Malam ini malam minggu. Aku duduk sendiri di depan meja belajarku. Biasa, mengerjakan tugas kuliah yang tidak pernah ada habisnya. Walaupun mahasiswi fakultas sejarah, selalu saja ada tugas tambahan di rumah. Dan ya, kunikmati saja. Ini memang sudah menjadi pilihanku.
Aku anak tunggal dari pasangan ayah dan ibuku. Ayahku seorang pengusaha tekstil, sedang ibuku merupakan ibu rumah tangga biasa. Walaupun begitu, ibu suka sekali foya-foya. Bersama teman-teman arisannya seringkali membeli pakaian mewah dari butik ternama. Padahal ayahku seorang pengusaha tekstilnya.
Kehidupanku berjalan normal seperti biasanya. Pergi kuliah di pagi hari lalu pulang di siang harinya. Sedang sore hari kugunakan untuk beristirahat di rumah. Mungkin bisa dibilang cupu karena belum pernah mengenal dunia malam. Tapi aku tidak merasa keberatan dengan julukan itu. Toh, aku bahagia dengan kehidupanku sekarang. Bisa kuliah dan mendapat uang jajan saja sudah senang.
"Berakhir sudah! Berakhir sudah!"
Tiba-tiba kudengar suara ayahku yang baru saja pulang dari kantornya. Kulihat jam di meja belajarku sudah menunjukkan pukul enam petang. Entah mengapa malam minggu ini ayah pulang dengan intonasi runyam. Seperti terjadi masalah besar di kantornya.
"Mana Lala?!"
Kudengar dia menanyakanku. Tentu saja aku bisa mendengar jelas suaranya karena ruang tamu dan pintu kamar ini tidak terlalu jauh. Aku pun beranjak keluar untuk memenuhi panggilan ayahku. Tapi, saat membuka pintu, saat itu juga kulihat ibuku berjalan cepat ke arahnya. Aku jadi tidak keluar kamar dan hanya mengintipnya saja. Aku ingin tahu ada apa.
"Ada apa, Pa? Kenapa marah-marah?" Ibuku bertanya dengan lembutnya.
Ayahku terlihat frustasi. Dasi dia kendorkan dengan kasar lalu dibantingkannya ke lantai. Aku pun semakin bingung. Entah hal apa yang meninpanya. Namun, tak lama kemudian sepertinya aku tahu apa alasannya.
"Perusahaan kita pailit. Kita juga belum membayar gaji karyawan dua bulan ini. Kita terjerat banyak utang, Ma! Kita harus segera melunasinya sebelum didemo banyak orang dan masuk penjara!" Ayahku menjelaskan.
"Ap-apa?!"
Bak drama sinetron, ibuku terlihat terkejut sambil membelalakkan matanya. Ibu juga memegang keningnya pertanda pusing yang luar biasa. Dan ya, kedua pasang insan yang berstatus orang tuaku itu tampak kelimpungan memikirkan solusinya. Aku sendiri hanya bisa memerhatikan mereka dari kamar. Aku ingin tahu kelanjutan ceritanya.
"Lalu bagaimana, Pa? Apa yang harus kita lakukan?" tanya ibuku seraya duduk lemas di sofa.
Ayahku masih berkacak pinggang, kelimpungan. Namun, dia kemudian duduk di samping ibuku. "Aku punya kenalan seorang pengusahawan kaya. Dia sedang mencari istri. Apa kita jodohkan saja dia dengan Lala?" tanya ayahku yang membuatku terkejut seketika.
Ap-apa?! Pria tua itu ingin menjodohkanku?!
Tentu saja ucapan ayahku membuatku terkejut tak percaya. Begitu juga dengan ibuku yang terlihat tidak bisa terima. Maklum, aku anak satu-satunya dan juga masih kuliah. Ibu ingin aku bekerja terlebih dulu lalu dipersunting orang. Tapi, ucapan ayah seakan memupuskan harapannya.
"Sebentar." Ayah pun segera menelepon seseorang yang tidak kuketahui siapa. "Halo, Tuan. Apakah Anda sedang sibuk?" tanya ayahku di telepon itu. "Em, tidak. Aku hanya ingin mengundang makan malam. Apakah Anda bisa datang?" tanya ayahku dengan intonasi rendah. Sepertinya seseorang yang ditelepon ayahku itu merupakan orang besar.
Tak lama kemudian kulihat telepon itu diakhiri. Ibu juga segera mendekati ayahku, menanyakan kelanjutan ceritanya dengan harap-harap cemas yang luar biasa.
"Bagaimana, Pa?" tanya ibuku.
Ayah menoleh ke ibu. "Dia akan datang ke sini. Cepat pesan makanan yang enak dan suruh Lala berdandan." Ayah meminta.
Kulihat ibuku mengangguk. Kutahu dia tak berdaya untuk menolak keputusan ayah. Saat itu juga aku kembali ke meja belajarku lalu melanjutkan mengerjakan tugas. Dan benar saja, ibuku datang lalu masuk ke kamar ini. Sedang aku pura-pura tidak tahu apa yang terjadi.
"Lala, segera berdandan. Akan ada yang datang malam ini." Ibu meminta.
Aku menoleh ke arah pintu kamar. "Lala sedang belajar, Ma. Lagipula siapa yang datang? Apakah ada hubungannya dengan Lala?" tanyaku, pura-pura tidak tahu.
Saat itu juga ayahku ikut datang ke kamar. "Calon sumaimu yang akan datang. Cepat berganti pakaian!" seru ayahku.
"Apa?!" Saat itu juga aku tak percaya mendengar kata-kata itu langsung dari mulut ayah.
"Cepat, Lala. Dia tak jauh dari perumahan ini. Lekaslah bergegas," kata ibuku lagi dengan intonasi yang amat berbeda dengan ayahku.
Aku beranjak berdiri. "Apakah Lala harus ikut serta dalam urusan ini?" tanyaku memberanikan diri.
"Lala! Sudah jangan banyak membantah! Cepat ganti pakaian!" Ayahku pun terlihat emosi.
Sejujurnya aku tidak ingin terlibat di dalam urusan ayahku. Tapi kenyataan harus kuterima saat ini. Ayah terang-terangan ingin menjodohkanku dengan seorang pria yang sebentar lagi datang. Tanpa menanyakan aku setuju atau tidak. Ayah benar-benar arogan.
"Lala tidak mau. Titik!" Aku pun membela diri.
Ayah mendekatiku. "Apa?! Jadi kau ingin papa dan mama masuk penjara karena utang?! Cepat ganti pakaian, Lala!" Ayah semakin marah padaku.
"Lala, sudahlah, Nak. Cepatlah berdandan rapi. Jangan mengulur waktu. Kita tidak punya banyak waktu lagi malam ini. Cepatlah." Ibuku membujuk dengan halus.
"Kuliahku setengah perjalanan lagi, Ma. Apakah harus mengorbankan kuliahku?!" tanyaku kepada ibu. Masih ngeyel tidak mau dijodohkan.
"Kuliah bisa dilanjutkan nanti." Ayahku menegaskan.
"Tap-tapi—"
"Tidak ada tapi. Lekas bergegas!" Ayah pun beranjak pergi dari kamarku. Sepertinya memang tidak ada jalan lain untuk keluar dari permasalahan ini.
Begitu arogannya si pria tua itu. Jika dia bukan ayahku, tentunya sudah kuajak berseteru. Namun, sepertinya aku tidak bisa melakukan hal itu. Aku harus tetap bersikap sopan kepada kedua orang tuaku. Jika melawan pun harus dengan cara yang elegan.
"Baik. Kalau ayah tetap memaksa, lebih baik Lala pergi saja dari rumah ini."
Kuambil tas kecilku, ponsel dan juga dompet. Lekas-lekas keluar kamar tanpa memedulikan ayah dan ibuku. Saat itu juga ayahku berteriak kencang memanggil namaku. Namun, tidak kuhiraukan. Aku lekas pergi dari rumah ini. Membuka pintu rumah lalu menuju gerbang depan rumahku. Dan kulihat ayah masih saja mengejarku.
Untung tidak seperti sinetron yang jantungan.
"Lala! Kembali!"
Aku pun melihat ke belakang lagi sambil membuka gerbang rumah. Namun, saat ingin melangkahkan kaki, aku tidak sempat lagi melihat ke depan. Dan kemudian...
"Akh!"
Aku tertumbur seseorang. Aku pun jatuh terduduk di dekat pagar. Pantatku seketika terasa sakit, pinggangku juga ikut ngilu. Malam ini ternyata tidak menyenangkan bagiku.
"Dasar bodoh! Kalau jalan itu pakai mata!"
Aku pun mengumpat sambil memegangi pinggangku. Tanpa melihat lagi siapa gerangan yang kutumbur itu. Tak lama ayahku pun datang dan melihatku jatuh. Tapi bukannya menolong, ayah malah menyambut seseorang yang kutumbur itu.
"Ah, Tuan. Selamat datang."
Terdengar intonasi suara ayah yang semringah. Aku pun melihat siapa gerangan yang kutumbur itu. Dan ternyata...
Saat itu juga aku terkesima dengan ketampanannya. Seorang pria berjas hitam dengan postur tubuh yang proporsional. Dia terlihat elegan dan juga berkelas.
Ya Tuhan, bagaimana mungkin pria seperti ini kukatakan bodoh?
Aku pun menyesal di dalam hati dan ingin segera meminta maaf padanya. Namun...
"Mari, Tuan. Silakan masuk." Ayahku terburu mempersilakannya masuk ke dalam rumah. Sedang ibuku tak lama datang lalu membantuku bangun.
"Lala, cepat masuk. Jangan buat ayah dan ibu malu dengan tetangga." Ibu memintaku.
Sebagai seorang anak, tidak boleh melawan apa kata orang tua. Tapi sebagai seorang anak juga mempunyai hak atas masa depannya sendiri. Aku tetap bersikukuh menolak keinginan ayah. Tapi aku juga tetap hormat kepadanya sebagai orang tuaku.
Kini aku masuk ke dalam rumah dengan dibantu oleh ibu. Berusaha mengalah walau nyatanya arogansi itu masih ada di dalam diriku. Entah mengapa hatiku tidak bisa menolak saat ibu bicara. Jadi ya sudah, nikmati saja.
Beberapa menit kemudian...
Aku dan ibu sedang berada di dapur. Ibu tampak sibuk menyiapkan kue lapis legit untuk tamu itu. Aku tidak tahu siapa dirinya karena belum sempat berkenalan. Dan ya, ibu memintaku untuk membuatkan teh untuknya.
"Cepat buatkan teh yang manis dan juga bawa kue ini ke ruang tamu."
Ibu begitu antusias menjamu tamu yang datang. Aku pun hanya bisa menurut padanya. Tapi, aku juga merasa malu jika harus mengantarkan kue ini ke ruang tamu. Pria itu sempat kuumpat dengan kata-kata tidak mengenakkan tadi. Aku pun jadi malu sendiri untuk menampakkan muka ini.
"Ma, Lala malu. Mama saja ya." Aku menolak menyajikan hidangan ini.
"Kau ini!"
Ibuku pun marah seketika. Dia segera memberikan nampan berisi hidangan itu ke tanganku. Ibu pun mendorongku keluar dari dapur ini. Sepertinya ibu mulai emosi karena aku tidak menurut padanya. Enthalah, aku juga tidak tahu.
Lantas dengan malu-malu aku datang ke ruang tamu lalu menghidangkan teh beserta kue ke atas meja. Aku tidak berani menatap tamu ayahku. Aku malu karena habis mengumpatnya. Sedangkan dia seperti memerhatikanku.
"Silakan, Tuan."
Lekas-lekas aku pergi lalu masuk ke kamarku. Menutup pintu lalu menarik napas dalam-dalam agar tenang. Masih teringat jelas di benakku jika tadi aku mengumpatnya. Tanpa melihat lagi bagaimana rupanya yang tampan dan juga elegan. Dia sepertinya bukanlah pria sembarangan.
"Lala!" Tak lama ibu pun mengetuk pintu. Aku juga segera membukakannya. "Ma?"
"Lala, cepat berganti pakaian lalu berdandan," kata ibuku.
Sontak aku terperangah seketika. "Maksud Mama?"
Ibu tidak menggubrisku. Dia segera membuka lemari pakaian lalu memilih-milih baju yang ada di dalamnya. Ibu lalu meletakkan salah satu gaunnya ke atas kasur.
"Pakai gaun ini. Ini tampak cantik untukmu." Ibu menyuruhku untuk memakainya.
Sontak firasatku jadi tak enak karena hal itu. Jangan-jangan pria yang di ruang tamu adalah orang yang ingin dijodohkan denganku.
Ya Tuhan, tidak mungkin ....
"Cepat, Lala!"
Ibuku pun seperti tidak sabar. Dia segera mengambil gaun itu lalu memintaku untuk memakainya segera. Tak tahu mengapa aku seperti tidak bisa menolaknya. Kupakai gaun yang dipilihkan ibu, lalu ibu pun menarikkan kursi untukku. Ibu memintaku duduk dengan tenang lalu mengambil peralatan make up yang ada. Ibu mendandaniku.
"Berlakulah anggun di hadapannya. Dan jangan tunjukkan sifat kekanak-kanakanmu."
Begitulah pesan ibu sambil terus mendandaniku. Aku pun hanya bisa pasrah padanya.
Sepuluh menit kemudian...
Ibu membawaku ke ruang makan dan memintaku untuk segera menyusun makanan yang telah dipesan. Ibu memesan banyak makanan dari restoran yang tak jauh dari komplek perumahan. Dan ya, aku diminta oleh ibu untuk menyajikannya dengan rapi selesai berdandan. Tapi sungguh, gaun yang kukenakan ini membuatku begitu risih. Bagaimana tidak, ketiaknya kelihatan seperti ini. Gaun tanpa lengan yang memperlihatkan lipatan ketiakku.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!