Dalam kamar tanpa pencahayaan seorang pria tengah berkeringat dingin dalam keadaan mata terpejam. Sudah lima tahun lamanya namun satu mimpi yang sama berulang kali menghantui tidurnya. Seperti saat ini, nafasnya bergemuruh diikuti raut wajah yang begitu tegang akibat merasa bersalah.
Plak!
"Kau yang sudah membunuh anak-anakku. Anakku meninggal karena kau yang menyuruhnya ke sana. Kembalikan anakku, aku mau anakku hidup kembali. Kau yang membuatnya mati, kau...kau... Kembalikan anakku!!!!"
Hah-Hah- Hah...
Bima terbangun, suhu tubuhnya panas dingin sedangkan keringat sudah membasahi baju tidurnya. Tangannya mengelap keringat di sekitar wajahnya.
Mimpi yang sama dengan kalimat yang sama selalu ditujukan padanya.
Pukul dua dini hari, masih cukup lama untuk matahari terbit. Bima bangkit dari tempat tidurnya dan melepas pakaiannya yang basah oleh keringat. Ia menyalakan lampu kamarnya dan masuk ke dalam kamar mandi.
Setiap kali Bima terbangun karena mimpi itu, ia akan mengguyur tubuhnya dengan air dingin tak peduli dengan waktu.
Jarang sekali Bima untuk bisa tidur kembali setiap kali memimpikannya, dimana seorang wanita berteriak dan mengutukinya karena dianggap sebagai penyebab kematian anak wanita tersebut.
Satu kaleng minuman beralkohol diteguknya habis usai dari kamar mandi dan menjatuhkan tubuhnya kembali ke atas tempat tidur. Hingga pagi menyambut namun Bima tak terlelap meski matanya terpejam.
Pagi ini sebelum berangkat ke kantor, Bima terlebih dahulu melajukan mobilnya ke kediaman keluarga Suntama. Setibanya di sana ternyata Bima tidak bertemu dengan orang yang menyuruhnya untuk datang karena dalam kondisi tidak enak badan.
Ya. Bima hanya bisa menghela nafas, dia tahu posisinya.
Ponsel di saku Bima bergetar saat tangannya hendak membuka pintu mobil untuk melanjutkan perjalanannya ke kantor. Orang yang tidak jadi ditemuinya menghubunginya.
"Ha-"
Baru saja Bima ingin menyapa namun wanita di seberang telepon sudah terlebih dahulu menyela.
"Lakukan dengan baik. Kita akan bicara kalau sudah waktunya," wanita di seberang telepon berucap yang lalu memutus sambungan telepon seketika tanpa menunggu Bima mengatakan satu katapun. Hal yang sudah biasa dialaminya dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini.
Dari dalam garasi sebuah sepeda motor keluar dan berhenti di dekat mobil Bima. Sebuah motor sport merah ditunggangi seorang pemuda berkulit putih dengan tampang aktor Korea. Pemuda itu membuka kaca helmnya dan tersenyum pada Bima.
"Hai kak, Bim?" sapanya ramah.
"Hai, Vin? Apa mau ke kampus?"
"Iya, kak. Mau ketemu Bunda?"
"Rencananya, tapi beliau kurang enak badan."
"Oh... Ya udah deh, kak. Aku pamit ya sebelum dia keluar dan minta dianterin ke sekolah. Malas ketemu anak-anak sekolah, alay dan lebay. Aku tahu aku ganteng tapi risih kalau sudah dikerubuti cewek-cewek alay di sekolahannya."
"Bukannya itu yang kau suka? Menjadi pusat perhatian banyak orang."
"Tapi bukan anak SMA juga kali, aku anak kuliahan dan OTW sarjana. Bukannya nggak suka cuman suara berisik anak SMA palagi yang ciwi-ciwinya itu...begh... Bising, kak."
Kevin Andrean, dia salah satu dari tiga anak panti yang diadopsi wanita bernama Mila, nyonya Suntama yang kehilangan dua anak laki-lakinya dalam lima tahun.
Emiranda, Kevin Andrean dan Justin adalah nama ketiga anak angkat Mila.
Mila yang dipanggil Bunda oleh ketiga anak adopsinya adalah wanita yang sering dimimpikan Bima. Wanita itu harus kehilangan kedua anaknya dan seorang gadis yang juga dicintai kedua anaknya.
Keegoisan Mila membuatnya kehilangan anaknya dan dalam hal itu Bima memiliki andil yang cukup besar. Peristiwa tragis lima tahun lalu tidak akan terjadi jika Bima tidak memberitahu informasi yang penting pada salah satu anak Mila namun nasi sudah menjadi bubur, kematian tidak bisa ditolak jika sang empunya kuasa telah berkehendak.
"Aku berangkat kampus dulu kak, Bim."
Bima mengangkat tangannya mempersilahkan Kevin melanjutkan jalannya.
"Kak Kevin!!!?"
Suara teriakan dari dalam rumah membuat telinga Bima serasa peka. Seorang gadis memakai seragam SMA berlari dari dalam rumah saat mendengar suara motor di halaman rumah.
"Kak Kevin tung-"
Gadis itu terdiam dan tidak memperdulikan Kevin yang sudah berlalu meninggalkan rumah. Ia beralih pada pria yang sedang membuka pintu mobil dan mendaratkan bokongnya di kursi pengemudi.
"Kak, em, maksudnya om Bima mau pergi ya?" tanya gadis itu nyengir kuda mendekati mobil Bima. "Aku boleh numpang mobilnya om Bima ke sekolah? Aku ditinggal kak Kevin soalnya, bolehkan?"
"Nggak."
"Sekali aja boleh ya, om? Kak Justin juga udah berangkat ke kampus."
Tanpa menoleh sedikitpun pada gadis itu, Bima menyalakan mesin mobilnya dan meluncur ke jalanan yang sudah mulai ramai oleh para pengendara.
"Hah... Dasar pelit. Untung ganteng, jadi pelitnya tertutupi. Ya sudahlah, besok-besok masih bisa dicoba lagi. Maaf Emi, anda belum beruntung hari ini!"
Emiranda, satu-satunya gadis dari tiga anak panti yang diadopsi Mila menjadi pembawa suasana baru di dalam rumah yang awalnya begitu sepi. Emi, panggilan gadis itu. Ia masih berstatus sebagai siswi SMA disalah satu sekolah swasta yang sebenarnya tidak pernah ia inginkan.
Terbiasa hidup di panti hingga bergaul dengan sesama anak-anak panti begitu sulit bagi Emi saat ingin berbaur dengan anak-anak di sekolahnya. Emi inginya bersekolah di SMA negeri namun Mila, bundanya tidak mengizinkan dengan alasan ingin memberikan pendidikan yang terbaik.
Emi tidak bisa berbuat apa-apa, dia hanya bisa menurut dan melakukan apa yang diminta bunda Mila. Meskipun demikian, bunda Mila sangat menyayangi Emi, bahkan terkesan seperti memanjakannya.
Ditinggal Kevin ke kampus dan Bima ke kantor akhirnya membuat Emi memilih memesan ojek online untuk mengantarnya ke sekolah.
..........
Hari-hari Bima disibukkan dengan segala urusan kantor. Ia menghabiskan waktunya di kantor, mengabdikan hidupnya pada perusahaan bernama Suntama Group sampai akhirnya nanti ia meninggalkan perusahaan tersebut. Akan tetapi ia tidak tahu kapan hari itu akan tiba, ia hanya berharap semakin cepat maka akan semakin lebih baik untuknya.
Semenjak kejadian tragis yang menimpa anak-anak Mila membuat perusahaan terbengkalai, tidak ada yang menangani dengan baik. Bunda Mila yang sudah mencapai usia keemasannya tidak lagi sanggup untuk menghandle perusahaan besar, apalagi dia kurang cakap dalam melakukannya.
Kepada Bima bunda Mila melimpahkan segala urusan perusahaan yang saat itu hampir diujung tanduk. Bunda Mila menyuruh Bima untuk bertanggung jawab karena dialah perusaahan tidak ada yang menangani. Tentu saja Bima menolak karena bunda Mila menyuruhnya menjalankan posisi pemimpin perusahaan, direktur utama meski hanya sementara.
Rasa bersalah dan tidak ingin melihat perusaan yang pernah ia jalankan bersama anak bunda Mila membuat Bima akhirnya tunduk pada bunda Mila meski sejujurnya berat baginya.
Satu tahun, dua tahun dan tiga tahun dilalui Bima sebagai direktur utama ternyata tidak cukup. Hingga kini tahun kelima dia masih harus berada di Suntama Group karena bunda Mila belum mengizinkannya untuk angkat kaki.
Langkah panjang Bima menelusuri koridor lantai tujuh dimana ruangan seorang direktur utama berada.
"Pagi pak Bima?"
Nola yang tempat kerjanya ada di luar ruangan direktur utama langsung membuka pintu untuk Bima. Nola bekerja sebagai sekretaris Bima namun posisinya hanya berada di kantor saja, jika ada keperluan penting atau bertemu klien diluar maka Bima akan mengajak salah satu manager di perusahaan. Bima tidak berkeinginan memiliki seorang sekretaris yang selalu ada di sampingnya.
"Jangan melakukannya lagi, Nola. Aku punya tangan untuk membuka pintu ruangan ini sendiri."
"Maaf, pak. Tapi ini memang sudah seharusnya," ucap Nola ramah.
..........
...Hai...hai...hai......
...Saya datang dengan karya ketiga, semoga bisa dinikmati ya🙏🙏...
Sebuah kursi warna hitam tampak begitu elegan dibelakang sebuah meja kerja yang tertata rapi. Kursi itu begitu menyedihkan karena tidak pernah ditempati. Kursi yang diincar dan ingin diduduki banyak orang namun tidak dengan Bima. Sama sekali tidak ada niat baginya atau berpikir untuk menguasai kursi itu meski ia bisa melakukannya dengan mudah.
Bima menatap nanar pada kursi pimpinan dari perusahaan yang ia jalankan saat ini. Bersamaan dengan itu suara ketukan dari luar menyita perhatian Bima yang lalu menuju meja kerjanya.
Selama menjabat atau tepatnya mengambil alih sementara kepemimpinan Suntama Group tidak sekalipun Bima duduk di kursi direktur utama, ia tetap menempati meja kerjanya sama seperti saat ia masih menjabat sebagai sekretaris.
Demikian halnya dengan pendapatan perusahaan selama ini. Meski pendapatan perusaan stabil dan terkadang meningkat, Bima hanya mengambil apa yang menjadi bagiannya.
"Pagi pak Bima, ada dokumen yang perlu bapak tanda tangani."
Nola meletakkan beberapa dokumen yang ia bawa ke atas meja kerja Bima. Seperti biasa, sebelum membubuhkan tanda tangan, Bima terlebih dahulu membaca isi dokumen yang harus ditandatangani olehnya.
"Jam tiga sore nanti ada pertemuan dengan direktur perusahaan Gemilang, apa anda akan pergi sendiri lagi?"
"Aku akan pergi sendiri."
Beberapa dokumen yang sudah ia tanda tangani diserahkannya pada Nola dan membuka laptopnya.
"Baik, pak. Apa besok pak Bima juga masuk kerja? Kalau tidak biar saya jadwalkan ulang semua kegiatan pak Bima untuk lusa."
"Aku sedang tidak sakit jadi tidak ada alasan untuk tidak masuk kerja. Orang-orang hanya tahu aku seorang pimpinan, istilah kerennya adalah CEO. Mereka menyebutku itu tanpa tahu apa yang aku rasakan. Mereka yang ada di perusahaan ini tidak tahu jika aku sama saja seperti mereka."
"Tapi saya tahu pak Bima," ucap Nola mengulas senyum pada Bima yang mendongak padanya.
"Tidak ada bedanya meskipun kau tahu soal itu, Nola."
"Setidaknya ada satu orang di perusahaan ini yang tahu selain ibu Mila."
"Hah... Baiklah. Aku beruntung memiliki teman sepertimu. Terimakasih sudah memahamiku dan bersedia menjadi sekretaris untukku selama ini."
"Tidak perlu sungkan, aku juga tidak mungkin bisa bekerja di perusaan besar seperti ini kalau bukan karenamu."
Nola adalah teman SMA Bima, keduanya bertemu saat Suntama Group yang sudah dibawah pimpinan Bima melakukan perekrutan karyawan baru. Saat SMA keduanya memiliki hubungan yang baik dan Bima merekrutnya sebagai sekretaris.
"Baik pak Bima, saya permisi dulu."
Nola tetap menunjukkan sikap profesionalismenya saat bekerja begitupun dengan Bima meski diluar kantor mereka adalah teman.
"Pak Bima?"
"Kenapa? Ada lagi yang mau disampaikan?"
"Tidak, pak. Hanya mau mengingatkan saja agar tidak lupa untuk besok. Permisi, pak."
Bima melanjutkan pekerjaannya, membaca laporan-laporan yang masuk ke email-nya. Bima yang juga penggila kerja menikmati makan siang di ruangannya alih-alih pergi ke restoran ataupun kantin perusahaan.
Pukul dua sore Bima bersiap untuk bertemu dengan pimpinan perusahaan Gemilang seperti yang sudah diberitahu Nola sebelumnya.
Bima melihat kalender di atas mejanya, tanggal untuk besok sudah dilingkari dan ia tahu hari apa itu. Bima tidak akan pernah melupakannya.
..........
Pimpinan perusahaan Gemilang sudah tiba terlebih dahulu dan menyambut kedatangan Bima layaknya seperti teman.
Keduanya dengan serius membahas rencana kerjasama yang akan mereka lakukan. Sama-sama berstatus singel membuat keduanya tidak terlalu formal saat mengobrol. Keduanya sepakat setelah mendapat titik temu dari pembicaraan hari ini.
"Hahaha... Apa kau tahu, mereka sangat lucu dan menggemaskan."
Pria yang duduk di hadapan Bima itu tertawa melihat sekumpulan anak SMA disudut cafe sedang saling menjahili dengan buku-buku pelajaran di atas meja.
"Siapa?" tanya Bima tak tahu siapa yang dimaksud.
"Mereka," menggunakan dagunya, menunjuk pada orang-orang yang dimaksud.
Bima menarik nafas memperhatikan seringai diwajah pria itu, tak melepas kedua bola matanya pada gadis-gadis berpakaian seragam sekolah.
"Apa anda seorang pedofil? Mereka lebih cocok jadi adik atau bahkan keponakan anda," ucap Bima mengingatkan.
"Kalau suka sama suka tidak masalah, iyakan? Kalau bukan karena ada pekerjaan di kantor yang terbengkalai aku ingin sekali bergabung dengan mereka. Lucu dan menggemaskan," mengangkat kedua alisnya pada Bima.
"Kalau gitu sebaiknya anda pergi sebelum melakukan isi kepala anda. Jangan sampai anak sekolahan itu meneriaki anda dengan sebutan pedofil."
"Hahaha... Baiklah, aku pergi dulu. Hah... Aku akan lembur sambil membayangkan wajah-wajah mereka."
Bima tidak lagi menanggapi pimpinan perusahaan Gemilang tersebut, meski baru pertama kali bertemu ia bisa tahu jika pria itu adalah penjahat wanita.
Mata Bima tak sengaja tertuju pada sekumpulan anak-anak SMA yang saling bercanda saat akan beranjak dari sana. Samar-samar ia melihat seseorang yang sepertinya ia kenal namun terhalang oleh salah satu dari anak SMA itu.
"Mba?" salah seorang dari gadis SMA itu memanggil pelayan.
Seperti yang Bima duga, ia mengenal salah satunya. Mata Bima memicing diikuti dahi yang mengkerut saat melihat anak sekolah itu membuka dompetnya dan memberikan sebuah kartu pada si pelayan.
"Ck!"
Bima berdecak, tersenyum kecut saat melihat anak sekolah itu mengambil kembali kartu dari si pelayanan.
Kelima anak sekolah itu merapikan isi tasnya dan meninggalkan cafe. Sebagian dari mereka langsung masuk ke dalam mobil jemputan sedangkan orang yang dikenal Bima dan seorang yang lain masih berdiri diluar cafe sambil memainkan ponselnya.
"Emi, thanks ya buat traktiran hari ini. Jangan lupa sering-sering traktir kita, oke?"
Emi memaksakan senyumnya seraya melambaikan tangan pada temannya itu. Ingin rasanya Emi menarik tangan gadis itu sampai ia keluar dari jendela mobil.
"Emi, kayaknya idemu mentraktir mereka bertiga salah deh, mereka malah minta ditraktir lagi jadinya."
"Tenang aja, Feb. Santai dan nggak usah dipikirin. Kayak nggak tahu aku aja."
"Iya sih, tapi tetap aja aku jadi ngeri bayanginnya."
"Nggak usah dibayangi. Mending sekarang kita juga pulang, yok?"
Baru akan melangkah Emi kaget saat melihat sosok tinggi dan tampan berdiri disampingnya. Emi menoleh dan mengangkat kepalanya pada pria disampingnya dan seketika mata Emi berbinar.
"Kak, maksudku om Bima? Om Bima juga ada disini tadi?"
Febi satu-satunya teman perempuan yang dianggap Emi hanya diam melihat temannya itu berbicara pada pria yang tak dikenalnya.
"Om Bima ngapain disini?" tanya Emi antusias.
"Kerja."
Respon singkat Bima berbanding terbalik dengan antusias Emi bertemu dan menanyai Bima. Febi bisa tahu jika pria itu tidak begitu dekat dengan Emi.
"Aku balik deluan ya?" bisik Febi ke telinga Emi.
Emi yang bersemangat langsung saja mengganggukkan kepalanya.
"Hati-hati ya, Feb?"
"Oke," jawab Febi membentuk tanda oke dengan jarinya.
Senyum Emi tak pudar dari wajahnya dan kembali menoleh pada Bima dan mengikutinya menuju parkiran.
"Om Bima mau balik ke kantor atau pulang?" tanya Emi mengekori Bima. "Kalau aku nebeng mobilnya om Bima boleh nggak? Setidaknya sampai halte. Kalau dari sini nggak ada kendaraan umum, om. Bolehkan?"
Emi terus saja berbicara pada Bima meski tak ada respon. Bima menekan tombol ditangannya untuk membuka mobil. Tangannya begitu cepat membuka pintu mobil dan mendaratkan bokongnya di kursi kemudi. Pintu mobil juga langsung ia kunci otomatis hingga Emi yang ingin membuka pintu tidak bisa.
"Om Bima... Emi nebeng ya?" ucap Emi manja berharap permintaanya dikabulkan.
"Ada banyak ojek online."
"Fiuhhh.... Pelit! Huh... Untung ganteng."
Emi mengerucutkan bibirnya saat mobil Bima melongos pergi dari hadapannya.
...Jangan lupa like dan komentarnya ya☺️☺️...
Hari ini Bima kembali bekerja seperti biasanya dan pulang lebih awal. Dia mengganti pakaiannya dengan kemeja hitam dan menuju ke kampus yang mana kini kepemilikan kampus tersebut sudah atas nama keluarga Suntama.
Tiba di parkiran gedung kampus, Bima menelpon seseorang dan memberitahu jika ia sudah menunggu di parkiran. Tak lama, hanya sekitar sepuluh menit orang yang ditunggu Bima muncul dengan sedikit berlari ke arahnya.
"Sorry kak, Bim. Maaf ya kalau jadi ngerepotin."
Bima menggeleng dan memberi kode untuk masuk ke dalam mobil.
"Tadi lagi seminar dan baru kelar dua puluh menit yang lalu. Kevin nggak ada jadwal kuliah hari ini jadi nggak bisa pulang bareng."
"Kenapa nggak bawa mobil ke kampus?"
"Tadi pagi ngantuk kak, begadang semalaman demi skripsi biar cepat selesai. Bunda nggak kasih izin bawa mobil kalau lagi ngantuk."
Bima mengangguk dan terus melajukan mobilnya. Dipinggir jalan Bima mengehentikan mobilnya melihat deretan penjual bunga.
Keduanya turun dan memilih bunga yang menurut mereka bagus untuk mereka bawa ketempat tujuan mereka.
"Sudah?" tanya Bima.
"Sudah, kak."
Bima membayar untuk empat boquet bunga yang mereka beli. Justin mengambil bunga dari tangan Bima dan meletakkannya di kursi tengah.
Justin dan Kevin seumuran, keduanya kuliah ditempat yang sama namun mengambil jurusan yang berbeda. Justin memilih jurusan manajemen keuangan sedangkan Kevin lebih tertarik dengan kesenian.
Kevin berharap suatu saat nanti ia bisa bertemu dengan orangtua kandungnya yang sudah menelantarkannya saat berusia tiga tahun di emperan sebuah toko. Ia ingin menunjukkan bahwa ia bisa sukses tanpa orangtuanya meski harus tinggal di panti asuhan dan diasuh oleh orang lain.
Berbeda dari Kevin, Justin yang pembawaannya lebih tenang memilih jurusan manajemen keuangan karena ingin menjadi pekerja kantoran seperti Bima. Justin menjadikan Bima sebagai acuannya meraih gelar sarjana tepat waktu, bekerja dengan giat supaya menghasilkan uang yang banyak.
"Apa Emi dan Kevin berangkat bersama bunda?"
"Sepertinya."
..........
"Emi!!!! Cepat sedikit."
Gadis berambut panjang hingga hampir mencapai pinggang berlari dari lantai dua keluarga Suntama.
"Cepat!"
Suara teriakan itu kembali menggema.
"Iyaaaa!!!
Teriakan dibalas teriakan.
"Kau bukan seorang gadis, teriakanmu seperti preman pasar."
"Sama. Kakak pikir teriakan kakak itu maco? Yang ada kayak kaleng bekas minuman dilempar ke aspal."
"Apa kalian berdua akan terus bertengkar seperti ini setiap hari?"
Seorang wanita berkacamata keluar dari kamarnya dan menarik nafas mendengar keributan setiap hari namun ia sangat bahagia.
"Bunda, dia yang teriak deluan ke aku. Dia juga bilang aku bukan seorang gadis."
"Memang seperti itu kenyataan," meledak gadis berambut panjang itu.
"Sudahlah, jangan bertengkar lagi! Ayo berangkat."
Tiga puluh menit sebuah mobil berhenti di depan sebuah gapura pemakaman. Wanita berkacamata, Emi dan pemuda bernama Kevin turun dan masuk ke area pemakaman.
"Bunda sudah nyampe?" sapa Justin pada wanita berkacamata itu.
Detik kemudian ia melirik pada dua orang dibelakang wanita yang dipanggilnya bunda.
"Kau juga juga sudah ada disini?"
"Iya, Bun. Tadi kak Bima yang jemput aku dari kampus," tunjuknya pada Bima disebelahnya.
Wanita itu sama sekali tidak melirik pada Bima, ia memilih meletakkan karangan bunga ditangannya pada kedua makam di hadapannya. Tiga orang yang memanggilnya bunda ikut melakukan hal yang sama, meletakkan bunga di atas kedua makan. Bima menjadi orang terakhir yang meletakkan karangan bunga. Beberapa saat mereka terdiam memandangi kedua makam itu. Wanita itu menghapus air matanya dan mencium kedua nisan dihadapannya.
Gadis berambut panjang yang dipanggil Emi itu melihat wajah seorang gadis yang ada di batu nisan.
Hei, kakak cantik? Ini untuk ketiga kalinya aku kesini. Aku sudah melihat foto-fotomu dan kau memang sangat cantik. Pria di sampingmu itu juga sangat tampan.
"Ayo pulang," ajak wanita itu kemudian.
"Maaf, Bu. Saya ingin bicara sebentar."
Bima menahan wanita itu dan menyuruh ketiga lainya pergi terlebih dahulu menuju mobil.
"Maaf, apa saya sudah-"
"Jangan bertanya, tetap lakukan seperti biasanya. Aku yang akan menentukan sampai kapan. Jangan membuatku marah di depan makam anakku."
Bima menghela nafasnya saat wanita itu meninggalkannya begitu saja. Wanita itu adalah mama Mila yang hampir gila karena kehilangan anak-anaknya. Mila juga merutuki dirinya karena melampiaskan kemarahannya pada si gadis akibat rasa benci Mila pada wanita yang melahirkan gadis itu.
"Selalu saja seperti ini setiap tahunnya. Apa kalian berdua tahu ada apa?" tanya Emi penasaran sambil menyamakan langkah kedua kakak angkatnya itu.
"Tidak perlu ikut campur urusan orang dewasa," serempak kedua pemuda di kiri-kanan Emi mengatakan kalimat yang sama.
"Is, kalian selalu begitu. Oh iya, kak Bima ganteng ya?"
"Om! Ingat, dia menyuruhmu memanggilnya om," ucap Kevin mengingatkan.
Pemuda yang sering meneriakinya itu menarik pelan rambut panjang Emi.
"Sakit!"
"Makanya potong saja biar tanganku ini tidak gatall untuk selalu menariknya. Biar persis seperti dulu lagi, seperti tokoh kar-"
Ucapannya berhenti saat mata gadis itu menatap tajam kevin.
"Aku nggak mau pulang dengan kalian, aku akan pulang dengan kak Bima."
"Dia tidak akan mau," ledek Kevin.
Gadis itu tidak peduli, ia berlari kebelakang pada bundanya.
"Bunda, aku pulang sama kak, eh, maksudku om Bima, boleh?" memasang nyengir kudanya.
"Boleh, kenapa tidak."
Bima menatap jengah pada gadis itu tapi ia tidak bisa membantah.
"Apa menurutmu kak Bima akan mengantarnya pulang?"
"Jelas mau, ada bunda Mila. Satu lagi, jangan pernah membahas tokoh kartun itu lagi kalau tidak mau urusannya jadi panjang. Cukup hanya kita berdua dan Emi yang tahu bagaimana bentuk rambutnya dulu."
"Aku kan tidak jadi menyebutnya. Hanya sampai kar-, aku belum bilang -tun dan Dora," jelas Kevin.
"Itu baru saja kau bilang Dora."
Hahaha...
Kevin dan Justin tertawa menuju mobil diparkirkan. Mereka masuk terlebih dahulu, menunggu bunda mereka yang masih di area pemakaman.
Kepada Kevin, Justin dan Emi tak satupun dari bunda Mila maupun Bima mengatakan cerita anak-anak bunda Mila. Wanita itu ingin memulai hidup yang baru dengan anak-anak asuhannya saat ini.
"Ayo, Bun."
Justin membantu bunda Mila naik ke mobil dan menutup pintunya. Ia kemudian mengitari mobil untuk duduk di samping bundanya sedangkan Kevin duduk di samping supir.
"Kita langsung pulang, Bu?" tanya Eko, supir yang baru satu tahun ini bekerja pada bunda Mila.
"Iya, pak. Kita langsung pulang saja."
Seperti biasa, setiap kali menjenguk makam, Mila akan merasakan tubuhnya tak berdaya. Justin yang paham dengan perasaan bundanya langsung mengelus lengan Mila dan tersenyum untuk memberikannya kekuatan.
"Emi gimana, Bun?" celetuk Kevin saat pak Eko memutar arah mobil.
"Bima akan mengantarkannya pulang," jawab mama Mila.
"Oh... Kalau gitu jalan pak Eko, jangan ngebut, ada bunda dan lagi kurang enak badan."
"Baik, mas."
..........
"Duduk dibelakang," titah Bima pada Emi sebelum masuk ke dalam mobil.
Bukan Emi namanya kalau langsung menurut, ia malah mendaratkan bokongnya dengan gesit di samping kuris pengemudi. Tangannya bergerak cepat memasang seat-belt.
Bima hanya bisa mendengus kesal. Tak ada kata yang keluar dari mulut Bima selama diperjalanan, berbeda dengan Emi yang bertanya dan mengatakan banyak hal.
"Tadi aku belum makan siang loh, om. Sekarang perutku lapar, aku juga haus."
Bima tahu apa yang dimaksud Emi, ia memelankan laju mobilnya saat melihat banyak pedagang kaki lima di pinggiran jalan.
Mobil itu berhenti di depan penjual sate yang sedang mengipas-ngipas sate bakarnya.
"Keluar."
"Em? Keluar?" Emi langsung saja keluar berpikir bahwa dia dan Bima akan makan sate bersama dipinggir jalan, hal yang tak pernah ia duga selama ini. "Oh iya, aku nggak bawa uang tunai, om."
Dengan cepat Bima mengeluarkan dompetnya dan mengambil satu lembar uang seratus ribu.
"Ini," menyerahkan uang seratus ribu pada Emi.
"Om Bima mau yang pakai kacang atau-"
"Seratus ribu cukup untukmu makan dan ongkos pulang. Jangan lama-lama nanti ibu Mila khawatir," menyela ucapan Emi.
"Maksudnya, om?"
Tak ada jawaban dari Bima. Seperti biasanya Bima langsung melongos pergi meninggalkan Emi.
"Hmmm... Ditinggal lagi," merapatkan bibirnya tersenyum masam.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!