NovelToon NovelToon

One Night One Billion

BAB 01 - Keputusan yang Salah

Di club malam. Seorang gadis bernama Aqila Sharma sedang duduk mnyendiri di sofa panjang, menatap

lautan manusia yang sedang meliukan tubuh, berjoget ria menumpahkan semua masalah hidup atau hanya sekedar penghiburan diri. Tapi Aqila berbeda, ia bahkan merasa risih berada disana.

Kalau bukan merayakan kelulusan yang diadakan para siswa, Aqila juga tidak akan mungkin berada disana. Teman-temannya melambai ke arahnya yang bahkan tidak ada niatan untuk bergabung dengan mereka. Berulang kali ia melihat jarum jam pada arlojinya, seraya men dengus kesal, “Kenapa harus tempat seperti ini sih! Bukannya awalnya mereka bilang merayakannya dicafe,” gerutu Aqila yang kesal karena merasa di bohongi.

 Dan ketika saat ia akan beranjak pergi, tiga gadis yang yang memang satu kelas dengannya, menahannya. Ya mereka adalah tiga sekawan yang kerap menjahili Aqila selama disekolah.

“Ettt... mau kemana?” tanya Bela ketua geng dari tiga gadis itu.

“Mau pulang, aku nggak cocok berada disini,” sahut Aqila.

“Kita enggak akan ngijinin sebelum kamu minum ini,” kata Chia menimpali dan menyodorkan segelas minuman yang tidak berwarna.

“Apa itu? Alkohol? Aku engak mau!” tolak Aqila dengan tegas.

“Bukan, ini hanya minuman biasa, lihat warnanya saja bening, iya ‘kan?” ucap Bela lagi dan di angguki kedua temannya.

Aqila mengambil gelas itu lalu ia cium aroma dari isinya yang ternyata tercium bau yang sangat menyengat membuat Aqila menjauhkan gelas itu dari wajahnya. “Kalian bohong, jelas-jelas ini bau alkohol,” protes Aqila. “Kalau begitu aku pulang dulu.”

“Oke, enggak apa kalau kamu mau pulang, tapi kembalikan baju ku yang kau pakai itu, sekarang!”

Langkah Aqila terhenti dan membalikan tubuhnya, menatap nanar ketiga teman kelasnya itu.

“Bukankah kau bilang ini diberikan untuk anak-anak yang satu kelas dari hasil uang kas?”

“Cih! Mana mungkin, kau tahu harga baju itu sama dengan biaya ujian tiga orang siswa.”

Ya sebelumnya memang Aqila diberikan sebuah dress merah oleh gadis yang bernama Chia dan dia mengatakan kalau itu adalah baju yang dibeli dari hasil uang kas, untuk para siswa yang memang  tidak memiliki

dresscode untuk ke acara pesta kelulusan itu. Aqila yang memang hanya anak yatim piatu yang bahkan selama ini hanya menumpang dengan Bibi dan Pamannya, tentu menerima itu dengan senang hati.

Aqila tertunduk memikirkan bagaimana nasibnya jika Bela benar-benar meminta baju itu kembali, sedangkan ia tidak membawa baju ganti.

“Bagiamana? Ayo kita ke toilet,” ucap Bela.

“Tapi aku enggak bawa pakaian ganti, bagaimana kalau besok baru kukembalikan.” Lirih Aqila.

“Enggak! Aku mau sekarang.”

“Tapi...”

“Sudahlah Qil, lagian Cuma minum segelas ‘kan. Enggak bakal buat kamu mabuk juga,” timpal Siena, yang ternyata Aqila pikirkan matang-matang. ‘Minum segelas? benar enggak bakal mabuk ‘kan?’ benak Aqila.

“Oke kalau begitu,  tapi hanya segelas ‘kan?” kata Aqila dan langsung di angguki ketiga gadis itu.

Tanpa Aqila sadari keputusannya itu akan membuat dia berada dalam masalah besar.

Bela lah yang memastikan Aqila  untuk meminum minuman itu hingga tandas tak tersisa, dan setelah selesai memaksa Aqila mereka tertawa puas dan meninggalkannya begitu saja untuk kembali bergabung dengan yang lainnya dibawah sana.

Aqila segera mengambil sebotol air mineral yang tersedia di atas meja, menenggaknya untuk menghilangkan

rasa pahit dari alkohol itu yang tersisa di lidahnya. Tenggorokannya terasa panas dan terbakar, sunguh Aqila benar-benar tidak menyukai rasa dari minuman itu.

Perlahan rasa pahit itu mereda, tapi berganti dengan rasa sakit dikepalanya. Sakit, sakit sekali! Dia berusaha tetap terrsadar dan segera bangkit dari sana untuk pergi, Aqila berjalan ke arah yang dia sendiri pun tidak tahu kemana.

Diruangan lain, seorang pria yang baru saja datang langsung disambut dengan penanggung jawab tempat itu, yang memang sudah mengenalnya. “Tuan silahkan menikmati suguhan kami,” ucap orang itu dan di angguki olehnya.

“Apa Anda membutuhkan yang lainnya?”

“Untuk sementara ini, tidak.”

“Apa tuan tidak ingin mencoba koleksi kami? Kebetulan kami baru saja merekrut barang baru, dia masih segar, cocok untuk Anda.” Pria itu terdiam sejenak.

Hari ini pekerjaanya memang membuat dia stress, terlebih lagi ia baru saja kalah tander dan di tolak oleh investor besar hanya karena masalah sepele menurutnya. Mungkin seorang teman minum dan mengobrol saja, cukup mengobati hari sialnya ini.

“Baiklah, berikan itu padaku.” Jawabannya membuat penanggung jawab tempat itu tersenyum lebar.

“Siap Tuan! Silahkan, akan saya tunjukan kamar Anda.”

Dikamar yang disebut dengan king vip, pria itu terduduk ditepi ranjang sambil menunggu pesanannya datang. Tapi tiba-tiba terdengar sebuah suara seperti ada benda yang terjatuh didepan kamarnya.

Dengan rasa penasaran, iapun beranjak ingin melihat apa yang sebenarnya terjadi. Dan ketika ia membuka pintu kamarnya yang dia kira adalah benda yang terjatuh namun seorang wanitalah yang ia lihat tergeletak dibawah kakinya.

Ia berjongkok dan melongok wajah gadis yang memakai dres merah itu. “Apa dia yang dimaksud barang segarnya?” tanpa berpikir panjang lagi iapun membawa gadis itu kedalam kamar lalu mengunci pintunya dari dalam.

Dengan perlahan ia meletakan tubuh ramping gadis itu keatas ranjang. “Haaahh, aku menyewamu untuk menemani

ku minum dan berbincang, bukannya melihatmu tertidur!” gerutunya kesal.

Tapi baru saja ia akan melangkah pergi, gadis itu terbangun dan langsung bertingkah aneh.

“Panas, panas!” pekiknya yang terus mengibasi wajah dan dadanya yang sedikit terbuka itu dengan tangannya. Si pria yang melihatnya merasa heran dengan tingkah aneh gadis itu yang terus berteriak panas padahal ac di ruangan sangatlah dingin.

“Tuan, tolong aku, panas!”

Pria itu terus memperhatikan wajahnya yang sudah mengeluarkan keringat bahkan dres yang berwarna merah itu

terjiplak bayangan air keringatnya. “Apa ada yang sedang menjebaknya?” gumam sang pria yang seperti sudah mengetahui kenapa gadis itu terus  berteriak panas.

Dan tanpa si pria itu duga, sang wanita malah membuka dressnya yang alhasil menampilkan lekuk tubuhnya langsung, brra dan hotpant hitam itu hanya menutupi bagian intimnya tapi si pria cukup merasa terpancing karena melihat buah dada si gadis yang sangat berisi dan pastinya membuat ia menelan ludahnya dengan susah payah, bahkan junior dibawah sana sudah berdiri dengan gagahnya.

BAB 02 - Harga Sebuah Kesucian

Seorang pria yang melihat wanita tidak memakai pakaian didepannya tentu akan merasa tergoda, terlebih lagi mereka memang berada di satu kamar, dan hanya ada mereka saja.

Tanpa diduga wanita itu menarik tangannya dan terjatuhlah mereka bersama di atas kasur yang empuk, wajah yang berkeringat, mata yang sayu membuat dia menelan salivanya lagi. "Tuan tolong aku." Lirih wanita itu.

"Nona, aku menyewa mu bukan untuk tidur, aku hanya membutuhkan teman minum dan mengobrol saja."

"Menyewa? Ah terserah, tapi aku benar-benar membutuhkan bantuan mu. Tubuhku terasa panas, dan dada ku rasanya ingin meledak, ini!" Mata pria itu terbelalak karena lagi-lagi tangannya di tarik dan kali ini tangan besarnya sudah mendarat di dada wanita itu karena di tuntuntunnya. Tangannya sedikit bergerak dan terasa sebuah gundukan yang sekal disana.

"Seperti akan meledak 'kan?"

Ya benar, jantungnya memang berdegub dengan kencang, dan itu dapat pria itu rasakan.

"Baik, aku akan membantu mu, tapi kau jangan pernah menyesali itu," ucapnya dengan suara yang seperti sedang menahan sebuah hasrat yang tertahan sejak tadi. Dan wanita itu malah mengangguk tanpa sadar.

Tanpa ba-bi-bu lagi, ia menyergap bibir ranum wanita itu dengan begitu beringas dan bernafsu.

Hmmmmpp!

suara wanita itu yang perlahan menikmati serangannya.

Sssrrrpppp Ssssrrrrrpp Ssssrrrppp! Bunyi peperangan liddah mereka.

Dan bahkan tidak hanya sampai disitu, kini cumbuannya turun keleher jenjang putih dan

mulus si wanita.

"Enngg..., mmmppp..., ssssttt..." Suara-suara sensasional itu terdengar sangat menggairahkan dan membuat si pria semakin dibuat bernafsu karenanya.

Karena sudah tidak tahan lagi, akhirnya si pria pun meloloskan hotpant milik si wanita beserta segitiga pengamannya, matanya menatap lapar pada daging mentah yang ditumbuhi bulu-bulu tipis itu, ia melirik sejenak kewajah sang wanita yang ternyata matanya sedang terpejam dan di artikannya sebagai siapnya menerima hujaman-hujaman dahsyat darinya.

Rudal yang sudah siap bertempur kini sudah berada di depan benteng, peerlahan ia menuntun rudalnya agar masuk dengan perlahan namun ternyata pintu benteng tersebut belum pernah terjamah siapapun, karena terbukti susahnya ia menerobosnya.

Berulang kali ia berusaha dan untuk usaha terakhirnya ternyata berhasil juga dengan diikuti erangan kesakitan dari sang empunya tempat. Hati nurani si pria lagi-lagi dibuat goyah namun nafsu setannya tidak bisa dielakan karena memang lebih dominan. Dan lagi-lagi ia memagutnya untuk memberikan sebuah kenyamanan.

Dirasa sudah lebih rileks, iapun melanjutkan kembali, memasukannya lebih dalam dan dalam

lagi, dan kemudian...

Blesshh!

‘Eeenngggh!’

ia menjerit sakit, mengigit bibirnya sendiri sampai terlihat ada sedikit darah yang keluar dari bibirya, dan air matanya juga lolos dari ujung bola matanya.

Tangan si pria mengusap lembut kepala wanitanya yang bertujuan agar sedikit meringankan rasa sakit itu, matanya turun melihat ke area tertancapnya rudal mematikan itu yang ternyata ada bercak darah yang merembas ketika ia mengeluarkannya sedikit senjatanya.

“Dia benar-benar masih suci,” guamamnya. Yang kemudian beberapa saat kemudian melanjutkan kembali hasratnya.

Kegiatan panas itu terjadi selama dua jam lamanya, kegagahan sang pria, juga nafsu sang wanita seperti sedang di kendalikan sebuah obat perangsang membuatnya terus menari tanpa henti.

Pria itu menoleh kesamping, melihat wanita itu yang sudah tertidur pulas dengan berselimutkan tebal. Baru saja ia akan memejamkan matanya karena rasa lelah, pintu diketuk dari luar.

Dengan terpaksa dan rasa kesal karena waktu istirahatnya telah diganggu, iapun beranjak dari sana dengan memakai bathrobe nya telebih dahulu.

Klik! Ia membukakan pintu yang ternyata seorang pria yang dia kenal sebagai penanggung jawab club

malam itu. “Ada apa lagi?” tanyanya dengan malas.

“Ma-maat Tuan, gadis yang saya janjikan ternyata sudah disewa orang lain,” ucapan orang itu tentu memebuat nya terperangah, kepalanya berputar kebelakang melihat gadis yang baru saja ia nikmati kesuciannya.

Pria itu ikut melongok kedalam dan melihat gadis yang tertidur pulas disana. “Oh syukurlah jika Tuan sudah menemukan yang lain, sekali lagi maafkan saya, saya belum bisa memberikan yang terbaik untuk Anda. Saya permisi.” Tapi  sebelum orang itu berbalik pergi dia memanggilnya lagi.

“Hei!”

“Ya Tuan?”

“Lihat dulu, kau yakin tidak mengenalnya?” tanyanya memastikan lagi.

Orang itu kembali melongok dan menggelengkan kepalanya dengan yakin. “Tidak Tuan, kenapa

memangnya?”

“Oh yasudah kau boleh pergi.”

Dengan rasa terkejut bahkan lebih ke rasa syok, ia terpaku dibelakang pintu, apa dia baru saja menodai anak gadis orang lain, tapi bukankah gadis itu sendirinya yang datang kepadanya. Benaknya saling menyerang.

*

Matahari sudah memunculkan terangnya, gadis yang usianya masih belasan tahun itu mengerjapkan mata, wajahnya tersenyum pada sinar yang masuk melalui jendela kaca itu. Dengan leluasa ia meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku, dan entah kenapa kepalanya terasa sangat berat. “Dingin...” lirihnya, yang kemudian ia berniat beranjak dari kasur tapi sesaat kemdian ia baru menyadari, kalau tempatnya saat ini ia berada nampak sangat asing.

“Dimana ini?” gumamnya dan kemduian iapun tiba-tiba menjerit karena baru menyadari juga, bahwa saat ini ia sudah tidak memakai sehelai benangpun ditubuhnya. “Astaga!” pekiknya yang langsung menggulung tubuh

dengan selimut tadi.

Mataya terpejam, kalau ini adalah mimpi, tapi saat ia membuka matanya lagi, ternyata kali ini bukanlah mimpi seperti harapannya. Ia melongok tubuhnya yang tertutup selimut, matanya memerah dan air bening itupun lolos begitu saja dari mata bulatnya.

“Darah?” lirihnya yang kemudian menangis dengan tersedu-sedu.

“Ya Tuhan apa yang terjadi.” Ia mencoba mengingat-ingat tapi ternyat tidak bisa.

Ujung matanya menangkap sesuatu yang tergeletak di atas nakas. Ya itu adalah secarik kertas, dengan lemas iapun meraih itu. Menyeka air matanya telebih dahulu lalu kemudian membacanya dengan pelan.

* "Jangan cari aku! Mungkin ini sepadan dengan harga keperwanan mu!"**

Dengan air mata yang berderai, ia menutup mulutnya, dan menoleh kembali ke arah nakas yang ternyta terdapat satu lembaran kertas lagi dan itu adalah sebuah Cek, yang tertuliskan sebuah angka sebesar satu milyar rupiah. Tangisnya pun pecah, ia sangat hancur saat itu, dan disana tertulis sebuah nama, Dirgantara. Apa dia orangnya?

Ya gadis itu adalah Aqila Sharma.

Dengan tertatih ia segera memunguti baju-bajunya dan memakainya walaupun untuk bergerak pun area pangkal kakinya terasa sangat sakit, yang bahkan masih ada bercak darah di paha dalamnya yang tidak sempat ia bersihkan terlebih dahulu.

Perlahan tapi pasti, iapun berhasil keluar dari tempat durjanah itu, dan sekarang dia bingung harus berkata apa pada paman dan bibinya karena tadi malam tidak pulang kerumah.

Ia menghentikan sebuah ojek dan meminta di antarkan ke rumah temannya, teman satu bangku disekolahnya. Dan ketika sampai ia justru mendapatkan prilaku yang tidak ia duga. Teman sebangku yang bahkan telah ia anggap sebagai sahabatnya sendiri mengusirnya dengan tega.

“Mau apa lu kesini?” tanyanya dengan wajah yang menatap jijik kearahnya.

“Yar? Lu kenapa?”

“Gue udah tau ya kelakuan lu kayak gimana, semua anak sekolah juga tahu! Malam tadi lu abis di booking ‘kan?”pertanyaan sahabatnya membuat dia ternganga.

Aqila benar-benar tidak menyangka kenapa sahabatnya bisa bertanya seperti itu. Dengan air mata yang berderai dimata sembabnya, Aqila hanya bisa menggelengkan kepalanya saja.

“Terus lu kemana? Bisa lu jelasin Qil?”

“Gue..., gue..., Bela, dia kasih gue minum, dan..., dan..., gue ga tau apa-apa lagi,” jelas Aqila dengan gemetar, tapi seakan-akan sudah tertutup rasa kecewa, Yara, sahabatnya tidak mau mendengarkannya.

BAB 03 - Tersirat Harapan

Aqila berjalan dengan gontai, tangannya sesekali menyeka air mata yang sudah bercampur keringat itu, ia tidak menyangka kalau hidupnya akan seperti ini. Kehidupannya yang memang jauh dari kata bahagia karena tidak lagi memiliki orang tua dan kini hanya tinggal bersama Bibi dan Pamannya. Yang sesekali sang Bibi menunjukan ketidaksukaan terhadapnya.

Ia memandang rumah sederhana milik adik dari mendiang ayahnya itu, yang tak lain adalah bibinya. Ia merasa tidak lagi memiliki keberanian untuk menginjakan kakinya disana, lalu kemana harus dia pergi, bahkan saat ini ia merasa tidak lagi memiliki harga diri.

Ditangannya ada sebuah cek yang dia dapati dari pria yang telah merenggut kesuciannya, yang bahkan tidak ia ketahui rupanya. Ia tersenyum miris mengingat bagaimana bodohnya dia yang bisa menyerahkan mahkota berharganya dengan tidak sadar.

"Kak Jeni." Aqila menyebutkan satu nama yang dia rasa bisa ia mintai tolong untuk menampungnya sementara, karena dia benar-benar tidak memiliki keberanian untuk pulang.

Dengan hanya berbekal uang seadanya yang hanya cukup untuk ongkos angkutan umum, Aqila bertekad untuk pergi kerumah senior tempat ia bekerja paru waktu. Jaraknya yang tidak terlalu jauh dari sekolahnya  tapi lumayan jauh dari tempat dia saat ini berada.

Sesampainya disana, Aqila langsung mengetuk pintu yang tertutup rapat itu, tapi sayang, rumah kontrakan itu terlihat sedang tidak ada orang. Aqila tertunduk dengan sedih, dia harus kemana lagi, sedangkan dia tidak lagi memiliki uang.

Dia melihat bangku kayu yang rapuh, kakinya terasa lelah terlebih lagi rasa nyeri dipangkal pahanya masih terasa, ia mengambil inisiatif untuk duduk disana menginstirahatkan kakinya atau memang ia akan menunggu seniornya pulang.

Satu jam dan lamanya tiga jam, ia masih berada disana, perutnya yang sejak tadi berbunyi karena lapar ia terus abaikan, bahkan kerongkongannya sudah terasa kering karena memang sedari pagi ia belum memakan dan minum apa-apa.

"Aqila?" suara yang membuat Aqila tersenyum lega dan langsung mengangkat kepalanya.

"Kamu sedang apa disini?" tanya orang itu yang tak lalin adalah orang yang sejak tadi ditunggu Aqila, yaitu Jeni.

"Aku, emmm..., aku-"

"Ah! Masuk dulu, yuk!" ajak Jeni pada Aqila yang menagngguk dan mengikuti langkah Jeni yang sedang memutar kunci rumah dan masuk kedalamnya.

"Duduklah, aku taruh ini dulu kebelakang," ucap Jeni yang meninggalkan Aqila dikursi ruang tv.

Aqila duduk dengan gelisah, ia bingung harus bicara bagaimana untuk meminta seniornya itu agar mau memberikan tupangan untuknya, disela-sela lamunannya, Jeni kembali dengan air putih yang dia bawakan untuk Aqila.

"Minum dulu," ucapnya dan Aqila hanya mengangguk lalu menenggaknya hingga setengah gelas.

"Kamu nunggu dari kapan?"

"Dari tadi, Kak."

"Aku semalam pulang ke Ibuku, kamu?" ucapan Jeni terhenti ketika menyadari kalau Aqila saat ini memakai pakaian yang beebeda dari biasanya. "Kamu dari mana? kenapa pakai pakaian seperti ini?"

"Ceritanya panjang Kak, aku juga mau meminta tolong pada Kakak."

"Tolong? tolong apa, coba cerita," tuntut Jeni yang penasaran dengan apa yang terjadi pada Aqila.

Aqila pun menceritakan semuanya, bahkan ia tidak mau menutupi bahwa dia sudah kehilangan kehormatannya dengan tanpa sadar karena minuman yang diberikan teman sekolahnya. Wajah Jeni tersirat keterkejutan, tai ia terus menyimak cerita Aqila.

"Jadi begitu Kak, aku juga datang kesini ingin meminta tolong pada Kakak, agar mau memberikan aku tumpangan untuk sementara." Lirih Aqila yang sungguh merasa malu karena menceritakan semuanya.

"Qil kamu boleh tinggal disini, karena memang aku juga hanya tinggal sendiri, kebetulan kita juga 'kan satu tempat kerja, tapi aku mau kamu harus mengikuti aturan ku kalau mau tinggal disini, bagaimana?" Aqila tersenyum senang, ia merasa lega ternyata seniornya mau memberikan tumpangan.

Walaupun Jeni mengatakan ia harus mengikuti  aturannya tapi menurut dia itu hal yang sangat wajar.

"Baik kak, aku akan bayar setengah kontrakan kaka dari gaji ku,'' kata Aqila.

"Eh! tidak perlu, semua kontrakan ini Ayahku yang punya, aku diminta tinggal disini sekaligus untuk jaga kontrakan, hehe."

"Kalau begitu aku yang akan bantu-bantu bersih-bersih rumah, bagaimana?"

"Emmm..., kalau itu aku setuju!" seru Jeni.

Aqila pun pergi membersihkan diri karena Jeni yang menyuruhnya, dan Jeni juga memberikan beberaa pakaian lamanya untuk Aqila kenakan. Aqila sangat senang karena masih ada orang baik seperti Jeni, yang dia kenal sebagai seniornya di tempatya bekerja, dimana awalnya ia menilai Jeni dengan orang yang galak tapi penilaiannya salah.

Keesokannya. Aqila yang sudah bersiap untuk pergi kesekolah karena harus menghadiri pengambilan ijaza, di antar oleh Jeni karena memang hari ini Jeni megambil sift 2 untuk bekerja. "Kakak benar mau mengantarkan aku?"

"Iya, ayok!"

Sesampainya disekolah, baru saja Aqila turun dari angkutan umum, beberpa pemilik pasang mata yang sedang berkumpul didepan gerbang utama menatap sinis pada Aqila. Yang disana ada tiga orang gadis yang membuat Aqila tidak sadarkan diri bahkan sekaligus membuat dia kehilangan kehormatan-nya.

"Apa dia masih punya muka?" bisik salasatu dari mereka dan didengar oleh Aqila.

"Ya, dia 'kan memang tidak punya rasa malu," timpal gadis bernama Bela.

"Qil, ayok!" ucap Jeni yang baru selesai membayar ongkos angkutan umum.

"Iya kak."

"Eh Qil! teraktir dong, pasti hasil tadi malam banyak ya? hahahah!" ejek gadis yang berada digerombolan Bela.

Jeni yang mendengarnya mendengus kesal, karena baginya seorang anak yang bersekolah disekolahan elit seperti ini tidaklah pantas berkata seperti itu. Matanya memicing pada salasatu anak yang ikut tertawa bersama, senyum jahilnya tersirat lalu berhenti tepat disamping mereka.

"Adik cantik, apa kalian sudah merasa benar? ingat diantara kalian ada yang menjadi simpanan pria berumur lho, dan aku memiliki foto mesra-mesranya." Mendengar itu, semua anak terdiam dengan wajah yang pias. Seakan-akan membetulkan apa yang Jeni katakan.

*

*

Di sebuah gedung pencakar langit, terdapat seorang pria tampan dengan kursi kebesarannya. Sedang berbincang dengan seseorang yang sepertinya sangat akrab dengannya.

"Dirgantara? jadi nama panggilan mu ganti, Bim?" tanya orang itu.

"Aku hanya ingin suasana baru saja," sahut pria pemilik ruangan itu. Ya dia adalah Bima Dirgantara Houten.

"Emmm..., kalau begitu kapan kau akan berkunjung kerumah adikmu, Alvino semakin lucu lho," ucap temannya yang menceritakan seorang bernama Alvino yang merupakan anak dari adik perempuan Bima Dirgantara Houten.

"Aku belum menemukan waktu yang pas, oh ya Rik, aku titip ini untuknya." Dirga memberikan sebuah kotak kecil pada temannya yang bernama Erik Noel. Dan langsung diterimanya.

"Kalau begitu aku pamit dulu, masih ada pekerjaan yang harus ku urus."

Dirga ikut mengantarkan temannya yag bernama Erik itu sampai kedepan ruangan tapi baru saja mereka membuka pintu, seseorang akan mengetuknya dengan dua orang dibelakangnya.

"Selamat siang Tuan. Maaf Kelien kita sudah datang," ucap seorang wanita yang berpakaian formal karena dia adalah sekertaris Dirga.

Dirga dan Erik melongok dua orang yang berdiri dibelakang wanita sekertaris itu.

"Kau?!" tunjuk Erik pada Wanita cantik yang berdiri dibelakang sekertaris Dirga.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!