan memegang Nyonya dengan erat!" sahut Diah.
Benar-benar sebuah kemajuan pesat, di mana Bu Dewi yang sebelumnya hanya bisa berbaring di ranjang, kali ini sudah bisa duduk di kursi roda dan bergerak ke sana kemari meskipun menggunakan bantuan kursi roda. Bu Dewi sendiri tak menyangka dirinya kini sudah bisa bergerak ke sana kemari meskipun masih menggunakan alat bantu.
"Mari, Nyonya!" ajak Diah sembari mendorong kursi roda Bu Dewi menuju ke taman belakang. Wajah muram Bu Dewi pun perlahan menjadi cerah kembali. Tubuh pegalnya terasa lebih segar. Pandangan matanya juga terlihat lebih cerah. Dari yang biasanya hanya bisa berbaring dan menatap langit-langit kamar, kali ini Bu Dewi sudah bisa menggerakkan beberapa bagian tubuhnya dan menikmati kembali siraman mentari hangat di sekeliling taman yang sejuk nan memanjakan mata.
"Wah! Banyak sekali bunga yang sudah mekar!" gumam Bu Dewi dengan manik mata berbinar.
Diah ikut senang melihat Bu Dewi yang sudah bisa menampakan wajah sumringah di tengah-tengah taman bunga nan indah. "Mau saya bantu memetik bunga? Ada banyak bunga cantik di sini. Nyonya ingin memetiknya?"
Bu Dewi mengangguk dengan antusias. Diah pun bergegas memetikkan beberapa tangkai bunga yang kemudian diberikan kepada Bu Dewi. Bu Dewi mulai aktif menggerakkan jemarinya dan berkeliling ke sana kemari menggunakan kursi roda.
"Tamannya benar-benar cantik! Aku benar-benar rindu," gumam Bu Dewi sembari menatap hari bunga yang ada di tangannya.
Akhirnya usaha Diah merawat Bu Dewi selama ini pun mulai berbuah manis. Sedikit demi sedikit Bu Dewi mulai menunjukkan kemajuan dan perubahan besar. Perlahan, Diah mulai bisa meluluhkan sikap keras dan hati dingin Bu Dewi.
****
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!