NovelToon NovelToon

PENYESALAN MAJIKAN TAMPAN

Rindu

"Tuan, aku bawakan sarapan pagi untukmu."

Seorang wanita berpakaian pelayan datang ke kamar seorang tuan muda yang sedang bermalas-malasan di bawah selimutnya. Tampak si pelayan perempuan itu meletakkan sarapan pagi yang telah ia bawa ke atas meja. Tapi, sang tuan muda seperti enggan menanggapinya.

Pelayan perempuan itu bernama Sona. Ia pun merasa sungkan untuk menyapa kembali majikannya. Pada akhirnya ia undur diri dari kamar majikannya. Pergi menuju pintu lalu menutupnya kembali. Saat itu juga sang tuan muda menoleh ke arah pintu kamarnya. Ia tampak tak peduli dengan wanita yang baru saja masuk ke dalam kamarnya. Membawakan sarapan pagi untuk memenuhi kewajibannya.

Pada akhirnya sang tuan pun mulai bosan dengan kehidupannya. Ia segera menelepon teman-temannya lalu bergegas pergi dari rumah. Tanpa memedulikan sarapan pagi yang telah disiapkan untuknya.

.........

"Sona ...."

Semilir angin siang ini menjadi saksi akan penyesalan seorang pemuda yang tengah duduk diam di teras tempat pelatihannya. Bayang-bayang akan wajah seseorang itu terlintas di benaknya. Seorang gadis yang telah berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan membantunya. Gadis itu bahkan rela mengerjakan apa saja yang ia pinta.

Gadis itu adalah pembantu di rumahnya. Rumah besar yang hanya ia dan bibinya tempati. Tapi semenjak kedatangan Sona, suasana di rumah itu terasa berbeda sekali. Dan kini Sona sudah menyelesaikan kontrak kerjanya. Ia telah kembali ke kampung halamannya.

Hampir setengah tahun bersama, Jun hanya bisa memperhatikan Sona dari jauh. Hampir setengah tahun bersama, Jun juga hanya bisa diam saat ada temannya yang mencoba mendekati Sona. Jun merasa gengsi untuk mengakui perasaannya. Namun, kini perasaan itu seakan membelenggunya. Jun merindukan sosok Sona.

"Tuan, badan Tuan demam. Baiknya kita panggilkan dokter."

Matanya, rambutnya, paras cantiknya, dan aura keibuan itu bersinar terang menyilaukan pandangan mata Jun. Namun sayang, lidah Jun selalu saja berkeluh saat hendak mengungkapkan kata cinta. Ia tahu jika gadis bernama Sona itu tidak hanya membutuhkan seseorang yang dapat menjadi sandaran baginya. Tetapi juga dapat melindungi dirinya dari segala macam bahaya.

Kini Jun tinggal sementara di tempat pelatihan ilmu bela diri dan senjata api. Ia lalui hari-harinya di sana untuk mengasah kemampuan bela dirinya. Jun mengisi hari-harinya untuk melupakan Sona. Namun nyatanya, hati itu tidak dapat berbohong. Jun merindukan Sona.

Malam harinya...

Sebuah rumah berdinding bata menjadi saksi kehidupan kakak-beradik miskin yang tinggal di salah satu desa terdekat ibu kota. Di mana di rumah tersebut hidup seorang ibu tunggal bersama ke tiga anaknya. Anak pertama bernama Sona, berusia dua puluh tahun. Anak ke dua bernama Yana berusia lima belas tahun. Dan anak ke tiga bernama Mina, sepuluh tahun. Mereka sangat akur sebagai kakak beradik. Sona, sang kakak pun begitu mengasuh adik-adiknya. Mereka hidup damai walau dengan kondisi yang kekurangan.

"Kakak." Yana mendekati Sona yang sedang menidurkan adik bungsunya, Mina.

"Ada apa, Yana?" tanya Sona.

"Kakak, mata Yana sakit. Lampu di rumah kita belum hidup juga. Yana belajarnya jadi perih," adu sang adik sambil mengucek matanya.

Sona terdiam. Ia tahu jika adiknya butuh penerangan untuk belajar. Tapi, ia juga tahu jika belum membayar listrik beberapa bulan terakhir. Sisa uang gaji Sona digunakan untuk membayar utang dan juga sekolah adiknya. Sona pun terdiam memikirkan hal ini.

"Nanti besok Kakak ke PLN ya. Sekarang Yana istirahat saja. Lanjutkan belajarnya besok pagi," kata Sona kepada adiknya.

"Baik, Kak!" Yana pun menurutinya. Ia kemudian lekas tidur di samping adik bungsunya. Memejamkan mata setelah belajar sebentar.

Ketemu

Aku harus mencari pekerjaan lain demi adik-adikku.

Sona tergabung dalam sebuah agensi pembantu rumah tangga. Dan sudah sebulan ini ia belum mendapat panggilan lagi. Sedang kebutuhan sehari-hari tidak bisa menunggunya mendapatkan pekerjaan. Sona pun harus berpikir ulang agar bisa mendapatkan uang. Ia tidak bisa tinggal diam.

Pagi harinya...

Kehidupan akan terus berjalan apapun yang terjadi. Berbagai kesusahan hidup harus tetap disyukuri. Begitu juga dengan sang ibu yang baru saja mendapat upahan bekerja di kebun karet yang ada di belakang rumah. Walaupun tidak banyak, tapi itu sudah cukup untuk membeli lauk pauk sehari-hari. Dan ibu Sona begitu mensyukurinya.

Sona sendiri ikut membantu tetangganya berjualan sarapan di pasar. Ia melakukan hal itu untuk mendapatkan sedikit uang. Tak lain tak bukan untuk membayar denda keterlambatan pembayaran listrik rumahnya. Dan setelah pukul sepuluh pagi, ia pun pamit pulang lalu pergi ke kantor PLN terdekat. Tapi, sesuatu terjadi saat ia mengantri. Sona bertemu dengan seseorang yang dikenalnya.

"Sona." Seseorang menyapa dirinya.

Sona yang tengah duduk itu menoleh ke asal suara dan melihat siapa sosok yang berjalan mendekatinya.

"Tito?"

Sona pun tidak percaya atas kehadiran Tito di kantor PLN yang ada di desanya. Sona berusaha memastikan jika yang dilihatnya memang benar Tito. Pemuda yang pernah bertemu dengannya di rumah Jun kala itu.

Pemuda itu memang benar adalah Tito. Teman dari teman Jun yang pernah datang ke rumah Jun saat Sona bekerja di sana. Dan entah mengapa Sona bertemu lagi dengan Tito di kantor PLN yang ada di desanya. Tito pun kemudian duduk di samping Sona. Yang mana kebetulan kursi di samping Sona kosong.

"Kau ada urusan apa datang ke sini, Sona?" tanya Tito kepada Sona.

Tampak wajah berbinar yang terpancar dari Tito saat melihat Sona kembali. Ia seperti melihat kekasihnya sendiri.

"Aku ... aku ingin membayar denda tagihan listrikku," jawab Sona sedikit ragu.

Tito mengangguk. "Boleh kulihat nota keterlambatannya?" tanya Tito lagi.

Sona menelan ludahnya. Ia merasa segan untuk memberikan nota itu.

"Tak apa." Tapi Tito meyakinkan jika hal itu tidak apa-apa baginya. Sona pun akhirnya memberikannya.

"Telat hampir tiga bulan, ya?" Tito melihat nota keterlambatan pembayaran listrik milik Sona. "Sebentar."

Ia kemudian beranjak bangun lalu menuju ke kasir. Tito pun mengeluarkan sejumlah uang untuk membayar keterlambatan itu. Dan tak perlu menunggu lama, Tito pun melunasinya.

"Sona, ini." Tito memberikan nota pelunasan kepada Sona.

"Tito—"

"Tak apa, Sona." Tito pun tersenyum. Ia tidak mempermasalahkannya.

Saat itu juga Sona merasa tidak enak hati sendiri karena Tito telah membantunya membayarkan listrik. Bagaimanapun Sona dan Tito belum terlalu dekat. Ini adalah pertemuan ke tiga mereka. Keduanya belum banyak bertemu dan bersapa.

"Rumahmu di mana? Boleh kuantarkan pulang?" Lagi-lagi Tito bertanya kepada Sona.

Sona menjadi tak enak sendiri. "Tak jauh dari sini, kok," jawabnya. "Em, kalau begitu terima kasih, ya. Aku akan menggantinya nanti." Sona ingin berpamitan pergi.

"Tunggu." Tito pun segera menahannya. "Aku antarkan kau pulang, ya. Boleh?" Tito pun menawarkan dirinya.

Sontak Sona jadi bingung sendiri. "Tapi ...." Bola matanya bergerak ke sana ke mari.

"Tak apa. Aku bawa mobil. Jadi kau tidak akan kepanasan nanti. Ayo!" Tito pun mempersilakan Sona berjalan duluan di depannya.

Kontak Batin

Sona ragu untuk menerima tawaran dari Tito. Tapi ia tidak enak hati karena Tito telah membayarkan iuran listriknya. Mau tak mau ia pun menerimanya.

Lantas keduanya berjalan bersama menuju parkiran. Tito pun membukakan pintu mobilnya untuk Sona. Sona pun segera masuk ke dalamnya. Keduanya melaju ke rumah Sona yang tak jauh dari sana. Di bawah sinar mentari yang menghangatkan menjelang siang.

Sementara itu di tempat pelatihan...

Jun tiba-tiba saja menerima pukulan keras dari lawannya saat berlatih tarung bersama. Tampak pemuda berkulit putih itu seperti kurang konsentrasi untuk menghindari serangan. Sang pelatih pun segera mendekatinya.

"Kau tak apa, Jun?" Teman berlatih Jun pun tak enak sendiri kepadanya.

"Tak apa." Jun tampak memegang pipinya.

Sang pelatih pun segera mengambil kendali. "Baik, latihan hari ini selesai. Kalian beristirahat dan asah kemampuan sendiri," perintah sang pelatih kepada anak didiknya.

"Baik, Kapten."

Para anak didik tempat pelatihan pun mengiyakannya. Setelah semuanya bubar, sang pelatih mendekati Jun.

"Kau baik-baik saja, Jun? Hari ini seperti kurang konsentrasi. Apa yang terjadi?" tanya sang pelatih yang tampak khawatir.

Jun mengusap-usap pipinya sendiri untuk menghilangkan rasa sakit. "Tak apa, Kapten. Mungkin hanya sedikit kurang tidur," jawab Jun sambil mengalihkan rasa sakit di pipinya.

Sang pelatih memberikan salep pereda sakit kepada Jun. "Apakah ada sesuatu yang kau pikirkan?" tanya sang pelatih kepada Jun.

Saat ditanya, saat itu juga Jun terdiam. Ia seperti bingung harus menjawab apa. "Mungkin hanya rindu rumah," timpal Jun ragu.

Sang pelatih pun tampak mengerti. Ia kemudian mengajak Jun untuk minum teh bersama. "Mungkin yang kau rindukan adalah isi rumahnya. Bukankah begitu?" Pelatih menerka apa yang dipikirkan oleh Jun.

Jun terdiam seketika. Tak bisa ia pungkiri jika memang merindukan isi dari rumah itu. Seorang gadis yang pernah mengisi rumahnya dengan ketulusan. Siapa lagi kalau bukan Sona seorang. Lantas Jun pun terdiam beberapa saat. Ia melemparkan senyuman. Saat itu juga sang pelatih mengerti kerisauan yang dialami Jun.

"Kau boleh pulang ke rumah. Sudah tiga minggu juga di sini. Temuilah apa yang menjadi pikiranmu." Izin pun akhirnya didapatkan oleh Jun.

Tanpa terasa sudah tiga minggu Jun tinggal di tempat pelatihan sejak meninggalkan rumahnya. Kontrak kerja Sona yang berakhir dengan pihak agensi, membuat Sona tidak bisa bekerja lagi. Sedang Jun merasa gengsi untuk memperpanjangnya. Alhasil Sona pun belum dapat pekerjaan kembali dalam sebulan ini. Ia masih menantikan panggilan selanjutnya.

Pada akhirnya Jun pun bergegas untuk kembali ke rumahnya. Pelatihan tiga minggu ini akan ia akhiri demi menemui Sona seorang. Jun pun seperti mendapat restu dari pelatihnya. Sehingga hal itu membulatkan tekadnya untuk menemui Sona. Tentu saja ia tahu di mana rumah Sona berada. Jun telah mengetahuinya dari data pribadi Sona sendiri. Dan Jun akan segera ke sana.

Belasan menit kemudian...

Sona baru saja sampai di depan rumahnya. Tito pun memerhatikan rumah Sona tersebut. "Kau tinggal di sini?" tanya Tito kepada Sona.

Sona mengangguk.

"Apakah lain kali aku boleh mampir ke sini?" Tito bertanya lagi kepada Sona.

Sona tersenyum. "Silahkan." Sona pun mengiyakannya.

"Hm, baiklah kalau begitu." Tito membalas senyuman Sona.

Tito merasa senang karena mendapatkan izin dari Sona. Ia kemudian berpamitan yang disambut lambaian tangan dari Sona. Dan entah mengapa saat itu juga terasa berat baginya untuk meninggalkan gadis ini.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!