NovelToon NovelToon

Sewindu Bersama

Bab 01 Secepatnya Bercerai

“Saya akan ceraikan istri saya segera. Jadi mohon berikan restu untuk hubungan kami berdua.”

Reksa menatap lekat perempuan paruh baya di depannya itu. Kata-katanya tadi adalah kesungguhan yang ingin dia tunjukkan agar Halimah percaya. Selama hampir 6 bulan ini Reksa tidak main-main dengan putrinya.

“Mas Reksa, Ibu mau percaya dan mengizinkan kalian memiliki hubungan setelah kamu dan istrimu bercerai. Jangan membuat posisi Eva sulit. Apalagi dia adalah sekretarismu di kantor,” balas Halimah kukuh pada pendiriannya.

Halimah mengakui bahwa Reksa adalah laki-laki yang baik. Selama ini membantu keluarganya menghadapi kesulitan ekonomi.

Eva adalah tulang punggung keluarga setelah kematian ayahnya. Dia harus membiayai pendidikan adiknya yang masih SMA dan mengobati Halimah yang terserang penyakit gagal ginjal, yang mengharuskannya cuci darah setiap minggu. Belum lagi cicilan rumah dan utang yang ditinggalkan untuk perawatan ayahnya yang meninggal karena penyakit kanker.

Semua itu tidak bisa Eva hadapi sendiri. Apalagi dia belum setahun bekerja setelah lulus kuliah, posisinya belumlah menjanjikan gaji yang besar untuk menutupi kebutuhan. Disaat itulah Reksa datang seperti pahlawan. Memberikan bantuan juga dukungan emosional yang Eva butuhkan.

“Bu, kami gak macam-macam di kantor ataupun di luar. Kami janji. Mas Reksa minggu ini akan berbicara dengan istrinya dan mengajukan perceraian ke pengadilan,” ucap Eva meyakinkan ibunya.

“Eva, kamu tahu kan orang akan berpikir apa soal hubungan kalian? Kamu akan mendapatkan stigma buruk sebagai perusak hubungan bosmu dengan istrinya. Ibu menghargai semua kebaikan Mas Reksa. Tapi Ibu tetep gak akan memberi restu sebelum mereka bercerai,” tegas Halimah.

Reksa menghela napas. “Saya mengerti maksud Ibu bagaimana. Hubungan saya dengan istri sudah lama berjalan tidak baik dan semua orang sudah mengetahuinya. Saya juga tidak ingin membuat Eva mendapatkan banyak hujatan karena memiliki hubungan dengan saya. Makanya saya akan kembali lagi meminta izin setelah resmi bercerai,” pungkas Reksa.

Malam itu Reksa pulang dengan sedikit perasaan kecewa menggantung di hatinya. Hubungan yang dia harapkan belum bisa diwujudkan karena masih terhalang masa lalu yang belum selesai. Dia harus segera berbicara dengan Kay tentang hubungan mereka yang sudah tidak bisa dipertahankan lagi.

“Hati-hati di jalannya ya, Mas. Kalau udah sampai rumah nanti kasih tahu,” ucap Eva saat mengantar Reksa ke mobil.

Senyuman manis merekah dibibir perempuan tersebut. Reksa membalasnya dengan anggukan, kemudian masuk ke dalam mobil. Ingin rasanya memeluk Eva dan memberikan kecupan perpisahan. Namun, Reksa tidak pernah menyentuhnya sama sekali selama ini. Mengerti bahwa Eva akan sangat dirugikan dengan semua keinginan di kepala Reksa.

Walaupun terkadang rasanya dia ingin melakukan hal yang lebih dari sekadar mengantarkan pulang dan makan bersama, Reksa harus bisa menahannya. Padahal sudah hampir dua tahun ini, Reksa dibiarkan seperti laki-laki lajang yang fakir cinta oleh istrinya. Kay menolak disentuh. Dia terlalu sibuk dengan dunianya.

“Aku janji akan segera meresmikan hubungan kita. Ibuku juga sepertinya suka dengan kamu. Malam ini atau besok aku akan bicara dengan Kay,” ucap Reksa dari balik kemudi berbicara pada Eva yang masih berdiri di halaman. Menunggu Reksa menghilang di jalanan.

“Aku serahkan semuanya sama Mas Reksa,” balas Eva sambil tersenyum.

Kendaraan tersebut kemudian mulai berjalan meninggalkan petak halaman tempatnya parkir. Mulai menyatu dengan mobil lain di jalanan. Memasuki jalan utama Jakarta yang belum surut dari kemacetan. Mobil terhenti karena lampu merah di depan.

Ponsel yang Reksa simpan di phone holder pada dashboard berbunyi. Menampilkan nomor asing yang tidak dikenalnya. Sesaat Reksa hanya terpaku dan menatap layar yang menyala, ragu untuk mengangkatnya. Tapi sedetik kemudian telunjuknya sudah memencet tombol terima. Suara berat seorang pria terdengar dari balik panggilan. Memberitakan hal yang begitu mengejutkan.

“Terima kasih untuk informasinya, Pak. Saya segera kesana,” ucapnya penuh kepanikan.

...****************...

Suasana ballroom hotel tampak meriah. Tampak band ibukota sedang menghibur dan beberapa orang ikut berdendang bersamanya. Lagu kangen dari Dewa 19 yang dibawakan oleh sang vokalis mampu membuat penontonnya ikut bernyanyi. Mengenang kegalauan masa lalu dan bernostalgia.

Acara ulang tahun perusahaan kali ini sangat meriah. Jelas saja karena pencapaian dan keuntungan bisnis tahun ini begitu melesat. Salah satu yang paling berjasa dalam menaikan pencapaian tersebut adalah suksesnya tim marketing, khususnya brand manager yang membuat nama Paradia Cosmetics melambung dan menjadi salah satu brand lokal terlaris sepanjang tahun. Strategi bisnis, marketing, dan campaign di sosial media yang gencar membuat produk-produknya terkenal di masyarakat.

Orang yang paling mendapat sorotan tahun ini atas keberhasilan tersebut adalah Kayfa Anantari, Senior Associate Brand Manager jenius yang sangat berjasa dan bekerja keras selama setahun kebelakang. Kemampuannya melakukan promosi dan ekspansi di pasar yang tepat, membuatnya banjir pujian, bonus, dan juga kesempatan karir yang cemerlang. Diusianya yang baru saja 29 tahun, Kay sudah menggenggam karirnya yang begitu gemilang.

“Nyanyi dong kayak orang-orang, bukan kayak cewek galau diem dipojokan gini!” Tasya menghampiri Kay yang duduk sendirian di salah satu meja perjamuan. Agak belakang dan jauh dari keramaian panggung tempat penyanyi sekarang sedang berimprovisasi.

“Males ah! Gak ada energi gue nyanyi lagu-lagu roman picisan kayak gitu,” balas Kay sekenanya.

“Kenapa? Buat lo romance already dead, ya?” Tasya menyindir dan terkikik geli.

Kay mengedikkan bahu. “Gak zaman cinta-cintaan. Sekarang zamannya kerja kerja kerja sampe sekaya Nagita Slavina.”

“Bitter banget, Bu! Padahal lo masih bisa cinta-cintaan sama Pak Suami. Malah memilih jalan sulit kerja sampe tipes. Awas lho, suami lo udah kaya raya begitu nanti hartanya dinikmati cewek baru yang ganjen. Apalagi suami lo tampangnya gak main-main. Bakal jadi inceran kucing garong. Rugi dong lo yang berjuang dari nol gak kebagian apa-apa.”

“Ya biarin aja. Gue juga punya duit kok. Ngapain harus minta-minta sama dia? Najis! Pake aja semua duitnya buat tuh bocah pelakor,” ucap Kay tidak terlalu menanggapi. Tanpa sadar membocorkan rahasia yang disimpannya rapat.

“Serius lo, Kay? Lo gak apa-apa si Reksa ada main sama cewek lain? Jadi gosip kalau dia ada main di belakang lo itu beneran?” Tasya terlihat kaget mendengar jawaban enteng sahabatnya. Padahal tadinya dia hanya sedang bercanda saja terkait hubungan Kay dengan Reksa dengan memanas-manasinya.

Kay mengangguk, kemudian menyesap champagne yang sedari tadi di mainkannya berulang. Rasa manis, pahit, dan sengatan di tenggorokannya sedikit meredakan canggung karena pertanyaan Tasya. Sebelumnya dia tidak pernah bercerita pada siapapun mengenai kondisi rumah tangganya. Meskipun sepertinya banyak orang yang sudah tahu, terutama orang-orang terderkat, yang bisa menyimpulkan sendiri sedingin apa kehidupan pernikahannya dengan Reksa.

Mungkin.

“Anak mana? Lo pernah ketemu sama ceweknya? Lo tahu dari mana Reksa selingkuh?” Tasya mulai tampak serius membahas hubungan sahabatnya. Sementara Kay masih sibuk menenggak minumannya hingga tak bersisa.

“Gue tahu pas gak sengaja ketemu di mall dua bulan lalu. Gue pura-pura aja gak tahu dan melanjutkan hidup kayak biasanya. Tapi ada temen gue yang kerja satu perusahaan sama si Reksa bilang, banyak gosip-gosip soal dia pacaran sama sekretarisnya sendiri tersebar,” jawab Kay masih terlihat santai.

“Dua bulan lalu dan lo pura-pura gak tahu, Kay?” ucap Tasya kaget dan setengah berteriak.

Kay mengangguk. “Ya terus gue harus gimana? Mencak-mencak dan jambak-jambakan kayak video viral di internet? Ngapain? Ngabisin energi aja!” Kay terkekeh, dia mengambil satu lagi gelas champagne yang masih terisi di tengah meja.

“Tapi dia selingkuh lho, Kay. Lo istrinya. Kalau lo marah juga pantes-pantes aja. Padahal dulu gue kira si Reksa cuma gila kerja aja bukan gila cewek. Hubungan pernikahan kalian dulu romantis banget kayak cerita bucin FTV,” seru Tasya heboh. “Udah, Kay. Mending lo cepet-cepet sewa lawyer top dan gugat cerai aja tuh cowok anjing,” lanjutnya berapi-api.

“Gak ah. Masa gue duluan sih yang ngajuin cerai? Gue merasa jadi pihak yang kalah karena bilang bubar duluan. Biarin aja dia yang gugat cerai. Biar gue ada bahan buat hina dia ‘Lo kan dulu yang ngajak gue kawin sampe ngebujuk dan mohon-mohon. Sekarang lo sendiri yang ngajuin cerai. Cowok sampah yang gak konsisten!’ gue gak sabar buat bilang itu di depan muka dia,” kata Kay sambil terkekeh.

“Ini si Reksa yang gak waras apa lo yang gak waras sih?” tanya Tasya bingung dengan tanggapan yang diberikan oleh Kay. Dia sepertinya tidak terganggu dengan kenyataan suaminya memilih perempuan lain dan malah menantikan perceraian agar bisa memaki sepuas hati.

Kay mengedikkan bahunya dan menyesap lagi gelas keduanya hingga habis. Rasa pahit masih bersisa dimulutnya. Tapi dia merasa sangat puas setelah mengutarakan isi pikirannya pada Tasya. Selama dua bulan terakhir ini, pikiran tentang Reksa yang bermain di belakangnya hanya mampu dipendam sendiri.

“Lo banyak banget minumnya. Bukannya lo masih minum obat anti-depresan, ya? Jangan minum kebanyakan nanti lo keracunan!”

“Udah nggak kok. Gue udah berhenti minup obat dan ke psikolog. Gue udah bukan cewek depresi kayak dulu lagi.”

Tasya menatap Kay dengan pandangan bingung dan juga kasihan. Apa mungkin Kay meminum banyak minuman beralkohol tersebut karena ingin meluapkan kekesalan karena suaminya selingkuh? Padahal selama ini Kay jarang sekali menyentuh minuman tersebut. Dia harus selalu tampak waras, kuat dan tidak terkalahkan sebagai gambaran wanita karir yang sukses dan manager yang bisa diandalkan.

“Hey! Gue gak apa-apa. Lo jangan mikir gue jadi depresi karena lihat Reksa punya cewek simpenan. Gue pernah melewati hal yang lebih buruk dari ini,” ucapnya sambil tersenyum dengan meyakinkan.

Tasya hanya menghela napas dan menyerah. Dia sudah membujuk bahkan memaksa Kay untuk ikut pulang bersamanya semenjak 10 menit yang lalu. Sialnya Tasya berurusan dengan si keras kepala seperti Kay yang tidak akan goyah dan menurutinya. Temannya itu akan tetap melakukan hal yang sudah dia putuskan. Kay akan pulang sendiri.

“Sya, I’m okay. Aku gak mabuk. Tipsy juga nggak. Lihat! I’m sober, got it?” Kay meyakinkan temannya itu. Dia memang tidak mabuk. Sama sekali tidak. Hanya segelas champagne tidak membuatnya kehilangan kesadaran.

Setelah berpamitan pada Tasya yang terlihat enggan dan khawatir, mobil Kay langsung tancap gas dari parkiran. Menuju jalanan dipenuhi lautan kendaraan yang hingga jam delapan malam belum menyurut dari jalanan.

[Reksa: Jangan pulang terlalu malam! Aku mau ngomong hal penting sama kamu.]

Kay melihat sekilas pesan yang sampai di ponselnya ketika masih terjebak di lampu merah. Dengusan kecil terdengar saat Kay tahu siapa dan apa yang tertera dilayar ponsel. Dia tidak memedulikannya, melemparkan ponsel mahal tersebut ke bangku penumpang di sebelahnya dan mengemudi kembali setelah lampu hijau menyala.

Rupanya sekarang sudah waktunya bagi Reksa untuk mengatakan perpisahan mereka. Menggugatnya cerai. Mau apalagi dia selain membicarakan itu? Selama hampir bertahun-tahun mereka tidak pernah lagi membicarakan “hal penting”. Mereka nyaris asing satu sama lain. Sibuk dengan pekerjaan dan dunia masing-masing.

Kay menginjak pedal gas, melajukan kendaraannya semakin kencang. Benar. Dia harus segera sampai dan mengakhiri semua hubungan tidak bergunanya dengan Reksa. Tangannya cekatan mengendalikan setir di jalan berkelok dan mendahului mobil di jalan lurus.

Semakin cepat semakin baik. Seperti halnya perceraian yang harus segera mereka lakukan.

Mobil melaju dengan kecepatan yang tinggi. Tanpa disangka oleh Kay, sebuah truk datang dari arah berlawanan di sebuah belokan. Kay sulit mengendalikan mobil dengan kecepatan seperti itu, hingga akhirnya terpelanting ke kiri jalan. Menabrak sebuah pohon hingga bagian samping kendaraan remuk tak berbentuk.

Kejadian tersebut hanya menyisakan kepulan asap, pecahan kaca, dan nasib yang tidak diketahui dari pengendaranya.

Bab 02 Prioritas

Reksa duduk di kursi dekat ranjang dan menatap lekat sosok yang terbaring tidak sadarkan diri. Luka-luka dan perban membalut perempuan cantik yang selama hampir delapan tahun menjadi istrinya. Baru kali ini Reksa melihat Kay setidak berdaya ini. Berbaring dan tidak membuka matanya sama sekali. Sudah hampir 3 jam berlalu dari operasi yang dijalaninya. Namun Kay belum juga menunjukkan tanda-tanda kesadaran.

Kay mengalami kecelakaan menabrak sebuah pohon karena tidak bisa mengendalikan kendaraannya yang melaju pada kecepatan tinggi di belokan. Nyawanya nyaris hilang ditempat. Untunglah warga yang berada di tempat kejadian segera membawanya ke rumah sakit. Dia segera masuk ke ruang operasi karena pendar ahan yang hebat di kepala dan patah tulang kaki. Sekarang bagian-bagian tersebut terbalut perban berlapis.

Sayangnya meskipun operasi berhasil menyelamatkan nyawa Kay. Rupanya hingga sekarang dia belum mampu membuka matanya. Dokter mengatakan Kay sedang dalam kondisi koma. Mereka tidak tahu kapan dia akan sadar dan terbangun dari tidurnya.

Reksa memejamkan mata dan menghela napas berat. Dia memang sudah tidak sanggup hidup bersama dengan Kay. Tapi bukan seperti ini yang dia harapkan terjadi pada perempuan yang pernah dicintainya sepenuh hati. Bukan nasib buruk yang dia inginkan untuk istrinya yang akan segera dia sematkan “janda” dalam statusnya. Reksa ingin berpisah dengan Kay baik-baik. Tapi dengan kejadian seperti ini, perceraiannya akan tertunda hingga Kay membuka mata.

“Kak, aku dapat info dari Dokter Ilham, yang menangani anestesi Kak Kay tadi di ruang operasi. Beliau bilang ada kandungan alkohol ditubuhnya. Pantes kalau kecelakaan sampai kayak gini,” kata Faza saat masuk ke ruangan. Wajahnya ditekuk dengan perasaan kesal menatap tubuh kakak ipar yang tergolek di ranjang.

“Jangan bilang hal ini sama ibu! Rahasiakan aja kalau Kay kecelakaan karena mabuk,” balas Reksa.

“Kenapa sih, Kak? Ibu harus tahu lah kelakuan menantunya yang makin hari makin liar. Menyetir sambil mabuk sampai kecelakaan. Harusnya mati aja sekalian biar Kak Reksa beneran jadi duda.”

“Faza! Stop doain hal-hal jelek sama Kay! Dia kakak iparmu. Inget itu!”

“Halah! Kakak ipar apaan! Dia banyak nyakitin Kak Reksa, kan? Gak pernah jadi istri yang baik buat Kak Reksa. Selama ini sibuk sendiri sama karirnya sampai melupakan tugas istri dan keluarga. Harusnya Kak Reksa dari dulu ceraikan dia. Sekarang harus terima nasib masih berstatus suami dengan perempuan koma. Mungkin juga dia bakal cacat seumur hidup.”

“Kamu bisa gak sih berempati sedikit dikeadaan kayak gini? Kay baru aja lolos dari maut dan lagi berjuang hidup. Kamu itu dokter, Za. Bisa-bisanya omongan kamu gak terkontrol kayak gitu!”

“Jangan sok ngebela dia deh, Kak! Aku gak akan menaruh empati sama orang yang ngomong jahat dan ngelawan sama ibu. Apalagi dia udah bikin Kak Reksa sakit hati sama kelakuan dan omongannya yang gak bisa diatur itu. Mumpung dia belum sadar, mendingan Kak Reksa nikahin cewek yang kemarin dibawa ke rumah.”

“Aku gak ngerti kenapa kamu sebenci ini sama dia, Za. Harusnya aku yang benci banget dan gak bisa berempati sama Kay dalam keadaan kayak gini karena mengalami langsung gimana pernikahanku berantakan.”

Faza tidak memberi tanggapan terhadap keheranan kakaknya. Alih-alih dia hanya mendengus dan keluar dari ruangan. Ada hal yang sangat dibenci Faza dari Kay. Tapi Reksa tidak boleh sampai tahu itu hingga kapanpun juga. Biar saja kebenciannya juga ikut terkubur dalam ketidaksadaran kakak iparnya.

Hingga pukul tujuh pagi, Kay belum menunjukan tanda-tanda siuman. Dia masih sekaku tadi malam selepas operasi. Reksa juga belum tertidur dari kemarin, masih menunggu keajaiban agar Kay bisa sadarkan diri.

Tubuhnya lelah dan pikirannya riuh. Sebenarnya hal yang diucapkan oleh Faza memang ada benarnya. Harusnya dalam keadaan seperti ini, Reksa segera mendaftarkan perceraian mereka atau mungkin langsung menikahi Eva.

Dengan dalih istrinya koma, bisa menjadi alasan yang baik agar hubungannya bisa berlanjut kejenjang selanjutnya. Tapi sebagian nuraninya tidak sanggup melakukan hal itu. Entah kapan Kay akan sadar. Tapi Reksa harus menyelesaikan semua masalah dengan istrinya itu secara baik-baik.

Pintu ruangan terbuka, dua orang perempuan masuk ke dalam. Wajah khawatir tergurat pada perempuan tua yang sudah setengah bungkuk. Dia berjalan pelan-pelan menghampiri Reksa yang masih setia duduk di kursinya. Di belakang, perempuan muda membantu dan mengiringi ibunya.

“Kay belum sadar juga, Sa? Dokter bilang gimana soal kondisinya?”

Tuti melihat keadaan menantunya yang tergolek tanpa daya. Perban berada di kepala dan kaki. Memar serta luka gores di wajah serta tangannya. Meskipun demikian, wajah menantunya tersebut masih terlihat cantik seperti yang diingatnya. Sejak dulu Kay memang sangat cantik. Pantas saja putranya begitu tergila-gila pada Kay.

“Operasinya lancar. Tapi dokter bilang, Kay mengalami benturan hebat di kepala. Kondisinya menyebabkan dia bisa sampai koma seperti sekarang. Mereka gak tahu kapan Kay bisa sadar,” jelas Reksa.

“Gak apa-apa, Bu. Jangan terlalu khawatir. Aku juga pernah kecelakaan dan gak sadar selama dua hari, kan? Kak Kay juga mungkin gak akan lama lagi sadar,” ucap Willa menenangkan.

Tuti tidak membalasnya. Dia hanya terus menatap menantunya, memijit tangannya yang masih terasa hangat dalam genggaman. Tanda bahwa Kay masih bernyawa. Dia tidak membenci Kay. Meskipun banyak perkataannya akhir-akhir ini telah menyakiti hatinya.

Entah sejak kapan gadis manis yang dulu dikenalnya saat awal menikahi putranya berubah menjadi asing. Kay menjadi sangat keras, ambisius dan liar. Amarahnya juga sulit dikontrol hingga mengeluarkan kata-kata tidak menyenangkan pada semua orang.

“Kamu gak kerja, Sa?” tanya Tuti. Mengalihkan pandangan pada anak pertamanya yang kini duduk berbaring di sofa.

“Aku masih mau nungguin Kay sampai sadar. Mungkin bakal izin kerja hari ini,” jawabnya.

“Kita gak tahu kapan Kak Kay sadarnya, Kak. Mending kerja aja, nanti Kak Reksa malah makin gak bisa kejar kerjaan yang numpuk. Biar aku sama ibu yang jagain di sini.”

“Benar, Sa. Kamu kan orang penting di perusahaan. Kamu dapatkan posisi itu gak gampang. Jangan jadi lalai sama kerjaan kamu. Selama masih ada Ibu dan Willa disini, Kay gak akan kenapa-kenapa. Nanti Ibu kasih tahu kalau Kay sudah sadar,” ucap Tuti.

Reksa diam sejenak, sebelum akhirnya menyetujui perkataan ibunya. Dia akan tetap berangkat ke kantor hari ini. Ada jadwal meeting yang harus dia hadiri terkait kerjasama dengan perusahaan luar negeri untuk ekspor sawit. Reksa tidak mungkin absen untuk menghadiri pertemuan penting tersebut.

Selama ini dia sudah berjuang begitu keras untuk memperoleh posisi sebagai International Business Manager di salah satu perusahaan sawit terbesar di Indonesia. Dia membangun karirnya dari nol hingga sesukses sekarang.

Meskipun ada bagian dihatinya yang enggan beranjak dari sana karena Kay belum juga membuka mata. Tapi pekerjaan sibuk dihadapannya masih menjadi prioritas penting untuk Reksa. Lagipula ibu dan adik perempuannya akan menemani Kay hingga sadarkan diri kembali.

Bab 03 Seandainya

“Aku gak mau punya anak. Sekarang karirku lagi bagus, gak lama lagi aku bakal dapat promosi buat jadi manager.”

Kay menatap Reksa dengan dingin. Tanpa sedikitpun keraguan dihatinya mengatakan hal tersebut. Hatinya sudah kukuh memutuskan tidak ingin memiliki anak di kehidupannya. Makhluk yang berpotensi merusak karir yang gilang-gemilang di masa depan.

“Kay, keputusan kayak gini gak bisa kamu ambil sendiri. Aku suami kamu. Gak bisa kamu bersikap kayak gini tiba-tiba,” balas Reksa kaget dengan pernyataan istrinya.

“Tiba-tiba gimana? Aku kan dari 3 tahun lalu udah kerja dan kita sepakat soal itu. Ya wajarlah menantikan dipromosikan dan dapat karir yang lebih bagus. Sekarang udah sampai sini masa aku harus berhenti karena kamu minta aku hamil terus punya anak sih?”

“Dulu kamu gak pernah bilang kalau kamu gak pingin punya anak. Kita sepakat kamu kerja karena waktu itu kita butuh uang buat lunasin cicilan rumah. Sekarang karirku juga lagi menanjak, Kay. Aku baru balik S2 di Amerika dan perusahaan menjanjikan aku naik jabatan segera. Kamu udah gak perlu kerja lagi kayak dulu.”

“Hey! Ngomong kamu seenaknya banget ya, Sa? Ngerasa kamu doang yang pantas buat dapat karir yang bagus. Terus aku gak boleh gitu punya karir yang cemerlang juga? Kamu mau bikin aku jadi IRT yang gak berdaya kayak dulu? Padahal kamu yang minta-minta aku buat diem di rumah setelah kita nikah. Kamu juga yang mendorong aku biar kerja bantuin perekonomian kita. Sekarang kamu mau nuntut aku lagi buat ngelakuin hal yang kamu mau?”

“Kay, aku berhak nuntut dan minta kamu buat melakukan hal yang aku mau. Aku suami kamu!”

“Enak banget kamu pake status kamu buat nyetir hidupku. Gak boleh ini. Gak boleh itu. Bahkan hakku atas tubuhku sendiri dengan menolak punya anak aja jadi urusan kamu.”

“Itu emang udah seharusnya, Kay. Kita suami istri. Keinginan kamu yang gak mau punya anak itu tanpa persetujuan aku. Hal kayak gitu gak wajar terjadi di hubungan rumah tangga kita.”

“Kalau kamu gak setuju. Ya udah, gugat cerai aja! Aku bakal tunggu panggilan dari pengadilan buat sidang perceraian kita!”

Pembicaraan itu masih membekas diingatan Reksa. Sudah berlalu lebih dari dua tahun semenjak Kay menyatakan keengganannya untuk hamil dan memiliki anak. Perlahan hubungan mereka memburuk, berbanding terbalik dengan karir mereka yang terus merangkak naik.

Kay sudah tidak sama lagi seperti yang diingatnya. Perempuan cantik yang begitu mencintainya itu telah berubah menjadi sosok keras kepala yang hanya memikirkan pekerjaan saja. Saat Reksa meminta Kay untuk membantunya bekerja kala itu, bukan seperti ini yang diharapkannya. Reksa ingin Kay bekerja secukupnya dan lebih mengutamakan keluarga. Mengutamakan suaminya.

Hal yang lebih parah terjadi setelah pertengkaran mereka tentang anak. Kay sama sekali tidak mau lagi disentuh. Membungkam semua muara kepuasan yang dibutuhkan oleh suaminya. Bukan berarti Reksa tidak bisa memaksanya. Beberapa kali dia memang melakukannya. Memperkosa istrinya sendiri. Konyol.

Tapi semua perbuatannya malah membuat Kay semakin jauh darinya. Dia tidak pulang lebih dari dua bulan setelah Reksa memaksa berhubungan. Hingga akhirnya Reksa harus memohon-mohon agar dia kembali ke rumah.

Harusnya dengan perilaku seperti itu saja sudah membuat Reksa mampu mengakhiri hubungan mereka. Tapi dia tidak bisa. Entah kekuatan apa yang terus menariknya beredar di sekitar Kay. Rela menerima perlakuan sedemikian rupa, amarah, hingga tidak mendapatkan kesempatan menuntaskan hasratnya.

Reksa nyaris gila. Dia tidak tahan. Kehidupan pernikahannya semakin hari kian menyedihkan. Dia adalah orang yang menyedihkan. Bisa-bisanya begitu tunduk pada perempuan yang menyayat hatinya berulang-ulang.

“Pak Reksa! Pak! Mas Reksa,” panggil Eva lembut menyadarkan lamunannya yang tiba-tiba mengungkap memori tentang istrinya.

Gadis manis di hadapannya tampak begitu khawatir. Alisnya bertaut dan binar matanya terlihat sendu menatap Reksa. Cepat-cepat ingatan tentang Kay dibuang paksa dari pikirannya. Seulas senyum dia sunggingkan untuk menghilangkan khawatir pada wajah Eva.

“Maaf. Jadinya aku panggil ‘Mas’ di kantor. Habisnya dari tadi Pak Reksa terus melamun. Padahal meeting-nya udah selesai,” ucap Eva menyesal.

“Gak apa-apa. Lagian udah gak ada orang lagi disini. Harusnya aku yang minta maaf karena gak fokus kerja hari ini.” Reksa berdiri dari kursinya kemudian berjalan keluar ruang meeting.

“Pak Reksa pasti kepikiran soal Bu Kayfa, kan? Sampai sekarang dia belum sadar, ya?” tanya Eva berjalan di samping Reksa.

“Nggak. Bukan kayak gitu,” ucap Reksa menatap sekilas Eva. “Mungkin sedikit kepikiran sih. Aku gak menyangka bakal ada kejadian kayak gini pas aku mau ngomongin perceraian sama dia.”

“Pak Reksa pasti khawatir banget. Harusnya gak usah masuk kerja aja dan temani Bu Kayfa sampai siuman.”

Reksa tersenyum. Bisa-bisanya Eva mengatakan Reksa harus menemani istrinya. Padahal dia tahu sendiri bahwa Eva merasa cemburu jika Reksa memperhatikan Kay. Gadis itu pernah mengatakannya beberapa bulan lalu, saat Reksa mengabaikannya karena harus menjemput Kay yang mabuk saat pesta dengan teman SMA-nya.

“Kamu yakin gak akan apa-apa kalau aku temenin Kay?” balas Reksa sambil tersenyum jahil.

Eva menatap sekilas mata bosnya itu dan mengalihkan pandangan ke lantai. “Gak tahu. Tapi kan Bu Kayfa lagi dalam keadaan kayak gitu. Meskipun aku gak mau pisah sama Pak Reksa. Sekarang aku masih gak punya hak apa-apa buat melarang,” jawabnya sendu.

Mereka memasuki lift menuju ke lantai 5, tempat ruangan kerja Reksa berada. Hanya ada mereka berdua di lift sempit tersebut. Reksa memperhatikan sosok Eva yang terpantul dari kaca yang mengelilingi lift. Gadis manis berumur 23 tahun yang pelan-pelan merebut perhatiannya.

Eva terlihat mungil berdiri di sampingnya, wajahnya manis, dan pembawaannya tenang. Sosok yang jauh berbeda dengan Kay yang bagaikan seorang model keluar dari majalah fashion terkenal. Tubuh ramping, kaki jenjang, tubuh yang proporsional. Semua itu ditunjang dengan wajah cantik yang menarik perhatian.

Selama kuliah dulu, Kay adalah incaran semua orang. Primadona jurusan bisnis internasional. Beruntung Reksa mendapatkan perhatian dan cinta darinya. Dulu. Lama sekali berlalu.

Tapi semua hal yang membuat Reksa menjatuhkan hatinya kembali pada seseorang selain Kay, bukan karena paras dan rupa semata. Dia hanya ingin dibuat nyaman dan aman. Selama lebih dari dua tahun pertikaiannya dengan Kay membuat hatinya begitu lelah.

Eva datang seperti penyembuh bagi semua penderitaan dan rasa sepinya. Pelan-pelan fokusnya yang begitu rekat dia tempatkan pada Kay yang berubah memusuhinya, kini diambil alih oleh ketenangan dan kelembutan Eva. Reksa merasa jiwanya bisa terselamatkan jika dia bisa memiliki Eva.

“Aku minta maaf karena belum bisa ngasih kamu kepastian. Sampai kamu merasa gak punya hak apa-apa atas aku,” sesal Reksa. “Aku belum sempat ngomongin perceraian dengan Kay. Sekarang dia malah kecelakaan dan koma,” lanjutnya.

“Gak apa-apa. Aku bakal terus nunggu Pak Reksa kok. Soalnya aku sayang banget sama Pak Reksa,” ucap Eva malu-malu. Dia tahu Reksa memperhatikannya lewat pantulan kaca.

Reksa tersenyum sekilas.

Sayang? Benarkah perasaan itu yang dia rasakan pada Eva? Reksa sendiri bingung. Dia memang begitu nyaman dan tenang berada didekat gadis itu. Terutama saat dimana dia dan Kay sedang bersitegang atau bertengkar.

Dia menginginkan ketenangan itu melingkupi hidupnya. Makanya bersikeras mendapatkan Eva. Tapi, apakah itu perasaan sayang? Kenapa jauh berbeda dengan yang dia rasakan terhadap Kay?

“Aku mungkin gak akan berkunjung dulu ke rumah sampai Kay ada kemajuan. Bilang maaf sama ibu kamu ya jadi gak bisa rajin kesana.”

“Ibu pasti ngerti kok. Jadi gak apa-apa. Pak Reksa fokus dulu aja sama Bu Kayfa.”

“Hmm.. aku akan fokus dulu sama Kay sekarang. Meskipun gak tahu dia sadarnya kapan. Menurutmu dia bakal sadar gak ya dari komanya?”

“Aku kurang tahu. Tapi Pakde waktu dulu kecelakaan dan cedera kepala parah sampai koma, lebih dari dua bulan tetap gak sadarkan diri.”

“Terus habis itu gimana?”

“Pakde meninggal. Keluarganya udah ikhlasin karena sudah terlalu lama ngurusin.”

Reksa diam sejenak. Mendengarkan lift yang berdenting sebelum akhirnya terbuka.

“Eva, seandainya Kay gak sadarkan diri berbulan-bulan. Kamu mau gak nikah siri dulu sama aku?”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!