Suara erangan Bima memenuhi ruangan pribadi di kantornya kala seorang wanita bayaran sedang bermain-main di area terlarang Bima. Wanita bayaran yang sudah lihai itu melakukan tugasnya dengan baik untuk menyenangkan Bima.
Wanita itu mempercepat pergerakan mulut dan tangannya agar Bima segera mencapai puncaknya. Sedari tadi getaran di ponsel Bima ikut menggema disana. Tertera nama sang mama di layar ponselnya.
Namun tidak mungkin Bima mengangkat panggilan dari sang mama di kala dirinya sedang keenakan dengan servis dari wanita bayarannya. Bima memilih mengabaikan panggilan sang mama yang ternyata sudah masuk ke dalam kantornya.
"Kemana kakak kamu itu?" Tanya Luze, ibu kandung Bima.
"Umm, Bang Bima sedang keluar, Tante." Seorang gadis yang adalah sekretaris Bima sekaligus adik sepupunya menjawab dengan gugup.
"Stella! Jangan bohong! Kakak kamu ada di ruangannya kan?" Luze tak mau lagi di bohongi oleh sang putra.
Tiap kali Luze memiliki rencana untuk makan siang dengan Bima, pasti pria itu selalu menghindar. Sebenarnya bukan hanya makan siang biasa, tapi Luze berencana mengenalkan Bima dengan seorang gadis pilihannya.
Bima sudah berusia 30 tahun. Sudah sangat cukup untuk menikah dan memiliki anak. Luze iri pada teman-teman sosialitanya yang selalu bercerita tentang cucu mereka. Luze juga ingin seperti mereka.
"Bima!" Suara Luze menggelegar di ruangan itu.
Kosong.
Tidak ada siapapun disana. Luze menatap Stella.
"Tadi kan aku sudah bilang, Tante. Bang Bima sedang keluar." Stella meringis. Ia menatap rak buku yang terhubung dengan ruang rahasia Bima. Hanya dirinya dan Bima saja yang tahu soal ruang rahasia itu. Termasuk para wanita bayaran Bima.
"Hmm, baiklah! Aku anggap kamu jujur! Sudah berkali-kali aku ingin mengajaknya makan siang. Tapi dia selalu kabur."
Stella mengulas senyum.
"Stell, apa kakakmu itu sedang dekat dengan seorang wanita?" Tanya Luze menyelidik.
"Setahu Stella, Bang Bima sedang tidak dekat dengan siapapun, Tante. Bang Bima selalu sibuk dengan pekerjaannya."
Luze menghela napas. "Itulah kenapa Tante ingin mengenalkan dia dengan anak teman Tante. Sudah saatnya dia berhenti bermain-main. Tante dan Om sudah membiarkan dia memilih jalan hidupnya sendiri untuk menjadi pengacara, sekarang Tante sudah tidak bisa mentoleransi lagi. Dia harus menurut kali ini!"
Stella bergidik ngeri dengan kesungguhan kata-kata Luze. Sudah bisa dipastikan Bima akan dipaksa menikah dengan gadis pilihan Luze.
Usai berbincang sebentar dengan Stella, Luze memilih berpamitan dengan keponakannya itu. Stella mengelus dada setelah kepergian Luze.
Stella menatap tajam ke arah wanita yang baru saja keluar dari ruang rahasia Bima.
"Dimana Abangku?" Tanya Stella ketus.
Sungguh ia tidak menyukai hobi kakak sepupunya yang suka memanggil wanita bayaran di saat jam kantor. Hatinya selalu dag dig dug ketika harus menyembunyikan perbuatan Bima dari semua orang.
"Dia sedang mandi," Jawab wanita bayaran itu.
"Jangan lupa kau keluar dari pintu darurat! Jangan sampai kau terlihat oleh karyawan disini!" Tegas Stella.
"Iya, kau tenang saja! Aku tidak akan mengecewakan Tuan Bima." Wanita itu melambaikan tangannya pada Stella yang menghentakkan kakinya.
Tak lama setelahnya, Bima keluar dari belakang rak buku dengan kondisi sudah segar.
"Abang! Sampai kapan abang akan berbuat begini? Tadi tante Luze datang mencari Abang!" Kesal Stella.
Bima hanya tertawa kecil lalu duduk di kursi kebesarannya. Ia kembali berkutat dengan pekerjaannya.
Bima Antara, adalah putra bungsu dari Danu dan Luze Antara. Keluarganya adalah pemilik Antara Grup yang terkenal seantero negeri. Sebenarnya Bima memiliki seorang kakak laki-laki bernama Bisma. Tapi Bisma meninggal lima tahun lalu karena kecelakaan.
Kini harapan Danu hanyalah Bima yang seharusnya mewarisi perusahaan milik keluarganya. Tapi ternyata, Bima memilih jalan lain. Bima melepaskan perusahaan dan memilih menjadi seorang pengacara perceraian.
Dari pekerjaannya itulah, Bima mulai merubah pandangannya tentang cinta. Bima tidak percaya lagi pada cinta dan pernikahan. Baginya, untuk apa menikah kalau ujung-ujungnya akan datang ke kantornya dan bercerai.
Bima mulai hidup sesuka hatinya. Ia tak ingin dikekang dengan suatu hubungan semu, tapi mendambakan kenikmatan. Alhasil Bima harus memanggil wanita bayaran setiap kali ia ingin menuntaskan hasrat.
Namun jangan salah, Bima sama sekali belum pernah melakukan hubungan intim dengan para wanita bayaran itu. Bima hanya membayar mereka untuk menyenangkan dirinya. Dan ternyata wanita-wanita itu tidak keberatan meski mereka hanya memuaskan tapi tidak terpuaskan.
Stella masih menatap kesal pada sang kakak sepupu. Bima terlihat santai dengan melanjutkan pekerjaannya.
"Kembalilah bekerja, Stell! Aku sudah pesankan makan siang. Kali ini dari restoran Korea. Kau pasti suka kan?"
Bima selalu bisa menyuap Stella dengan hal-hal yang berbau kesukaannya. Sebenarnya tadi Stella akan keluar untuk makan siang bersama karyawan lainnya. Tapi Bima mencegahnya karena tahu sang mama akan datang ke kantornya.
Bima harus membuat Stella berbohong pada Luze agar terhindar dari rencana perjodohan. Ditambah lagi, Bima sudah terlanjur memanggil wanita bayaran, tidak mungkin ia membatalkan gejolak yang sudah sampai di ubun-ubun itu.
Bima butuh pelepasan tiap kali menangani kasus perceraian yang agak berat. Otaknya harus berpikir keras hingga akhirnya butuh pelampiasan untuk membuatnya rileks kembali.
Mata Stella berbinar senang setelah mendapat bayaran dari Bima. "Lain kali belikan aku tiket konser BTS, Bang! Oke? Jangan hanya makanannya saja! Aku juga ingin cuti dan jalan-jalan ke Korea sana, Bang."
Bima menggeleng pelan. "Iya iya, nanti akan kupikirkan."
"Terima kasih, Abangku sayang..." Stella keluar dari ruangan Bima.
Bima kini kembali fokus pada berkas yang tertumpuk di mejanya. Hingga sebuah getaran ponsel kembali membuat konsentrasinya pecah. Sebuah panggilan dari sahabatnya, Daniel.
"Hai, Niel. Ada apa?" Bima menjawab panggilan.
"Bim, apa kau sudah dengar? Aron akan menikah. Dan kita bertiga diundang ke acara pernikahannya."
"Oh ya? Kapan? Dimana?"
"Di Paris. Kita berangkat dua hari lagi dengan jet pribadiku."
Bima tersenyum senang. "Oke!"
Panggilan berakhir. Bima berseru senang dan mengangkat tangannya.
"Akhirnya, aku bisa mengambil cuti dan bersenang-senang," Gumamnya.
#
#
#
"Cuti? Jadi Abang mau cuti dan pergi ke Paris?" Tanya Stella penuh selidik.
"Yups, benar sekali. Kau masih ingat Aron Deroza? Dia temanku saat kuliah di Harvard. Dia akan menikah. Dia menikahi gadis Perancis, jadi kami akan datang kesana."
Stella mencebik. "Apa Kak Arjuna juga ikut, Bang?" tanya Stella penasaran.
Sejak dulu Stella menyukai kawan Bima yang bernama Arjuna. Sayangnya, Bima tidak setuju karena Arjuna terlalu playboy dan pemain wanita.
Bima menjitak kepala Stella. "Kau masih mengharapkan si playboy itu, hah? Stell, carilah pria baik lainnya. Aku tidak akan setuju kau berhubungan dengan dia!"
Stella berdecih. "Apa bedanya Abang sama kak Arjuna? Kalian sama saja kan?"
Bima merangkul adik sepupunya yang baru berusia 23 tahun itu.
"Tentu saja berbeda, Stella sayang. Arjuna adalah pemain wanita. Sedangkan Bima, hanya membayar wanita untuk memuaskannya. Oke?"
Stella menepis tangan Bima. "Terserah Abang saja! Jadi, Abang akan pergi selama berapa hari?"
"Hmm, mungkin satu minggu. Atau mungkin juga lebih. Disana aku harus bersenang-senang dulu kan?"
Lagi dan lagi Stella mencebikkan bibirnya. Ia harus pasrah karena harus dilimpahi banyak pekerjaan Bima selama pria itu ada di Paris.
#tbc
Hari ini Bima akan bertolak ke Paris bersama dengan kedua sahabatnya, Daniel dan Arjuna. Mereka adalah sahabat Bima saat sama-sama menimba ilmu di Harvard. Persahabatan mereka masih terjalin dengan baik hingga sekarang.
Sebelum pergi, Bima menyelesaikan pekerjaannya terlebih dulu sebelum menyerahkan semua pada sang asisten, Allan. Bima terlihat menandatangani beberapa berkas milik kliennya.
Di depannya, Stella menekuk wajah karena akan ditinggal oleh sang kakak bersama dengan Allan saja di kantornya. Ditambah lagi, Bima sama sekali tidak memberitahu kedua orang tuanya tentang kepergiannya ke Paris. Alhasil, Stella kembali menjadi tameng untuk Bima.
"Aku akan membawakan oleh-oleh untukmu, oke?" Bima mengulas senyum terbaiknya.
"Allan, tolong jaga adikku ini ya! Aku pergi dulu!" Bima bangkit dari kursi kebesarannya dan mengecup singkat puncak kepala Stella.
Allan mengikuti langkah Bima untuk mengantarnya ke bandara. Ponsel Bima sejak tadi bergetar. Arjuna menghubungi Bima.
"Sebentar lagi sampai!" jawab Bima lalu mematikan panggilan.
Tak lama, Bima tiba di bandara. Seorang pramugari cantik menyapanya ramah.
"Selamat siang Tuan Bima. Mari silakan! Tuan Daniel sudah menunggu!" ucapnya ramah.
Pramugari itu sengaja bersikap ramah dan menggoda Bima. Bima hanya mengangguk dan mengikuti langkah pramugari itu.
Begitu memasuki pesawat, hanya Arjuna yang Bima lihat. Tak nampak sosok Daniel sang pemilik pesawat.
"Kemana Daniel?" tanya Bima yang sudah duduk berhadapan dengan Arjuna.
Arjuna hanya menunjuk sebuah pintu dengan dagunya. Bima mengernyit.
"Dia didalam sana? Sedang apa?"
Arjuna tertawa. "Kau seorang pemain tapi berpura-pura polos, Bim."
Bima masih tak mengerti.
"Daniel mengajak sekretarisnya. Mereka sedang..." Arjuna tidak melanjutkan kalimatnya. Tapi pastinya Bima tahu apa yang sedang dilakukan dua orang manusia berbeda kelamin berada di dalam kamar.
"Sial! Ini masih siang dan dia sudah..." Bima mengumpat. Bima tahu jika sejak kuliah Daniel kerap bergonta ganti pasangan. Tak jauh berbeda dengan Arjuna.
#
#
#
Belasan jam telah mereka lalui. Akhirnya Bima cs tiba juga di kota yang terkenal dengan ikon menara Eiffelnya. Seorang pria yang adalah suruhan Aron menghampiri Bima cs.
Ternyata Aron sudah menyediakan fasilitas lengkap untuk kehadiran sahabat-sahabatnya. Tak ingin berlama-lama, Bima segera masuk ke dalam limousin yang sudah disiapkan Aron. Bima ingin segera merebahkan tubuhnya dan beristirahat.
Keesokan harinya, Bima cs diundang Aron untuk makan malam bersama. Mereka saling berbincang hangat dan tertawa bersama.
Sudah lama tidak bertemu membuat mereka lupa waktu.
"Besok adalah pesta lajangku. Aku mengadakan pesta kecil di sebuah klub. Kalian datanglah!" ucap Aron.
"Tentu saja kami akan datang. Pasti banyak gadis cantik kan?" sahut Arjuna.
Bima hanya menggeleng pelan dengan tingkah kawan-kawannya. Bima melirik kearah Daniel dan Selina yang sedang bermesraan. Entahlah, Bima merasa risih dengan apa yang dilakukan Daniel. Bisa-bisanya Daniel memiliki hubungan dengan sekretarisnya sendiri. Bahkan hubungan mereka sudah terlalu jauh.
#
#
#
Malam berikutnya, malam pesta lajangpun akhirnya tiba. Seharian ini Bima berkeliling kota Paris bersama Arjuna. Bima sudah berjanji akan membelikan oleh-oleh untuk Stella.
Alhasil, Bima meminta tolong pada Arjuna untuk memilihkan oleh-oleh yang cocok untuk Stella.
"Adikmu itu sangat menggemaskan, Bim. Jika saja kau mengizinkanku untuk mengencaninya."
Bima mengarahkan pukulan tinju ke perut Arjuna. "Coba saja kalau berani! Aku akan menghabisimu!"
Arjuna tertawa keras. Ternyata Bima sangatlah posesif terhadap Stella.
"Kau ini sangat posesif! Bagaimana nanti jika kau memiliki kekasih? Pasti dia akan kau kurung seharian didalam kamar. Iya kan?" Arjuna tertawa dengan puasnya.
"Sialan kau!"
Di sisi lain, seorang gadis sedang berjalan menyusuri jalanan kota Paris di sore hari menjelang malam. Ia datang ke kota Paris karena mendapat undangan pernikahan dari teman kuliahnya.
Gadis itu menyipitkan mata kala melihat sesorang yang sepertinya dikenalnya.
"Mas Daniel?" gumamnya lalu mengikuti langkah pria itu yang ternyata memasuki sebuah hotel.
Langkah gadis itu terhenti kembali ketika melihat seseorang berjalan bersama dengan Daniel.
"Mbak Selina?" Raut wajahnya sudah menampakkan kecemasan.
"Oh, mungkin Mas Daniel sedang ada urusan pekerjaan di Paris. Makanya mas Daniel membawa serta mbak Selina."
Langkahnya kembali terayun dan ingin menyapa seseorang yang adalah kekasihnya yang sudah menemaninya selama satu tahun ini. Ketika memasuki lorong-lorong hotel, langkahnya mulai memelan.
Gadis itu was-was dan khawatir. Hatinya sudah berpikiran yang tidak-tidak tentang sang kekasih. Terlebih saat melihat sang kekasih masuk ke dalam kamar hotel bersama dengan wanita yang ia ketahui sebagai sekretaris Daniel.
Gadis itu melangkah cepat menyusul laju Daniel dan Selina. Pintu yang belum tertutup rapat membuat gadis itu melihat hal yang tidak seharusnya ia lihat.
Gadis itu menutup mulutnya ketika melihat Daniel dengan rakusnya mencium bibir sang sekretaris. Tangannya mulai meraba dan membuka resleting dress yang dikenakan Selina. Tak ketinggalan tangan Selina juga dengan lincah menarik kaus Daniel hingga tubuh atletis pria itu terpampang nyata di depannya.
"Mas Daniel..."
Suara itu menghentikan pergerakan Daniel dan Selina. Selina yang terkejut langsung mengangkat kembali dress nya yang sudah merosot kebawah.
"Delia?" Daniel dengan santai menghampiri gadis yang mematung di ambang pintu.
"Kemarilah! Ada yang harus kita bicarakan!" Daniel meraih tangan Delia dan menyuruhnya duduk di sofa kamar itu.
"Selina, kau pergilah dulu! Aku harus bicara dengan Delia."
Dengan patuh Selia meninggalkan mereka berdua. Delia menatap bingung pada Daniel.
"Tidak perlu kaget begitu. Yang kau lihat itu memang benar. Aku dan Selina..."
Daniel sengaja tidak melanjutkan kata-katanya. Delia pasti sudah paham apa yang dilakukan dua orang dewasa di dalam kamar.
"Mas mengkhianatiku?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Delia yang bergetar.
"Aku tidak mengkhianatimu, Delia. Kau sendiri tahu hubungan kita ini adalah keinginan dari para orang tua kita. Lebih tepatnya perjodohan. Kau sendiri harus sadar diri apa yang sudah dilakukan oleh keluargaku untuk keluargamu. Kau pikir kau bisa kuliah di Paris berkat siapa? Tentu saja berkat keluargaku! Daddyku!" seru Daniel yang tak ingin terpojok dengan kesalahannya.
Delia menggeleng pelan. Hatinya sangat sakit ketika Daniel membongkar semua di depannya.
Ternyata semua yang ia rasakan hanyalah bayang semu. Perhatian Daniel padanya hanya semata-mata sebuah sandiwara untuk membuat keluarganya senang.
"Kau tenang saja! Kita akan tetap menikah. Karena itu adalah wasiat kakekku. Tapi kita akan bercerai setelah ... Tiga bulan menikah, mungkin? Bagaimana?"
Delia tidak percaya begitu mudahnya Daniel bicara tanpa mempedulikan perasaannya.
"Satu-satunya alasan kenapa aku menerima perjodohan ini adalah ... Karena Daddy mengancam tidak akan memberikan Grup Hazar padaku jika aku tidak menerimamu sebagai istriku. Jadi, apa boleh buat. Aku harus melakukan ini."
Daniel duduk di samping Delia. "Dengar, kau juga sudah mendapat banyak keuntungan dari perjodohan ini. Jadi, terima sajalah. Apalagi ayahmu itu sedang sakit. Siapa yang akan membiayai pengobatan ayahmu jika bukan keluargaku?"
Delia menatap Daniel dengan mata yang berkaca-kaca.
"Jadikan perjodohan ini sebagai sesuatu hal yang menguntungkan bagi kita berdua. Oke?"
Delia keluar dari kamar Daniel dengan hati yang hancur. Semua hal yang ia anggap adalah sebuah keberuntungan, kini berbalik menyerang menjadi ketidakberdayaan.
Delia tidak bisa berbuat apapun selain menerima semua kata-kata Daniel. Langkah gontai Delia membawanya ke sebuah klub yang cukup terkenal di Paris.
Delia memasuki klub itu. Suara musik yang mengalun itu terasa menghibur Delia di saat ini. Delia duduk di meja bar dan memesan satu gelas minuman yang entah ia sendiri tidak tahu apa itu.
Dengan cepat Delia meneguknya. Delia jarang datang ke klub. Hanya sesekali saja datang bersama sahabatnya, Amy. Bahkan biasanya Delia tidak pernah memesan minuman beralkohol.
Namun malam ini, malam dimana hatinya yang sudah membubung tinggi karena bangga memiliki kekasih seorang pengacara terkenal, mendadak terhempas ke tanah karena sebuah pengkhianatan.
"Tega sekali kau melakukan ini padaku, Mas! Kau tidak pernah mencintaiku! Kau brengsek, Mas!" gumam Delia dengan air mata yang mengalir.
Seharusnya malam ini Delia datang ke acara pesta lajang sahabatnya, Vivian. Tapi kini Delia malah terdampar di sebuah klub dan meratapi nasibnya.
Dua orang pria duduk di samping Delia. Pria itu sepertinya sengaja menggoda Delia.
Delia yang sedang kesal pun membentak kedua pria itu.
"PERGI!"
Suara lantang Delia membuat seseorang langsung menoleh kearahnya. Bahasa indonesia yang diteriakkan gadis itu membuat Bima berdiri dari duduknya dan memilih menolong gadis yang nampak akan diperlakukan tidak senonoh itu.
"PERGI KALIAN!" teriak Delia sekali lagi yang sudah dikuasai alkohol.
"Apa kalian tidak dengar? Dia menyuruh kalian pergi! Dia bersamaku! Jadi jangan macam-macam!"
Tatapan tajam mata Bima membuat kedua orang itu menciut dan langsung pergi. Beruntung Bima bisa bahasa perancis meski tak banyak.
Delia menoleh kearah orang yang sudah menolongnya. Sejenak mata mereka beradu. Bima merasakan sesuatu yang aneh ketika melihat tatapan sendu gadis itu.
"Hai, tampan! Maukah kau menemaniku malam ini?" ucap Delia sensual dengan meraba wajah Bima.
#tbc
Delia menoleh karena mendengar suara tegas dari seorang pria yang ia yakini sangat berkharisma. Benar saja, begitu menoleh Delia langsung terpana menatap wajah pria berahang tegas itu.
Mata hazel milik Bima bersitatap dengan mata bening hitam milik Delia. Sejenak Bima tertegun menatap gadis yang wajahnya sudah memerah karena minuman beralkohol itu.
Gadis didepannya memang benar gadis Asia yang berasal dari Indonesia. Kulit yang kuning langsat dengan hidung sedang dan bibir tipis yang dihiasi tahi lalat membuat Bima terpesona.
Mereka saling tatap dengan jarak yang cukup dekat. Delia mengulas senyum. Sepercik ide terpikirkan didalam otaknya.
"Hai, tampan! Maukah kau menemaniku malam ini?" Delia mengatakannya dengan suara sensual.
Delia masih dalam kondisi sadar saat mengatakannya. Delia juga tidak yakin jika pria di depannya ini paham dengan maksudnya. Delia pikir Bima bukan orang Indonesia juga.
Bima mendekatkan bibirnya ke telinga Delia. "Nona, apa kau yakin dengan yang kau katakan?"
Delia membulatkan mata. Ternyata pria didepannya juga orang Indonesia. Delia menggigit bibir bawahnya. Kini ia bimbang apa yang akan ia lakukan setelah ini.
Memori sore tadi kembali terngiang di otaknya. Pemandangan panas yang dilakukan oleh Daniel dan Selina membuat hatinya meradang. Sudah Delia tebak jika mereka bukan hanya sekali melakukan hal itu.
"Baiklah! Kau orang Indonesia juga kan? Kalau begitu, bawa aku ke tempatmu..." Delia memantapkan hatinya sambil menatap Bima.
Bima malah bimbang. Gadis ini sedang tidak baik-baik saja, pikirnya. Mana mungkin Bima malah mengambil kesempatan dalam kesempitan. Meski dia brengsek, dia tidak akan mengambil keuntungan dari gadis yang tidak dikenalnya ini.
"Ya sudah! Aku akan mencari pria lain saja!" Delia beranjak dari duduknya dan berjalan sempoyongan keluar klub.
Bima yang merasa bertanggungjawab karena sama-sama dari negara yang sama segera mengejar Delia. Entahlah, Bima tidak rela jika ada yang menyentuh Delia selain dirinya. Sangat aneh, pikir Bima.
Di sudut ruangan klub yang bertanda VVIP, Aron menghampiri meja kawan-kawannya.
"Hai, buddy. Dimana Bima dan Daniel?" tanya Aron yang hanya melihat Arjuna disana ditemani dua wanita seksi di kanan dan dikirinya.
"Entahlah! Bima tadi tiba-tiba pergi. Lalu Daniel... Sepertinya dia menghabiskan malam dengan sekretarisnya." Dua wanita disamping Arjuna memberikan segelas wine untuk pria itu.
"Hah! Ya sudah! Kau bersenang-senanglah! Aku akan menyapa tamu yang lain." Aron meninggalkan Arjuna yang sedang asik dengan kedua wanitanya.
Di kamar hotel, Daniel meneguk wine langsung dari botolnya. Hatinya gelisah memikirkan Delia yang sudah mengetahui hubungan gelapnya dengan Selina. Daniel masih bertelanjang dada usai bicara dengan Delia.
Selina yang sudah kembali ke kamar hotel, mencoba mendekati Daniel. Selina tahu saat ini Daniel sedang marah. Pastinya Daniel takut jika Delia mengadu pada kedua orang tuanya tentang kelakuannya selama ini. Sudah dua tahun Daniel membayar Selina untuk memuaskannya.
Tentu saja itu tidak gratis. Selina mau melakukan ini dengan alasan ibunya yang sedang sakit butuh biaya banyak. Selina memanfaatkan kesempatan itu untuk selalu meminta uang pada Daniel tiap kali Daniel ingin memakainya. Mirip dengan wanita penghibur.
Selina sudah tak peduli lagi dengan itu. Ia hanya ingin hidupnya dan keluarganya menjadi lebih baik. Terbukti kini Selina bisa membelikan ibunya tempat tinggal yang layak. Meski uang yang ia dapatkan dari hasil menjual tubuhnya pada Daniel, bosnya sendiri.
"Tuan..." Selina dengan ragu duduk disamping Daniel.
"Maafkan aku..." Selina menundukkan wajahnya. Ia tahu tidak seharusnya ia menjadi duri dalam hubungan Daniel dan Delia. Tapi mereka memang sudah berhubungan jauh sebelum Daniel dijodohkan dengan Delia.
Sebenarnya Selina ingin berhenti setelah tahu Daniel sudah dijodohkan, tapi logikanya tak bisa memungkiri jika dirinya membutuhkan Daniel untuk bertahan hidup. Selina akhirnya kembali berkubang dalam lumpur dosa bersama Daniel. Sebuah kenikmatan yang Selina berikan pada Daniel akan digantikan dengan harta yang berlimpah.
Daniel meletakkan botol wine ke meja. "Kenapa kau meminta maaf? Ini bukan salahmu!"
Daniel mengangkat wajah Selina hingga menghadap dirinya. "Layani aku! Aku butuh pelepasan sekarang! Puaskan aku!"
Selina mengangguk. Ia segera mencium bibir Daniel dengan lembut. Awalnya lembut lama kelamaan menjadi kasar dan menuntut. Daniel suka dengan perlakuan Selina yang agresif. Daniel selalu ingin Selina yang memulai permainan.
Setelah hasratnya terpancing, barulah Daniel yang akan memimpin permainan. Daniel melepaskan ciuman dan menggendong Selina menuju tempat tidur. Dengan perasaan yang masih kesal, Daniel merobek dress Selina dengan kasar. Membuangnya asal hingga tak menyisakan apapun di tubuh Selina. Daniel segera memimpin permainan. Kali ini Daniel sedikit kasar dan membuat Selina mengaduh kesakitan.
"Tuan, sakit!" pekik Selina ketika Daniel menggigit kedua aset di dadanya. Remasan tangan Daniel begitu keras dan kasar. Selina sama sekali tidak menyukainya.
Daniel tak suka jika Selina terus mengeluh. Ia memilih untuk langsung memimpin permainan dengan melesakkan pusakanya masuk ke lembah peraduannya.
"Akh! Sakit, Tuan!" Selina meringis kesakitan karena permainan Daniel kali ini begitu kasar. Daniel tidak peduli. Toh ia akan membayar Selina berapapun yang gadis itu minta.
Di tempat berbeda, Bima memapah Delia yang berjalan sempoyongan menuju kamar hotel tempatnya menginap. Hotel yang sama dengan yang ditempati Daniel tentunya.
"Tidak! Aku tidak mau kesini!" seru Delia. Masih jelas dalam ingatannya sore tadi ia memergoki Daniel bercumbu bersama Selina.
Delia memilih melepaskan tangan Bima dan berjalan menjauhi hotel. Bima mengikuti langkah Delia hingga mereka tiba di sebuah hotel lain yang tak jauh dari hotel tadi.
Bima memesan sebuah kamar untuk Delia. Ya, Bima berencana untuk meninggalkan Delia usai mengantarnya. Setidaknya Bima bisa tenang karena Delia sudah aman dari gangguan para pria nakal di kota ini.
Bima merebahkan tubuh Delia diatas ranjang. "Nona, tugasku sudah selesai. Aku harus pergi! Lain kali jangan mabuk sendirian. Itu berbahaya untukmu!"
Bima akan beranjak pergi, namun tangan Delia menarik tangan Bima.
"Jangan tinggalkan aku! Apakah semua pria itu sama? Mereka akan meninggalkan wanita yang tidak mereka inginkan?" gumam Delia dengan mata terpejam.
Bima kembali duduk diatas ranjang. "Nona, kita tidak saling mengenal. Aku menolongmu hanya demi rasa kemanusiaan. Jadi, sebaiknya kau istirahat saja."
Mata Delia terbuka. Ia melihat pria tampan di depannya. Delia sudah memantapkan hatinya.
"Karena kita tidak saling mengenal, bagaimana kalau kita melakukannya satu kali saja. Setelah itu lupakan!"
Mata Bima membelalak tak percaya. Bima sangat yakin jika gadis ini adalah gadis baik-baik. Bagaimana bisa ia bicara begitu pada Bima? Bima juga pria normal. Ia tidak akan bisa menolak jika gadis itu memohon dengan tatapan sendu seperti itu.
Delia bangkit dari tempat tidur. "Lalukanlah, Tuan! Lagipula kita tidak akan bertemu lagi kan?"
Bima menatap manik hitam Delia. Ada kesungguhan tersirat disana. Bima memperhatikan bibir Delia yang merekah. Hasratnya mulai terpancing.
Malam ini Bima akan melanggar sumpahnya sendiri. Padahal ia sudah berjanji tidak akan memberikan keperjakaannya jika belum bertemu gadis yang tepat.
Namun malam ini, ada rasa tak biasa yang Bima rasakan terhadap gadis yang tak dikenalnya ini.
"Jangan pernah menyesalinya, Nona. Namaku Bima Antara, kau harus menyebut namaku ketika kau mengerang dibawahku nanti."
Tanpa pikir panjang Bima segera meraup bibir gadis di depannya ini dengan gerakan yang sangat pelan. Bima tahu ini adalah pertama kalinya gadis ini melakukan hal ini. Bima akan memperlakukannya dengan sangat hati-hati.
Delia membalas sapuan bibir Bima. Debaran hatinya tak terhenti ketika Bima menyentuhnya dengan sangat lembut.
Apakah ini keputusan yang benar? Hati Delia masih bertanya dengan keputusannya malam ini.
#tbc
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!