NovelToon NovelToon

Derita anakku

Pulang

Nani berjalan dengan perasaan bahagia, setelah tiga tahun merantau ke negeri orang, menahan rindu pada buah hati semata wayangnya, kini dia sudah kembali ke tanah air.

Di hati wanita itu sudah terbayang raut wajah putrinya yang juga pasti sangat merindukannya.

Suasana jalan yang sepi membuat langkahnya tiba-tiba terhenti kala mendengar suara teriakan dan tangisan dari rumahnya.

"Seperti suara Rima, ada apa dengannya?" hatinya bergemuruh tatkala mendengar tangisan pilu putrinya yang meminta ampunan.

"Ampun mbah, ampun, Rima lapar mbah, Rima hanya makan sedikit," ujar gadis remaja yang sedang terpuruk di bawah kaki wanita paruh baya.

Rima yang sudah berada di depan pagar rumahnya, tak kuasa menahan amarah saat melihat ibu tirinya menyiksa sang putri dengan gagang sapu.

"Hentikan!" pekiknya penuh amarah.

Dia bahkan meninggalkan begitu saja koper miliknya di halaman, demi bisa berlari menyelamatkan anak gadisnya.

"Na-Nani?" tubuh tua Titik bergetar kala melihat anak tirinya telah kembali.

"Biadap! APA YANG SUDAH KAMU LAKUKAN HAH!!" bentaknya emosi.

"Ibu ...." Rima menangis di pelukan sang ibu. Batin remaja itu melega kala melihat kehadiran sang ibu di rumahnya.

Penyiksaan yang di lakukan oleh Titik dan keluarganya mengguncang batin remaja itu hingga Rima bahkan pernah berniat mengakhiri hidupnya.

"Tenang Nak, ibu ada di sini, maafkan ibu," lirihnya.

Titik yang sudah ketakutan, mencoba membangunkan Dibyo untuk membelanya.

"Pak bangun Pak! Pak kebluk banget sih!" gerutunya.

Melihat tingkah ibu tirinya itu, lantas membuat Nani bangkit mendekati tubuh perempuan tambun itu.

Dengan sekuat tenaga, Nani menjambak rambut Titik membuat wanita itu tersentak dan menjerit kesakitan.

"Lepaskan! Dasar ngga sopan! Sakit tau, ahh ... Pak tolong pak," pekiknya.

Dibyo bangun dengan keadaan linglung. Bahkan sarungnya sampai melorot karena tak sempat ia ikat terlebih dahulu.

"Na-Ni?" ucapnya setengah sadar.

Setelah sepenuhnya sadar, dia melihat jelas sang istri tengah bergulat dengan anaknya dari istri pertama.

"Astagfirullah, Nani ada apa, kenapa kamu seperti ini!" sentaknya melerai Nani untuk tak berbuat lebih pada istrinya.

Sayangnya, keadaan Titik sudah sangat kacau, rambutnya sudah acak-acakan, pipinya sudah memerah bekas tamparan membabi buta yang di lakukan Nani.

"Bapak ngga terima? Bapak tau apa yang sudah ibu perbuat pada anakku?" tanyanya melotot.

Dibyo membuang wajahnya malu, dia tahu bahkan sangat tahu apa yang di alami cucunya itu, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Jika membantunya maka Rima akan mengalami kesakitan yang lebih lagi, begitu pikirnya.

"Oh, jadi selama ini bapak tau apa yang sudah ibu perbuat sama anakku lalu bapak diam aja? Bagus! Bawa istrimu pergi dari sini, kalau enggak aku bunuh dia!" ancamnya.

Keduanya tersentak, Titik yang menangis berusaha membuat iba suami dan anak tirinya itu semakin tambah ketakutan dengan ancaman Nani.

"Loh, Nan, jangan seperti ini kita bisa bicarakan baik-baik. Kamu tenangkan diri dulu. Ini ngga seperti yang kamu pikirkan," tolak Dibyo.

"Pergi sekarang, atau aku seret wanita ini keluar!"

Dibyo melirik sang istri dengan raut wajah bingung, mereka selama ini tinggal di rumah Nani, jadi bagaimana mereka bisa pergi dari rumah itu.

"KELUAR!" bentak Nani, meski ia tau ia bersikap tak sopan pada mereka tapi ia tak peduli.

Mereka sendiri begitu tega menyiksa anak remajanya hingga babak belur seperti itu, maka Nani pun bisa membalasnya dengan lebih kejam, meski ia tahu jika Dibyo adalah ayah kandungnya.

"Ta-tapi Nan, kami tinggal di sini," lirih Dibyo sambil membantu sang istri untuk bangun.

"Aku ngga peduli pak, bawa keluar istrimu itu atau aku habisi dia sekarang?" ucap Nani tak peduli.

"Ampuni kami Nani, kamu tak tau, anakmu itu sangat nakal dan berani, makanya tadi ibu menghukum dia seperti itu, kamu harus mendengar penjelasan kami dulu," elak Titik tak mau begitu saja pergi dari rumah anak tirinya.

"AKU BILANG AKU NGGA PEDULI! CEPAT KELUAR!" bentaknya lagi.

Karena merasa sudah tak sabar Nani mendorong tubuh keduanya untuk keluar dari rumahnya. Titik bahkan sampai jatuh terjengkang karena dorongan kuat Nani.

Setelah mengeluarkan orang tuanya Nani mengambil koper dan barang-barang lainnya untuk di bawa masuk.

Di luar masih terdengar suara Titik yang menyumpah serapahi dirinya.

Dibyo sendiri hanya bisa pasrah karena ia tahu ia pun juga turut andil dalam penyiksaan cucu kandungnya sendiri.

Meski Dibyo tak pernah memukul atau berkata kasar, dengan diamnya dia sama saja dia membiarkan sang istri berlaku semena-mena pada cucunya.

"Pak gimana sih, kenapa bapak diam aja! Kita mau tinggal di mana? Lagian kenapa Nani bisa tiba-tiba pulang sih!" gerutunya.

"Loh Bu Titik pak Dibyo, pagi-pagi udah barengan aja, cuci muka dulu atuh, baru jalan pagi," sapa tetangga mereka.

"Ngga usah sok tau Bu Wingsih! Pergi sana!" usirnya.

Perkampungan Nani yang rumahnya masih berjarak membuat kericuhan tadi tak begitu di pedulikan oleh para tetangga.

Mereka yang biasa mendengar suara jeritan Rima hanya bisa menulikan pendengaran saat mendengar gadis remaja itu menahan kesakitan atas penyiksaan Titik padanya.

Bukannya tak peduli, mereka sudah pernah berbicara baik-baik pada Titik dan Dibyo tapi tak pernah sekalipun di gubris.

Lagi juga mereka orang-orang kampung yang masih takut berurusan dengan kepolisian, jadi mereka hanya bisa diam saja.

Titik lantas berjalan meninggalkan Dibyo seorang diri. "Loh Bu, mau ke mana? Tunggu bapak lah Bu!" pekiknya mengikuti sang istri.

"Apes banget sih! Mana duit masih di kamar! Kok ya mau pulang ngga bilang-bilang gitu loh!" gerutunya.

"Ibu kenapa misuh-misuh sendiri Bu? Terus ini kita mau ke mana?" tanya Dibyo dengan napas terengah-engah.

"Sana kamu pulang ke rumah Nani, aku mau pulang ke rumah Tyas," usirnya.

Dibyo menghela napas, dia merasa kesal sekarang, bagaimana bisa sang istri tega berkata seperti itu padanya yang jelas-jelas dirinya juga terusir oleh Nani.

"Ibu tau tadi Nani juga kan usir bapak Bu. Sudahlah, kita sama-sama saja ke sananya."

Nani memapah tubuh lemah Rima ke sofa ruang tamu, hatinya begitu sakit saat melihat tubuh putrinya yang begitu kurus.

Dia memeluk sang putri, "apa yang sudah mereka perbuat nak? Katakan pada ibu nak?" pintanya.

Tangis keduanya kembali pecah, Rima hanya bisa memeluk Nani dengan erat seraya meluapkan semua kesakitan hatinya.

Hati Nani benar-benar hancur, ia tak menyangka kepergiannya malah membuat anaknya celaka seperti ini.

"Kamu udah makan nak?" tanya Nani lembut, Rima hanya menggeleng menjawab pertanyaan ibunya.

"Kamu mandi dulu ya, nanti kita cari makanan sama-sama ya," ajaknya.

Keduanya lantas bangkit berdiri, saat akan mengantar sang anak ke kamarnya ternyata langkah Rima malah berbelok menuju dapur.

"Ambil pakaian dulu sayang, baru ke kamar mandi."

"Iya bu, Rima mau ambil baju ke kamar," jelas remaja itu membuat Nani mengernyit heran.

"Kenapa ke dapur?"

Rima kembali menunduk, dia lantas menggandeng tangan sang ibu untuk mengikutinya.

Nani tak bertanya, dia mengikuti apa yang di inginkan putrinya saja.

Hatinya kembali terluka kala mengetahui kenyataan jika sang putri tidur di gudang samping dapur hanya dengan beralaskan tikar.

"Ya Allah nak, maafkan ibu, maafkan ibu," Nani meluruh merasakan sesak di dadanya.

Bagaimana bisa sang putri di tempatkan di tempat yang tidak layak seperti itu di rumahnya sendiri.

.

.

.

Tbc

Kenyataan Pahit

Saat sang putri tengah membersihkan diri Nani bergegas melempar seluruh barang milik ayah dan ibu tirinya dari kamarnya.

Setelahnya dia membereskan kamar Rima yang juga di penuhi oleh barang-barang Dita adik tirinya.

"Enak saja mereka menguasai rumahku, aku berjanji akan membalas kalian!" monolognya kesal.

Setelah merapikan barang-barang miliknya dan sang putri ke kamar yang memang seharusnya milik mereka, Nina segera menuju ke dapur untuk mencari plastik guna mengumpulkan pakaian milik orang tua dan saudari tirinya.

"Bu," panggil Rima lemah.

"Ya Allah gusti, kenapa tubuhmu penuh lebam nak?" Rima yang keluar hanya dengan melilitkan handuk yang sangat kusam dan penuh dengan robekan memperlihatkan beberapa lebam yang ada di bahu sampai punggungnya.

"Ayo kamu segera berpakaian, nanti kita ke rumah sakit ya," ajaknya.

Nina sudah mengirimkan segala barang bawaan serta oleh-olehnya pada penitipan kargo yang baru bisa di terimanya lusa.

Ia bersyukur ada dua potong pakaian milik putrinya yang dia bawa sendiri.

"Ibu belikan ini, kamu suka?" ucapnya sambil merentangkan sebuah gamis berwarna soft pink yang sangat cantik.

Mata Rima berbinar, "ini cantik sekali Bu, terima kasih," Rima lantas memeluk sang ibu bahagia.

"Iya nak, cantik seperti kamu, maafkan ibu ya nak, ibu ngga tau kalau sepeninggal ibu, hidupmu sangat menderita," lirih Nina.

"Rima senang sekarang ibu udah pulang, ibu ngga akan ninggalin Rima lagi kan?" tanya Rima sendu.

Nina menghapus jejak air mata di wajah anaknya, tentu saja dia tidak akan meninggalkan lagi sang putri.

Selain dia sudah habis kontrak kerja, Nina juga sudah memiliki cukup simpanan untuk membuka usaha di rumah.

.

.

Dita gadis yang selalu hidup dengan bebas, pagi itu ia menatap heran kediaman kakak tirinya yang cukup tenang.

Biasanya pagi hari di waktu libur seperti ini suara teriakan ibunya dan tangisan Rima akan menjadi suara nyanyian di pagi harinya.

"Bu!" panggilnya lalu mendudukkan diri di sofa ruang tamu.

Matanya terbelalak kala melihat bungkusan plastik di depan kamarnya.

Saat dia ingin mendekat, pintu kamarnya terbuka dan muncullah Rima dari dalam kamarnya.

"Anak setan! Ngapain kamu dandan kaya gini hah! Sana cepat ambilin aku sarapan!" bentaknya.

Saat dia hendak memukul Rima yang masih diam mematung, suara jeritan dari arah dapur membuatnya membeku.

"Turunkan tanganmu kalau ngga mau golok ini membuntungi tanganmu!" ancam Nina sambil berjalan mendekat.

"Mbak ... Mbak Nina?" ucapnya dengan wajah pias, setelah itu dia segera tersenyum menyembunyikan keterkejutannya.

"Kapan mbak pulang?" sapanya berusaha ramah.

Tak ada sambutan dari Nina yang masih menatap tajam dirinya.

"Keluar dari rumahku sekarang kalau kamu masih sayang sama nyawamu!" ancamnya mendekati Dita dengan perlahan.

Tentu saja Dita ketakutan melihat wajah sangar kakak tirinya, terlebih lagi Nina masih memegang golok di tangannya.

"Apa maksud mbak Nina? Kita kan keluarga, lagi pula aku tinggal di sini Mbak?" jelasnya sambil berjalan mundur.

"Satu ... Dua ..." tanpa banyak kata Nina menghitung, enggan mendengarkan penjelasan Dita.

Dita yang ketakutan dengan perubahan Nina mau tak mau keluar dengan terbirit-birit, kala Nina mengacungkan goloknya.

"Astaga, kesambet apa sih tuh janda! Pasti anak setan itu udah ngadu ke ibunya. Duh lagian ke mana sih bapak sama ibu!” dengusnya kesal.

"Bu Wingsih liat ibu sama bapak?" tanya Dita pada tetangganya.

"Tadi sih liat, belum pulang emang? Olah raga pagi kali!" jawabnya ketus.

"Ke mana lagi mereka pergi, apa mereka juga di usir sama mbak Nina ya?" gumamnya.

"Apa! Nina udah pulang?" tanya Wingsih terkejut.

"Biasa aja dong bu Wingsih ngagetin aja!" dengus Dita sambil mengusap dadanya.

"Alhamdulillah, saya yakin kalian pasti akan di balas sama mbak Nina!" kecam Wingsih.

Dita memandang sebal pada perempuan yang umurnya tidak begitu jauh dari Nina itu.

"Alah janda kaya dia bisa apa? Bentar lagi juga berangkat dia jadi TKW!" ketusnya lalu meninggalkan kediaman Wingsih menuju rumah kakak kandungnya.

"Pasti mereka ke rumah mbak Tyas, aku ke sana aja deh! haduh bisa runyam kalau anak setan itu ngadu ke mbak Nina," monolognya.

Wingsih yang mengetahui Nina sudah kembali, mengajak sang suami untuk mendatangi kediamannya.

"Assalamualaikum," sapa Wingsih saat melihat Nina dan Rima tengah duduk di ruang tamu.

"Wa ‘alaikumsalam, masuk Bu Wingsih, pak Prapto," jawabnya sambil mempersilakan keduanya masuk.

"Kapan pulang Mbak Nina?" tanya Wingsih setelah keduanya di persilakan duduk.

"Baru tadi Bu," lirihnya sambil memeluk bahu sang putri.

Wingsih meneteskan air mata, baru beberapa jam bertemu dengan ibunya, Wingsih melihat perubahan yang sangat signifikan pada gadis itu.

Wajah Rima tampak bersih dan berseri, hatinya bersyukur karena Rima bisa kembali berkumpul dengan ibunya.

"Saya yakin Mbak Nina sudah tau keadaan Rima. Maafkan saya yang sebagai tetangga ngga bisa berbuat apa-apa."

Wingsih sudah beberapa kali bertengkar dengan Titik dan Dita kala melihat langsung mereka menyiksa Rima. Namun ia tak bisa berbuat banyak, dirinya yang hanya seorang ibu rumah tangga hanya bisa terenyuh menyaksikan keadaan Rima.

Terkadang dia memberikan Rima makanan yang layak karena sering melihat remaja itu sering kelaparan.

"Bu Wingsih sering membela Rima Bu, bahkan sering kasih Rima makanan," jelas Rima.

Nina tak kuasa menangis mendengar ucapan putrinya, "terima kasih Bu Wingsih pak Prapto sudah menolong anak saya."

"Kami yang malu mbak Nina, ngga berani membantu lebih, saya benar-benar minta maaf," sergah Prapto yang juga merasa bersalah.

Sebagai seorang laki-laki, bahkan dia juga sering menasihati pak Dibyo agar bisa mengontrol kelakuan istri dan anaknya agar tak melukai Rima. Sayangnya semua di anggap angin lalu oleh lelaki tua itu.

"Ngga papa bu, pak, saya yang salah telah mempercayakan mereka untuk menjaga Rima. Saya ngga akan kecolongan lagi, mereka harus merasakan akibatnya," kecamnya.

"Yang sabar mbak Nina. Sekarang mereka akan ke mana? Soalnya setau saya rumah orang tua mbak Nina udah di sita sama rentenir, dan mereka tinggal di sini setelahnya," jelas Bu Wingsih yang membuat Nina terkejut.

"A-apa? Rumahku di sita?" Bu Wingsih mengangguk.

Itulah sebabnya tadi mereka tak mau pergi dari rumah ini? Ternyata mereka benar-benar biadab!

"Kalian seperti mau pergi," tanya Wingsih saat melihat penampilan keduanya.

"Iya Bu, saya akan memeriksakan kondisi Rima ke rumah sakit," jelas Nina.

"Ya sudah kalau begitu kami pamit ya Nina. Kami harap kamu ngga perlu bekerja kembali ke luar negeri, kasihan Rima," pinta Wingsih saat mereka hendak pamit pulang.

"Iya Bu, saya ngga akan pergi ke mana-mana lagi, terima kasih untuk pertolongan kalian pada Rima ya Bu, Pak."

Saat Nina dan Rima hendak masuk kembali ke dalam rumah, terdengar teriakan dari arah belakang mereka kembali.

"HEH! ANAK NGGA TAU DI UNTUNG! KENAPA KAMU MENGUSIR BAPAK DAN IBU!"

.

.

.

Tbc

Keluarga tak tau diri

Tyas yang sedang bersantai di pagi hari bersama anak dan suaminya di kejutkan dengan kedatangan ibu dan ayah tirinya.

"Assalamualaikum Tyas, ambilkan ibu air, ibu haus," pinta Titik setelah mendudukkan dirinya di sofa.

"Sama bapak juga ya Yas, jangan lupa makanannya, bapak lapar sekali," pinta Dibyo yang juga ikut duduk di sebelah sang istri.

"Bapak, ibu tumben ke sini pagi-pagi ada apa?" tanya Tyas yang belum juga mau melaksanakan permintaan Titik dan Dibyo.

"Kamu ini ambilkan dulu kami makanan dan minuman baru tanya-tanya!" sergah Titik kesal.

"Ih, Kakung bau banget sih! Belum mandi udah keluyuran!" ejek Ziva cucu tirinya.

Dibyo hanya tersenyum sambil tetap mengipasi dirinya. Ia sudah biasa di perlakukan tak sopan oleh cucu tirinya itu.

Ziva memang selalu di manja, hingga remaja yang seusia dengan Rima itu benar-benar tak memiliki sopan santun, berbeda dengan Rima cucu kandungnya, meski di perlakukan kasar, tak pernah sekali pun cucunya itu berkata ketus padanya.

"Maafin Kakung, nanti abis makan Kakung mandi kok Ziv."

"Bau banget! Bikin enek aja! Sebel ih!" gerutunya.

Tak ada yang menegur ucapan gadis remaja itu, Dibyo pun tak berani menegur cucu tirinya sebab dia sendiri datang ke rumah anak tirinya untuk menumpang hidup.

"Nih! Aku belum masak Bu, cuma ada teh sama gorengan aja!" ketus Tyas sambil meletakan secara kasar makanan dan minuman kehadapan ibu dan bapak tirinya.

"Oh iya Bu, si Nina udah kirim belum? Jalan-jalanlah kalau dah transfer dia," pinta Tyas semangat.

"Matamu jalan-jalan! Kamu tau kenapa ibu ke sini?" jawab Titik dengan mulut penuh makanan.

"Ih, mbah tuh, mulut penuh jangan ngomong dong! Tuh kan keluar-keluar makanannya dari mulut embah!" gerutu Ziva sambil mengusap lengannya yang terkena cipratan dari makanan yang di kunyah Titik.

"Ya ampun nduk, kamu kok ya lemes kali, mbah ini mbahmu, yang sopan sedikit nduk!" tegur Titik geram.

Ziva lantas berlalu dari ruang tamu sambil mengentak-entakkan kakinya kesal.

Dia masuk kamar dengan membanting pintu dengan keras. Membuat Dibyo dan Titik berjengit kaget.

"Ya Allah gusti anakmu Yas ... Yas, mbok kamu ajari sopan santun!" gerutunya pada sang putri.

"Lah salah ibu, kenapa jadi nyalahin Tyas ma Ziva!" ucap Tyas tak terima.

"Udah Bu jelasin, kenapa ibu pagi-pagi kesal begini? Kiriman Nani telat lagi?" tanya Tyas penasaran.

"Eh lupa Bu, nanti kalau pulang sekalian tolong bawain cucian Tyas ya, suruh tuh si Rima nyuci jangan malas-malasan aja kerjanya!"

Dia sendiri yang malas, tapi mengatakan Rima pemalas, keluarga Titik memang keluarga tak tahu diri.

"Bu ...Ibu!" panggil Dita dari luar.

"Ish, noh Bu udah disusuli Dita," sergah Tyas kesal karena takut di recoki lagi oleh adiknya.

"Kenapa ngga jawab aku sih!" gerutu Dita saat melihat sang ibu ada di ruang tamu kakaknya.

"Kamu datang-datang bukannya ucapin salam, malah treak-treak!" tegur Tyas kesal.

Dita lalu duduk dan meminum teh milik Titik hingga tandas tak tersisa.

"Ibu baru minum dikit udah kamu habisin!" keluh Titik kesal.

Dita hanya menyengir saja, lalu menatap sang kakak, "buatin lagi lah Mbak!" pintanya songong.

"Enak aja! Kalian kenapa sih tiba-tiba datang ke sini barengan! Mau ajak kita piknik kan? Nina udah kirim kan?" tanya Tyas semangat.

"Gundulmu mbak ... Mbak! Aku hampir kehilangan kepalaku gegara si janda sableng itu!" dengus Dita kesal memgingat kejadian tadi.

"Apa maksudmu Dit?"

"Loh mbak Tyas belum tau tah? Si Nina udah pulang, dia ngusir aku tadi, bahkan mengancam aku pakai golok segala!" keluhnya.

"HAH NINA PULANG?" ucap Tyas dan Yanto berbarengan.

"Kenapa kamu kaget gitu Pah!" ketus Tyas menatap suaminya yang wajahnya tiba-tiba terlihat ceria.

"Apa sih Mah, papah kagetlah, kirain ibu mau ajak kita jalan-jalan dengan uang hasil kiriman si Nina, kalau Nina pulang berarti kan gagal kita senang-senang," ngeles Yanto.

Hati laki-laki itu berbunga kala mendengar pujaan hatinya sudah kembali. Tak di ungkiri, dulu dia sangat mengagumi sosok Nina.

Hingga saat wanita itu menjadi seorang janda, Yanto pernah menawarinya untuk jadi istri keduanya, tapi sayang keinginan itu di tolak mentah-mentah oleh Nina.

Yanto sangat tersinggung karena merasa harga dirinya di injak-injak oleh Nina, hingga dia juga sering memperlakukan Rima secara kasar untuk membalas sakit hatinya.

Dirinya juga penasaran seperti apa Nina sekarang, ia ingin kembali mencoba menaklukkan hati wanita sombong itu, pikirnya.

"Maksud kamu apa Dita? Apa Nina mengancammu?" tanya Titik dengan dada kembang kempis menahan amarah.

Dita mengangguk sambil memakan gorengan yang ada di meja, perutnya sangat lapar, terlebih lagi dia sangat lemas karena berjalan dengan perut kosong ke rumah kakaknya.

"Kurang aja anak itu! Pak ini ngga bisa di biarin, kita harus kasih pelajaran si Nina itu pak!" tegur Titik kesal.

Wanita paruh baya itu tak sadar dengan perbuatannya malah menyalahkan Nina yang menurutnya berlaku semena-mena.

Tyas juga ikutan kesal karena ia yakin Rima sudah mengadukan perbuatan mereka pada Nina, dia takut untuk menampung keluarganya sendiri.

Di pikiran wanita licik itu hanya uang yang dia dapatkan dari Nina akan terhenti pastinya.

Selama ini, dia juga di kirimi uang oleh Nina karena mengira menjadi tukang antar jemput anaknya. Kenyataannya Rima selalu pulang pergi sekolah dengan berjalan kaki.

Tyas juga kesal karena Nina mengusir keluarganya, dia enggan sang ibu tinggal bersama dengannya dan menopang segala kebutuhan mereka.

"Ayo Bu! Kita lawan dia, enak aja main usir-usir kalian, seperti ini!" kesalnya.

"Loh kok kamu tau kalau kami di usir Yas?" tanya Dibyo bingung.

"Lah, tadi kan Dita bilang dia di usir, aku yakin bapak sama ibu pagi-pagi ke sini juga karena di usir dia kan?" tebaknya.

"Kamu memang cerdas Yas," puji Titik pada putri sulungnya membuat Dita memutar bola matanya jengah.

"Ayo buruan! Jangan makan aja! Kita ke sana ramai-ramai, dia kan sendirian, kita ramai-ramai, dia pasti takut!" ajaknya semangat.

Mereka datang bersamaan dengan tujuan berbeda-beda. Jika Tyas dan keluarganya ingin membalas sikap Nina, Yanto hanya ingin melihat wajah Nina sekarang.

Dibyo sendiri merasa bingung akan berada di pihak siapa. Tentu dia tidak ingin keluarga istrinya menyakiti anak dan cucu kandungnya.

Namun dia juga takut di tinggalkan oleh sang istri, bisa apes dirinya, sudah di buang anak kandungnya, harus di tinggalkan oleh istrinya juga.

.

.

.

Tbc

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!