"Maaf Sayang, aku lagi sibuk dan belum bisa menemani kamu fitting baju pengantin sore ini," sesal suara di ujung telepon, ketika Nezia menelepon calon suaminya.
"Sibuk? Bukankah, Bang Dito sendiri yang kemarin berjanji akan menemani Inez?" Nezia mengerutkan dahi, terdengar kekecewaan dari nada bicaranya.
Gadis itu memainkan rambutnya yang masih sedikit basah karena baru selesai mandi sore.
"Maaf, Sayang. Ada klien yang tiba-tiba ngajak ketemuan untuk membahas proyek baru, aku tak bisa menolaknya, Sayang," bujuk Dito dengan melembutkan suaranya, hingga membuat Nezia percaya dengan apa yang dikatakan pemuda yang sudah lama menjadi kekasihnya itu.
"Baiklah, Bang. Inez akan ke sana sendiri," pungkas Nezia yang kemudian menutup panggilan teleponnya.
"Huh ...." Gadis cantik itu menghembus kasar napasnya dan melempar ponsel dengan asal ke tempat tidur. "Malas banget, sih, kesana sendiri," gumam Nezia seraya menghempas tubuh rampingnya ke atas ranjang yang empuk.
'Tapi kalau enggak ke butik, nanti Kak Fira nungguin lagi. Baiklah, aku akan kesana sekarang. Habis dari butik, aku akan mencari buku tentang keluarga islam di mall tempat biasa kami nongkrong,' monolog Nezia dalam hati.
Gadis itu segera beranjak, berganti pakaian dan merias tipis wajah ovalnya. Setelah memakai hijab dan mematut diri sebentar di depan cermin, Nezia menyambar tas cangklong favorit, hadiah dari Dito di hari jadi mereka dan kemudian berlalu keluar dari kamar.
"Bu, ibu," panggil Nezia dengan meninggikan suara, seraya menuruni anak tangga. Kebiasaan gadis itu jika hendak keluar rumah, dia pasti akan memanggil-manggil sang ibu hingga wanita paruh baya yang telah melahirkannya tersebut menyahut.
"Ibu di sini, Nez!" teriak sang ibu dari arah dalam.
Bergegas, Nezia menghampiri sang ibu yang suaranya terdengar dari meja makan.
"Inez ke butik Kak Fira dulu ya, Bu," pamit Nezia pada sang ibu yang tengah menyiapkan makan malam.
"Memangnya, Bang Dito sudah datang, Dik?" tanya sang ibu dengan lembut.
"Inez sendiri, Bu. Bang Dito tidak bisa ngantar karena ada 𝘮𝘦𝘦𝘵𝘪𝘯𝘨 dadakan," balas Nezia dengan jujur.
Ibunya Nezia itu mengerutkan dahi dengan dalam, perasaannya tiba-tiba saja menjadi tidak enak, tapi ibu dua anak tersebut berusaha menepis pikiran buruk yang tiba-tiba saja menyambanginya.
"Biar diantar sopir saja, Dik," saran sang ibu.
"Enggak perlu, Bu. Inez sekalian mau cari buku di mall," tolak Nezia dengan halus.
"Ya, sudah. Kamu hati-hati, ya," pesan wanita paruh baya tersebut.
Nezia kemudian mencium punggung tangan sang ibu dengan takdzim, mencium pipi kanan dan kiri seperti kebiasaannya selama ini jika hendak keluar dari rumah, baru setelah itu mengucapkan salam.
"Assalamu'alaikum, Bu."
"Wa'alaikumsalam," balas sang ibu, seraya melambaikan tangan pada sang putri yang segera berlalu.
Nezia yang menyetir sendiri kendaraannya, berjalan dengan kecepatan sedang menyusuri jalanan ibu kota untuk menuju butik saudaranya.
Setelah berjibaku dengan kemacetan jalanan ibu kota karena kebetulan bertepatan dengan orang-orang yang hendak pulang ke rumah usai seharian bekerja, akhirnya mobil yang dikendarai Nezia memasuki area parkir sebuah butik terkenal di kota Jakarta, Butik Putri Alamsyah.
Nezia berjalan dengan penuh percaya diri memasuki butik saudaranya tersebut.
"Selamat sore, Non Inez," sapa salah seorang karyawan butik yang sudah sangat hafal dengan gadis berhijab itu.
"Sore, Kak," balas Nezia dengan tersenyum ramah. "Kak Fira ada di dalam, Kak?" tanya gadis itu kemudian.
"Ada, kok. Non Inez sudah ditungguin, silahkan masuk." Karyawan tersebut mempersilahkan dengan isyarat tangannya.
"Makasih, Kak," balas Nezia seraya melambaikan tangan.
Gadis bertubuh ramping itu segera masuk ke ruang kerja 𝘰𝘸𝘯𝘦𝘳 butik tersebut. "Assalamu'alaikum," ucap salam Nezia sambil berjalan menghampiri wanita cantik yang sedang duduk di kursi kerjanya.
"Wa'laikumsalam, Dik," balas wanita cantik tersebut seraya membalas pelukan Nezia. "Baru saja kakak mau telepon kamu, Dik," ujarnya kemudian.
"Maaf ya, Kak. Inez agak molor," balas Nezia. "Inez 'kan enggak berani ngebut di jalan raya, Kak," imbuhnya
"Loh ... memangnya, kamu enggak diantar sama Dito?" tanya Fira seraya mengedarkan pandangan ke arah pintu.
Nezia menggeleng lemah. "Sibuk dia," balasnya dengan lesu.
"𝘗𝘰𝘴𝘪𝘵𝘪𝘷𝘦 𝘵𝘩𝘪𝘯𝘬𝘪𝘯𝘨 aja, Dik. Barangkali Dito sedang membereskan semua pekerjaannya, jadi nanti ketika kalian bulan madu, enggak ada lagi pekerjaan yang mengganggu." Fira menatap Nezia seraya tersenyum manis.
"Bang Dion juga sering bikin kejutan seperti itu, Dik. Suka ngeselin! Berhari-hari sibuk dan mengabaikan aku, tapi ternyata dia sibuk karena menyiapkan liburan spesial untuk kami," ujar Fira, mencoba menenangkan kegundahan hati Nezia.
Mendengar perkataan Fira, gadis yang memiliki bulu mata lentik itu tersenyum. "Semoga aja ya, Kak."
"Ya, udah. Ayo, dicoba dulu kebaya dan gaunnya!" ajak Fira.
Wanita anggun pemilik butik itu kemudian membantu Nezia, mencoba kebaya dan gaun pengantin yang didesain sendiri oleh Fira.
"Kalau menurut kakak, ini sudah pas, Dik," ujar Fira sambil memutari tubuh Nezia.
"Iya, Kak. Udah nyaman, kok. Pas di badan," balas calon pengantin itu, setuju.
"Oke, besok akan kakak antar langsung ke rumah. Kakak juga udah kangen sama masakan tante Nisa," ujar Fira, sambil membantu Nezia melepaskan gaun yang akan dikenakan Nezia pada acara resepsi pernikahan beberapa hari ke depan.
"Oke, Kak. Inez cabut dulu ya, Kak," pamit Nezia kemudian.
"Langsung balik atau mampir kemana dulu, Dik?" tanya Fira setelah melepaskan pelukannya.
"Mampir bentar ke mall, Kak. Mau cari buku," balas Nezia. "Assalamu'alaikum," ucap salam gadis itu, sambil berlalu meninggalkan ruang kerja Fira.
Nezia kembali melajukan mobil lamanya dengan kecepatan sedang, untuk menuju pusat perbelanjaan terbesar di kawasan tersebut.
Tak berapa lama, gadis itu tiba di Mall tempat dia biasa nongkrong bareng para sahabat.
'Huh ... malas banget, sih, sebenarnya jalan sendiri, tapi mau bagaimana lagi?' gumam Nezia sambil turun dari mobil.
'Udah mau maghrib, aku harus buru-buru.' Nezia bergegas memasuki mall terbesar dan langsung menuju lantai lima, dimana barang yang akan dia cari ada di sana.
Nezia fokus mencari buku yang dia inginkan. Dibacanya satu-persatu sampul buku dan deskripsi isinya, hingga terkumpul tiga buku yang gadis itu pilih.
'Ini dulu, kayaknya cukup.' Nezia segera beranjak untuk menuju kasir.
Setelah membayar tagihan dari barang yang dia beli, gadis berhijab motif kotak-kotak itu kemudian menuju musholla yang berada di lantai dasar karena waktu maghrib telah tiba.
Sambil menunggu antrian wudhu, iseng, Nezia mengirimkan 𝘴𝘩𝘢𝘳𝘦𝘭𝘰𝘬 ke group chat sahabatnya.
Gadis itu tersenyum, ketika langsung ada yang merespon.
"Kami akan segera meluncur bakda sholat maghrib, kamu jangan kemana-mana dulu." [Mirza]
"Oke, aku mau sholat dulu. Wait me." [Attar]
"Sorry beib, paksu lagi mode pengin. So, aku gak bisa gabung." Yang disertai emoticon tertawa ngakak [Lili]
Nezia tersenyum. Dia segera menyimpan ponselnya, setelah tempat wudhu tak lagi antri.
Gadis manis itu segera berwudhu dan kemudian menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslimah. Nezia berdo'a dengan khusyuk, meminta pada Sang Pencipta agar dimudahkan segala urusannya.
'Aku tunggu mereka di kafe biasa aja kali, ya.' Bergegas gadis itu kembali naik ke lantai atas, untuk menunggu para sahabat.
Nezia segera memesan kopi latte kesukaannya dan memilih tempat duduk yang agak tersembunyi, tetapi dari tempatnya duduk tersebut dapat melihat orang-orang yang baru saja datang ke kafe.
Baru saja gadis berhijab itu menyeruput kopinya, netra indah Nezia menangkap sosok yang sangat dia kenali masuk kedalam kafe sambil memeluk mesra pinggang sang wanita.
"Uhuk ...." Nezia tersedak kopi yang baru saja masuk ke dalam tenggorokan, buru-buru dia menutup mulutnya agar suaranya tak terdengar oleh orang yang baru saja datang.
Setelah cukup tenang, gadis itu berjalan dengan santai menghampiri meja pasangan yang sedang bercanda mesra tersebut.
"Tega kamu, Bang!" seru Nezia yang memergoki calon suaminya itu, seraya menampar keras pipi Dito.
☕☕☕☕☕ bersambung ...
Halo, Best ... Assalamu'alaikum 🙏
Bertemu lagi kita 🤗
Moga enggak bosan yah, dengan kisah-kisah yang aku buat 🥰
Makasih hadirnya dengan memberi like 👍
Makasih hadiah bunga 🌹dan kopi tubruknya ☕
Makasih bintang ⭐ lima dan favoritnya 😍
Makasih untuk semuanya 😘
Happy reading, Bestie 😊
Setelah merasa cukup tenang, Nezia berjalan dengan santai menghampiri meja pasangan yang sedang bercanda mesra tersebut.
"Tega kamu, Bang!" seru Nezia yang memergoki calon suaminya itu, seraya menampar keras pipi Dito.
"I-inez," ucap Dito terbata. Pemuda itu terlihat sangat terkejut melihat kehadiran calon istrinya, di kafe yang sama.
"Inez sama sekali enggak nyangka, akan mendapatkan kejutan istimewa ini dari Abang!" seru Nezie dengan tatapan tajam, gadis itu berusaha untuk bersikap setenang mungkin meski saat ini hatinya hancur berkeping-keping.
"Nez, kami hanya ...."
"Lupakan tentang pernikahan dan cukup sampai di sini hubungan kita!" Gadis berkulit kuning langsat itu segera berlalu, meninggalkan meja Dito dan kekasih gelapnya.
"Nez, ini tidak seperti yang kamu lihat, Nez! Aku bisa jelasin semua!" Dito berlari mengejar calon istrinya.
Nezia terus mempercepat langkah, menuruni tangga eskalator dengan tergesa tanpa menoleh ke belakang. Gadis itu sama sekali tak menghiraukan Dito yang terus memanggil namanya.
Dia bahkan tak perduli, ketika semua mata pengunjung mall tersebut tertuju padanya, dengan tatapan penuh keingintahuan.
Nezia berjalan dengan mengangkat dagu seraya menyunggingkan sebuah senyuman manis, dia tak ingin menunjukkan kesedihan hatinya pada siapapun.
"Inez, Sayang ... tunggu." Dito terus mengejar, meski gadis bergaun seksi yang bersamanya mencegah dengan menghalangi langkah Dito.
"Sudah, Dit! Biarkan saja dia pergi!" Gadis itu terus menahan langkah Dito.
"Minggir Rasti! Aku harus meluruskan semua ini pada Inez!" geram Dito sambil mendorong tubuh Rasti ke samping, agar tidak menghalangi langkahnya.
Semua mata yang melihat kejadian tersebut, menatap sinis pada kekasih gelap Dito seraya geleng-geleng kepala.
Sementara Nezia yang terus memacu langkah dengan cepat, telah tiba di parkiran. Bergegas gadis yang memakai stelan 𝘣𝘭𝘰𝘶𝘴𝘦 dan kulot dengan warna senada yang terlihat 𝘮𝘢𝘵𝘤𝘩𝘪𝘯𝘨 dengan hijabnya itu, segera masuk ke dalam mobil.
Nezia memejamkan mata sesaat, menikmati rasa perih dari luka hatinya yang tak berdarah. "Sakit, Bu," rintih Nezia, dengan air mata berlinang.
Gadis itu menarik napas panjang, mengisi penuh rongga paru-parunya dengan oksigen yang tersedia bebas dan kemudian menghembuskan kuat-kuat. Berharap, rasa nyeri di hatinya ikut keluar bersamaan dengan udara yang terbuang.
Perlahan, Nezia menginjak gas dan melajukan mobilnya meninggalkan area parkir mall tersebut.
Dito yang terlambat mengejar Nezia karena langkahnya terus dihalangi oleh Rasti, menyugar rambut dengan kasar. "Inez!" teriak pemuda berwajah oriental itu, frustasi.
Nampak Rasti berjalan mendekati kekasih gelapnya tersebut. "Sudahlah, Dit. Cepat atau lambat, Inez harus tahu semua ini," ucapnya dengan begitu santai.
"Tapi enggak seperti ini caranya, Rasti! Kita sudah sepakat untuk menyembunyikan semua ini sampai saatnya tiba nanti, tapi kamu malah mengacaukan segalanya!" hardik Dito sambil menuding Rasti dengan jari telunjuknya.
"Dit, aku juga enggak mau terus-terusan main petak umpet seperti ini, Dito! Aku lelah dan aku butuh kejelasan dari hubungan kita!" seru Rasti yang tak mau kalah.
"Aku sudah berjanji padamu, Ras, kalau aku pasti akan menikahimu setelah semua berhasil aku dapatkan! Kamu juga sudah setuju itu! Kini, disaat tujuanku hanya tinggal selangkah lagi, kamu malah menghancurkan semuanya!" Dito meremas rambutnya dengan kuat.
Pasangan kekasih itu ribut di parkiran dan sama sekali tak merasa malu, meski semua orang melihat ke arah mereka berdua.
"Kenapa aku yang selalu kamu salahkan, Dit!" Rasti menatap tajam pada Dito yang tengah memijat pelipisnya sendiri.
"Karena kamu yang memaksaku untuk menemanimu ke mall ini, Ras! Andai kamu mau mendengarkan perkataanku tadi, Inez pasti tidak akan pernah tahu hubungan kita!" Suara Dito masih saja meninggi.
"Sudahlah, Dit. Kalaupun kamu tidak bisa mendapatkan harta orang tua Inez, orang tuaku juga masih memiliki usaha yang bisa kita kelola bersama. Lagipula, perusahaan kamu juga cukup besar, kan?" Rasti mulai merendahkan suaranya.
Dito menggeleng. "Tidak semudah itu, Ras. Kalau sampai keluarga Inez marah dan tidak terima, mereka bisa membekukan dan menarik semua saham di perusahaanku. Perusahaan peninggalan orang tuaku bisa jatuh pailit, Ras." Dito pun mulai berbicara dengan nada rendah.
Pemuda itu memejamkan mata, tak tahu apa yang akan dia hadapi nanti, jika sampai pernikahannya dengan Nezia batal.
"Pulanglah, Ras. Aku akan menyusul Nezia ke rumahnya dan menjelaskan semua," pinta Dito.
"Tidak, Dit. Jangan sekarang," larang Rasti.
"Kenapa? Aku enggak mau masalah ini sampai ke orang tua Inez dan bisa membuat pernikahan kami batal, Ras." Dito menatap Rasti, memohon pengertian dari kekasihnya itu.
Rasti menggeleng dengan mata yang telah berembun. Gadis itu tahu persis kelemahan Dito, yang tidak akan tega menolak keinginannya jika dia sudah merajuk dengan mengeluarkan air mata.
"Aku sedang ingin bersamamu, Sayang. Anak kita yang minta," rajuknya, seraya mengusap perut yang terlihat sedikit membuncit.
Dito menghembus kasar napasnya. Pemuda itu memejamkan mata dan sedetik kemudian mengangguk. "Baiklah, tapi kita pulang saja."
Dito segera berjalan menuju mobil, yang diikuti oleh Rasti yang bergelayut manja pada lengan kokoh calon ayah dari janin yang dia kandung.
Dua pasang mata, menatap dengan geram ke arah mereka berdua. "Kurang ajar, Dito! Bisa-bisanya dia bermesraan dengan wanita lain, sedangkan undangan pernikahannya dengan Inez sudah tersebar!" geram Mirza sambil mencengkeram setir mobilnya.
Sebenarnya Mirza sudah ingin turun dan menghajar pemuda yang merupakan calon suami adik sepupunya itu, tetapi sang istri yang duduk di sebelahnya melarang.
"Sebaiknya, kita segera cari Inez saja, Bang," ajak Lila.
"Bentar, Sayang. Biar aku telepon Inez dulu, posisinya sekarang dimana," balas Mirza.
Pemuda itu segera menghubungi nomor Nezia.
"Angkat dong, Nez!" Mirza nampak tidak sabar karena hingga panggilan ketiga, orang yang dia hubungi, tak juga menerima panggilannya.
"Bang. Ada Bang Attar, tuh," ucap Lila, sambil menunjuk kaca jendela mobil di samping sang suami.
Mirza segera membuka kaca jendelanya.
"Inez sepertinya sudah tidak ada di sini," ucap Attar dengan raut wajah khawatir.
"Apa Abang tadi juga melihat Dito dengan ...."
"Ya, aku melihatnya," potong Attar cepat, sebelum Mirza menyelesaikan ucapannya.
"Aku curiga, Inez memergoki mereka berdua, makanya aku langsung cari Inez ke dalam," lanjut Attar.
"Abang sudah mencari mobilnya di area sini?" tanya Mirza.
Attar mengangguk.
"Ayo, kita susul Inez! Aku khawatir terjadi apa-apa sama dia, Bang," ajak Lila yang sangat mengkhawatirkan sahabatnya itu.
"Bang, aku dan Lila lewat jalan biasanya. Abang bisa menyisir, lewat jalan lain. Siapa tahu, kita masih bisa menyusul Inez," suruh Mirza. "Dia enggak bakalan berani ngebut, apalagi ini sudah malam," imbuhnya.
Attar mengangguk, setuju. "Oke, Za."
Mereka segera meninggalkan area parkir mall, untuk menyusul Nezia.
Di jalanan yang masih padat, sebuah mobil sedan berwarna hitam metalik, melaju dengan kecepatan tinggi. Mobil kecil itu menyalip apa saja yang menghalangi jalannya.
Di dalam mobil, sang pengemudi terisak dengan air mata yang telah membasahi seluruh wajah. "Kenapa ini harus terjadi padaku!" jerit Nezia sekencang-kencangnya.
Nezia terus menginjak gas dengan dalam tanpa rasa takut, padahal biasanya, gadis itu hanya berani melaju dengan kecepatan di bawah delapan puluh kilometer per jam.
Dia terus melajukam mobilnya, meski gadis itu tahu bahwa jalan yang dilalui, bukan jalan yang menuju ke arah rumahnya.
"Brengsek kamu, Dito!" seru Nezia sambil memukul setir mobilnya dengan keras, hingga tangannya memar.
"Kenapa baru sekarang! Kenapa ini terjadi, disaat semua sudah di depan mata!" Gadis itu semakin histeris.
Emosi yang tak terkendali, serta pandangan mata yang kabur akibat banyaknya air mata yang menggenang di pelupuk mata, membuat Nezia tak dapat melihat dengan jelas apa yang ada di depan.
Suara klakson mobil yang ditekan penuh oleh pengemudinya dari arah berlawanan, membuat kesadaran Nezia kembali dan menyadari bahwa bahaya sedang mengintai dirinya.
"Astaghfirullah ...." Suara gadis itu menghilang, bersamaan dengan suara dentuman keras yang ditimbulkan oleh mobil yang menghantam pohon besar di pinggir jalan.
☕☕☕☕☕ bersambung ...
Jangan lupa, masuk GC, yah...
Karena ketentuan GA akan aku share di sana 😊🙏
Suara klakson mobil yang ditekan penuh oleh pengemudinya dari arah berlawanan, membuat kesadaran Nezia kembali dan menyadari bahwa bahaya sedang mengintai dirinya.
"Astaghfirullah ...." Suara gadis itu menghilang, bersamaan dengan suara dentuman keras yang ditimbulkan oleh mobil yang menghantam pohon besar di pinggir jalan.
Sebuah mobil sedan yang juga melaju kencang membuntuti mobil Nezia sejak tadi, langsung berhenti hingga menimbulkan suara decitan nyaring, akibat gesekan roda mobil kecil tersebut dengan aspal jalan.
Pengemudi sedan tersebut segera keluar dan membanting pintu mobilnya dengan keras. "Sudah kuduga, ini pasti terjadi! Dasar, nyetir ugal-ugalan! Tidak sayang apa, sama nyawa sendiri!" umpatnya yang merasa kesal karena sempat disalip tadi oleh mobil yang mengalami kecelakaan dan tanpa menyalakan lampu sein hingga mobil pemuda itu sempat oleng.
Pemuda bertubuh tinggi atletis itu segera menghampiri mobil Nezia yang telah ringsek di bagian depan.
"Hai! Buka pintunya!" Dia berteriak seraya menggedor pintu mobil Nezia.
Sementara Nezia yang baru saja membuka mata, kembali terisak. "Kenapa aku masih hidup? Kenapa enggak mati, saja?" teriaknya kesal. Gadis yang sedang patah hati itu menangis sambil kembali memukul-mukul setir mobilnya dengan keras.
Mendengar pintu mobilnya di gedor dari luar, Nezia sempat takut, tapi sedetik kemudian dia memberanikan diri untuk membukanya.
'Kalau dia orang jahat dan berniat membunuhku, tak mengapa. Lebih baik aku mati daripada harus menanggung semua ini,' gumamnya dalam hati. Air mata Nezia masih terus mengalir.
"****! Kamu, kamu perempuan?" umpat pemuda tersebut, terkejut. Dia pikir, pengemudi yang ugal-ugalan di jalanan tadi adalah seorang laki-laki, tapi nyatanya pemuda itu salah.
"Yaelah, pakai nangis lagi!" Pemuda berwajah manis itu semakin terlihat kesal.
Nezia sama sekali tak menyahut, gadis itu terus terisak.
"Sudah, jangan nangis! Hubungi keluargamu segera!" titah pemuda yang masih memakai pakaian kerja, sepertinya dia baru saja pulang.
Pengendara lain tak ada yang berhenti, hanya memelankan laju kendaraannya sebentar karena penasaran apa yang terjadi. Setelahnya mereka akan kembali melaju kencang, untuk melanjutkan perjalanan menuju pulang.
Tiba-tiba, ada asap tipis terlihat dari arah depan mobil yang telah ringsek tersebut. Sigap, pemuda itu menarik tangan Nezia dan membawanya menjauh.
"Sepertinya mobilmu akan meledak, menjauhlah! Aku juga akan menjauhkan mobilku," titah pemuda tersebut sambil berjalan tergesa menuju mobilnya.
Setelah pemuda itu melepaskan tangan Nezia, gadis itu bukannya menjauh, tetapi malah mendekati mobilnya kembali dan hendak masuk ke dalam.
"Jangan gila, kamu!" teriak sang pemuda yang kembali berlari menghampiri Nezia. Dia tarik tangan gadis itu dengan sedikit kasar karena Nezia berontak tak mau diselamatkan.
Pemuda itu membawa paksa gadis pengendara mobil yang baru pertama kali ini dia lihat, masuk ke dalam mobilnya agar Nezia tidak nekat mencelakai dirinya sendiri.
Bergegas, pemuda itu tancap gas karena percikan api terlihat mulai menyebar. Benar saja, baru beberapa meter mobilnya menjauh dari tempat kejadian, suara ledakan terdengar begitu keras hingga memekakkan telinga.
"Huh ... syukurlah," ucap pemuda tersebut, lega.
"Sekarang, hubungi keluargamu," pinta pemuda yang duduk di belakang kemudi seraya menoleh kearah Nezia, setelah menghentikan mobilnya di tempat yang aman agar tidak mengganggu pengendara lain.
Nezia menggeleng, tegas. Gadis itu merasa belum siap untuk bertemu dengan keluarganya. Lagipula, ponselnya tertinggal di dalam mobil tadi dan sekarang pasti sudah tak berbentuk.
Pemuda bermata elang itu, menghela napas berat.
Hening, sejenak menyapa kabin mobil tersebut. Hanya sesekali terdengar isak kecil yang keluar dari mulut Nezia.
"Ya sudah, kita tunggu saja di sini. Polisi sebentar lagi pasti datang," ucap pemuda itu, mengurai keheningan.
"Polisi?" Nezia menoleh ke arah pemuda yang tadi sudah kasar menyeret tangannya.
"Iya, polisi. Biar mereka yang membawamu dan mengantar kamu pulang karena kamu tidak mau menghubungi keluargamu," terang sang pemuda.
"Jalankan mobilmu sekarang!" teriak Nezia tiba-tiba. Mendengar apa yang dikatakan pemuda yang duduk di sebelahnya barusan, membuat Nezia panik.
Dia tidak mau kalau sampai bertemu polisi yang pasti akan dapat mengetahui keluarganya dan kemudian mengantarkan Nezia pulang.
Pemuda itu masih terdiam.
"Cepat! Jalan!" perintah Nezia. Atau aku akan keluar dari mobilmu dan menabrakkan diri pada mobil yang melaju kencang itu!" Nezia menunjuk ke arah jalan raya.
Gadis itu hendak membuka handle mobil, seolah bersungguh-sungguh dengan ucapannya, meski yang sebenarnya dia hanya menggertak saja.
Sang pemuda hanya bisa menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia sebenarnya sangat lelah dan ingin cepat-cepat pulang, tapi malah bertemu dengan gadis keras kepala seperti ini.
"Ayo, jalan! Nanti polisi keburu datang!" Kembali Nezia berseru.
Akhirnya pemuda itu menuruti permintaan gadis yang hendak nekat mencelakai dirinya, dengan masuk kedalam mobil yang akan meledak tadi.
"Dimana rumah kamu?" tanya sang pemuda, setelah mobilnya melaju cukup jauh dari tempat kejadian.
Nezia membungkam mulutnya sendiri, tak mau berbicara.
Pemuda yang berusia sekitar dua puluh empat tahun itu menghela napas panjang. "Sabar, sabar ...," gumamnya pada diri sendiri.
"Siapa nama kamu?" tanya sang pemuda. "Biar enak kita ngobrolnya," lanjutnya seraya melirik sekilas pada Nezia.
Gadis yang matanya sembab itu, tetap terdiam.
Pemuda tersebut terus melajukan mobilnya tak tentu arah, sambil terus bertanya dimana rumah Nezia, tapi gadis yang sedang patah hati itu masih tetap membisu.
"Ini sudah hampir jam sebelas, kamu mau diantar kemana? Aku sudah lelah, mau pulang dan tidur." Pemuda tersebut menghentikan laju kendaraan dan menatap Nezia meminta kejelasan.
"Terserah, aku mau kamu bawa kemana, kamu lempar ke jalanan juga tidak apa-apa," balas Nezia datar.
"Huh ... mimpi apa, aku semalam," gumam sang pemuda.
"Aku juga lelah, aku mau tidur," pamit Nezia yang langsung menyetel bangku yang dia duduki agar tidurnya nyaman.
Pemuda tersebut hanya bisa geleng-geleng kepala. Dia kemudian segera tancap gas untuk pulang ke apartemennya.
Setelah menempuh perjalanan hampir satu jam, mobilnya memasuki area parkir basement apartemen.
"Hai, bangun. Sudah sampai." Pemuda itu mencoba membangunkan Nezia dengan mengguncang lengan gadis yang tidur di mobilnya.
Mungkin karena kelelahan, Nezia sama sekali tak terganggu.
"Masak iya aku harus menggendongnya, sih!" kesal sang pemuda.
Akhirnya, mau tak mau dia membopong tubuh ramping Nezia, menuju unit apartemen miliknya.
Setelah berhasil sampai di dalam unit dengan susah payah, pemuda itu membawa Nezia ke salah satu kamar yang ada di unit miliknya.
Dia merebahkan Nezia di atas ranjang empuk berukuran besar, menyelimuti hingga sebatas perut dan kemudian meninggalkan kamar tersebut.
"Hari yang melelahkan," gumamnya sambil melakukan peregangan ringan.
Setelah dirasa cukup dan sekujur tubuhnya menjadi rileks, pemuda itu bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.
Cukup lama dia berada di dalam kamar mandi, ketika keluar dari kamar kecil yang ada di sudut kamarnya itu, pemuda tersebut hanya membalut tubuh dengan handuk sebatas pinggang.
Baru saja hendak memakai pakaian yang dia ambil dari dalam almari, indera pendengarannya menangkap suara aneh dan terdengar mengerikan.
"Masak di sini ada hantu?" tanyanya pada diri sendiri sambil mengenakan pakaian.
Rasa penasaran, membawa pemuda tersebut membuka pintu balkon kamarnya dan suara itu semakin jelas terdengar.
Pemuda itu melongokkan kepala ke balkon samping, yang terhubung dengan kamar yang ditempati oleh Nezia dan hanya disekat dengan tembok pembatas sebatas dada.
Dia terkejut mendapati seorang gadis dengan rambut panjang terurai sedang menangis tersedu di sana dan sempat mengira bahwa itu adalah makhluk halus, tetapi setelah mengenali pakaian gadis yang membuatnya sampai apartemen kemalaman, pemuda itu pun berseru.
"Bikin kaget saja! Aku pikir yang nangis kunti tadi! Dah, masuk! Angin malam tidak baik untuk kesehatan!"
Mendengar suara pemuda yang membawanya ke tempat asing ini, Nezia mendongak mencari sumber suara. Menyadari pemuda itu tengah menatap dirinya yang sedang tidak memakai hijab, gadis yang masih berlinang air mata tersebut langsung berlari masuk ke dalam kamar.
"Sebaiknya aku membersihkan diri dulu," gumam Nezia yang bergegas menuju kamar mandi.
Gadis itu mengguyur kepalanya dengan air shower yang dingin, untuk menyegarkan kepalanya yang terasa panas.
Setelah ritual mandinya selesai, Nezia membungkus tubuhnya dengan handuk kimono yang sempat di sambarnya tadi dari gantungan handuk di depan kamar mandi.
Gadis itu keluar sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil, hingga Nezia tak menyadari bahwa ada orang lain di dalam kamar yang dia tempati.
"Ehm ...." Pemuda itu berdeham.
"Ka-kamu! Kamu mau ngapain?" Nezia nampak sangat terkejut. Gadis itu mundur ke belakang, ketika pemuda itu menatapnya tanpa berkedip sambil terus melangkah mendekati Nezia.
☕☕☕☕☕ bersambung ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!